SETELAH SEPEREMPAT ABAD
Oleh JJ. Kusni
Desember tahun 2007 ini, Koperasi Restoran Indonesia [SCOP Fraternité],
Paris, genap berusia seperempat abad. Barangkali dari segi bisnis, untuk suatu
usaha produktif, apalagi didirikan dan dikembangkan oleh orang-orang yang
tadinya tidak mempunyai latarbelakang bisnis, bisa bertahan dan berkembangnya
suatu kegiatan jenis begini, bukanlah hal sederhana. Riwayat apa-bagaimana
serta lika-liku usaha produktif ini lahir dan berkembang, bisa dibaca dalam
buku JJ. Kusni "Membela Martabat Diri Dan Indonesia. Koperasi Restoran
Indonesia di Paris" [ Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2005], buku yang oleh
Koperasi dipandang sebagai buku standar tentang Koperasi Restoran Indonesia
Paris. Ia pun bisa diketahui melalui filem yang dibuat oleh Dhany Agustinus,
dosen Fakultas Seni Perfileman dari Institut Kesenian Jakarta [IKJ], yang
sekarang melanjutkan studi S2nya di Paris, pekerja filem yang pernah melakukan
studi di akademi filem terkemuka Eropa di Paris, Fimes.
Kata-kata Goenawan Mohamad yang tercatat di buku tamu koperasi di antara sekian
banyak kesan para tamu, barangkali bisa merumuskan menjawab pertanyaan tentang
arti Koperasi Restoran Indonesia di Paris ini. Goenawan Mohamad dalam buku
tamu koperasi menulis antara lain, bahwa: "Sejarah Indonesia tercatat
di sini dengan kerinduan, kesedihan, tapi njuga kehangatan" atau dalam
kata-kata Yuli Mumpuni, mantan AtasePers KBRI di Paris:"RI [Restoran
Indonesia] , benar-benar DUTA BANGSA". Jika dilihat dari konteks sejarahnya,
barangkali Koperas Restaurant Indonesia Paris pada masa Orba, bisa disebut
sebagai "Indonesia yang lain" [the other Indonesia] untuk memberi
varian kepada kata-kata spanduk orang-orang Mindanao Filipina dan ucapan warga
Conakry [Afrika], ketika menyambut kunjungan Soeharto sebagai Presiden Orba
saat berkunjung ke negeri-negeri tersebut. Atau jika meminjam istilah orang-orang
Perancis yang setia pada Koperasi, "restaurant pas commes les autres"
[restoran
yang lain dari yang lain].
Pada saat memperingati usia seperempat abad usaha produktif koperatif ini,
sebagai salah seorang pendirinya, saya ingin melihat ulang seperangkat nilai
yang
tersimpan dibaliknya. Seperangkat nilai ini, barangkali mempunyai arti lebih
hakiki dari perujudan fisik sebuah restoran. Barangkali pula mempunyai nilai
lebih jauh, baik dari segi waktu mau pun lingkup geografis.
Apakah gerangan itu? Apabila merenungkannya kembali, maka saya melihat adanya
hal-hal berikut:
1. Semangat bertarung:
Seperti diketahui, para pendiri koperasi adalah mereka yang mencari suaka
politik di Perancis dan jumlahnya tidak banyak dibandingkan dengan yang ada
di Negeri Belanda, Jerman atau Skandinavia. Mereka berasal dari berbagai negeri
dengan latarbelakang profesi berbeda-beda dan sama sekali tak ada kaitannya
dengan usaha restoran. Ada yang wartawan, ada yang penulis, ada guru di universitas,
ada yang dokter bedah, insinyur kapal , listrik dan lain-lain...
Mereka tidak ingin tergantung pada belas kasihan pemerintah Perancis.Tidak
juga ingin tergantung pada bantuan sosial yang terbatas waktu dan jumlahnya.
Karena itu mereka dipaksa untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Sebagai suaka
politik, mereka tidak mempunyai uang untuk berusaha. Yang mereka punya hanyalah
ide. Ide inilah yang mereka jual untuk mendapatkan modal awal berusaha. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Dr. Gunawan Wiradi dalam catatan kesannya ketika berkunjung
ke koperasi: "For a fighting idea there is no journey end" atau
jika menggunakan kata-kata filosof Perancis Diderot "cogito ergo sum"
[karena berpikir membuat diriku ada].
