Pemerintah Australia minta maaf pada rakyatnya, bagaimana Indonesia?
Oleh: Yoseph Tugio Taher, Australia
Puluhan ribu bayi dan kanak-kanak dari suku Aborigine Australia, ditangkap, dipisahkan dari ayah dan ibunya oleh pemerintah kulit putih Australia dari tahun 1910-1970. Mareka dicuri, diculik dan ditempatkan atau diberikan kepada keluarga-keluarga kulit putih ataupun gereja-gereja dan missi-missi serta panti asuhan untuk “dididik” menurut cara dan peradaban kulit putih, agar melupakan adat istiadat dan kebudayaan asli mereka. Perlakuan-perlakuan yang tidak sepantasnya, kejam dan perkosaan hak azazi manusia, berlaku atas mereka yang disebut sebagai “stolen generation” atau lebih jelas dengan sebutan yang gambling “generasi yang dirampok”. Puluhan tahun, mereka dipisahkan dari sanak saudara, ibu, atau ayah dan masyarakat kaumnya, bahkan dengan berlalunya masa, mereka kehilangan orang-orang yang mereka cintai, ayah, ibu, saudara atau saudari dan kaumnya, sehingga mereka bahkan banyak yang tidak tahu siapa ayahnya, siapa ibunya dan siapa sanak keluarganya.Bahkan lebih dari itu, mareka juga tidak tahu siapa dirinya?
“Apapun maksud dan tujuan yang tersembunyi di balik kebijakan pemerintah Australia, politik tsb adalah kebijakan 'integrasi' yang sungguh kejam dan biadab. Suatu politik integrasi yang telah menghancurkan ribuan keluarga Aborigine. Kebijakan tsb sebenarnya ditujukan untuk memusnahkan sama sekali identitas dan kultur salah satu bagian dari warganegara Australia, yaitu suku bangsa Aborigine. Kesalahan serius, pelanggaran HAM berat terhadap suku-bangsa Aborigine, pelakunya, bukanlah pemerintah Australia yang sekarang ini. Bukan pula suatu kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dari Partai Buruh Australia. Itu dilakukan oleh suatu pemerintah yang bertindak atas nama negara Australia. Sebagai seorang yang merasa punya komitmen dan kepedulian terhadap cita-cita dan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi, Kevin Rudd, atas nama kepala pemerintah Australia yang baru, mengambil inisiatif. Ia faham betul urusan ketatanegaraan dari suatu negara hukum, sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Dengan tegas Kevin Rudd telah mengoper tannggungjawab atas kesalahan pemerintah di masa lalu. Melalui suatu mosi di Parlemen, PM Australia yang baru ini menyatakan PENYESALAN dan MINTA MAAF kepada para korban dari suku-bangsa Aborigine. Suatu tindakan terpuji. Dan yang memang sudah seharusnya mereka lakukan jauh sebelumnya.
Di masa lampau pemerintah Australia telah melakukan kesalahan memporak-porandakan keluarga-keluarga Aborigine dan diciptakannya suatu 'stolen-generation' of Australian. Yaitu suatu 'generasi yang dirampok' dari satu golongan dari bangsa Australia, yaitu suku bangsa Aborigine yang notabene adalah suku-bangsa asli penduduk Australia” tulis Ibrahim Isa dalam HOKI beberapa waktu yang lalu.
Kevin Rudd, Pimpinan Partai Buruh Australia, yang terpilih sebagai Perdana Menteri, membuktikan janji dan komitment yang diberikannya terhadap rakyat Australia, bertolak belakang dengan pemerintah sebelumnya yang tegar hati dan menganggap tidak perlu menyatakan ‘sorry’ terhadap penduduk asli yang diperkosa hak-hak kemanusiaannya, dan menjadikan suku asli sebagai warga klas dua dan tertinggal semenjak kedatangan bangsa kulitputih beberapa abad yang lalu.
