Catatan A. Umar Said


Kembalikan kewarganegaraan
mereka sepenuhnya!


Harian Jawa Pos tanggal 26 Agustus 2006 menyiarkan berita menarik yang antara lain berbuni sebagai berikut : « Para mahasiswa zaman Orde Lama (Orla) yang memperoleh beasiswa ke luar negeri diminta pulang ke Indonesia. Saat ini, 577 mahasiswa Orla hidup di beberapa negara, terutama Eropa. Selama ini, mereka tidak bisa kembali ke Indonesia karena dipersulit pada masa Orde Baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengutus Menkum dan HAM Hamid Awaluddin selaku fasilitator yang mewakili pemerintah untuk rencana pemulangan tersebut. Kebijakan itu dilandasi semangat rekonsiliasi pasca penerbitan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan.

"Mahasiswa era Orde Lama itu tersebar di Eropa. Jumlahnya sekitar 577 orang yang masih hidup. Umurnya 70 tahun ke atas. Mereka selama Orde Baru tertutup pulang ke tanah air. Saya mencoba memulangkan mereka," kata Hamid dalam perbincangan dengan wartawan di gedung Depkum dan HAM Jakarta kemarin. Hamid mengaku telah bertemu dengan Menlu Hassan Wirajuda untuk mempermudah birokrasi dokumen kewarganegaraan terhadap ratusan eks mahasiswa tersebut. "Saya sudah menemui Menlu," kata Hamid.

“Informasi di Deplu, mayoritas eks mahasiswa tersebut kini menetap di Belanda dan sebagian lagi di kawasan Eropa Timur. Hamid bakal memulai penjajagan pemulangan mereka dengan menemui perwakilan eks mahasiswa Indonesia di Amsterdam, Belanda. Hamid menyatakan, SBY tidak mempermasalahkan kemungkinan mereka bakal mengembangkan ideologinya di tanah air. Menurut dia, pemulangan mereka sama sekali jauh dari permasalahan politis. "Presiden tidak mempermasalahkan (ideologi) mereka. Ini demi kemanusiaan. Kita memfasilitasi mereka yang rindu ingin pulang ke tanah air. Ini dilatari semangat rekonsiliasi terkait UU Kewarganegaraan," jelas menteri asal Sulsel itu.

“Berdasar informasi yang dikumpulkan koran ini, eks mahasiswa Indonesia tersebut sesampai di tanah air akan melewati pemulihan hak-hak kewarganegaraannya yang hilang selama 40 tahun lebih. Salah satunya, kepastian mendapatkan status WNI. (Kutipan dari Jawa Pos selesai)


Kejahatan politik dan moral yang besar

Sudah banyak orang dari berbagai kalangan di berbagai negeri yang menanggapi rencana pemerintahan SBY-Jusuf Kalla tentang “pemulangan para mahasiswa era Orla”ini, dengan menyorotinya dari banyak segi. Tulisan ini mencoba untuk melihatnya dari segi-segi lainnya yang belum disentuh, dan memperkuat atau menggarisbawahi segi-segi yang sudah diangkat oleh berbagai tanggapan itu.

Apa yang direncanakan pemerintah SBY-JK untuk pemulangan para mahasiswa yang dicabut paspornya atau terpaksa hidup merantau di luar negeri adalah bukan suatu rencana “kemanusiaan” presiden SBY yang hebat, yang perlu dipuji kelewat batas. Apalagi, disertai pula dengan ilusi yang tidak-tidak. Sebab, sebenarnya, dan semestinya (!), sikap ini adalah merupakan KEHARUSAN bagi setiap pemerintahan dari negara yang betul-betul beradab, demokratis dan menghargai HAM.

Apa yang direncanakan itu - kalau nantinya memang terbukti betul-betul dilaksanakan ! - adalah merupakan koreksi dari kesalahan besar rejim militer Orde Baru, yang diteruskan selama lebih dari 40 tahun. Kesalahan besar ini adalah kesalahan politik dan kesalahan moral. Kesalahan besar ini adalah juga KEJAHATAN yang tidak tanggung-tanggung, sebab dilakukan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama sekali. Dan kejahatan yang berupa pelanggaran HAM yang keterlaluan menyoloknya ini sama sekali bukanlah sesuatu yang bisa dibangga-banggakan sebagai bangsa yang beradab. Dan lagi pula, pelanggaran HAM terhadap begitu banyak orang itu – dan, nota bene, selama puluhan tahun ! -- adalah juga pengkhianatan terhadap Pancasila dan pendurhakaan terhadap Bhinneka Tungal Ika.