Keadaan memaksa orang-orang pencari suaka politik sebagai akibat perobahan
politik di Indonesia, untuk bertarung guna survive secara berharga diri dan
bermartabat. Membela kemanusiaan diri sendiri. Bisa menatap orang lain lurus
pada mata dan bukan sebagai pengemis belaskasihan. Keadaan melahirkan ide
dan semangat tarung. Keadaan bukan hanya membuat mereka "mencoba tidak
menyerah" tapi "tidak boleh menyerah". Saya melihat ada perbedaan
besar antara "mencoba tidak menyerah" dan "tidak boleh menyerah".
Dua kalimat ini mengandung dua pandangan hidup mendasar. Para pencari suaka
politik di Perancis yang kemudian mendirikan Koperasi Restoran Indonesia bukan
penganut ide "mencoba tidak menyerah" tapi "tidak boleh menyerah".
Menolak nasib dan fatalisme. Yang jika menggunakan ungkapan manusia Dayak
adalah hidup sebagai "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang
putera-puteri naga] sejalan dengan pandangan Diderot di atas. [Jika demikian,
mengapa kita ternganga-nganga melihat
Barat melulu, sementara kita pun punya logika yang tak terlalu ketinggalan
jika kita mengenalnya! Apakah gejala ini bukannya gejala rasa rendah diri
sambil menyebut diri manusia mereka dan putera-puteri Indonesia? Tidakkah
gejala begini memperlihatkan bahwa sambil menyebut diri putera-puteri bangsa
dan negeri merdeka tapi pada kenyataannya ,kita asing dari negeri dan bangsa
sendiri sekali pun misalnya kita hidup di negeri itu sendiri, dengan mentalitas
anak dan bangsa terjajah?].
Bertarung sesuai konsep "rengan tingang nyanak jata" untuk memanusiawikan
diri, manusia, kehidupan dan masyarakat, membela martabat diri, terkesan padaku
sampai hari ini, merupakan salah nilai dasar yang terdapat dibalik pembangunan
Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Semangat ini agaknhya diresapi oleh
semua anggota Koperasi sampai kepada angkatan ketiga yang mengelolanya sekarang.
Dengan semangat ini, para anggota Koperasi tidak segan menolak melayani bahkan
mengusir tamu yang mereka pandang menyentuh martabat kemanusiaan dan hitam
di atas putih tercantum dalam 10 etika bagi para tamu Koperasi. Dari apa yang
saya amati langsung, nampak bahwa semangat tarung dan martabat diri, baik
sebagai individu mau pun sebagai bangsa sampai sekarang. Koperasi oleh para
anggota dirasakan sebagai diri mereka sendiri sekaligus sebagai pewujudan
bangsa di tengah pergaulan antar bangsa di sini. Ketika menghadapi para tamu
dari berbagai negeri, tanpa kompleks, bahkan penuh percaya dan
harga diri, mereka merasakan diri mereka mewakili bangsa dan negerinya.
Harga diri, semangat tarung, jika kurenungi ulang, tentulah bukan harga diri
dan semangat tarung membuta dan asal-asalan. Semangat tarung dan martabat
diri, kukira tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai manusiawi dan di sini tertuang-ungkap
dalam kata-kata "SCOP FRATENRNITE RESTAURANT INDONESIA" serta pemajangan
Bendera Merah Putih dan lambang Garuda di tembok Koperasi.
Pertanyaan kemudian muncul pada diri saya, bagaimana tanahair kita hari ini
dilihat dari semangat tarung dan martabat diri manusiawi? Apakah kita bisa
disebut bangsa dan negeri yang bermartabat manusiawi? Ataukah masih menjadi
bangsa dan negeri koeli di antara koeli yang bermentalitas koeli? Sekedar
pertanyaan tanpa keraguan bahwa Indonesia masih merupakan negeri di mana kita
tetap bisa berharap.
Paris, November 2007
-----------------------------
JJ. Kusni, salah seorang pendiri Le SCOP Fraternité Restaurant Indonesia,
Paris.
