“KEADILAN” YANG BERBEDA–BEDA
AKAN DITENTANG RAKYAT
(Oleh : A. Umar Said)
Agaknya, sekarang makin jelas bagi banyak orang di Indonesia bahwa mental yang jujur, atau moral yang sehat, atau akhlak yang baik, adalah syarat yang penting untuk dimiliki oleh para penyelenggara negara dan pemimpin masyarakat, di samping pemilikan kecakapan, pengetahuan atau ketrampilan (profesionalisme) yang memadai. Orang-orang yang memiliki ketinggian integritas semacam itulah yang bisa diharapkan untuk melaksanakan amanat rakyat dalam menangani berbagai urusan negara dan masyarakat. Dan hanya orang-orang yang sungguh-sungguh menghayati amanat rakyatlah yang bisa diharapkan melahirkan dan juga menjalankan sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum dan peradilan, yang bisa mendatangkan kebaikan bagi kepentingan umum.
Sayangnya, ,justru orang-orang semacam itulah yang langka (artinya : tidak
banyak!) ditemukan oleh bangsa kita sejak puluhan tahun terakhir ini. Seperti
yang sudah disaksikan oleh banyak orang, tiga puluh tahun Orde Baru telah
melahirkan banyak “tokoh-tokoh” di bidang eksekutif, legislatif,
judikatif, dan juga “pemimpin-pemimpin” masyarakat (dari berbagai
partai, golongan agama dan suku atau keturunan) yang justru telah ikut ambil
bagian dalam menimbulkan kerusakan-kerusakan parah dalam kehidupan bangsa.
Begitu banyaknya kerusakan-kerusakan itu (terutama kerusakan akhlak di kalangan
“atas”) sehingga banyak orang di Indonesia sudah makin jenuh terhadap
para “tokoh” dan “pembesar”, atau makin muak terhadap
pemimpin-pemimpin partai politik. Gejala krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga
pemerintahan atau kepada hukum juga makin terasa di mana-mana.
Dalam rangka inilah pidato Presiden Megawati saat membuka Rapat Pimpinan Kejaksaan
Tahun 2001 di Istana Negara, Jakarta, Senin (3 September) perlu mendapat perhatian
kita semua. Dalam beberapa bagian pidatonya itu ia mengangkat beberapa soal
yang penting, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
PENTINGNYA KARAKTER DAN MENTAL YANG BAIK
« Tidak seorangpun atau lembaga lain manapun, bahkan tidak pula presiden
dapat melakukan pembenahan dari rusaknya kepercayaan masyarakat kepada jajaran
dan institusi kejaksaan, kecuali oleh jajaran kejaksaan sendiri. Pembinaan
faktor karakter dan mentalitas sumber daya manusia yang menjadi pelaksana
di kejaksaan harus memperoleh perhatian dari semua pimpinan dalam jajaran
kejaksaan. Hal ini tidak mengenyampingkan pentingnya penguasaan pengetahuan
hukum dan peningkatan ketrampilan para jaksa itu sendiri. Telah banyak pelajaran,
betapa penguasaan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi sekali pun, bila
tidak disertai karakter dan mental yang baik, juga mendatangkan hasil yang
tidak diinginkan,” tegas Presiden Megawati.
Oleh karena itu, Presiden Megawati memandang, bahwa saat ini sebagai waktu
yang tepat bagi para pimpinan kejaksaan untuk menjawab semua tantangan itu.
“Cobalah, walau itu akan memakan waktu untuk sedikit demi sedikit menghapus
olok-olok, bahwa kejaksaan adalah institusi yang memperdagangkan perkara,
seperti halnya lembaga peradilan yang seringkali juga diolok-olok sebagai
tempat memperdagangkan keadilan,” jelasnya.
Presiden menilai hal ini sebagai suatu yang penting, karena rakyat Indonesia
sekarang semakin berkembang, bukan lagi rakyat yang nrimo, yang sekadar diam
dan menerima apapun terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitar kehidupannya.
