Catatan A. Umar Said

 

S.TAHSIN SEBAGAI WARTAWAN
DAN PEJUANG REVOLUSIONER

Suraedi TAHSIN telah meninggalkan kita semua. Ia wafat di Amsterdam tanggal 25 Februari 2003, sesudah hampir 5 tahun mengalami gangguan kesehatan yang parah, sehingga tidak sadar. Selama itu istrinya, Els TAHSIN, merawatnya dengan kesetiaan dan kesabaran yang mengagumkan. Jarang ada istri yang setabah dan setawakal seperti dia. Peristiwa ini patut dicatat oleh banyak orang, terutama bagi yang mengenal keluarganya.

Dalam pembicaraan lewat telepon untuk menyampaikan bela-sungkawa, kepada Els saya katakan bahwa saya menganggap bahwa bung Tahsin adalah salah seorang dari sejumlah kawan saya yang terdekat, dan karenanya saya merasa perlu untuk membuat tulisan mengenai dia. Sebab, banyak hal-hal yang bisa dan perlu diceritakan tentang hidupnya, walaupun secara pokok-pokok dan tidak lengkap. Tulisan ini merupakan tambahan atau pelengkap dari tulisan-tulisan mengenai bung Tahsin yang sudah dibuat oleh kawan-kawan lainnya.


TAHSIN SEBAGAI WARTAWAN DAN DUBES

Saya mengenal S.Tahsin ketika ia bersama Armunanto memimpin harian Bintang Timur (Jakarta), yang dalam tahun-tahun sebelum 1965 merupakan salah satu koran terkemuka dalam mensosialisasikan berbagai politik Bung Karno. Bersama-sama koran-koran lainnya seperti (antara lain) Warta Bhakti, Harian Rakyat, Suluh Indonesia, Ekonomi Nasional, Bintang Timur dilarang terbit oleh penguasa militer sesudah terjadinya G30S. Wartawan-wartawan terkemuka Bintang Timur, seperti Hasyim Rachman dan Tom Anwar ditahan dalam penjara dan kemudian dibuang ke pulau Buru.

Bung Tahsin diangkat oleh Bung Karno sebagai Dutabesar RI di Mali beberapa bulan sebelum G30S. Dengan terjadinya G30S dan diberedelnya Bintang Timur dan ditangkapinya wartawan-wartawan yang pro-politik Bung Karno, maka bung Tahsin mulai menduga bahwa dia tidak akan bisa melaksanakan misi politik yang dipesankan kepadanya oleh Bung Karno. Terutama politik Bung Karno mengenai solidaritas perjuangan rakyat Asia-Afrika, seperti jang tercermin dalam keputusan-keputusan konferensi Bandung dan semangat perjuangan Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).

Setelah perkembangan di Jakarta makin menunjukkan tanda-tanda bahwa kekuatan yang pro-Bung Karno makin dihacurkan oleh TNI-AD di bawah Suharto dkk, maka pada permulaan 1966 bung Tahsin meninggalkan posnya di Bamako (Mali) sebagai Dutabesar RI, dan menetap bersama istri dan anak-anaknya di Paris beberapa bulan. Kemudian, dengan adanya delegasi PWI yang dipimpin oleh Supeno dan kemudian juga dipindahkannya sekretariat PWAA dari Jakarta ke Peking, maka bung Tahsin menggabungkan diri ke delegasi PWI dan sekretariat PWAA di Peking dalam tahun 1966.


SEORANG WARTAWAN KAWAKAN

Penunjukan bung Tahsin oleh Bung Karno sebagai Dutabesar RI di Mali tidak bisa dipisahkan dari besarnya peran yang dimainkannya sebagai wartawan dan kegiatannya dalam PWI dan kemudian di KWAA (Konferensi Wartawan Asia-Afrika). Sebagian besar dari masa hidup bung Tahsin selalu dikaitkan dengan dunia pers atau penerbitan. Ketika revolusi 45 masih berkobar melawan kolonialisme Belanda ia bersama-sama teman-temannya (antara lain Roesli Amran) mendirikan koran harian Berita Indonesia. Kemudian, bersama istrinya ia pergi sebentar ke negeri Belanda untuk belajar dan bekerja. Pada permulaan tahun 50-an, mereka kembali ke Jakarta.