* * *
SETELAH SEPEREMPAT ABAD [2]
Semangat tarung ini muncul setelah para anggota menyadari akan arti koperasi,mengerti
bagaimana cara kerja berkoperasi, lalu merasa diri mereka memiliki dan bagian
dari koperasi. Apalagi ketika mereka merasa bahwa di negeri orang, hidup mereka
tergantung dari majumundurnya usaha produktif bersama ini. Semangat tarung
hanyalah salah satu ujud kongkret dari kesadaran anggota. [Jika demikian,
apakah koperasi merupakan bentuk usaha produkltif yang kadaluwarsa dan tidak
tanggap zaman? Orba dan prakteknya yang barangkali mencemarkan nama koperasi].
Sebagai ilustrasi di sini saya ingin bercerita sedikit tentang sikap Kadeg,
asal Bali, dan Yuyus, anak kampung Tanggerang, lulusan S1 sebuah universitas
di Jakarta dan sekarang sedang melanjutkan pelajarannya di Paris di bidang
komputer.
Kalau pulang ke Bali, tanpa keengganan dan keluhan sedikit pun, Kadeg selalu
saja membawa sesuatu untuk restoran. Membawa gapura besar dari triplek, topeng-topeng
Bali dan sebagainya untuk Restoran. Padahal dengan membawa barang-barang yang
memakan ruang serta tidak ringan ini di pesawat terbang, berarti ia harus
mengurangi barang-barang pribadi yang mesti dibawa. Apabila teman-teman lain
yang tinggal di banlieu [pinggiran kota] terpaksa pulang mengejar kereta malam
terakhir, Kadeg lah yang dengan tenang menyelesaikan semua pekerjaan tersisa
dan menumpuk sampai tuntas. Apabila tamu-tamu sudah tidak ketanganan oleh
teman-teman yang sedang servis, dia pun bisa dipanggil sewaktuwaktu dan ia
dengan sigap membantu tanpa memperdulikan rasa lelahnya. Padahal saat dipanggil
membantu, jam kerjanya sudah rampung.
Tenaga Kadeg, apalagi dia satu-satunya anggota Koperasi yang tinggal tak jauh
dari Restoran, menjadi lebih banyak lagi diperlukan oleh Koperasi pada saat-saat
berlangsungnya pemogokan besar-besaran seperti sekarang yang hampir melumpuhkan
transpor umum. Dari Kadeg dituntut semangat yang disebut "bertempur terus-menerus
tanpa mengenal lelah". Dan saya sungguh mengagumi serta menghargai semangat
anak muda dari Bali ini yang tanpa keluh-kesah melaksanakan hal demikian penuh
kesadaran dan tanggungjawab. Ia merupakan salah sseorang tenaga teras Koperasi
yang sekarang hanya berjumlah 9 orang. Jumlah ini mewajibkan kami untuk bekerja
sesuai prinsip "administrasi sederhana tapi efektif atau bermutu".
Dengan demikian, semua tenaga, kemampuan dan kebolehan saling isi, diperlukan
dan sangat dihitung.
[Apakah administrasi di negeri kita sekarang sudah melaksanakan prinsip ini?!
Di banyak tempat, sering kusaksikan para pegawai negeri main catur dan ongkang-ongkang
kaki. Posisi dijadikan sumber penghasilan memperkaya diri.]
Semangat serupa juga terdapat pada Yuyus, Marko [tekhnisi Koperasi] dan yang
lain-lain. Tanpa mengabaikan semangat tarung teman-teman lain, pada kesempatan
ini saya ingin mengangkat sikap Yuyus. Ia tinggal di luar kota dan juga merupakan
tenaga teras. Pada saat-saat pemogokan besar seperti sekarang, ia tidak bisa
pulang ke rumah dan terpaksa bermalam di restoran. Sedangkan esoknya ia harus
sekolah. Sementara, Didien, [biasa dipanggil Bu Didien oleh anggota-anggota
muda koperasi dan yang menganggapnya sebagai ibu mereka sendiri], salah seorang
penanggungjawab Koperasi, karena tinggal di kota Paris, sering pulang jalan
kaki. Paris yang kota memang masih terjangkau dengan jalan kaki walau pun
cukup melelahkan apalagi setelah kerja keras ditambah sengatan dingin musim
yang ganas. Bu Didien tidak mau sering-sering menggunakan taksi agar menghemat
uang Koperasi.