Di depan sidang pembukaan Parlemen Federal Australia di Canberra, 13 Februari 2008 yang baru lalu, yang bukan saja dihadiri oleh seluruh anggota Parlemen dan undangan, bahkan juga para Aborigin yang diundang masuk dan duduk bersama buat pertama kalinya di dalam gedung Parlemen Australia, yaitu wakil-wakil dari para “stolen generation”, serta ribuan pendengar dan pengunjung yang berada di luar gedung, yang datang dari seluruh pelosok dan sudut negeri di Australia, juga ribuan pendengar dan pemirsa TV di kota-kota seluruh Australia, melihat dan mendengar dengan jelas ucapan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, yang atas nama pemerintah dan seluruh warga negara Australia, menyatakan penyesalannya dan MINTA MAAF kepada suku bangsa Aborigine yang menjadi korban dari tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah Australia terdahulu.
“Untuk kesakitan, penderitaan dan luka dari “Generasi Tercuri” ini, keturunan mereka dan untuk keluarga mereka yang tertinggal dibelakang, kami nyatakan maaf. Kepada ibu dan ayah, saudara dan saudari, karena terpecah belahnya keluarga dan masyarakatnya, kami nyatakan maaf. Dan untuk penghinaan dan perendahan martabat yang menjadikan beban atas penduduk serta kebudayaan yang dibanggakan, kami nyatakan maaf.” “Sebagai Perdana Menteri Australia, maafkan saya. Atas nama Pemerintah Australia, maafkan saya. Atas nama Parlemen Australia, maafkan saya”. Perdana Menteri mengatakan, permintaan maaf ini adalah untuk “menghapus noda yang maha besar atas bangsa”
Begitu selesai ucapan Perdana menteri, begitu selesai kata-kata permintaan maaf dari pemerintah Australia, Kevin Rudd, seluruh hadirin dalam gedung Parlemen berdiri serentak dan memberikan applaus dan tepukan panjang, diikuti dengan ribuan pengunjung diluar gedung, baik suku Aborogin maupun kulitputih, semua berdiri, bertepuk tangan dan bergembira penuh haru dan berpelukan satu sama lain sambil menitikkan air mata. Para pemirsa TV di kota-kota dan pelosok di Australia, yang tidak dapat datang ke gedung Parlemen di Canberra, juga berbuat sama, semua menangis haru dan gembira melihat dan menerima kenyataan ini, yang merupakan hari yang sangat bersejarah bagi semua penduduk Australia!
Aku yang sejak pagi terpacak di depan televisi, untuk ikut menyaksikan upacara bersejarah bagi bangsa Australia ini, tak urung ikut terharu menyebabkan air mata yang meleleh membasahi pipi. Aku terharu, sedih di samping menompang secercah kegembiraan yang mereka alami, yaitu pengakuan secara resmi atas hak-hak kemanusiaan kaum Aborigin Australia, yang selama puluhan tahun diingkari, melalui pernyataan maaf resmi dari Pemerintah, Perdana menteri Kevin Rudd.
Sebabgai bangsa Indonesia yang berdiam di Australia, hatiku bertanya, apakah negeri, tanah tumpah darahku Indonesia, yang besar dan berkebudayaan tinggi, akan melihat, mempelajari dan mengikuti langkah dan situasi yang terjadi di Australia ini? Sebab, dunia melihat, bahwa apa yang pernah terjadi di Indonesia pada mula pemerintahan Orde Baru/Soeharto, bukan saja pencurian generasi, hingga menyebabkan banyak anak-anak yang tidak mengenal akan ayah ibunya, sanak keluarga yang terpecah belah dan tatanan hidup berbudaya menjadi rusak, namun, lebih dari itu adalah ‘pemusnahan generasi”, yaitu perlakuan tanpa perikemanusiaan, pembunuhan besar-besaran dalam melenyapkan satu golongan dalam masyarakat dan bangsa Indonesia oleh Jenderal Soeharto dan pengikutnya.
Tanggal 28 September 1965, dengan persekongkolan rahasia antara Kolonel A. Latif dan Mayjen. Soeharto selaku Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, dan juga Letkol. Untung dan Brigjen Suparjo, maka pada subuh hari, tanggal 1 Oktober 1965, berlangsunglah gerakan militer yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”, melakukan penculikan para Jenderal yang menjadi atasan Soeharto, yang dituduh sebagai “dewan jenderal” yang diduga akan melakukan kudeta terhadap Presiden Indonesia Bung Karno.