Setelah kembali ke Jakarta ia aktif lagi di bidang pers dan penerbitan. Antara lain dengan mendirikan Bintang Timur. Persahabatannya dengan seorang wartawan dan pengusaha muda, yang bernama Koerwet Kartaadiredja, mendorongnya terlibat - meskipun tidak sepenuhnya – dalam mendirikan suatu kantor berita baru, yang bernama Indonesian National Presse Service (INPS). Jadi, bung Tahsin termasuk wartawan kawakan. Ketuaannya dalam bidang pers adalah seangkatan dengan Djawoto (Antara), Djamal Ali (Pikiran Rakyat), Darsyaf Rachman (Mimbar Indonesia); B.M. Diah (Merdeka), Rosihan Anwar (Pedoman), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Moh. Said (Waspada).

Karena itu dalam sejarah PWI dan sejarah pers Indonesia bung Tahsin termasuk sosok yang tersendiri sebagai pendukung politik Bung Karno. Dalam kongres PWI di Denpasar (Agustus 1953) ia dipilih sebagai Ketua untuk menggantikan Sjarif Sulaiman (Bandung). Waktu itu pucuk pimpinan PWI Pusat dipegang oleh Tengku Sjahril, yang sudah lama sekali menjabat sebagai Ketua Umum.
Sikap pro dan kontra politik Bung Karno ini makin menajam juga di kalangan pers Indonesia ketika terjadi gerakan-gerakan anti-Sukarno yang dikembangkan oleh Masjumi dan PSI, terutama di daerah-daerah, dengan terbentuknya Dewan Gajah, Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Manguni dll.


PENDUKUNG POLITIK BUNG KARNO

Dengan pecahnya pembrontakan PRRI-Permesta yang disokong oleh kekuatan pro-Barat (AS dan Inggris) dalam tahun 1957-1958, yang kemudian disusul diumumkannya berbagai konsepsi politik Bung Karno (kembali ke UUD 45, Demokrasi Terpimpin, Manipol, Nasakom, Trikora, Ganyang Malaysia dll) maka kubu pro Bung Karno dalam dunia pers dan wartawan, yang antara lain tergabung dalam kelompok Djawoto-Supeno-Tahsin-Karim DP, makin menggalakkan kegiatan-kegiatannja.

Dalam kongres PWI di Makasar (Mei 1961) kubu pro-politik Bung Karno berhasil mendudukkan kembali tokoh utama Djawoto sebagai ketua PWI Pusat menggantikan Tengku Sjahril. Dalam kongres di Makasar ini diputuskan untuk menyelenggarakan KWAA pada tanggal 24 April sampai 1 Mei 1963 di Jakarta. Dalam sidang-sidang kongres PWI di Makasar inilah kubu Bung Karno (yang diwakili oleh Tahsin dkk) makin menonjol perannya. Ini ada hubungannya dengan makin merosotnya peran koran-koran dan majalah yang sealiran politik dengan Masjumi-PSI sebagai akibat dari kepemihakan mereka kepada gerakan kontra-revolusioner PRRI-Permesta.

Kegiatan kubu pro-politik Bung Karno dalam pers dan PWI (yang dimotori oleh Djawoto-Supeno-Tahsin-Karim DP-Koerwet) mencapai puncaknya dengan penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta dalam tahun 1963. Konferensi ini didahului oleh pengumpulan tandatangan para wakil persatuan wartawan dari negara-negara Asia dan Afrika yang menghadiri kongres International Organisation of Journalists (IOJ) di Budapest dalam tahun 1962. Bung Tahsin dan saya ambil peran aktif dalam pengumpulan tandatangan ini.