Sebaliknya, rakyat Indonesia telah bertambah pandai dan kritis dalam menilai
serta bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap sebagai penyimpangan dari norma
kepantasan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Presiden Megawati tetap meyakini
rakyat Indonesia sebagai rakyat yang baik, yang siap menghadapi kesulitan
bagaimanapun bentuk dan ukurannya. “Mereka siap menerima perbedaan dalam
kehidupan ini, tetapi tidak dalam satu hal, yaitu keadilan yang berbeda. Marilah
kita berikan keadilan itu secara sama kepada mereka,” tandas Presiden.
(Kompas, 3 September 2001)
SEMUA DIPERDAGANGKAN AKIBAT AKHLAK BOBROK
Dalam konteks situasi di tanah-air dewasa ini, pidato Presiden Megawati di
depan rapat kerja Kejaksaan se-Indonesia kali ini adalah amat penting. Karena,
seperti yang sudah disaksikan oleh banyak orang selama ini, masalah kejaksaan
(termasuk Kejaksaan Agung) adalah masalah yang sudah lama menjadi salah satu
borok yang menjadikan badan bangsa ini dalam kesakitan yang parah. Kejaksaan
sudah menjadi olok-olok yang macam-macam. Ada yang mengatakan bahwa Kejaksaan
(termasuk yang “Agung” itu) sudah menjadi sarang penyamun. Ada
pula yang mencemoohkan bahwa Kasih Uang Habis Perkara (KUHP) adalah hukum
yang berlaku di lembaga ini (baik di Pusat mau pun di daerah-daerah). Ada
pula yang menyindir bahwa kejaksaan adalah lahan yang paling “basah”.
Apa yang dikatakan Presiden Megawati bahwa “kejaksaan adalah institusi
yang memperdagangkan perkara, seperti halnya lembaga peradilan yang seringkali
juga diolok-olok sebagai tempat memperdagangkan keadilan,” sebenarnya
sudah bukan olok-olok lagi. Sebab, justru inilah yang sudah sering dipraktekkan
oleh kejaksaan pengadilan selama ini (tidak semuanya). Banyak orang yang sudah
mengalami sendiri bahwa suatu perkara bisa di-peti-es-kan, atau diplintir-plintir,
atau direkayasa, oleh komplotan antara pengacara, polisi, jaksa dan hakim
(dan berbagai lembaga lainnya). Sebagai akibatnya, bukan hanya perkara dan
keadilan saja yang sudah diperdagangkan, melainkan juga harga diri, dan kebenaran,
dan kehormatan!!! (tanda seru tiga kali). Kerusakan akhlak sudah membikin
rendah martabat banyak pengacara, polisi, jaksa, dan hakim, gara-gara permainan
uang haram. Sebagai akibatnya, banyak orang yang melakukan berbagai tindakan
pidana (atau perdata) bisa mempermainkan “hukum”, dan menyalahgunakan
tafsir “hukum”, atau berlindung di belakang “hukum”,
berkat permainan uang.
Dalam situasi kerusakan akhlak di kalangan “atas” , yang diakibatkan
oleh kultur Orde Baru, maka peran uang haram adalah besar sekali. Itulah sebabnya,
mengapa walaupun korupsi - atau berbagai kejahatan lainnya - sudah merajalela
puluhan tahun, tetapi hanya sedikit sekalilah yang pernah dihukum. Sebab,
pemeo bahwa di Indonesia semuanya bisa dibeli, memang sudah lama bisa dipraktekkan.
Uang, walaupun haram, sudah menjadi raja! Oleh karena itu pulalah, maka banyak
orang berlomba-lomba secara membabi-buta (dan merajalela) mengejar uang sebanyak
mungkin tanpa menghiraukan apakah caranya haram atau apakah hasilnya nista.
