Catatan A. Umar Said :
Lembaga-lembaga terkorup di Indonesia
Hasil penelitian yang dilakukan Transparency Internasional Indonesia (TII) mengenai korupsi di negeri kita makin meyakinkan kita bahwa kebejatan moral atau kerusakan akhlak sudah melanda secara ganas dan juga meluas sekali di kalangan sebagian besar aparat dan lembaga negara. Menurut hasil penelitian tersebut, institusi kepolisian, parlemen, lembaga peradilan, dan partai politik menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia (Kompas, 6 Desember 2007).
Membaca berita tersebut di atas, kita semua bisa geleng-geleng kepala, dan
bertanya-tanya :”Sudah begitu parahkah sakitnya bangsa kita ?”
Betapa tidak ! Sebab, menurut penelitian tersebut, institusi kepolisian menduduki
peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Demikian juga parlemen
dan lembaga peradilan. Demikian juga partai-partai politik. Kalau sudah begini,
lalu apa saja di negeri kita yang masih bersih dari korupsi?
Kita tahu sendiri, bahwa selama ini koran dan televisi di Indonesia juga sering
sekali menyiarkan banyaknya pejabat di kalangan eksekutif yang tersangkut
korupsi. Termasuk adanya menteri atau mantan menteri (bahkan menteri agama!!!),
gubernur, bupati, walikota yang mencuri kekayaan negara atau uang rakyat.
Yang agak jarang terdengar adalah adanya korupsi di kalangan TNI. Dan itu
pun tidak berarti bahwa tidak ada korupsi atau penyelewengan di kalangan TNI,
melainkan karena ketatnya “pembungkusan” informasi, sehingga jarang
sekali bocor.
Parahnya wabah korupsi yang sudah begitu meluas ini, mencerminkan rusaknya
sebagian besar akhlak atau merosotnya moral bangsa.Dan kerusakan moral atau
kebejatan akhlak ini sudah begitu meluas, sehingga “budaya korupsi”
sudah tidak membikin malu atau takut bagi banyak orang. Demikian buruknya
moral ini sehingga korupsi atau mencuri harta publik sudah dianggap normal
saja, atau hal yang dianggap wajar dan “lumrah” saja. Mengapa
negeri kita jadi begini rusak? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apa
saja yang menyebabkan kerusakan moral atau kebejatan akhlak ini?
Banyak orang yang masih ingat bahwa selama pemerintahan dipimpin oleh Bung
Karno sampai 1965, korupsi adalah sedikit sekali kalau dibandingkan dengan
sekarang ini.Walaupun waktu itu keadaan sulit, karena ekonomi diboikot oleh
kekuatan asing dan dirongrong oleh berbagai pergolakan dalam negeri (pemberontakan
PRRI-Permesta, DI-TII, peristiwa tiga daerah, konfrontasi dengan Belanda mengenai
Irian Barat dll dll) tetapi rakyat banyak masih menyokong berbagai politik
Presiden Sukarno. Suasana perjuangan dan mengabdi kepentingan rakyat secara
gotong-royong membikin negara dan bangsa Indonesia terkenal di dunia sebagai
bangsa yang revolusioner.
Tetapi, setelah Suharto dkk membangun rejim militer Orde Baru, kerusakan moral
atau kebejatan akhlak di kalangan elite Indonesia menjadi ciri utama bangsa,
sehingga korupsi merajalela secara ganas. Hal yang menyedihkan begini ini
dianggap “lumrah” saja karena Suharto sebagai pimpinan tertinggi
negara sendiri sudah menjadi maling terbesar di seluruh dunia, dan tidak diapa-apakan.
Banyaknya berita tentang urusan harta yang diperoleh oleh keluarganya (istri
dan anak-anaknya, antara lain Tommy dan Tutut) secara haram, menjadi contoh
yang jelek bagi banyak orang.
Seperti sudah sama-sama kita saksikan kerusakan moral atau kebejatan akhlak
ini adalah produk utama pemerintahan Orde Baru, yang diwariskan kepada bangsa
kita. Dan kerusakan moral inilah yang dipertahankan, bahkan dikembangkan oleh
kekuatan sisa-sisa Orde Baru. Sebab, justru dengan kerusakan moral bangsa
inilah (atau berkat kebejatan akhlak inilah)) mereka dapat juga dengan mudah
menumpuk kekayaan dengan cara haram pula. Jadi, dengan merajalelanya korupsi
di seluruh aparat dan lembaga negara, mereka malah diuntungkan. Karena itu,
pada dasarnya, mereka tidak berkepentingan akan terberantasnya korupsi. Mereka
malah dirugikan, kalau pemberantasan korupsi berjalan dengan sungguh-sungguh
dan efektif.
Jadi, jelaslah bahwa pemberantasan korupsi tidak akan bisa berjalan dengan
sukses, selama sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih menguasai alat kepolisian,
parlemen, lembaga peradilan, dan partai-partai politik. Sebab, di kalangan
mereka-mereka itulah yang banyak melakukan korupsi dan kolusi. Pemberantasan
korupsi secara tuntas hanya mungkin kalau kekuasaan politik sudah dapat direbut
oleh kekuatan-kekuatan demokratis dan pro-rakyat. Kita semua harus membuang
ilusi bahwa reformasi bisa berjalan dan korupsi bisa sungguh-sungguh diberantas
tuntas dengan orang-orang lama yang sekarang menduduki tempat-tempat penting
di berbagai lembaga negara kita. Kita memerlukan wajah-wajah baru, yang mempunyai
komitmen tegas pro-rakyat, dan yang betul-betul anti Orde Baru.
Sejarah dan waktu akan membuktikan kepada kita semua, bahwa perubahan-perubahan
besar di negeri kita untuk kesejahteraan rakyat banyak tidak akan bisa dilakukan
oleh orang-orang yang bermental Orde Baru.
Paris, 7 Desember 2007
*** *** ***
Lampiran : berita Kompas 6 Desember 2007 :
.” Institusi kepolisian, parlemen, lembaga peradilan, dan partai politik
menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Demikian
hasil penelitian yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII).
Dalam pengumuman TII yang disiarkan Kamis (6/12), pada acara Peluncuran Barometer
Korupsi Global 2007, kepolisian mendapatkan nilai indeks korup 4,2, disusul
lembaga peradilan dan parlemen dengan angka 4,1, dan partai politik, yang
meraih indeks 4,0.
Penelitian yang dilakukan terhadap 1010 responden di tiga kota besar di Indonesia
yaitu Jakarta, Surabaya dan Bandung ini juga mendapati bahwa 59 persen responden
yakin akan terjadi peningkatan korupsi, 22 persen yakin tingkat korupsi akan
turun, 18 persen yakin tidak akan ada perubahan sama sekali.
Mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan untuk ke lima kalinya ini,
Ketua TII todung Mulya Lubis menilainya sebagai sangat mengecewakan. "Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya mosi tidak percaya masyarakat pada lembaga-lembaga
penegak hukum, parpol dan DPR," ujar Tobing.
Oleh karenanya TII mendesak KPK agar lebih serius menangani kasus-kasus korupsi
yang terjadi di lingkungan penegak hukum khususnya kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu pemerintah juga dituntut agar mempercepat proses reformasi demokrasi
di institusi penegak hukum, meminta Presiden secara aktif memantau pelaksaan
rencana aksi pemberantasan korupsi, serta mengintensifkan kembali fungsi pengawasan
dalam konteks pemberantasan korupsi. (kutipan dari Kompas selesai)