Lalu, apa sebabnya pemerintahan SBY-Jusuf Kalla sekonyong-konyong, atau mendadak sontak, mengumumkan rencana pemulangan para “mahasiswa era Orla” ? Apakah betul-betul seperti yang dikatakan Menkum dan HAM Hamid Awaluddin bahwa hal itu “dilandasi semangat rekonsiliasi”? Dan, apakah sungguh-sungguh (seperti kata Hamid Awaluddin lagi) : “SBY tidak mempermasalahkan kemungkinan mereka bakal mengembangkan ideologinya di tanah air. Menurut dia, pemulangan mereka ini sama sekali jauh dari permasalahan politis ". Atau, apakah benar-benar bahwa rencana pemulangan para mahasiswa era Orla “Ini demi kemanusiaan”.?

Perlu kiranya sama-sama kita perhatikan, bahwa kalau sebagian orang memandang apa yang direncanakan pemerintahan SBY-Jusuf Kalla itu sesuatu yang positif, maka banyak orang pula yang melihatnya dengan kecurigaan atau dengan berbagai pertanyaan.


Istilah rekonsliasi dan kemanusiaan “mereka”

Di antara banyak dan berbagai pertanyaan itu adalah : mengapa rencana yang “dilandasi semangat rekonsiliasi” atau “kemanusiaan” itu melulu ditujukan hanya kepada para mahasiswa era Orde Lama yang konon jumlahnya 577 orang dan tersebar di berbagai negara Eropa (Barat dan Timur), sedangkan orang-orang yang “klayaban” di luar negeri (istilah Gus Dur) terdiri dari orang-orang dari banyak kalangan lainnya, seperti (antara lain) anggota DPR/MPR, pimpinan serikat buruh dan organisasi tani, wanita, pemuda, seniman, wartawan, pegawai negeri, intelektual, dll dll.? Apakah “semangat rekonsiliasi” dan “kemanusiaan” yang dijajakan oleh pemerintah itu tidak berlaku bagi begitu banyak orang “klayaban” lainnya di luarnegeri?

Dalam kaitan ini, juga penggunaan kata “rekonsiliasi” terasa berlebih-lebihan dan sekaligus juga bisa menyesatkan. Sebab, bisa dipertanyakan “rekonsiliasi” antara fihak-fihak yang manakah, dan atas dasar apakah? Karena, kita melihat dengan jelas bahwa “masalah mahasiswa era Orla” (dan orang-orang “klayaban” lainnya) yang dicabut paspornya atau dilarang kembali ke tanah-air dalam jangka lebih dari 40 tahun adalah hanya sebagian dari akibat besar kesalahan politik (atau, lebih tepatnya : kejahatan politik) yang dilakukan oleh Orde Barunya Suharto dkk. Dan kita semua juga menyaksikan sendiri bahwa “mereka” yang bertanggung-jawab dalam pemerintahan Orde Baru itu tidak pernah secara terang-terangan - dan secara jujur atau tulus - minta ma’af atas berbagai kejahatan politik mereka di masa yang lalu dan mengkoreksinya. Rekonsiliasi (yang sungguh-sungguh!) hanya bisa dibangun bersama, kalau fihak yang melakukan kejahatan atau kesalahan telah mengakui dosa-dosanya dan juga memperbaikinya (secara sungguh-sungguh pula!!!)

Justru hal-hal penting yang berkaitan dengan “rekonsiliasi” dan “kemanusiaan” inilah yang selama puluhan tahun, sampai sekarang, belum dilaksanakan. Buktinya, kasus para korban peristiwa 65, yang jumlahnya puluhan juta orang di seluruh Indonesia (beserta keluarga mereka) dan para eks-tapol, yang telah selama lebih dari 40 tahun menanggung berbagai macam penderitaan, masih berjuang terus - dengan susah payah -- terhadap berbagai pemerintahan untuk memperoleh kembali hak-hak mereka sebagai warganegara yang dihargai sebagai manusia biasa. Kalau presiden SBY atau Menteri Hamid Awaluddin mau bicara tentang “kemanusiaan” dengan serius dan tulus, maka sebaiknya atau seyogianyalah mereka ingat juga kepada kasus para korban peristiwa 65 (termasuk para eks-tapol) yang jumlahnya begitu banyak, dan yang umumnya sudah tua renta , menjelang akhir hidup mereka.

Mereka yang terpaksa bermukim di luar negeri (termasuk “para mahasiswa era Orla”) adalah merupakan bagian dari masalah besar para korban rejim militer Orde Baru, yang banyak sekali terdapat di seluruh Indonesia.