PENTINGNYA KARAKTER YANG BAIK
Ada bagian lain pidato Presiden Megawati yang juga menarik, yaitu ketika ia
mengatakan : “Telah banyak pelajaran, betapa penguasaan pengetahuan
dan ketrampilan yang tinggi sekali pun, bila tidak disertai karakter dan mental
yang baik, juga mendatangkan hasil yang tidak diinginkan”. Kebenaran
ucapan ini juga sudah dibuktikan, baik di Indonesia selama ini, maupun di
negara-negara lain. Sudah banyak disaksikan di Indonesia, betapa banyaknya
tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin (termasuk pejabat tingkat atas) yang bergelar
sarjana, atau yang keluaran universitas luarnegeri, yang ternyata kemudian
melakukan tindakan-tindakan kedurjanaan terhadap kepentingan publik. Yang
keterlaluan adalah justru bahwa mereka menggunakan atau menyalahgunakan pengetahuan
dan ketrampilan yang tinggi itu sebagai tabir untuk melakukan perbuatan yang
hina terhadap kepentingan rakyat dan negara.
Ini terjadi di kalangan eksekutif, legislatif, judikatif dan juga di kalangan
swasta. Mereka inilah yang telah membocorkan 30% anggaran pembangunan (yang
merupakan hutang luarnegeri) setiap tahun. Mereka inilah yang menyebabkan
hutang luarnegeri kita menjadi lebih dari 145 milyar $. Mereka inilah yang
membikin bangkrutnya sistem perbankan dan menimbulkan persoalan BLBI dll.
Mereka ini pulalah yang menumpuk harta kekayaan dan hidup dalam kemewahan
luar biasa di balik penderitaan orang banyak. Rakyat diharuskan menanggung
utang yang begitu besar, walaupun utang itu hanya menguntungkan sejumlah kecil
orang-orang kalangan “atas” (baik sipil, militer dan swasta).
Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman bangsa kita selama ini, adalah penting
bagi rakyat untuk dengan gigih mempertahankan haknya yang sah, yaitu melakukan
kontrol terhadap para penyelenggara negara dan juga pemimpin-pemimpin masyarakat,
baik yang di Pusat mau pun yang di daerah-daerah. Adalah perlu disadari oleh
semua orang, bahwa negara ini adalah kepunyaan bersama, atau adalah kepunyaan
rakyat. Negara ini bukanlah hanya kepunyaan para pejabat dan tokoh-tokoh terkemuka.
Para pejabat dibayar dari pajak atau keringat rakyat, untuk mengurus negara,
atas nama dan demi kepentingan rakyat. Kultur Orde Baru telah menumbuhkan
kebiasaan berfikir di kalangan “atas” (baik yang di eksekutif,
legislatif, maupun judikatif) bahwa mereka bisa berbuat semau mereka, walaupun
bertentangan atau merugikan rakyat. Inilah yang harus terus-menerus, dengan
berbagai cara dan bentuk, dilawan bersama-sama. Dalam hal ini, peran kekuatan
pro-reformasi adalah amat penting, termasuk yang terhimpun dalam berbagai
gerakan ekstra-parlementer.
RAKYAT SUDAH MAKIN KRITIS DAN TIDAK “NRIMO” SAJA
Bagian lainnya yang penting dari pidato Presiden Megawati adalah yang menyebutkan
bahwa rakyat Indonesia sekarang sudah makin kritis dan tidak “nrimo”
saja terhadap penyimpangan dari norma kepantasan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Juga, bahwa rakyat siap menghadapi kesulitan bagaimanapun bentuk dan ukurannya.
“Mereka siap menerima perbedaan dalam kehidupan ini, tetapi tidak dalam
satu hal, yaitu keadilan yang berbeda. Marilah kita berikan keadilan itu secara
sama kepada mereka,” tandas Presiden.
Kita patut berharap bahwa ungkapan yang demikian itu memang lahir dari lubuk
hatinya sendiri, dan merupakan keyakinan pribadinya pula. Dan bukanlah hanya
karangan dari seorang speech-writer (pengarang pidato) yang mendapat tugas
untuk membuatnya. Kalau memang dari lubuk hatinya, maka merupakan hal yang
menggembirakan. Sebab, ini bisa diartikan bahwa Presiden Megawati menghargai
– setidak-tidaknya, mengakui – bahwa rakyat sudah kritis dan bahkan
tidak “nrimo” saja terhadap penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan.
Secara implisit (tersirat) bisa diartikan bahwa penolakan rakyat terhadap
“penyimpangan-penyimpangan” (dari norma kepantasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan) dapatlah dimengerti atau dibenarkan.