Pada jam 7.00 pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sebelum ada penyelidikan, Kolonel Yoga Sugama sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI. (http://arus.kerjabudaya.org/). Seperti sudah diatur, seperti sudah direka, seperti sudah direncanakan, gerakan militer yang bernama "Gerakan 30 September" yang disingkat dengan "G30S" itu, dengan cepat, tiba-tiba saja ditambahi embel-embel PKI, sehingga menjadi "G30S/PKI".
Kalangan militer dibawah koordinasi Pangkostrad Mayjen.Soeharto memperkenalkan “teorinya” tentang keberadaan PKI sebagai dalang G30S. Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama G30S yang dikembangkan Soeharto ternyata mampu menumbuhkan simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang dipimpinnya.
Media massa kiri dilenyapkan. Tiga suratkabar tentara, BeritaYudha, Angkatan Bersenjata dan Api Pancasila, menjadi trompet militer untuk menyiarkan berita-berita yang disiapkan Angkatan Darat. Dengan kelicikan dan kebusukan, koran-koran itu menebarkan kebohongan dan fitnah keji yang direkayasa. G30S di Jakarta terus menerus digambarkan sebagai upaya kudeta yang didalangi PKI, atau sebagai pemberontakan PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Gerakan 30 September ditulis sebagai G30S/PKI, sehingga pada PKI dilekatkan cap pemberontak brutal.
"Soeharto dengan licik melakukan cara-cara: mengidentikkan G30S dengan PKI, mengingkari kemanusiaan orang komunis, dan menggambarkan mereka sebagai makhluk kejam, asusila dan ateis, penyalahgunaan rasa keagamaan untuk menghasut, dan menanamkan rasa kebencian terhadap komunis. Tidak jarang komunis disebut sebagai tidak bertuhan, atheis, malah musuh Tuhan. Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa hampir semua anggota PKI seperti juga semua bangsa Indonesia beragama. Dan bahwa kebanyakan dari mereka menjadi anggota partai bukanlah karena menganut falsafah materialisme, namun karena mengharapkan partai tersebut mau memperjuangkan kepentingannya". (http://arus.kerjabudaya.org/).
Dan semua ini, seolah-olah memang seperti sudah diatur dan dipersiapkan, karena pada tanggal 5 Oktober 1965, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Marshall Green, mengirim telegram No.:868 kepada Deplu AS berbunyi: "Army now has opportunity to move against PKI if it acts quickly......Momentum is now at peak with discovery of bodies of murdered army leaders. In short, it's now or never..." ( Militer sekarang mempunyai kesempatan maju bergerak menghancurkan PKI, jika dia bertindak secepatnya……Kesempatan sekarang ini adalah saat puncaknya dengan ditemukannya jenazah para pimpinan militer. Secara singkat, sekarang atau tidak samasekali….”) Spread the story of PKI's guilt, treachery and brutality (this priority effort is perhaps most - needed immediate assistance we can give army if we can find way to do it without identifying it as solely or largely US effort)." ("Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, penghianatan dan kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita segera, yang dapat berikan kepada ABRI jika kita bisa menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal ini merupakan usaha AS)". (http://www.wsws.org/article.1999/jul1999/indo2-j20_prn.shtml
Sejalan dengan telegram Duta Besar Green tersebut, setelah para Jenderal yang diculik dan ternyata dibunuh, dan jenazahnya ditemukan di sumur tua Lubang Buaya, Mayjen Soeharto dalam rapat petinggi militer Kostrad pada 5 Oktober 1965 itu, dengan bangga mengeluarkan ucapan: "Sejak menyaksikan........ apa yang didapat di Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka.....(Soeharto: Pikiran,Ucapan dan Tindakan Saya,1989 halaman 136). (http://arus.kerjabudaya.org/).