Kadeg, Yuyus, Bu Didien termasuk angkatan penerus yang menjadi tenaga pokok
sekarang di Koperasi.
Sedangkan Bung Umar Said, walau pun fisiknya digerogoti usia dan penyakit,
saban datang ke Restoran senantiasa saja ingin melakukan sesuatu membantu
teman-teman yang sedang bekerja. Sehabis makan, tidak pernah ia selalu mencuci
piringnya sendiri. Teman-teman saja yang tidak mau Bung Umar melakukan hal
itu dan membantu. Kalau Bung Umar ngotot, ia sering ditegur: "Sudahlah
Bung, sudahlah Pak, Bung/Bapak hanya mengganggu kami saja. Bung/Pak Umar ngomong
saja dengan tamu-tamu". Baru dengan teguran demikian, Bung Umar undur.
Kesanggupan melakukan hal-hal di atas, saya kira hanya mungkin jika memiliki
semangat tarung yang lumayan. Dan semangat tarung ini lahir dari kesadaran.
Di dunia kemiliteran, semangat tarung, saya kira, memang merupakan salah satu
faktor penting bagi pasukan yang sedang bertempur. Kecanggihan peralatan,
tidak menjadi jaminan kemenangan tempur karena yang menentukan seperti umum
diketahui adalah "man behind the gun". Manusia yang bertarung. Apakah
saya keliru membandingkan bahwa para anggota Koperasi Restoran Indonesia Paris
adalah satu pasukan, adalah satu tim yang utuh? Dalam bekerja, tak ada yang
membuat garis batas kaku bahwa "kau di dapur, aku di servis tamu".
Semua berpatokan: "tamu itu raja", "tamu itu memberikan kita
penghasilan karena itu harus dilayani cepat, sopan dan rapi, sebaik mungkin".Semua
berpatokan bahwa "kita sedang mewakili Indonesia", saling tegur
langsung atas dasar prinsip ini, apalagi sekarang, semua anggota Koperasi
adalah orang-orang Indonesia. Tak ada pekerja dari Madagaskar, Mungthai, Korea,
Chili, Perancis, Afrika, Malaysia, dan lain-lain....
Semangat tarung adalah salah satu jiwa Koperasi, tapi dan tidakkah memang
bahwa hidup pun sesungguhnya adalah suatu medan pertarungan yang ganas tak
berbelas kasihan yang tak memerlukan rataptangis untuk menghadapinya? "Mati
lebih gampang daripada hidup" , ujar Louis Aragon, si penyair Perancis.
Lalu?
Jika kematian adalah yang paling pasti dalam kehidupan maka mengapa tidak
kita berkata dan bersikap bersama Chairil Anwar:
"sekali berarti sudah itu mati"
atau sebelum mati
"membangun monumen kasihsayang pada manusia"
jika menggunakan kata-kata Cie Lan bersama Kang Seto, temanku yang sekarang
mengasuh anak-anak sejak balita di Klaten? "Esok bangsa ada di tangan
anak-anak", ujar Cie Lan -- tokoh perempuan perkasa yang bangkit dari
keterpurukan sejak usia 12 tahun. Membangun "monumen", tanda manusia
memang kalah tapi juga tak terkalahkan seperti keuletan Sysiphus. Tanda harapan
adalah matahari tak rontok sekali pun diliput awan. "Hidup adalah menerjang
badai" [Against the Wind], jika menggunakan ungkapan May Teo dalam novelnya
yang segera diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung, penulis Indonesia-Singapura.
Koperasi Restoran Indonesia adalah ujud jerihpayah mandi keringat dan airmata
segelintir kecil putera-puteri Indonesia dalam "menerjang badai"
juga adanya dengan semangat tarung "Rukmanda" yang dikisahkan oleh
A.S. Dharta alm.[Lihat:Antologi puisi: "Rangsang Detik"]. Ah, barangkali
saja.