Dengan tercapainya persetujuan berbagai wakil persatuan wartawan dari negara-negara Asia dan Afrika tentang penyelenggaraan konferensi di Jakarta, maka saya dan bung Tahsin pergi ke Peking (sehabis kongres IOJ itu juga) untuk berunding dengan Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok (All China Journalists Association) tentang pelaksanaan gagasan besar ini. Kerjasama antara Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok dan kubu pro Bung Karno dalam persatuan wartawan Indonesia sejak itu terjalin erat. Konferensi Wartawan Asia-Afrika dan Persatuan Wartawan Asia-Afrika adalah, pada pokoknya, dimotori oleh gerakan wartawan di kedua negeri ini, yaitu Indonesia dan Tiongkok.


PELAKSANAAN KONFERENSI BANDUNG

Konferensi Wartawan Asia Afrika adalah gagasan yang lahir ketika berlangsung konferensi Bandung dalam tahun 1955. Para wartawan Indonesia, antara lain Syarif Sulaiman, mencetuskan idee ini, untuk melanjutkan sukses besar yang dicapai konferensi yang bersejarah ini. Baru 7 tahun kemudian gagasan itu dapat dilaksanakan. KWAA dilaksanakan dalam tahun 1963 ketika politik Bung Karno menghadapi masalah Irian Barat, masalah Malaysia, masalah Indo-Cina dan perjuangan anti-imperialisme pada umumnya makin menonjol. Bung Karno, merupakan tokoh utama perjuangan rakyat dunia ketiga, waktu itu, dalam menentang kolonialisme dan imperialisme.

Dasar-dasar inilah yang dirundingkan dengan Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok. Orientasi besar konferensi wartawan Asia-Afrika ini disetujui sepenuhnya oleh Menteri Luarnegeri RRT Chen Yi. Persetujuannya ini dikemukakan kepada kami berdua, dalam satu pertemuan yang diatur oleh Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok (Suratkabar Renmin Ribao memuat foto kami berdua dengan Menlu Chen Yi keesokan harinya).

Dalam mempersiapkan dan menyelenggarakan KWAA peran Bung Tahsin dan bung Koerwet ( di samping Djawoto, Supeno, Karim DP, Joesoef Isak dll) adalah besar sekali. Bung Karno (lewat Ibu Hartini) menyokong sepenuhnya inisiatif para wartawan Indonesia ini, antara lain dengan mengadakan pengumpulan dana lewat lelang. KWAA telah merupakan peristiwa nasional (dan internasional) yang cukup penting waktu itu. Pidato Bung Karno di depan pembukaan KWAA merupakan kuliah politik dan jurnalistik yang monumental.


SUAKA POLITIK DI NEGERI BELANDA

Setelah sekretariat PWAA terpaksa dipindahkan dari Jakarta ke Peking, sebagai akibat terjadinya G30S, dalam jangka yang lama bung Tahsin selalu diikut-sertakan dalam kegiatan-kegiatan penting sekretariat. Kedudukan sekretaris jenderal PWAA dikembalikan lagi kepada bung Djawoto, yang melepaskan jabatannya sebagai Dubes RI untuk Tiongkok. Supeno (salah satu ketua PWI Pusat bersama-sama Mahbub Djunaedi dari Duta Masyarakat) diangkat sebagai sekretaris dari Indonesia dari 10 sekretaris yang mewakili 5 negara Asia dan 5 negara Afrika. Saya menjabat Kepala Sekretariat, sebagai kelanjutan pekerjaan yang saya lakukan selama PWAA masih berada di Jakarta. Sementara itu, Joesoef Isak, yang dipilih untuk menggantikan Djawoto sebagai sekjen PWAA, ditahan dalam penjara oleh rezim militer Orde Baru lebih dari 8 tahun.

