Catatan A. Umar Said
KLEPTOCRACY DI INDONESIA
DAN PERAN GENERASI MUDA
Dewasa ini kita dibanjiri, hampir setiap hari, banyak berita-berita tentang
adanya tokoh-tokoh dari berbagai kalangan yang diperiksa polisi atau kejaksaan,
atau diajukan ke pengadilan, karena terkait dengan dugaan korupsi. Banyaknya
berita-berita itu membikin banyak orang merasa agak lega dan menaruh harapan
bahwa akhirnya korupsi bisa mulai dibrantas sedikit demi sedikit.
Banyak orang menyatakan gembira mendengar bahwa koruptor kelas kakap seperti
Probosutedjo bisa dimasukkan penjara Cipinang dengan hukuman 4 tahun, walaupun
ia sudah berusaha, dengan cara-cara spektakuler, mengaduk-aduk Mahkamah Agung
dengan uang suapan sekitar Rp 6 miliar. (Ia pernah berkali-kali menguar-uarkan,
dengan tidak segan-segan, bahwa seluruhnya ia sudah mengeluarkan uang Rp 16
miliar untuk “mengurusi” perkaranya lewat berbagai instansi dan
aparat negara).
Kiranya, dihukumnya adik tiri mantan Presiden Suharto ini dapat ditafsirkan
sebagai kasus yang membuktikan lebih jelas lagi kebusukan keluarga Cendana,
yang pernah selama puluhan tahun disanjung-sanjung oleh para pendukungnya.
Seperti kita ketahui, keluarga Cendana sudah juga dicemarkan oleh Tommy (Hutomo
Mandala Putra) yang dihukum sepuluh tahun di Nusakambangan karena tersangkut
dalam pembunuhan hakim agung Syafiudin Kartasasmita. Sekarang, kita semua
sedang menunggu-nunggu kelanjutan perkara dugaan korupsi yang dilakukan Suharto
sendiri melalui tujuh “yayasan” yang dikelola di bawah pengawasannya.
Di samping itu, telah dihukumnya konglomerat hitam Bob Hassan, teman dekat
sekali Suharto, juga di Nusakambangan (sekarang sudah bebas), juga menambah
busuknya bau, yang sudah tidak harum, yang mengelilingi keluarga Suharto,
mantan presiden selama 32 tahun (ia lebih lama menjabat presiden RI dari pada
Bung Karno), mantan Panglima Tertinggi ABRI, dan mantan Ketua Dewan Pembina
Golkar. Semuanya ini membikin makin jelas bagi banyak orang bahwa kebusukan
atau dekadensi keluarga Cendana merupakan simbul kebobrokan moral dan kebejatan
akhlak Orde Baru.
Kalau kita amati dengan agak teliti, maka nyatalah bahwa banyak sekali di
antara kasus-kasus korupsi kelas kakap yang sudah mulai dibongkar atau sedang
ditangani oleh aparat-aparat negara itu adalah yang dilakukan di jaman Orde
Baru (sebelum 1998) , ketika pemerintahan masih dikuasai oleh Suharto beserta
rejim militernya.
Banyak contoh yang bisa disajikan untuk sama-sama kita lihat bahwa di belakang
kata-kata « Presiden Suharto bapak pembangunan » yang digembar-gemborkan
selama puluhan tahun itu tersembunyi banyak macam perampokan harta negara
dan pemerasan rakyat. Untuk bersikap fair dan objektif, harus diakui bahwa
Suharto memang sudah melakukan banyak hal untuk pembangunan ekonomi, tetapi
yang dicuri olehnya (dan pendukung-pendukung setianya) dan kejahatan-kejahatan
lainnya adalah jauh sekali lebih besar dari pada « jasanya ».
Pencurian yang dilakukan Suharto (dan pendukung-pendukungnya) adalah sedemikian
besarnya, dan kerusakan-kerusakan lainnya di bidang politik, sosial, ekonomi,
kebudayaan dan moral yang dibikinnya juga sedemikian parahnya, sehingga akibat
buruknya masih dapat kita saksikan secara nyata di mana-mana sampai sekarang.
