Kami baru saja kembali dari Indonesia selama satu setengah bulan, mulai 1
Juli sampai pertengahan Agustus. Ketika terjadi peristiwa 27 Juli, kami sedang
ada di Indonesia. Kunjungan kami di Indonesia sangat penting bagi kami. Karena
melalui kontak-kontak dengan berbagai orang, kami dapat mengetahui suhu situasi
politik dan fikiran banyak orang.
Berikut adalah tulisan dari salah seorang teman kami. Mengharapkan sudilah kiranya
pak JOHN menyiarkannya dalam Apakabar. Seperti biasa, mohon supaya alamat E-mail
kami JANGAN DICANTUMKAN. Terimakasih sebelumnya, dan selamat bekerja serta mengharapkan
kesehatan Pak JOHN selalu baik, setelah operasi baru-baru ini.
Bravo !, dengan siaran-siaran Apakabar selama beberapa bulan terakhir ini.
SITI SUNDARI (nama samaran)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
27 JULI DAN MASALAH PRESIDEN SUHARTO
(tanggapan tulisan Saudara Karim KADIR, dalam Apakabar 24 Mai 1996)
Sumbangan fikiran oleh : Yoso Sanyoto (nama samaran)
Buntut peristiwa 27 Juli 1996 masih akan panjang. Dan, buntut panjang ini akan
bisa melingkar-lingkar menyangkut berbagai bidang : politik, pemerintahan, kepartaian,
pemilihan umum, hukum, moral dan etika, dan sendi sendi kenegaraan atau kemasyarakatan
di Indonesia lainnya. Juga menyangkut masalah yang amat penting dalam kehidupan
kenegaraan kita, yaitu masalah Presiden kita, Bapak Suharto.
Saya telah membaca tulisan Sdr Karim KADIR dalam Apakabar 24 Mai yang lalu, yang juga bisa dibaca di Indonesia Daily News Online (Stuttgart) dan juga di KITLV Library - Daily Report of current events in Indonesia (Leiden). Artikel tersebut berjudul "Perlukah Bapak Suharto jadi Presiden terus ?". Tulisan itu saya anggap terlalu blak-blakan, terlalu polos, dalam menyoroti persoalan Bapak Presiden Suharto. Sebaliknya, tulisan yang sudah mengemukakan banyak kritik yang tajam itu, tidak memberikan gagasan atau usul tentang jalan yang harus ditempuh untuk mengatasi kerumitan-kerumitan yang sedang dialami oleh negara dan bangsa Indonesia dewasa ini.
Peristiwa 27 Juli (penyerbuan gedung Jalan Diponegoro), penangkapan akitivis-aktivis PRD, pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh politik yang tergabung dalam MARI, gugatan PDI-Megawati terhadap Pangab, Kapolri, Mendagri dan PDI-Suryadi, merupakan serentetan masalah-masalah penting yang pada akhirnya, atau pada dasarnya, menyangkut juga masalah yang amat besar, yaitu masalah kedudukan atau jabatan Bapak Presiden Suharto. Karena itu, sangat tepatlah kalau kita semua, sejak sekarang, ber-sama-sama ikut menyumbangkan fikiran mengenai masalah kunci ini.
Dalam artikel tersebut, telah ditulis antara lain sebagai berikut : "Berbagai kalangan sudah menyatakan bahwa apabila Bapak Suharto pada periode mendatang (1998-2003) tidak menjadi presiden lagi, maka masalahnya menjadi gawat dan rumit. Ada yang mengatakan bahwa hingga sekarang belum kelihatan siapa calon penggantinya. Bahwa kalau Pak Harto sudah tidak jadi presiden lagi akan timbul macam-macam masalah yang gawat di Indonesia, itu pasti. Tetapi, kalau Pak Harto akan tetap jadi presiden, apakah ini akan menjamin bahwa tidak akan terjadi masalah-masalah yang gawat ? Inilah yang belum pasti. Memang, pada masa-masa permulaan Orde Baru, beliau merupakan tokoh yang mendapat dukungan dari kalangan militer dan sipil, walaupun tidak semuanya. Sebagian dari rakyat Indonesia pun menaruh harapan bahwa di bawah pimpinan beliau negara dan rakyat Indonesia akan mencapai kemajuan, kemakmuran, keadilan, seperti yang sudah disebutkan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Dan ternyata, selama pak Harto menjadi presiden, memang tidak sedikit kemajuan yang telah dicapai di bidang ekonomi. Pembangunan berjalan, walau pun menimbulkan banyak persoalan-persoalan yang rumit, disebabkan oleh praktek-praktek yang tidak sehat."