Hanya apakah yang kita akan dapatkan tanpa bertarung? Apakah yang kita akan
perolehi, jika hidup asal hidup tanpa memaknai arti kehidupan? Hidup asal
hidup apakah bukan kematian selagi hidup? Hidup adalah sebuah filter yang
menyaring kadar kita. Koperasi Restoran Indonesia Paris, barangkali, memang
sebuah monumen kolektif putera-puteri negeri yang tersingkir dan dipinggirkan
di mana tercatat sejarah bangsa dan negeri, duka, derita serta harapan yang
bak matahari yang masih terus difilter sebab "daya tahan seekor kuda
diuji dalam perjalanan jauh", ujar pepatah Tiongkok Kuno. Seperempat
abad belum bisa dikatakan sudah menghitung apa-apa di dunia yang penuh teka-teki
tak pernah usai ditebak.***
Paris, November 2007
----------------------------
JJ. Kusni
* * *
SETELAH SEPEREMPAT ABAD [3]
2. Kemandirian:
Unsur kedua yang tersimpan dibalik pendirian dan pengembangan Koperasi Restoran
Indonesia, sebatas pemahaman saya, adalah faktor semangat kemandirian, . yang
barangkali, jika menggunakan istilah Bung Karno, bisa dikatakan sebagai semangat
"berdiri di atas kaki sendiri"[berdikari]. Bagaimana tidak saya
sampai pada pemahaman begini ketika merenungi praktek 25 tahun Koperasi ini?
Para pendirinya datang ke Perancis untuk mencari negeri berlindung sebagai
suaka politik. Uang di kocek kurang dari pas-pasan. Untuk sewa apartemen dan
hidup sehari-hari pun kurang dari pas-pasan. Jika menggunakan cara orang Jawa
berkata: "Masih untung kita orang Indonesia biasa hidup dengan uang pas-pasan"
atau dengan ungkapan orang Belanda "bangsa yang bisa hidup dari uang
sebenggol". Bisa hidup dari nasi dan garam saja. Tunjangan dari Jawatan
Penggangguran yang didapatkan berkat kertas dari OFRA [Organisasi Perancis
untuk Pencari Suaka dan Yang Terlempar dari Tanahair] sangat minim dan tidak
langgeng. Berbeda dengan dugaan sementara orang di Indonesia yang membayangkan
kami nyaman karena makan keju dan roti. Sementara harga singkong 6 cm lebih
mahal dari sebungkus keju dan sebotol susu.
Ijazah akademi -- bagi yang sempat membawanya -- tidak pasti laku dan diseterakan
bagi orang kulit berwarna , khusus pencari Indonesia yang dicap komunis.Apalagi
kami datang pada saat golongan kanan berkuasa, kecuali bagi sementara teman
yang datang kemudian secara "lenggang kangkung" ketika golongan
kiri berkuasa [Mei 1981, Mitterrand terpilih jadi presiden menggantikan Giscard
d'Estaing], dan sudah ada teman yang mendahului mereka, walau pun Bung Umar
Said dan saya sempat dipanggil pihak kepolisian sesudah kedatangan teman-teman
yang datang secara "lenggang kangkung" ini dengan dugaan melakukan
"perdagangan manusia".
Dalam keadaan begini, dengan semangat dan dipaksa bertarung, kami dipaksa
untuk bertarung mencari jalan menjamin kehidupan tanpa tergantung pada bantuan
pemerintah Perancis, terutama bagi pekerjaan bagi teman-teman lanjut usia
yang datang belakangan dengan syarat lebih gampang. Kami yang datang lebih
dahulu, relatif sudah mendapat sandaran ekonomi betapa pun sederhananya.
Untuk mengatasi hal ini, kami berdiskusi mencari jalan keluar dan berkputusan
untuk membangun Koperasi Restoran Indonesia. Dengan membangun restoran, kita
bisa menyerap banyak tenaga kerja dan cash flownya bersifat segera. Masalah
berikutnya: Darimana dan bagaimana mendapat modal sementara kita sendiri sangat
tidak mungkin memodalinya. Untuk keperluan ini, maka disusunlah suatu rencana
usulan dan rentabilitasnya di mana Bung Umar Said, sebagai orang kedua suaka
politik Indonesia di Perancis, menyusunnnya dengan memetik pengalaman Perancis
dan bantuan teman-teman Perancis. Ide yang terumuskan dalam proyek usulan
inilah yang kemudian dijual ke pemerintah, LSM-LSM internasional dan teman-teman
seluruh dunia yang berisimpati terhadap Indonesia serta anti militerisme.
