Sinar Harapan, 11 Maret 2011


Perginya Pemimpin Terakhir Gerwani

OLEH: WAHYU DRAMASTUTI/ FRANSISCA RIA SUSANTI

 

JAKARTA – Telepon di meja berdering pukul 08.30 WIB pagi ini. Sebuah kabar buruk terdengar di ujung telepon. Satu-satunya orang di jajaran pemimpin Gerakan Wanita Indo­ne­sia yang tersisa, mengembuskan napas terakhirnya.
Salah satu penghuni Panti Waluyo Sejati Abadi di Jl Kramat V, Jakarta mengabarkan berita duka tersebut. Umi Sar­djono, ketua umum Gerwani yang dipilih dalam Kongres II Gerwani di Jakarta tahun 1954 akhirnya berpulang. “Kami harus mengantar ke pusara, karena ini penghormatan yang terakhir. Dalam sejarah hidupnya, beliau adalah orang pergerakan yang sejak revolusi 1945 sudah pontang-panting memperjuangkan kemerdekaan RI. Beliau itu setia pada rakyat,” kata Les­tari, mantan Ketua Gerwani Cabang Bojonegoro yang saat ini tinggal di panti tersebut.
Di panti tersebut, Lestari tinggal bersama belasan pe­rempuan korban 1965. Panti yang diresmikan Gus Dur dan Taufiq Kiemas itu menampung para korban G30S/1965, yang rata-rata pernah dipenjara minimal 11 tahun. Suasana duka menyelimuti panti tersebut saat mendengar kabar kepergian Umi tadi pagi. Umi meninggal di rumahnya di Te­galan, Kampung Melayu sekitar pukul 02.00 dalam pera­wat­an ponakan dan pembantunya.

Sri Sukatno, mantan wartawan Harian Ekonomi Nasional, mengutarakan Umi selalu memperjuangkan rakyat terutama kaum perempuan supaya para perempuan mampu mandiri dan membentuk keluarga yang baik untuk suami dan anak-anak. “Bu Umi waktu menjabat di DPR-GR mewakili Fraksi Golongan Karya (bukan Golkar bentukan Soeharto-red), bukan Fraksi PKI,” kata Sri.

Gerwani selama ini diidentikkan dengan PKI. Padahal, Gerwani belum pernah memutuskan untuk berada di bawah payung PKI. Dalam wawancara dengan SH sekitar lima tahun lalu, Umi Sardjono menga­takan bahwa keputusan tentang ke mana Gerwani harus “berpayung” baru akan dilakukan dalam Kongres Gerwani pada Desember 1965. Namun, sebelum Kongres digelar, peristiwa G30S meletus dan para aktivis Gerwani diburu sebagai pesakitan. Saat duduk sebagai pemimpin Gerwani, Umi sa­ngat aktif menghadiri berbagai acara Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) yang digelar di luar negeri.

“Setidaknya setahun sekali saya pergi ke luar, antara lain ke Berlin, Praha, Moskwa, Al­jazair, dan ke Peking (Beijing-red). Saat ke Aljazair, saya pergi dengan rombongan Bung Karno,” kisahnya saat itu.
Dalam keanggotaan GW­DS, menurut Umi, Gerwani merupakan organisasi yang cukup maju. Ia menyebutnya progresif. Gerwani ikut serta dalam Sidang Dewan GWDS di Beijing yang menghasilkan beberapa tuntutan, antara lain menghentikan perlombaan senjata, melarang percobaan senjata atom, serta sebuah rekomendasi untuk menyelenggarakan Konferensi Wanita Asia-Afrika guna memperluas perdamaian dan menghapus perang.

Saat Indonesia bersiap menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955, Umi membuat tulisan panjang di koran Harian Rakjat berjudul “Sumbangan Wanita dalam Menyambut Konferensi Asia-Afrika.” Artikel yang terbit tanggal 13 April 1955 itu menyebut bahwa KAA tak hanya punya makna bagi perdamaian di kawasan regional dan Afrika, tapi juga per­juangan perempuan.

Gerakan Perempuan

Konsep gerakan perempuan sudah ada di kepala Umi sejak ia bergabung di Barisan Buruh Wanita yang ada di bawah Partai Buruh Indonesia (PBI). Umi berpikir bahwa sebuah organisasi perempuan dengan para kader yang me­miliki kesadaran politik, merupakan kebutuhan mendesak.

Gayung bersambut saat seorang kawan dari Laskar Perempuan mengajak Umi membangun organisasi perempuan. Ia kemudian juga menggandeng Menteri Perburuhan di Era Kabinet Amir Sjarifuddin, SK Trimurti.  Ide organisasi perempuan ini sempat ditentang oleh afiliasi tiga partai kiri (PKI, Partai Sosialis Indonesia, dan PBI). Namun, Umi jalan terus. Pada 4 Juni 1950, Umi dan Trimurti berhasil menghimpun tujuh organisasi massa perempuan dalam wadah bernama Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang berkantor di Semarang.

Gerwis inilah yang kemudian dalam Kongres II di Ja­karta mengubah nama menjadi Gerwani. Dalam Kongres inilah Umi ditetapkan sebagai ketua umum. Sementara itu Harti Warto, Ny Mudigdo dan Salawati Daud sebagai wakil ketua. Sekjen dipegang oleh Sulami, Kartinah Kurdi, dan Masyesiwi.
Semua tokoh tersebut kini sudah meninggal. Hampir semuanya pernah merasakan dinginnya lantai hotel prodeo dan siksaan keji fisik dan seksual yang dilakukan tentara Orde Baru. Selain Sulami, semua pemimpin tersebut dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili. Umi dipaksa merasakan dinginnya penjara Bukit Duri selama 13 tahun de­ngan siksaan fisik dan psi­kis yang membuatnya bersikap sangat tertutup sekeluarnya dari penjara.

Di masa kepemimpinan Umi, anggota Gerwani meningkat pesat, dari 500.000 menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah. Program-programnya sangat populis dan tak hanya terbatas dari isu perempuan. Mulai dari penolakan praktik poligami, pendirian TK Melati dan penitipan anak hingga tingkat kecamatan guna meringankan beban perempuan-perempuan petani dan buruh yang mesti membantu suaminya bekerja, sampai kampanye perdamaian dunia.

Aktivis perempuan Ita F Nadia mengatakan bahwa organisasi perempuan saat ini tak bisa sama seperti Gerwani karena tantangan sejarahnya berbeda. Namun, ia menegaskan bahwa organisasi perempuan saat ini harus belajar dari Gerwani, terutama dalam substansi pembangunan ideologi dan pembangunan strategi gerakan politik perempuan. “Sekarang ini, gerakan perempuan tidak terkotak-kotak seperti dulu. Namun untuk isu dan program, gerakan perempuan sekarang tidak fokus dan terarah. Isu-isunya terlalu eksklusif dan elitis,” ungkapnya. Ita berharap para aktivis gerakan perempuan sekarang mewarisi elan semangat Ger­wani agar fokus perjuangan mereka tak semata-mata ha­nya urusan persamaan gender.

Saat dirawat di Rumah Sakit Thamrin enam tahun lalu karena terjatuh dari kamar mandi, Umi mengatakan bahwa ia tak ingin mati sebelum melihat sebuah gerakan perempuan dengan kesadaran populis seperti Gerwani lahir di Indonesia. Kini, saat ia benar-benar sudah menutup mata, terwujudnya impian Umi sepenuhnya bersandar pada kesadaran para aktivis perempuan di ge­ne­rasi yang lebih muda. Se­moga impiannya tak sia-sia.