Banyak orang-orang yang tadinya mendukung rejim militer Suharto pun sekarang
mulai menyadari kenyataan pahit tetapi mengandung kebenaran, yaitu bahwa Orde
Baru merupakan masa gelap bagi kehidupan demokratis bangsa kita dan masa pembusukan
nilai-nilai terbaik bangsa dan Republik kita.
Bahkan, dapat diperkirakan - dan dikuatirkan - bahwa sebagian besar anak-cucu
kita masih terpaksa mewarisi sebagian akibat-akibat buruk ini. Bolehlah kiranya
dikatakan bahwa Orde Baru (dan pendukung-pendukungnya) mewariskan sedikit
sekali (kalau ada !) hal-hal yang menguntungkan rakyat dan negara, tetapi
, sebaliknya, meninggalkan banyak sekali kerusakan dan kebusukan yang parah
sekali di banyak bidang.
SIAPA SAJA YANG DIUNTUNGKAN ORDE BARU ?
Seperti dapat kita saksikan sendiri, jaman Orde Baru memang sangat menguntungkan untuk sebagian kecil sekali bangsa kita, yang terdiri dari golongan militer, para tokoh Golkar, dan kalangan terkemuka dari berbagai golongan, yang mendukung Suharto secara mati-matian. Ini dapat kita sama-sama saksikan dari banyaknya para jenderal dan tokoh-tokoh Golkar (dan tokoh-tokoh golongan lainnya), yang memiliki sampai dua atau tiga rumah megah dan mobil mewah sampai 3 atau 4, baik di Jakarta maupun di daerah. Juga dari banyaknya anak para « tokoh » yang dikirim ke luarnegeri untuk sekolah, atau yang se-konyong-konyong bisa mempunyai perusahaan atau saham-saham yang besar dalam waktu singkat.
Karenanya, wajarlah dan tepatlah kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa
kebanyakan (artinya : tidak seluruhnya !) pejabat kaya raya semacam itu patut
dicurigai kejujurannya dan dipertanyakan kehalalan asal-usul kekayaan mereka.
Sebab, banyak di antara mereka yang resminya saja bergaji kecil, tetapi toh
bisa menjadi sangat kaya-raya luar biasa dan hidup mewah melimpah ruah secara
kelewatan.
Ini bisa disaksikan tidak hanya di Jakarta, Bandung, Jogya, Semarang, Surabaia,
Palembang, Pakanbaru, Padang, Medan, Banjarmasin, Pontianak, Makasar, Menado,
Denpasar saja, melainlan juga di banyak kota kecil lainnya di daerah-daerah.
Jelaslah bagi banyak orang bahwa korupsi sudah betul-betul meluas ke mana-mana
di seluruh Indonesia. Dan ini terjadi sejak masa Orde Baru, yang diteruskan
di bawah pemerintahan Habibi, Gus Dur, Megawati dan sekarang SBY-Jusuf Kalla.
Mengingat itu semuanya, maka kiranya patut kita sangsikan kebenaran pernyataan
presiden SBY yang mengatakan bahwa korupsi baru bisa diberantas secara tuntas
dalam tempo 15 tahun lagi. Karena, pengalaman selama ini sudah membuktikan
bahwa korupsi tidaklah bisa dibrantas dengan cara-cara lama dan oleh mereka
yang bermoral bejat atau berakhlak rendah model Orde Baru. Sudah banyak undang-undang
atau macam-macam peraturan anti-korupsi yang dibikin oleh berbagai pemerintahan
sejak Orde Baru, tetapi sampai sekarang penyakit parah ini toh masih tetap
merajalela juga di mana-mana.
LAPORAN BPK TENTANG PENYELEWENGAN UANG NEGARA
Itulah sebabnya, maka (menurut Jawapos 6 Desember 2005) dibandingkan sebelas negara besar di Asia, korupsi di Indonesia tetap paling parah. Berdasar survei yang dilakukan lembaga konsultan internasional yang bermarkas di Singapura, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia mendapat poin 9,44. Rentang skor itu - dari yang terbaik sampai yang terburuk - adalah 0-10. Negara yang dianggap sedikit korupsinya adalah Singapura dan Hongkong, disusul oleh Jepang, Korsel, Malaysia, Taiwan, Thailand, China, India, Filipina, dan Vietnam.