Juga disebutkan dalam artikel itu :"Tetapi, apakah Indonesia masih memerlukan seorang presiden seperti pak Harto ? Jelasnya, apakah baik bagi Indonesia secara keseluruhan (rakyat, negara dan bangsa) kalau pak Harto menjabat terus fungsi tertinggi ini ? Memang, kita semua bisa ber-tanya-tanya sekarang, apakah kita tidak perlu merombak atau mengganti sistem kehidupan bernegara di Indonesia dibawah bendera Orde Baru yang dipimpin oleh Pak Harto ini. Sudah banyak pernyataan-pernyataan yang disuarakan oleh berbagai kalangan bahwa sistem politik dan pemerintahan dewasa ini sudah tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi di Indonesia sendiri, dan tidak memenuhi tuntutan kehidupan politik modern. Sudah ada organisasi-organisasi yang menyerukan terang-terangan : Kita butuh presiden baru !"
Bahkan, tulisan itu dengan terang-terangan menyebutkan :" Melihat perkembangan akhir-akhir ini, maka mulai banyak yang berpendapat bahwa memang akan baik sekali bagi negara dan rakyat Indonesia kalau Pak Harto tidak duduk lagi sebagai presiden. Tentu sajalah ini merupakan kejadian besar yang bisa menimbulkan kegoncangan dan masalah-masalah yang tidak sedikit. Tetapi, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki keadaan di Indonesia. Kalau Pak Harto masih tetap memegang jabatan presiden, maka sulit untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang menunjukkan berbagai kepincangan dan ketidakberesan yang sudah berlangsung selama 30 tahun. Melihat situasi di Indonesia yang sudah mengandung macam-macam penyakit ini, makin jelaslah bahwa untuk menyembuhkannya hanyalah melalui perobahan radikal atau perbaikan sistem politik dan pemerintahan. Untuk menuju ke arah ini, langkah yang penting yalah digantikannya Pak Harto dengan orang lain. Sebab, kalau Pak Harto masih tetap sebagai presiden, maka tidak adalah harapan untuk perbaikan-perbaikan yang mendasar. Sebab, Pak Harto adalah perwujudan atau perwakilan dari sistem yang selama ini telah melahirkan macam-macam penyakit. Halaman-halaman media tulis di Indonesia sudah banyak memaparkan hal-hal yang negatif tentang Orde Baru ini. Dengan tetapnya Pak Harto sebagai presiden, harapan ini akan buntu. Masa yang sudah kita lalui bersama selama 30 tahun menjadi saksinya. Bahkan lebih serius lagi. Praktek-praktek yang dilakukan oleh keluarganya, dengan kerjasama para pencari kesempatan, akan diteruskan. Ini akan tetap meracuni udara politik dan menyuburkan pengaruh buruk di bidang moral. Demokrasi dan keterbukaan akan tetap macet. Kebudayaan « nuwun inggih » yang dicampuri kolusi dan dikotori oleh korupsi bisa terus meraja-lela dalam bentuk yang macam-macam. Contoh-contoh praktek yang jelek dari pejabat-pejabat penting akan ditiru oleh bawahan. Disiplin makin rusak, dan norma-norma etik jadi rusak. Obsesi untuk mengejar kekayaan dan kemewahan, atau segala yang « wah », akan menghinggapi lebih banyak orang." (Kutiban selesai).