Menurut Paul Mudigdo, SH , yang pernah mengajar di Universitas Parahyangan Bandung dan pada awal Orba menjadi anggota KASI, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, mengatakan, rapat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dan Jenderal Nasution pada tangga; 5 Oktober 65 itu menghasilkan kesepakatan perihal pelaksanaan rencana penghancuran PKI. Tanggung jawab atas rencana dan segala cara pelaksanaan operasi militer ini diakui dengan bangga oleh jenderal Soeharto di dalam otobiografinya,
Telegram Dutabesar AS Green yang dilanjutkan dengan ucapan lidah Soeharto untuk "menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka........" serta diikuti dengan fatwa alim ulama yang mengatakan bahwa "darah orang komunis adalah halal hukumnya", maka terjadilah pembunuhan massal di bumi persada. Darah orang-orang yang dituduh komunis membanjiri bumi Nusantara. Di mana-mana, militer beserta organisasi-organisasi komando aksi dan partai beserta golongan agama, berpesta pora membunuhi manusia-manusia yang tak bersenjata dan tak melawan yang dituduh PKI! Soeharto, dengan cara dan taktiknya yang kejam, brutal dan tak berperikemanusiaan, dengan berhasil melangsungkan gerakannya.
Atas perintah Soeharto, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, yang dilatih selama 18 bulan pada Akademi Militer Australia di Melbourne dan lulus pada 1964, yang kemudian menjadi komandan RPKAD-Resimen Penggempur Komando Angkatan Darat- dengan 400 orang pasukannya yang ditakuti, melakukan pembersihan, pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh PKI di seluruh Jakarta, dan dilanjutkan ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Menurut pengakuan Sarwo Edhi sendiri, didepan suatu Panitia Pencari Fakta, tiga juta komunis telah “berhasil” dibunuhnya!
Pada 15 Oktober 65, Dutabesar Green melaporkan tentang diskusi dengan Komandan Militer dan Pimpinan Politik Islam: “Pihak Militer dan Islam telah berunding dengan Pejabat Kedutaan, strategi yang diharap bakal diikuti oleh Militer. Mereka berharap, Militer akan step-by-step melakukan aksi, bukan saja melawan PKI, tetapi melawan keselurahan komunis/klik Soekarno”
Pada 20 Oktober, Green mengrim telegram: “Beberapa ribu kader-kader PKI dilaporkan telah ditangkap di Jakarta…..beberapa ratus diantaranya telah dibunuh” Namun dia mengharapkan agar Militer bertindak lebih jauh untuk memenuhi apa yang dikatakannya sebagai ”the crucial assignment”.
Pada 29 Oktober 65 Green mengirim laporan bahwa Militer dan Muslim extremist mengambil cara-caranya sendiri. Muslim di Aceh rupanya menghabisi semua PKI. Penduduk Aceh memotong kepala orang-orang PKI dan menancapkan diatas sepotong kayu dan memajangkannya sepanjang jalan buat tontonan.
Konsul AS di Medan melaporkan , para pemimpin Islam memberikan informasi bahwa orang-orangnya akan melaksanakan pembunuhan besar-besaran. Dia menjelaskan bahwa pembunuhan itu tidak pandang bulu dan perilaku mereka sepertinya “haus darah”.
Dari propinsi Sumatra yang lain, Riau, pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat menyorot akan teror oleh Militer dan Muslim terhadap anggota-anggota persatuan buruh minyak pada perusahaan vital Caltex. “Muslim with army consent have sacked communist premises in city and closed their building in countryside. Army has raided PKI leaders’ houses and inform Caltex management it plants on Oct. 29 to arrest key leaders of communist oil workers’ union Perbum, which forms core of PKI structure that province”
Pada 4 November 1965, setelah sebulan banjir darah, Marshall Green menyatakan kepuasaannya atas karya pihak militer.
“Army is doing a first-class job here of moving against communist, and by all current indications is the emerging authority in Indonesia………There is likely to be bloodshed involving Muslim and Christian youth groups, as well as militeray and others……”
Dua hari menjelang Hari Natal 1965, Kedutaan Besar Australia di Jakarta memperkirakan, pukul rata 1500 orang telah dibunuh SETIAP HARINYA, sejak 30 September 1965.