Menurut Transparansi Internasional Indonesia (20 Oktober 2004) dari laporan
BPK saja, selama lima tahun sejak 1999-2004, penyelewengan uang negara terjadi
sebesar Rp. 166,5 triliun rupiah, dimana sebesar Rp. 144 triliun adalah merupakan
pelanggaran BLBI, sedangkan sisanya berasal dari kasus-kasus lain. Dari temuan
BPK, maka lembaga negara yang penyelewengannya paling tinggi adalah Kejaksaan
Agung, dengan persentasi 51,8 %.
Angka BPK ini baru mencerminkan pelanggaran APBN, dan belum mencerminkan angka
korupsi yang tidak menyangkut APBN, misalnya penggelembungan nilai proyek
atau nilai suap yang masih harus dibayarkan oleh rakyat Indonesia dan pebisnis
dalam mendapatkan pelayanan ataupun untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan
pemerintah. Kalau nilai suap tersebut dimasukkan, maka nilai korupsi di Indonesia
jauh lebih tinggi dari temuan BPK.
SUMPAH GENERASI MUDA BERI HARAPAN BARU
Mengingat parahnya penyakit korupsi ini, maka patut disambut dengan gembira segala usaha dari berbagai kalangan dalam masyarakat luas di Indonesia, untuk ikut berjuang melawannya. Dalam hal ini, patut dicatat aksi para pelajar SMA yang diadakan di kawasan Tugu Proklamasi (Jakarta) baru-baru ini dalam rangka Hari Anti-korupsi Sedunia. Lebih dari 500 pelajar SMA (ada yang datang dari Padang dan Makassar) mengucapkan sumpah di Monumen Proklamasi itu, dan menyatakan bahwa mereka ingin mewujudkan generasi baru yang bersih, transparan, dan profesional atau disingkat BTP. Caranya sejak dini atau dari diri sendiri, mereka berusaha memerangi praktik KKN. Mereka sangat paham bahwa praktik KKN telah menyengsarakan serta membuat bangsa ini terpuruk meski sudah merdeka 60 tahun lalu. Kemiskinan dan kebodohan rakyat di negeri ini disebabkan praktik KKN yang masih subur hingga sekarang (Jawapos, 11 Desember 2005).
Bahwa para pelajar SMA pun ikut mengadakan aksi-aksi anti-korupsi dan “bersumpah
untuk mewujudkan generasi baru yang bersih dan transparan dengan memerangi
KKN”, adalah merupakan perkembangan yang positif sekali bagi pemupukan
moral atau akhlak bangsa. Aksi-aksi serupa ini patut dan perlu sekali didorong
untuk dikembangkan secara luas sekali di sekolah-sekolah lanjutan di seluruh
negeri (dan juga di tingkat perguruan tinggi, serta berbagai organisasi kepemudaan
dalam masyarakat), sehingga merupakan bagian yang penting dalam gerakan besar-besaran
secara nasional.
Kalau dari orang-orang tua para anak muda sudah tidak bisa diharapkan lagi
adanya sikap tegas melawan korupsi, maka apa yang mulai dilakukan para pelajar
SMA di kawasan Tugu Proklamasi ini merupakan angin segar yang menyejukkan
bagi pemupukan moral bangsa. Dan karena Republik Indonesia 45 sudah dirusak-porandakan
atau dibusukkan oleh generasi Orde Baru, maka harapan untuk kebangkitan bangsa
sekarang jatuh di pundak anak-anak muda negeri kita.
Dalam rangka gerakan moral di kalangan anak-anak muda bangsa, pesantren yang
banyak sekali terdapat di seluruh Indonesia (kira-kira 15.000, dengan 3,5
juta murid, menurut Dep. Agama) akan merupakan motor penggerak yang penting
sekali, kalau sudah bisa ikut aktif dalam gerakan moral anti-korupsi ini.