Dengan adanya perobahan-perobahan dalam politik luarnegeri RRT, dan juga karena berbagai pertimbangan lainnya, bung Tahsin sekeluarga akhirnya minta suaka politik di negeri Belanda, negeri yang telah dikenalnya sewaktu ia masih muda. Berkat penguasaan bahasa Belandanya yang cukup baik, dan banyaknya kontak-kontak persahabatan yang dapat digalangnya dengan berbagai kalangan Belanda, maka ia dapat memberikan pertolongan atau bantuan bagi sejumlah besar kawan-kawan Indonesia lainnya yang memerlukan bantuan untuk menetap di negeri Belanda (atau di negara-negara lain). Entah berapa orang yang sudah pernah diurusnya secara langsung atau tidak langsung, dan dalam berbagai cara dan bentuk.

Ia pernah aktif membantu kegiatan Komite Indonesia, dan mengadakan kerjasama dengan berbagai LSM/Ornop Belanda seperti NOVIB, ICCO, CEBEMO, X-Y, Hivos, Amnesty International dll. Kami bertiga (Bung Tahsin, istrinya Els, dan saya) pernah mendirikan Stichting (yayasan) Indonesia Media dan toko-buku sekaligus penerbit MANUS AMICI, yang mencetak buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan penulis-penulis Indonesia lainnya. Sayang sekali bahwa usaha ini hanya berjalan beberapa tahun saja.

Hubungan pribadinya dengan sahabat-sahabat Belanda, yang terkenal mencintai Indonesia, seperti dengan Prof. Wertheim, Dr De Haas, Willem Oltman dan lain-lain termasuk erat sekali.


SUMBANGAN KEBUDAYAAN DAN JURNALISTIK

Bung Tahsin pada pokoknya telah mengabdikan sebagian besar hidupnya dalam dunia pers sebagai wartawan. Berbagai kegiatannya (lewat koran Bintang Timur dan di luarnya) merupakan sumbangan penting dalam bidang politik, kebudayaan, dan jurnalistik. Ia membuka kesempatan dan wadah kepada karya-karya Pramoedya Ananta Toer (dan penulis lainnya) untuk berkiprah lewat Bintang Minggu dan Lentera. Karikatur-karikatur Sibarani, yang dengan teratur disiarkan oleh Bintang Timur, selalu merupakan “peristiwa politik” yang menarik, setiap kali terbit.

Di bidang pendidikan jurnalistik, Bung Tahsin juga telah memberikan sumbangan, dengan ikut mendirikan dan memimpin Akademi Jurnalistik Dr. Rivai. Begitu besarnya dukungannya kepada usaha pendidikan jurnalistik ini sehingga ruangan depan rumahnya (di jalan Kebon Sirih, Jakarta) dirombak jadi ruangan untuk kuliah. Saya termasuk salah satu di antara berbagai kawan yang memberikan kuliah dalam akademi ini, dengan mata-kuliah “Pers Daerah”. Pengalaman dalam memimpin koran Harian Penerangan di Padang antara 1956-1960 menyediakan bahan-bahan berharga untuk kuliah-kuliah ini. Sesudah terjadinya G30S Akademi Jurnalistik Dr Rivai ini ikut dilarang.

Jelas sudah bahwa ketokohan Bung Tahsin sebagai wartawan “Sukarnois” tidak dapat diragukan. Tetapi ia bukan hanya wartawan saja. Ia juga termasuk salah seorang dari pimpinan Partindo, yang dengan gigih membela berbagai politik Bung Karno. Sikapnya ini dipertahankannya, sejak ia masih di Indonesia, selama ia bermukim di Tiongkok dan ketika ia terpaksa tinggal di negeri Belanda. Sejarah hidupnya adalah sejarah perjuangan seorang wartawan Republiken yang sejak proklamasi 17 Agustus mengabdikan diri kepada perjuangan revolusioner, seperti yang diajarkan Bung Karno.

Kepada istrinya, Els, beserta anak-anak dan cucu-cucunya, melalui tulisan ini disampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya, dengan pesan bahwa kita semua merasa bangga pernah mempunyai kawan di antara kita seorang seperti Bung Tahsin. Seorang yang patut mendapat penghormatan.

Paris, 1 Maret 2003

* * *