Dalam menjual "proposal" ini, yang dijadikan kartu as atau trup
adalah kata "suaka poilitik", mengatasnamai semua teman yang mencari
status suaka politik dan sudah mendapat status suaka politik. Tanpa menggunakan
"dua kata majik ini, rasanya tidak mungkin lahir yang sekarang dikenam
"Koperasi Restoran Indonesia".
Benar bahwa masing-masing individu terkait memberi sumbangan sesuai kemampuan, tapi adalah keliru memandang bahwa lahirnya Koperasi Restoran Indonesia, yang merupakan panji bersifat khusus di Eropa pada masa Orba, sebagai karya dan jasa invidual. Koperasi Restoran Indonesia Paris bisa berlangsung sampai 25 tahun, bukan tergantung pada satu dua individu tapi berkat kebersamaan. Adalah keangkuhan tak tahu diri individualis, manipulator narsis, jika mau jujur, yang menganggap dan merasakannya demikian. Hanya orang rabun yang tak tak tahu apa-apa tentang sejarah dan perkembangan Koperasi ini bisa bertahan dan berkembang jika berpandangan demikian. Dua puluh lima tahun bersama, memberikan cukup waktu untuk mengenal kekuatan dan kelemahan masing-masing anggota Koperasi. Yang selalu kami usahakan adalah menggunakan unsur positif dari masing-masing. Jika di sini ada "pahlawan", maka ia adalah kebersamaan dan keterbukaan tanpa tedeng aling-aling. Maka adalah satu kesalahan dan dusta besar individualis pengejar nama, narsis, jika ada yang menganggap bahwa Koperasi Restoran Indonesia di Paris ini sebagai milik dan jasa pribadinya sampai ia bisa bertahan 25 tahun. Secara teori dan kenyataan, pandangan dan sikap begini tidak bisa dipertanggungjawabkan dan melawan kenyataan. Dengan kata-kata ini, saya hanya ingin menempatkan masalah di tempat sebenarnya, baik secara teori mau pun kenyataan tanpa memasuki rinciannya. Hubungan antara individu dan massa adalah suatu masalah teoritis. Juga yang disebut pahlawan.
Koperasi Restoran Indonesia, yang mestinya bisa berkembang lebih jauh, adalah
ujud dari kemandirian kolektif. Benar, bahwa dalam kemandirian kolektif ini
, sumbangan individual ada yang besar dan ada yang kecil, tapi seperti kata
Chairil Anwar: "semuanya patut dicatat", "semuanya dapat tempat",
menggunakan kata-kata Ho Chi Minh : "bendera kecil dan besar semua dihitung"
[lihat: antologi pusi: "Catatan Harian Di Penjara"]. Pahlawan pun
lahir tak lepas dari massa dan tuntutan zaman. Massa, dalam pandanganku, tetap
pahlawan sejati. Pahlawan adalah primus inter pares yang dilahirkan massa
dan zaman.
Semangat kemandirian melahirkan dan merupakan ujud martabat serta harga diri
sebagai anak manusia. Diplomasi dan lobbi pun berfungsi pada saat ada martabat,
harga diri dan kekuatan diri sendiri yang mandiri. Tanpa kekuatan diri dan
kemandirian, lobbi dan diplomasi hanya menjual abab dan gelembung sabun. Ini
juga berlaku dengan lahir dan berkembangnya Koperasi Restoran Indonesia Paris.
Sama sekali tak ada hubungannya dengan nama tokoh salah satu partai politik
apa pun. Sebagai usaha produktif dan menciptakan kerja untuk diri sendiri
sekaligus pusat kebudayaan Indonesia, Koperasi tak berurusan dengan partai
dan nama pimpinan politik apa pun. Tak pernah ada poster politik atau LSM
internasional dipajangkan kecuali bendera Merah Putih dan Garuda Indonesia.
Jika mau mencari contoh lain tentang hasil kemandirian ini, barangkali bisa
dilihat juga pada lahirnya Pulau Buru yang sejak kedatangan para tapol yang
dituduh PKI. Buru baru dibangun oleh para tapol dengan dua tangan kosong.