Itulah sebagian dari kutiban dari artikel Saudara Karim KADIR. Sebenarnya, masalah yang dikemukakan dalam tulisan itu bukanlah masalah baru. Ini sudah menjadi pembicaraan banyak orang di Indonesia, dan sejak lama. Banyaklah orang yang secara langsung dan secara pribadi sudah merasakan atau mengalami sendiri dalam praktek sehari-hari. Tetapi, banyak yang tidak berani mengemukakan secara terus-terang. Pertimbangan mereka macam-macam. Baik yang bisa dimengerti maupun yang bisa dimaafkan.
Perkembangan terakhir di Indonesia, dengan terjadinya berbagai peristiwa (antara lain : Kongres PDI di Medan, peristiwa di Jalan Diponegoro, penggugatan PDI-Megawati terhadap pejabat-pejabat tinggi, PRD dan MARI, kecaman berbagai pemerintah asing, komentar-komentar yang negatif dalam pers luarnegeri mengenai keadaan di Indonesia) memancing kita semua untuk bertanya-tanya : Solusi apa yang bisa kita cari, untuk bisa keluar dari kemelut yang sedang terjadi sekarang, dan juga untuk mencegah keruwetan-keruwetan yang lebih besar lagi dikemudian hari ?
Dapat didugalah bahwa di berbagai kalangan (baik yang di pemerintahan maupun yang di luar pemerintahan) masalah kedudukan Pak Harto sebagai presiden ini sudah menjadi bahan pendiskusian yang serius, maupun yang hanya berupa obrolan secara intim di antara sahabat-sahabat terdekat dan terpercaya. Mengingat makin ruwetnya situasi di Indonesia akhir-akhir ini, sekarang sudah saatnyalah bagi kita semua untuk menyumbangkan fikiran untuk ber-sama-sama menciptakan langkah-langkah dan suasana yang memudahkan lahirnya penyelesaian masalah-masalah besar yang sedang dihadapi oleh negara dan rakyat kita.
Dalam hal ini peran dan sumbangan tokoh-tokoh penting yang dekat sekali dengan pribadi Pak Harto adalah besar sekali, demikian juga sahabat-sahabat terpercaya beliau yang terdapat diberbagai kalangan, dan juga pembantu-pembantu pribadi beliau yang selama ini telah mendampingi beliau dalam menangani masalah-masalah besar yang menyangkut beliau sendiri maupun yang menyangkut urusan-urusan negara. Sudah saatnyalah sekarang bagi tokoh-tokoh yang terdekat dengan Pak Harto untuk menyumbangkan fikiran atau menyajikan saran-saran tentang kedudukan dan peran beliau dalam menghadapi perkembangan situasi di Indonesia akhir-akhir ini dan perspektifnya di kemudian hari.
Adalah hal yang sangat baik,kalau orang-orang atau tokoh-tokoh yang terdekat dengan Pak Harto ini dapat menyarankan kepada beliau untuk berkenan hati mengambil keputusan yang tegas dan jelas, sejak sekarang, bahwa beliau sudah tidak ingin lagi menjabat presiden untuk periode 1998-2003. Keputusan yang pasti bahwa secara sukarela dan dengan "legowo" beliau tidak ingin menjabat presiden lagi ini akan bisa membuka kemungkinan-kemungkinan terciptanya "suasana baru" di Indonesia. Suasana baru ini akan memungkinkan dihindarinya ketegangan-ketegangan atau gejolak-gejolak yang bisa meletus dalam berbagai bentuk, dan dalam skala yang tak bisa terkendalikan.
Pak Harto sekarang mempunyai kewibawaan yang besar sekali, karena Abri dan Golkar merupakan pendukung beliau yang bisa diandalkan untuk menghadapi berbagai kemungkinan, setelah beliau menyatakan secara sukarela meletakkan jabatan sebagai presiden dalam tahun 1998 nanti. Sejak sekarang, beliau dapat, ber-sama-sama pendukung-pendukung beliau yang setia, mempersiapkan masa transisi. Jelaslah sudah bahwa masa transisi ini tidak sederhana dan penuh dengan benturan-benturan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, peranan Pak Harto sebagai "orang kuat" sangat diperlukan untuk kelangsungan masa transisi tanpa gejolak-gejolak yang bisa memakan korban yang sia-sia.