Dan bahwa rakyat sudah kritis dan tidak “nrimo” saja terhadap
penyimpangan-penyimpangan itu memang sudah dimanifestasikan sejak zaman Orde
Baru berkuasa, walaupun dalam keadaan yang amat sulit, antara lain lewat LSM
dan gerakan-gerakan mahasiswa/pemuda. Manifestasi ini sekarang masih terus
dilakukan, antara lain, oleh para buruh di berbagai tempat dan para petani
di berbagai daerah. Bahkan juga oleh demonstrasi para tukang becak di Jakarta
dan kota-kota lain, atau oleh puluhan ribu guru di Jawa Tengah akhir-akhir
ini. Menurut pengalaman sejarah di negara manapun di dunia, adalah baik sekali
bahwa rakyat tidak “nrimo” saja dalam menghadapi penyelewengan
kekuasaan para pejabat. Sebaliknya, adalah hal yang menyedihkan sekali, kalau
rakyat “nrimo” saja walaupun sudah diinjak-injak atau diperlakukan
sewenang-wenang oleh pemerintahnya. Rakyat yang begitu itu adalah rakyat yang
“mlempem”.
KEADILAN YANG SAMA BAGI SEMUA
Adalah hal yang bisa mempunyai arti yang penting di kemudian hari, ketika
Presiden Megawati mengatakan bahwa rakyat siap menerima perbedaan dalam kehidupan,
tetapi tidak siap menerima dalam satu hal, yaitu keadilan yang berbeda. “Marilah
kita berikan keadilan itu secara sama kepada mereka,” katanya. Juga,
dalam hal ini, kita bisa berharap bahwa ucapannya ini nantinya bisa sungguh-sungguh
diwujudkan secara nyata melalui segala politik atau tindakan-tindakannya sendiri
ataupun oleh pemerintahannya. Sebab, masalah keadilan (atau perasaan keadilan)
adalah sesuatu yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara.
Dan keadaan negara dan bangsa kita dewasa ini, yang penuh dengan dengan problem-problem
parah sebagai warisan Orde Baru, menunjukkan banyaknya ketidak-adilan yang
terjadi selama ini. Keadilan atau perasaan keadilan ada hubungannya yang erat
dengan penyelenggaraan sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum dan peradilan,
dan juga dijunjung-tingginya HAM. Untuk sekadar menyebutkan sejumlah kecil
di antara contoh-contohnya, adalah sebagai yang berikut :
--- Banyak orang merasa terusik perasaan keadilan mereka, karena masih banyaknya
koruptor kelas kakap yang belum ditindak, walaupun sudah kelihatan jelas mencuri
harta publik secara besar-besaran. Harta publik adalah milik bersama. Korupsi
adalah tindak pidana, dan karenanya pelakunya harus mendapat hukuman.
--- Banyak oknum-oknum kalangan “atas” (sipil, militer atau swasta)
menumpuk kekayaan secara tidak sah dan keterlaluan, sedangkan utang luarnegeri
makin menumpuk. Adalah tidak adil, kalau rakyat yang 210 juta (termasuk bayi-bayi
yang baru lahir) dibebani utang yang diperkirakan Rp 6 juta tiap jiwa.
--- Pejabat-pejabat tinggi militer yang pernah menyuruh menculik orang (antara
lain: kasus PRD, peristiwa 27 Juli, peristiwa Maluku dan Aceh) atau yang melaksanakan
kebijakan yang menyebabkan kematian (peristiwa Mei 1998, Trisakti, Semanggi
dll) masih belum disentuh oleh pengadilan. Opini publik dan keluarga para
korban merasakan betul adanya ketidak-adilan dalam kasus-kasus tersebut.
--- Ratusan ribu eks-tapol telah diperlakukan secara tidak adil (atau tidak
berperi-kemanusiaan) selama puluhan tahun oleh Orde Baru, dan perlakuan itu
masih berlangsung terus sampai sekarang. Di samping itu, jutaan orang keluarga
para korban pembunuhan tahun 1965 juga masih menunggu adanya penyelesaian
yang menimbulkan perasaan keadilan. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri).