Dari contoh ini, barangkali kita bisa mereka dan membayangkan Indonesia yang
lain bida dibangun dengan semangat mandiri/berdikari [bukan autakarki] tanpa
menjadi bangsa koeli dan budak, entah budak dan koeli dari IMF atau Bank Dunia.
Individualisme adalah awal kediktatoran, dan sisa dari paternalisme, sekeluarga
dengan feodalisme, militerisme dan orangtuaisme yang sering menggunakan selubung
dan jubah "kiri". Di mulut sering kita menyatakan bahwa kita anti
semua ini, tapi dalam praktek kita melakukannya."Lain di bibir lain di
hati", karena "lidah tak bertulang", ujar tetua kita menyimpulkan
pengalaman.
Bung Umar Said dan saya sendiri, yang sudah mendapat pekerjaan, betapa pun
sederhananya, untuk mendapatkan bantuan pemerintah guna mendirikan koperasi
restoran ini, sukarela menganggurkan diri. Karena di sini ada kolusul undang-undang
bahwa pemerintah Perancis akan membantu para penganggur yang berprakarsa menciptakan
pekerjaan sendiri. Pengangguran diri sukarela ini, dimaksudkan sebagai salah
satu cara mencarikan modal awal mendirikan koperasi restroan.
Hal ini terpaksa saya katakan untuk menjawab heroisme individualis sebagai
sisa pola pikir, konsepsional, dan mentalitas tak sehat karena keterbatasan
pandangan dan ketidaktahuan sehingga sanggup mengabaikan kenyataan, lalu omong
asal omong. Dari segi ini , saya melihat bahwa lahir dan berkembangnya Koperasi
Restoran Indonesia, sekaligus sebagai ujud dari ajang pergulatan pikiran,
pola pikir, mentalitas, sikap dan tafsir hakiki.
Semangat kemandirian yang lahir dari keadaan dan keinginan menghargai diri
sendiri serta menjaga martabat diri, memberikan akal dan prakarsa agar kita
menolak menyerah menarungi garangnya hidup. Tegak sebagai tokoh Rukmanda-nya
Kalara Akustia.
Sekarang, saya merenung dan bertanya, apakah semangat kemandirian/ berdikari,
merupakan sikap kadualuwarsa untuk keluar dari kemelut negeri dan bangsa sekarang?
Ataukah suatu jalan keluar yang layak dipikir ulang?
Sejak hampir tiga puluh tahun, di Pontianak kami menjawab kongkret pertanyaan
ini melalui kegiatan-kegiatan Konsursium Pancur Kasih, yang bisa dibilang
bergiat lebih dahulu dari Moh. Yunus, penerima Nobel dari Bangladesh, dan
mendapatkan hasil-hasil nyata yang tidak mengecewa, hanya kurang pemberitaan.
Bertolak dari praktek-praktek ini, termasuk dalam praktek mendirikan dan mengembangkan
Koperasi Restoran Indonesia Paris, serta apa yang pernah saua rintis ketika
bekerja di Indonesia selama beberapa tahun, saya masih mengatakan bahwa Indonesia
tetap sebagai suatu negeri di mana kita tetap bisa berharap betapun amburadulnya
sekarang.Kiranya tidak ada alasan pesimis jika kita percaya pada rakyat Indonesia
sebagai bangsa yang mampu dan berkebolehan serta bisa mencari jalan keluar
dari kemelutnya? Jika kita bisa tidak buta aksara dan bisa membaca? Kemandirian
, harga diri dan martabat diri menyusur jalan Republik dan berkeindonesiaan,
adalah arah dari suatu pilihan politik penye
lenggara Negara. Barangkali! Di Paris, Koperasi Indonesia sudah melakukannnya
dan sampai sekarang bisa serta tanggap zaman. Koperasi di tengah sistem kapitalistik
atau Negara Kesejahteraan! Di Kalbar dan sekarang mulai menyebar ke seluruh
Kalimantan usaha serupa mulai menyebar tanpa menunggu Jakarta.***
Paris, Npvember 2007
-----------------------------
JJ.Kusni