Teror ini tidak membedakan antara Pimpinan PKI dan anggota biasa PKI yang tidak punya ikatan idiologi pada partai. [Sumber] menganjurkan agar militer sendiri mengambil cara-cara yang extrem melawan PKI dengan menangkap dan memasukkan mereka kedalam kamp-kamp konsentrasi.” (http://www.wsws.org/articles/1999/jul1999/indo3-j21_prn/shtml)
Nah, berapa jumlah korban pembunuhan massal yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto, Angkatan Darat dan antek-anteknya? Dan berapa jumlah orang-orang yang dirampas hak kemanusiaannya, ditahan bahkan sampai mati dalam kamp konsentrasi? Tiga juta, empat juta, lima juta atau sepuluh juta? “Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang dibunuh. Soedomo mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang” kata Pramudya Ananta Toer dalam film dokumentasi “Shadow Plays” Hilton Cordell/SBS-TV-Australia.
Nyata sekali dan dapat dilihat dari sejarah, bahwa apa yang terjadi di Indonesia, bukanlah sekedar “pencurian generasi” akan tetapi “pemusnahan generasi”. Satu generasi, satu keturunan dari bangsa Indonesia dilenyapkan oleh Jenderal Soeharto guna melicinkan jalannya, merangkak keatas menguasai pemerintahan dan bumi pertiwi Indonesia.
Kalau Pemerintah Australia dibawah Perdana Menteri Kevin Rudd, untuk menghapus dosa bangsa yang maha besar, meminta maaf kepada rakyat Australia terutama kaum Aborigine atas peristiwa pelanggaran Hak Azazi Manusia “Stolen Generation” yang menelan korban puluhan ribu jiwa, mendiskriminasi dan merendahkan martabat kaum Aborigine, bagaimana dengan Pemerintah Indonesia dalam melihat sejarah dan dosa besar Jenderal Soeharto yang selama hampir sepertiga abad berkuasa dengan tangan besi?
Bagaimana Indonesia akan menghapus dosa besar yang dilakukan pemerintah masa lalu? Bagaimana Pemerintah Indonesia akan membersihkan “stain of the nation?”. Apakah akan dibuang dan dipendam begitu saja, dianggap sebagai tidak ada, dianggap sebagai hal masa lalu yang harus dilupakan, atau dianggap sebagai hal yang tidak produktif untuk dibicarakan seperti yang pernah dicanangkan oleh para pejabat pemerintahan, dan last but not least akan dibiarkan “gone with the wind”, berlalu seperti angin?
Puluhan juta rakyat Indonesia masih menderita akibat kezaliman Pemerintah Orde Baru/Soeharto yang lalu. Puluhan juta rakyat masih terikat dengan beban peraturan yang diwariskan Soeharto. Puluhan juta rakyat Indonesia yang masih dianggap “warga klas dua” dan dianggap tidak bersih. Puluhan juta rakyat yang sejak kanak-kanak terpisah dari orangtua mereka yang dibunuh, ditahan dan mati dalam tahanan sehingga generasi kemudiannya tidak mengenal orangtua mereka, leluhur dan sanak keluarga mereka. Apakah Pemerintah Indonesia akan menutup mata akan semua pelanggaran Hak Azazi Manusia ini?
Menimbang semua ini, kiranya sangat tepat apa yang ditulis oleh Ibrahim Isa dalam Harian Online Kabar Indonesia beberapa waktu yang lalu: “SBY Seyogianya Belajar dari PM Australia Kevin Rudd! Mintalah maaf atas pelanggaran HAM penguasa RI sebelumnya! Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrat, seyogianya bisa dan harus belajar dari Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, dari Partai Buruh Australia. Kedua negarawan Indonesia dan Australia itu, bukankah masing-masing sering menyatakan komitmen dan kepedulian masing-masing terhadap prinsip-prinsip HAM dan demokrasi?