Mereka sudah lanjut usia

Ada lagi persoalan-persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Menurut Jawa Pos itu : “Berdasar informasi yang dikumpulkan koran ini, eks mahasiswa Indonesia tersebut sesampai di tanah air akan melewati pemulihan hak-hak kewarganegaraannya yang hilang selama 40 tahun lebih.”. Sebab, soalnya bukan hanya pemulihan hak-hak kewarganegaraan yang hilang selama 40 tahun lebih saja, melainkan juga masalah-masalah lainnya, antara lain : masalah perlindungan hukum, masalah jaminan untuk bisa hidup normal, masalah kesehatan dll dll.

Sebab, sebagian besar dari eks mahasiswa tersebut (dan juga orang-orang “klayaban” lainnya) umumnya sudah lanjut usia (rata-rata lebih dari 65 tahun, bahkan banyak yang sudah sekitar 75-80 tahun!), dan sebagian lagi malahan sudah pensiun, atau terima tunjangan sosial saja. Sebagian terbesar di antara mereka juga sudah terpaksa menjadi warganegara dari berbagai negara, akibat dicabut paspor mereka oleh KBRI atau akibat berbagai politik rejim militer Orde Baru. Umumnya, selama puluhan tahun mereka bisa hidup normal sebagai warganegara biasa di negara-negara baru mereka.

Mengingat berbagai keadaan mereka yang demikian itu sekarang, maka “iming-iming” berupa tawaran pemerintah untuk “permulihan hak-hak kewarganegaraan yang hilang selama 40 tahun lebih” itu, perlu ditanggapi dengan kritis. Sebab, kalimat yang bunyinya terdengar sebagai lagu merdu itu bisa hanya merupakan retorika yang isinya kosong melompong saja, disebabkan adanya berbagai kesulitan atau banyak hambatan.

Umpamanya, antara lain : “apa pemulihan hak-hak kewarganegaraan yang hilang selama 40 tahun” itu hanya dapat diperoleh dengan menanggalkan status kewarganegaraan mereka yang sekarang mereka peroleh di berbagai negeri? (Sebab Undang-undang RI melarang adanya kewarganegaraan ganda). Apakah kalau sudah menanggalkan kewarganegaraan asing dan kemudian menjadi warganegara RI kembali mereka betul-betul akan dijamin akan bisa mendapat perlakuan seperti perlakuan yang selama ini mereka peroleh dari berbagai negara asing itu? Apakah mereka -- kalau sudah menjadi warganegara RI kembali -- akan dapat menerima jaminan sosial dan jaminan kesehatan seperti yang mereka terima di luar negeri ?

Hal-hal yang sangat penting inilah yang masih belum pasti, bahkan patut diragukan atau dikuatirkan mengingat kecilnya kemampuan --dan juga kemauan yang sungguh-sungguh !!! – pemerintah Indonesia dalam menangani soal-soal yang beginian selama ini. Buktinya, berapa puluh juta orang yang jelas-jelas menderita karena hidup terus-menerus (dan selama puluhan tahun pula!) di bawah garis kemiskinan dan karena pengangguran yang merajalela secara ganas?


Tidak mempermasalahkan ideologi lagi ?

Mengenai kalimat bagus lainnya yang diucapkan Hamid Awaluddin :” Presiden tidak mempermasalahkan (ideologi) mereka. Kita memfasilitasi mereka yang rindu ingin pulang ke tanah air” perlu juga ditanggapi dengan kritis, meskipun barangkali tidaklah perlu bersikap negatif melulu. Sebab, rupanya pemerintahan SBY (atau sebagiannya) memang sudah melihat sendiri bahwa sejak jatuhnya Suharto makin jelas tidak masuk akalnya atau “gilanya” politik Orde Baru yang selama puluhan tahun sudah membatasi kebebasan orang untuk berideologi, dan melarang ideologi politik tertentu.

Memang, sejak pemerintahan Habibi, yang disusul oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang SBY-Jusuf Kalla, sudah mulai ada kebebasan (terbatas!), sehingga buku-buku kiri atau yang berbau marxis atau komunis bisa beredar. Tetapi, patutlah selalu kita ingat, bahwa resminya TAP MPRS nomor 25/1966 bikinan pimpinan Angkatan Darat itu masih belum dicabut sampai sekarang. Perlu diingat juga bahwa akibat indoktrinasi anti-komunis yang dilakukan secara intensif sekali selama puluhan tahun oleh Orde Baru itu pengaruhnya masih terasa dimana-mana, termasuk di antara sebagian kalangan Islam. Perlu kiranya sama-sama kita amati bahwa sikap kepala batu anti-komunis ini masih diperlihatkan terus oleh sejumlah pimpinan TNI-AD.