Kesediaan Pak Harto untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden akan bisa memperlucuti "musuh-musuh" beliau dan mungkin mematahkan "perlawanan" orang-orang yang tidak senang terhadap beliau selama ini. Ini akan membikin redanya ketegangan-ketegangan. Sebab, dalam suasana yang demikian, pendukung-pendukung beliau yang sangat setia dan kelewat "getol" untuk membela beliau, juga akan bisa mengambil sikap baru dan bisa terhindar dari berbagai ekses tindakan-tindakan mereka. Dengan dikuranginya ketegangan-ketegangan yang terlalu bergelora dari kedua belah fihak, maka perhatian dan usaha dapat dicurahkan untuk melangsungkan masa transisi ini.
Masa transisi ini akan bisa lebih mulus, kalau Pak Harto berkenan untuk menunjukkan sikap yang "lapang dada" terhadap lawan-lawan politik beliau selama ini, atau terhadap orang-orang yang telah dianggap "tidak sejalan" dengan beliau. Kalau sikap beliau yang demikian ini diikuti oleh banyak pendukung-pendukung beliau di seluruh Indonesia, maka mungkinlah akan tercipta suasana "rekonsiliasi nasional". Hal ini tidak mudah, sebab masih cukup banyaklah luka-luka yang tergores dalam hati banyak orang (dari kedua belah fihak) selama 30 tahun ini, baik luka lama maupun yang baru.
Pengumuman resmi bahwa Pak Harto sudah tidak ingin menjadi presiden lagi akan sangat membantu terciptanya suasana baru seandainya disertai kesediaan beliau untuk mempertahankan hal-hal positif yang sudah dicapai selama 30 tahun ini dan meninggalkan hal-hal negatifnya. Dalam masa transisi sampai menjelang Sidang Umum MPR dalam tahun 1998, Pak Harto ber-sama-sama para pendukung dan sahabat-sahabatnya dapat merintis dibukanya halaman baru, dengan menyerap aspirasi rakyat mengenai demokrasi yang lebih luas, hak-hak azasi manusia dan keadilan sosial.
Pak Harto sudah banyak berjasa dalam memimpin Indonesia untuk mencapai kemajuan dalam ekonomi dan pembangunan di berbagai bidang. Sudah tentu, banyak juga segi-segi negatif yang perlu dirombak atau dibetulkan di Indonesia. Orde Baru perlu dijiwai oleh semangat kerakyatan yang sungguh-sungguh. Pancasila dan Dwifungi ABRI harus diabdikan betul-betul kepada kepentingan rakyat banyak. Citra Indonesia harus dijaga baik-baik sehingga para investor asing tetap bisa bekerja dengan menyesuaikan diri dengan kepentingan perekonomian bangsa dan rakyat banyak.
Usia Pak Harto sekarang ini sudah lanjut. Dalam masa menjelang akhir hayat beliau, bantuan dari para pembantu dan para sahabat terdekat atau pendukung beliau sangatlah besar, agar beliau berkenan hati untuk mengambil keputusan-keputusan yang akan membikin baik nama beliau di mata banyak orang. Baik yang di dalamnegeri mau pun yang di luarnegeri. Juga untuk kemudian hari. Langkah-langkah beliau yang bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan yang sedang timbul akhir-akhir ini sangat penting bagi beliau sendiri, untuk keluarga beliau, dan juga untuk negara dan rakyat Indonesia.
(Catatan akhir : Mohon kepada siapa saja yang membaca tulisan ini sudilah kiranya meneruskannya, dengan berbagai cara, kepada tokoh-tokoh, pembantu-pembantu setia, sahabat-sahabat terdekat Pak Harto).
Paris, 28 November 1996