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 dan kepala pemerintah negara Republik Indonesia, juga bisa dan seyogianya harus minta maaf kepada korban-korban pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pemerintah Indonesia sebelumnya. Dalam hal ini kongkritnya, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jendral mantan Presiden Suharto. Lebih terpusat lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menyatakan penyesalan atas tindakan Orba yang melakukan pelanggaran HAM besar-besaran dalam Peristiwa 1965 - '67, '68 dst. Peristiwa Tanjung Priok, Malari, Petrus, yang menyangkut ODM Aceh, Papua, Peristiwa Mei 1998 dll. Halmana telah menyebabkan penderitaan, sampai saat ini, tidak kurang lebih 20 juta anggota keluarga Indonesia.
Kalau bicara soal Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, sesungguhnya inilah masalah inti, masalah pokok dari Kebenaran Rekonsiliasasi Nasional. Yang terpenting yaitu pernyataan penyesalan dan minta maaf oleh pemerintah SBY yang sekarang ini, atas pelanggaran rezim Orba di masa lampau. Selanjutnya pemerintah segera melakukan REHABILITASI TOTAL atas PARA KORBAN Pelanggaran HAM dan Hukum rezim ORBA”
Kalau misalnya, Presiden SBY merasa kikuk atau malu dan membanggakan diri serta beranggapan “masakan kita mesti mencontoh dan belajar dari Australia”, maka apa salahnya kalau Presiden Indonesia melihat dan belajar dan mengambil contoh pada “bangsa sendiri” dalam memberikan pernyataan permintaan maaf?
Waktu berkunjung ke Dilli, Timor Leste, Gus Dur pernah menyatakan: "Saya ingin mengutarakan permintaan maaf atas apa yang terjadi di masa lampau, baik kepada keluarga dan teman-teman korban Santa Cruz serta teman-teman dan keluarga yang dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Mudah- mudahan di masa mendatang tidak akan terulang lagi. Kita adalah orang-orang yang sama-sama mengalami penderitaan. Anda di bawah penindasan, kami pun di bawah penindasan. Alhamdulilah sekarang kita telah bisa melepaskan masa lampau yang penuh kesulitan dan penderitaan" (Dikutip dari Kompas tgl 1 Maret/http://kontak.club.fr/index.htm)
Kita lihat, apa yang terjadi di Santa Cruz Dilli bukanlah disebabkan oleh Gus Dur, namun, sebagai pemimpin bangsa Indonesia, beliau tidak malu untuk meminta maaf kepada rakyat Timor Leste atas perbuatan Pemerintah Indonesia terdahulu, pemerintahan Orde Baru Soeharto. Bukan itu saja, bahkan mengenai kejadian Pembunuhan Massal di tanah air pada 65-66, Gus Dur pernah berkata, bahwa “sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), dirinya sudah meminta maaf terhadap para korban G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis”_.
“Minta ma’af atas kesalahan terhadap pelanggaran HAM yang begitu parah itu bukannya sesuatu yang hina. Permintaan ma’af ini bukan saja penting untuk rekonsiliasi nasional, melainkan juga untuk menolong diri mereka-mereka yang telah ikut serta – dalam berbagai derajat dan melalui berbagai bentuk – dalam kesalahan-kolektif yang telah berlangsung lama itu. Dengan permintaan ma’af ini, mereka akan dibebaskan dari beban moril karena merasa ikut bersalah. Dengan permintaan ma’af ini, mereka kemudian bisa ikut secara positif, dan dengan kelegaan hati, dalam usaha besar untuk menggalang persatuan nasional, yang sekarang tercabik-cabik dalam berbagai bentuk itu.
Kalau kita semua mau merenungkan dengan fikiran yang jernih dan dengan hati yang bersih, yang dipersenjatai dengan iman pula, maka kita akan bisa mengambil kesimpulan bahwa perlakuan terhadap para ex-tapol (berikut sanak-saudara mereka) yang jumlahnya begitu besar, dan yang sampai sekarang tetap terus mengidap penderitaan dalam berbagai bentuk, adalah manifestasi dari sikap permusuhan terhadap sebagian dari bangsa kita. Sikap permusuhan inilah yang selama puluhan tahun telah dipupuk, dibesarkan, dipelihara oleh rezim militer Orde Baru, beserta para pendukung setianya di berbagai kalangan. Jadi, sebenarnya, selama berkuasanya Orde Baru, sikap yang tidak menguntungkan persatuan bangsa ini tertanam - bahkan dengan sengaja ditanamkan - dalam masyarakat. Dan justru sikap permusuhan inilah yang mau diberantas oleh Gus Dur” (diangkat dari tulisan A.Umar Said/ kontak.club.fr/index.htm)
Contoh lain yang bisa diambil sebagai pelajaran, adalah apa yang terjadi antara Letjen Sarwo Edhi Wibowo dan Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia..