Tentang kalimat “Kita memfasilitasi mereka yang rindu ingin pulang ke tanah air” kiranya tidaklah perlu pula ada penghargaan yang berlebih-lebihan, mengingat bahwa sudah banyak di antara “mereka yang terhalang pulang” ini yang dapat berkunjung ke Indonesia untuk menemui sanak saudara dan melepaskan kerinduan kepada negeri asal mereka, dengan menggunakan paspor atau dalam status kewarganegaraan asing mereka. Jadi, kecuali bagi sebagian kecil orang yang mempunyai sebab-sebab atau kondisi tertentu, mungkin sekali bagi sebagian besar orang-orang “klayaban” (sekali lagi minta ma’af penggunaan kata yang sebenarnya kurang tepat) masalah “pulang ke tanah air” sudah tidak mendesak sekali atau sangat perlu sekarang ini.


Masalah politis : kebenaran dan keadilan

Bagi sebagian besar di antara mereka itu yang terpenting adalah masalah politis, yang mempunyai dampak psikologis, yaitu masalah kebenaran dan keadilan. Yang sangat diperlukan adalah pengakuan secara resmi, dan terang-terangan atau terbuka, dari pemerintah (atau lembaga-lembaga penting negara, termasuk kemudian opini umum) bahwa mereka itu sama sekali bukanlah orang-orang yang bersalah. Dengan kalimat lain, yang amat penting bagi mereka adalah pengakuan dari pemerintah (dan sebagian dari opini umum) bahwa mereka secara salah besar sekali telah diperlakukan secara tidak adil, dan hak-hak mereka sebagai warganegara telah dirampas selama puluhan tahun, antara lain dengan pencabutan paspor. Ini akan merupakan bukti bahwa Orde Baru berikut pemerintahan yang berturut-turut menggantikannya telah melakukan koreksi atas kesalahan atau kejahatan politik yang telah dilakukan terhadap begitu banyak orang. Dan koreksi ini bisa dilakukan dalam bentuk dekrit atau keputusan presiden RI atau lembaga tinggi negara lainnya.

Perlu pula diingat oleh semua fihak, bahwa “Para mahasiswa era Orla” yang dicabut paspornya dan yang kemudian terpaksa menetap di berbagai negeri bukanlah hanya yang anggota PKI atau simpatisan PKI saja, melainkan juga orang-orang dari berbagai kalangan yang non-PKI. Memang, pada umumnya mereka adalah pendukung politik Prsiden Sukarno, dan karenanya menentang rejim Orde Barunya Suharto dkk. Sekarang, sejarah sudah membuktikan, dan dengan jelas pula, bahwa mendukung politik Bung Karno sama sekali bukanlah suatu hal yang jelek atau merupakan kejahatan, dan juga bahwa menentang Orde Baru adalah syah, benar dan adil, baik secara politik maupun moral !!! (tanda seru tiga kali).

Bisalah kiranya dikatakan secara tegas, bahwa pencabutan kewarganegaraan dengan sewenang-wenang dan tanpa proses pengadilan adalah pelanggaran HAM yang seius dan (sekali lagi) kejahatan politik yang besar sekali , karena telah berlangsung begitu lama dan dilakukan terhadap begitu banyak orang. Oleh karena itu, sebagai syarat permulaan atau pra-sarana untuk menyelesaikan berbagai soal lainnya kemudian, perlu adanya lebih dulu pernyataan resmi (walaupun bisa diartikan hanya simbolik saja) bahwa “mereka yang tidak bisa pulang” itu sudah di kembalikan sebagai warganegara RI sepenuhnya. Ini sangat penting, karena bisa dianggap sebagai bukti tanda kemauan baik (good will) dan koreksi politik atas kejahatan atau kesalahan dari berbagai pemerintahan selama ini.

Sesudah ada pernyataan resmi tingkat tinggi bahwa kewarganegaraan “mereka yang tidak bisa pulang” ini sudah dipulihkan secara total, maka terserah kepada masing-masing untuk mengambil keputusan apakah mau pulang kembali ke Indonesia untuk seterusnya, atau meneruskan bermukim di luar negeri, atau minta visa seumur hidup, atau keputusan lainnya. Sebab, tiap keputusan bisa menyangkut berbagai persoalan dan kesulitan yang berbeda-beda, baik kadarnya maupun jenisnya.

Jadi, menghadapi rencana pemerintah “untuk pemulangan para mahasiswa era Orla” perlulah kiranya kita akan menghadapinya dengan positif tetapi juga kritis. Kita perlu menggunakan kesempatan ini, sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya, untuk mendorong terus tercapainya rehabilitasi secara umum bagi seluruh korban peristiwa 65 untuk mendapatkan kembali hak-hak sipil mereka, dan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan RI bagi “mereka yang terhalang pulang”, yang secara sewenang-wenang telah dirampas oleh rejim militer Orde Barunya Suharto dkk.

Paris, 30 Agustus 2006.