Ajakan renungan A. Umar Said

AIB BESAR DAN DOSA BERAT INI
HARUS KITA BUANG JAUH-JAUH



Kelihatannya, berbagai macam kegiatan untuk menyelenggarakan peringatan “40 tahun peristiwa 65” sedang terus berkembang di berbagai kalangan dari golongan dalam masyarakat, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Ini pertanda baik bahwa, walaupun pelan-pelan, banyak orang dari berbagai kalangan dan golongan (termasuk yang tadinya mendukung Orde Baru) menyadari betapa pentingnya untuk secara serius merenungkan apa saja yang dialami bangsa kita selama 40 tahun sesudah timbulnya peristiwa 65 atau mengenang apa saja pengalaman-pengalaman pahit yang dialami oleh mereka selama pemerintahan rejim militer Orde Baru.

Ini wajar. Sebab, bagi orang yang bernalar sehat dan berhati bersih, maka nyatalah dengan jelas sekali bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru (yang inti utamanya adalah TNI-AD dan Golkar) selama 32 tahun adalah betul-betul merupakan tumpukan yang menggunung dari kesalahan parah dan kejahatan besar, baik di bidang hak-hak azasi manusia, maupun di bidang-bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Di antara kesalahan parah dan kejahatan besar ini termasuk -- terutama sekali -- yang dilakukan terhadap Bung Karno, dan terhadap golongan kiri yang mendukungnya, yaitu para anggota dan simpatisan PKI.

Kalau direnungkan dalam-dalam, sebenarnya yang dirugikan oleh rejimnya Suharto dkk adalah bukannya hanya golongan pendukung Bung Karno dan golongan kiri saja -- terutama anggota dan simpatisan PKI -- , melainkan juga banyak golongan-golongan lainnya, kecuali mereka yang betul-betul merupakan pendukung setia Orde Baru, atau yang merasa diuntungkan oleh sistem mafia yang sangat represif dan sangat korup itu.


MASIH MEMUJI-MUJI ORDE BARU ADALAH “SINTING”

Itulah sebabnya, maka walaupun rezim militer Suharto baru 7 tahun “lengser” dari kekuasaan mutlaknya yang sudah dipegangnya erat-erat secara tangan besi (dan tangan berdarah !!!) selama 32 tahun, maka makin sedikitlah jumlah orang-orang yang terang-terangan masih berani berkaok-kaok bahwa Suharto adalah pemimpin besar bangsa atau bahwa Orde Baru adalah rejim militer baik yang telah berjasa besar bagi negara dan rakyat. Lambat laun, makin banyaklah orang - termasuk tokoh-tokoh masyarakat dan kaum intelektual -- yang berani terang-terangan mengkritik segi-segi buruk Suharto beserta keluarganya atau menghujat kesalahan dan kejahatan Orde Baru. Sekarang, berani terang-terangan memuji-muji Orde Baru adalah sesuatu yang bisa dianggap “aneh” atau ”sinting” oleh banyak orang.

Karena, kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh rejim militer Orde Barunya Suharto dkk sudah begitu parahnya (ditambah sudah begitu banyaknya, serta sudah begitu lamanya!!!) sehingga sulit sekali bagi para tokoh-tokohnya untuk membantah secara serius adanya berbagai kesalahan perikemanusiaan atau kejahatan pelanggaran hak-hak azasi manusia itu. Hanya mereka yang betul-betul nalarnya rusak atau hatinya sudah benar-benar membusuklah (atau yang fikirannya tidak waras) yang berani mengingkari atau tidak mengakui adanya berbagai kesalahan atau kejahatan Orde Baru yang sudah dilakukan sejak tahun 1965.

Sebab, tentang berbagai macam kejahatan dan pelanggaran itu buktinya masih ada sekarang di mana-mana di seluruh Indonesia, dan saksi hidupnya juga masih banyak sekali. Mereka itu terutama terdiri para keluarga para korban yang dibunuh secara besar-besaran tahun 65 dan juga keluarga para tapol yang sudah ditahan secara sewenang-wenang dalam jangka lama atau dipenjarakan tanpa pengadilan. Tetapi tidak hanya mereka saja, orang-orang dari kalangan lainpun banyak yang sudah menerima perlakuan yang tidak adil.


RIBUAN BUKU BISA DAN HARUS DITULIS


Para korban peristiwa 65 inilah , yang sebagian terbesar di antaranya sudah mengalami berbagai penderitaan selama 40 tahun karena perlakuan tidak berperikemanusiaan oleh Orde Baru, dan yang sampai sekarang masih juga banyak yang terus menderita. Seperti kita saksikan sendiri (atau kita dengar) selama masa Orde Baru yang 32 tahun, para keluarga korban pembunuhan massal tahun 1965 dan keluarga para tapol tidak bisa atau tidak berani sama sekali bersuara tentang kekejaman dan kebengisan perlakuan yang mereka derita. Mulut mereka telah dibungkem dengan berbagai cara.