Memang, Presiden Megawati benar, ketika mengatakan bahwa rakyat Indonesia siap menerima perbedaan dalam kehidupan, tetapi TIDAK dalam satu hal, yaitu keadilan yang berbeda. Dan karenanya, kita perlu memberikan keadilan itu secara sama kepada rakyat, katanya. Dalam negara demokrasi (yang sungguh-sungguh!), perasaan keadilan adalah syarat mutlak. Demokrasi tidak berarti “sama rata dan sama rasa” dalam segala hal. Tetapi, keadilan bagi semua orang dan persamaan hak di depan hukum adalah prinsip demokrasi yang amat penting. Dan, kalau kita telaah pengalaman selama ini, maka justru hal inilah yang tidak (atau belum) ditrapkan secara baik di Indonesia. Karenanya, “perkara” dan “pengadilan” bisa diperdagangkan, dan hukum bisa dipermainkan oleh uang haram (atau oleh penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh).
Dalam konteks inilah makin terasa betapa pentingnya pembersihan atau pembenahan di lingkungan kejaksaan, baik yang di Pusat (Kejaksaan Agung) maupun yang di daerah-daerah. Kejaksaan merupakan salah satu mata rantai maha-penting - untuk tidak mengatakan yang terpenting – dalam penegakan sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Selama kejaksaan (terutama : Kejaksaan Agung!) masih dikangkangi oleh oknum-oknum yang berakhlak rendah, maka sistem hukum dan peradilan di Indonesia akan tetap dirundung penyakit parah. Apalagi, kalau ditambah dengan banyaknya oknum-oknum yang berakhlak sama bejatnya di kalangan pengacara, polisi, dan hakim, maka “keadilan yang sama” akan sulit diraih oleh rakyat. Sebab, walaupun sudah ada undang-undang yang baik, tetapi kalau orang-orang yang ditugaskan untuk melaksanakannya tidak mempunyai moral atau karakter yang memadai, maka hukum akan tetap bisa dirusak.
Oleh karena itu, makin jelaslah bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum adalah juga perjuangan melawan segala penyakit yang berjangkit di kalangan aparat-aparat peradilan (polisi, kejaksaan, pengadilan, termasuk yang di Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung). Karena kita tidak boleh punya ilusi bahwa DPR (dan DPRD) atau lembaga-lembaga pemerintahan lainnya bisa (dan mau!) melakukan perjuangan ini secara sebaik-baiknya, maka tugas ini menjadi kewajiban yang mulia bagi seluruh kekuatan pro-reformasi. Reformasi di bidang hukum dan di kalangan aparat-aparat pelaksananya adalah program reformasi yang amat penting. Untuk itu, segala macam perlawanan yang ditujukan kepada penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat-aparat peradilan perlu terus dikobarkan, demi kepentingan keadilan dan bagi kepentingan umum.
Oleh karnanya, perjuangan yang bertujuan luhur ini haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak kesasar ke jalan anarchi atau perbuatan yang semata-mata melawan hukum. Tujuan gerakan reformasi di bidang hukum adalah supaya hukum betul-betul bisa melindungi demokrasi, menjamin Hak Asasi Manusia, dan membikin bangsa dan negara kita beradab. Sebab, telah banyak bukti yang bisa disaksikan sendiri oleh banyak orang, bahwa selama Orde Baru hukum dan peradilan telah digunakan (dan disalahgunakan!) untuk hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat, dan hanya menguntungkan sejumlah kecil golongan dalam masyarakat.
Singkatnya, perjuangan melawan “penyakit-penyakit” di kalangan aparat peradilan dan hukum adalah perlu, dan benar! Dan ini adalah hak yang sah dari warganegara yang merasa ikut bertanggung-jawab terhadap urusan-urusan yang berkaitan dengan negara. Demi persamaan keadilan bagi semua, sehingga tidak ada lagi keadilan yang berbeda-beda, seperti yang diharapkan oleh Presiden Megawati.
Paris, menjelang musim rontok, 5 September 2001