Dampak keikut-sertaan pesantren, ditambah dengan ikut aktifnya berbagai organisasi
Islam dalam gerakan anti-korupsi ini akan besar sekali, dan juga positif sekali
bagi penyehatan moral bangsa atau pembersihan akhlak berbagai kalangan dan
golongan dalam masyarakat. Kiranya, perjuangan untuk memberantas korupsi ini
bisa dikategorikan sebagai perwujudan kongkrit dari jihad yang patut atau
perlu dijalankan oleh berbagai kalangan Islam melawan kejahatan dan kebathilan.
. Gerakan melawan korupsi ini adalah sama pentingnya (kalau tidak dikatakan
jauh lebih penting) dengan aksi-aksi anti-minum bir atau hiruk-pikuk anti-judi
dan anti-maksiat-maksiat lainnya.
PULUHAN TRILIUN TIAP TAHUN DIKORUPSI
Karena, seperti sudah dicanangkan oleh berbagai pakar atau tokoh bangsa kita, korupsi di Indonesia.sudah “membudaya” (Bung Hatta) , dan menyebabkan tercurinya berpuluh-puluh triliun Rupiah dari APBN setiap tahunnya (Prof. Dr. Sumitro).. Menurut berita dalam Kompas (22 September 2004) Kepala Kejaksaan Agung MA Rachman menyatakan bahwa dari nilai APBN 2004 sebesar Rp 584 triliun, sebanyak Rp 23 triliun telah dikorupsikan. Jumlah korupsi itu dinilai Rachman sangat besar, apalagi di tengah era reformasi yang salah satunya mengupayakan pemberantasan korupsi,. Meski demikian, banyak kasus korupsi itu yang sulit diungkap.
Saudara-saudara pembaca yang terhormat, saya ingin mengingatkan kalian semua
bahwa jumlah Rp 23 triliun adalah besar sekali ! Untuk dapat memperoleh gambaran
tentang besarnya angka-angka ini, dapat kita tambahkan 12 nol di belakang
angka Rp 23, yang menjadi Rp 23 000 000 000 000, atau lehih jelasnya, Rp 23
juta dikalikan sejuta. Itu baru angka pencurian dalam setahun.!!!!! (tanda
seru lima kali). Kita bisa kira-kira sendiri, betapa besarnya jumlah uang
rakyat yang sudah digarong setiap tahunnya selama 32 tahun Orde Baru, oleh
para pendukung rejim militer Suharto yang terdiri dari tokoh-tokoh militer,
oleh para terkemuka di kalangan Golkar, dan oleh berbagai tokoh kalangan lainnya.
Sungguh dahsyat, mengerikan, memuakkan, dan sekaligus juga membikin hati nurani
kita brontak dengan geram, bukan?
Dosa berat dari pencurian besar-besaran uang rakyat oleh para pejabat (yang
menjadi penjahat) ini dan oleh para tokoh masyarakat (harap catat: termasuk
tokoh-tokoh agama) lainnya, nampak lebih nyata sekali kalau kita ingat bahwa
sebagian terbesar rakyat kita masih hidup sengsara karena kemiskinan, bahwa
masih ada busung lapar di banyak pulau di kawasan Timur Indonesia, dan bahwa
banyak orang mati kelaparan di Yahukimo (Papua).
KLEPTOCRACY DI INDONESIA SEJAK ORBA
Banyaknya korupsi di negeri kita ini kiranya membenarkan ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa di Indonesia sekarang ini (tepatnya : sejak jaman Orde Baru) berkuasa “kleptocracy” , yang dalam bahasa sederhananya adalah “kekuasaan para maling”. Untuk membersihkan negeri kita dari “kleptocracy” ini, tidaklah bisa diharapkan peran positif dari orang-orang yang masih - secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi - mendambakan kembalinya Orde Baru,
Mereka-mereka ini, yang terdiri dari sebagian dari tokoh-tokoh militer dan
orang-orang terkemuka Partai Golkar (tidak semuanya!!!), sebenarnya sudah
menjadi bagian dari sampah masyarakat, yang pada waktunya, akan dibuang juga
oleh sejarah dalam keranjang sampah. Dan anak-cucu bangsa kita akan menyaksikan
bahwa sejarah, pada akhirnya, akan memenangkan fihak yang adil dan benar dan
mengalahkan fihak yang bathil.
Paris, 14 Desember 2005