Tidak terbayangkan lagilah betapa banyaknya cerita tentang penderitaan, atau kesedihan, atau kepedihan, yang sudah dialami oleh puluhan juta orang korban peristiwa 65 selama puluhan tahun itu. Memang, sejak Suharto “lengser” tahun 1998, sedikit demi sedikit, sudah terbit buku-buku dan tulisan-tulisan dalam media massa yang berisi kisah tetang penderitaan dan penganiayaan yang mereka lalui. (Yang terbaru adalah dua tulisan dalam Sinar Harapan tanggal 29 Juli, yang berjudul “Kisah para perempuan korban 1965” dan Kompas tanggal 31 Juli yang berjudul “Menunggu telinga tumbuh”). Tetapi, apa yang sudah diterbitkan itu adalah masih sangat sedikit sekali atau kecil sekali kalau dibandingkan dengan besarnya tragedi kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya, atau seharusnya, ribuan buku bisa ditulis mengenai itu semuanya, demi pendidikan bangsa dan anak-cucu kita.

Namun, meskipun masih belum banyak sekali di antara para korban peristiwa 65 yang sudah membeberkan pengalaman mereka tentang berbagai macam penderitaan yang berkepanjangan itu, sedikit kisah yang sudah beredar itu saja sudah memungkinkan banyak orang untuk menyadari dan yakin bahwa Orde Baru memang patut dikutuk habis-habisan, dan para pelaku utamanya juga dimintai pertanggungan jawab.


MEMBENCI ORDE BARU ADALAH BENAR DAN ADIL

Itulah sebabnya, maka dalam kegiatan memperingati “40 tahun peristiwa 65” ini, para korban 65 dan keluarga mereka (dan juga yang bukan korban 65) tidak perlu takut-takut lagi, tidak boleh ragu-ragu atau tidak patut segan-segan untuk melontarkan kemarahan mereka terhadap para tokoh-tokoh terkemuka rejim militer Suharto dkk. Sudah sewajarnyalah bahwa mereka marah, juga sudah sepatutnya, atau sudah selayaknya, atau, bahkan, seharusnya ! Marah, atau benci, atau brontak terhadap segala kesalahan besar atau kejahatan parah Orde Baru adalah sikap yang pasti dibenarkan oleh rasa keadilan dan oleh nalar yang sehat. Mengutuk Orde Baru dan menghujat Suharto adalah benar dan sah.

Sekarang, setelah mengalami berbagai macam perlakuan tidak berperikemanusiaan selama 40 tahun, para korban peristiwa 65 mempunyai hak sepenuhnya – sebagai manusia biasa dan juga sebagai warganegara Republik Indonesia -- untuk menuntut keadilan dan pemulihan hak-hak politik, sosial, dan kebudayaan, yang telah dirampas secara sewenang-wenang oleh rezim militer Suharto dkk. Tuntutan mereka ini adalah masuk akal, adil, dan wajar.

Dilihat dari pandangan yang lebih jauh, kelihatanlah dewasa ini bahwa posisi para korban peristiwa 65 sudah mulai berobah. Kalau selama 32 tahun mereka tidak bisa, atau tidak mungkin “ bersuara” sama sekali tentang kebengisan, kebuasan, atau kebiadaban yang telah mereka terima, sekarang mereka bisa berdiri tegak sambil menuding dan berteriak menggugat :”Kami tidak bersalah sama sekali! Kalianlah yang salah,dan karenanya kami menuntut keadilan!”.


PENDERITAAN PULUHAN TAHUN MENJADI “SENJATA”

Penderitaan mereka puluhan tahun yang disebabkan perlakuan tak beradab dan tidak berperikemanusiaan oleh Orde Baru itu dewasa ini sudah bisa berbalik menjadi “senjata” mereka untuk memblejedi segala kesalahan dan kejahatan di masa lalu. Karena sudah sangat menyoloknya kejahatan besar yang dilakukan lebih dari 32 tahun, dan bukti-buktinya beserta saksi-saksi hidupnya juga dapat ditemukan di mana-mana, maka banyaknya kejahatan dan kesalahan Orde Baru ini justru menjadi titik lemah para pendukung atau simpatisan rejim militer Suharto dkk. Sekarang sudah bisa dilihat bahwa tokoh-tokoh Orde Baru tidak bisa -- atau sulit sekali -- membantah adanya kejahatan dan kesalahan yang sudah berlangsung begitu lama terhadap begitu banyak orang itu. Dalam hal ini para pendukung Orde Baru adalah defensif sekali. Ini wajar sekali, sebab sudah jelaslah bagi banyak orang bahwa Orde Baru adalah difihak yang salah !