Ketika tahun 65-66, Ilham hanyalah seorang kanak-kanak yang hanya berusia 6 tahun, sedang Sarwo Edhi adalah komandan militer, RPKAD, yang membabat tiga juta orang komunis di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
Pada tahun 1981, Ilham, yang sejak masa kecilnya hidup dalam derita, sengsara dan cemooh sebagai anak dari Ketua PKI, tumbuh menjadi pemuda segar dan berkapasitas dan tergabung dalam organisasi pencinta alam Wanadri di Bandung, dan menyelesaikan trainingnya, serta bakal menerima piagam. Hati Ilham cukup bergetar, karena inspektur upacara yang bakal memberikan piagam adalah Sarwo Edhi Wibowo yang tidak asing lagi. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di bajukemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham. "Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan," kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo Edhi. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu!
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara. Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu. Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. "Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya," kata Ilham seperti apa yang ditulis oleh Bersihar Lubis, seorang penulis dan wartawan yang tinggal di Depok/ (ma_gili@t-online.de.)
Juga dapat dilihat dan disaksikan ucapan dan keterangan langsung dari Ilham Aidit dalam video-clip yang berjudul: “Menyemai Terang Dalam Kelam”.
Kita lihat betapa pengakuan Sarwo Edhi Wibowo. bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 , yang diyakininya benar Tapi setelah peristiwa itu, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah”. Dan memang sudah sewajarnyalah kalau dalam hal ini Ilham Aidit “memahami dan bisa memaafkan”
Namun, kasus G-30-S-1965, masalah pembunuhan jutaan bangsa Indonesia, termasuk yang dilakukan Sarwo Edhi Wibowo, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah hanya masalah Sarwo Edhi dan Ilham Aidit. Bukanlah masalah perorangan, bukanlah cuma kasus satu partai, akan tetapi adalah masalah semua personal, semua partai dan agama, adalah masalah bangsa dan negara, yang sudah barang tentu harus diselesaikan secara kenegaraan pula. Noda besar ini bukanlah noda perseorangan, tetapi noda Bangsa dan Negara yang diciptakan oleh seorang pemimpin Negara yang zalim, yaitu Jenderal Soeharto!!! Kendatipun, beberapa personal telah mencoba ber-rekonsialiasi, namun untuk ini, secara global, yang berkewajiban menuntaskannya, menyelesaikannya, membersihkan noda besar bangsa dan pemberian rehabilitasi kepada para korban kekejaman dan kebrutalan rezim Oede Baru Jenderal Soeharto, yang sampai kini masih jutaan jumlahnya, adalah Pemimpin Negara, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia. Seperti yang dikatakan Sumaun Utomo, Ketua Umum Lembaga Perjuangan Rakyat Korban Rezim Orde Baru, sesuai dengan pasal 14 UU, yang berhak memberikan rehabilitasi adalah seorang Presiden. "Kalau saat ini Presidennya adalah Yudhoyono maka yang bisa memberikan rehabilitasi kepada para korban adalah Yudhoyono,"
Dalam beberapa kesempatan, Presiden SBY pernah mengeluarkan pernyataan yang memberi janji dan harapan, seperti apa yang bisa kita kutip:
“Baru-baru ini dalam pers Indonesia (antara lain : Kompas, Suara Pembaruan, Jakarta Post) dimuat berita yang bisa menimbulkan perasaan gembira bagi banyak orang, terutama bagi para korban 65 dan eks-tapol. Contohnya adalah yang diberitakan oleh Suara Pembaruan tanggal 17 Maret 2005 yang berbunyi sebagai berikut : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana merehabilitasi para mantan tahanan politik (tapol) Pulau Buru yang sampai saat ini belum pulih hak-haknya sebagai warga negara. Mantan tapol Pulau Buru adalah orang-orang yang dituduh terlibat G30S pada 30 September 1965 yang sampai saat ini belum pernah ditangani dengan baik oleh negara.” begitu menurut cuplikan berita koran.
“Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004 lalu, Ilham Aidit mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono. Ilham datang bersama teman-temannya dari Forum Silaturrahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari anak-anak korban G-30-S, DI/TII, dan sebagainya. Dalam pertemuan di pesantren Daarut Tauhiid di Gegerkalong Bandung itu, juga hadir mantan gubernur dan mantan Pangdam Siliwangi, Solichin GP. Dalam pertemuan di pesantren Aa Gym, Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif. . Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang “kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif," kata Ilham. Ketika itu, SBY yang berbaju batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham yang mengenakan kemeja lengan panjang (Bersihar Lubis/ ma_gili@t-online.de)
Kini, kalau Pemerintahan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, berani untuk mendobrak masa lalu, dengan permintaan maaf kapada bangsanya atas perlakuan pemerintahan terdahulu terhadap kaum Aborigin, yang menyebabkan mereka mengalami kesakitan, penderitaan, luka dan keturunan yang menjadi tertinggal serta terbelakang , keluarga dan masyarakat yang terpecah belah, kehilangan martabat serta pemusnahan kebudayaan yang dibanggakan, bagaimana dengan Pemerintah Indonesia yang jutaan rakyatnya bahkan nasibnya lebih jelek dari Aborigin Australia, karena banyak yang dibantai, dipenjarakan, dikucilkan dan yang masih tinggal, dicurigai seumur hidup dan kehilangan hak-hak sipilnya, karena harus hidup dalam hukum dan peraturan yang diskriminatif, perbedaan Hak Azazi Manusia yang kejam yang diwariskan oleh Pemerintah Orde Baru Jenderal Soeharto yang sampai sekarang masih diberlakukan?
Sesunggunhya, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudono mempunyai “Kewajiban Moral dan Nilai Kemanusiaan” yang tinggi dan mulia untuk menyembuhkan luka bangsa ini.! Tidak ada kewajiban moral dan nilai kemanusiaan yang paling tinggi dan mulia selain membebaskan jutaan rakyat yang menderita diskrimansi selama puluhan tahun, generasi yang kehilangan ayah, ibu, saudara dan saudari serta leluhurnya karena praktek kejam diluar perikemanusiaan Jenderal Soeharto bersama Orde Barunya selama kekuasaannya!. Tidak ada kewajiban moral dan kemanusiaan yang tinggi dan mulia, selain menghapus dosa bangsa yang memborok, dengan jalan meminta maaf kepada para korban Hak Azazi Manusia, yang masih hidup, bersama sanak keluarga dan anakcucunya.dalam derita dan sengsara sampai hari ini! Semoga SBY, presiden yang dipilih rakyat, akan terbuka hatinya dan membuktikan kata-kata yang pernah diucapkannya sendiri pada 20 Mei 2006 (Berita Rakyat Merdeka), tentang: “Kewajiban Moral dan Nilai Kemanusiaan”, semoga bukan hanya kepada atasannya ataupun kerabatnya, namun yang utama adalah kepada RAKYATNYA!
“Luka lama yang ingin kami sembuhkan!. Kami ingin berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan masa lampa, memerlukan suasana persahabatan, kesetaraan. Sebab peristiwa tragedy kemanusiaan 65-66 bukan hanya milik perorangan, bukan hanya milik kami, tetapi adalah milik bangsa ini. Oleh karena itu bangsa inilah yang seharusnya melakukan penyembuhan terhadap luka-luka di dalam dirinya sendiri.” (Putu Oka Sukanta, Penyair, ditahan selama 10 tahun (66-76) tanpa diadili. Dikutip dari video-clip MENYEMAI TERANG DALAM KELAM) ***
Australia, 22 Pebruari 2008