Sebab, sekarang kita bisa tahu lebih jelas atau dengar lebih banyak tentang bagaimana kejamnya atau biadabnya penyiksaan yang dilakukan sebagian golongan militer (persisnya TNI-AD) terhadap banyak sekali anggota, simpatisan, dan para kader PKI , dalam interogasi selama tahanan, dalam usaha menghancurkan kekuatan politik Bung Karno dan PKI. Sekarang diketahui bahwa orang-orang yang dianiaya atau disiksa itu adalah orang-orang yang tidak bersalah apa-apa, dan tidak ada keterkaitannya sama sekali dengan G30S. Bahkan, di antara mereka itu banyak yang tidak mengerti sedikitpun atau tidak tahu-menahu tentang peristiwa itu. Banyak sekali kesaksian-kesaksian yang membuktikan bahwa cara-cara penganiayaan atau penyiksaan itu sudah menyamai kebiadaban yang dilakukan oleh fasisme Nazi Hitler dan Kenpeitai Jepang.


MENERUSKAN KETIDAKADILAN ADALAH MEMPERBANYAK DOSA

Kalau dilihat secara keseluruhan, para korban peristiwa 65 yang sekarang memperjuangkan tuntutan mereka yang adil (yaitu memulihkan hak-hak mereka di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan) sebenarnya, dan akhirnya, berarti tidak hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri saja, tetapi juga untuk kebaikan seluruh bangsa dan anak-cucu kita. Karena, kasus para korban peristiwa 65 sudah jelas-jelas menjadi beban moral bangsa atau sudah menjadi aib bangsa yang memalukan. Atau, sudah menjadi dosa besar bangsa. Jadi, menyelesaikan kasus para korban peristiwa 65 sebenarnya berarti menghilangkan aib dan dosa besar bangsa, yang sudah membikin buruk sekali martabat bangsa Indonesia puluhan tahun, termasuk di mancanegara.

Kalau direnungkan dalam-dalam, sesungguhnya tidak ada keuntungan bagi siapapun, dan dari kalangan atau golongan yang manapun – termasuk bagi mereka yang menjadi pendukung Orde Baru -- untuk meneruskan kesalahan besar atau melanggengkan kejahatan ini lebih lama lagi. Diteruskanya perlakuan yang jelas-jelas tidak mencerminkan perikemanusiaan, atau sama sekali tidak menunjukkan peradaban -- dan juga tidak menunjukkan keadilan bagi sesama makhluk Tuhan dan sesama warganegara Republik Indonesia ini -- , adalah hanya memperbanyak dosa besar. Dan hanyalah mendatangkan keburukan bagi bangsa dan mewariskan aib kepada generasi yang akan datang. Inilah yang harus disadari betul-betul oleh banyak tokoh-tokoh masyarakat dan bangsa kita, baik yang di kalangan pemerintahan dan lembaga-lembaga, maupun yang di kalangan partai-partai politik, kalangan agama, dan kaum intelektual.

Mengingat pengalaman yang sudah dilewati oleh bangsa kita selama 40 tahun, maka bisalah kiranya kita tarik pelajaran bahwa berbagai kesalahan besar (dan banyak kejahatan berat) yang dilakukan oleh golongan militer (terutama TNI-AD) dengan Orde Barunya, tidak boleh terulang lagi, dalam bentuknya yang bagaimanapun juga, dengan cara apapun juga, dan dengan dalih apapun juga! Sudah terlalu banyaklah kiranya kerusakan, pembusukan, penderitaan dan penganiayaan yang terjadi dalam jangka waktu yang begitu lama yang dialami sebagian besar rakyat, termasuk penderitaan keluarga para korban pembunuhan massal tahun 65 dan para tapol beserta keluarga mereka.

Hanya orang-orang yang fikirannya sudah dikeruhkan oleh berbagai pandangan yang sesat, atau hanya golongan yang tidak memiliki kesalehan sosial sama sekalilah yang akan tetap senang dengan dilanggengkannya ketidakadilan dan ketidakperikemanusiaan yang sudah begitu menyolok secara sangat keterlaluan ini. Juga hanya tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh negara yang sesat imannyalah yang masih terus menganggap baik diteruskannya perlakuan terhadap para korban 65.

Dalam memperingati 40 tahun peristiwa 65, kita semua patut mengingatkan para tokoh masyarakat dan tokoh negara kita bahwa jiwa bangsa kita akan terus menjadi jiwa bangsa yang sakit selama kasus para korban peristiwa 65 ini tidak mendapat penyelesaian secara adil. Kita tidak bisa sama sekali menamakan diri sebagai bangsa yang beradab dan tidak pula patut membanggakan diri sebagai ummat beriman kalau puluhan juta orang masih terus kita biarkan dibikin menderita berkepanjangan. Kita akan tetap terus menjadi bangsa yang menyandang aib besar dan memikul dosa berat. Oleh karena itu, aib besar dan dosa berat ini harus kita buang jauh-jauh. Makin cepat makin baik.

Paris, 6 Agustus 2005