Sambutan Bapak A.S. Munandar dalam pertemuan besar Peringatan 40 Tahun Peristiwa Tragedi Nasioal 65 di Dieman (Nederland) pada tanggal 15 Oktober 2005

 

PERANAN NEKOLIM

DALAM TRAGEDI NASIONAL 1965

 

Nekolim akronim untuk Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme. Akronim ini agak umum kita kenal pada masa sebelum terjadi tragedi nasional 1965.

Pada tahun 1930 – kita tinjau agak jauh ke belakang - dalam pidato pembelaannya yang termashur ‘Indonesia Menggugat´di depan pengadilan kolonial Hindia Belanda Bung Karno secara ilmiah dan gamblang mengexpos sistem imperialisme dan kolonialisme yang dipraktekkan di jajahan Hindia Belanda. Bung Karno mengungkapkan bahwa sistem penindasan dan exploatasi atas rakyat dan bangsa Indonesia, tak terelakkan akan membangkitkan perlawanan dan perjuangan untuk Indonesia Merdeka dan cita-cita itu pasti akan terwujud. Pada 17 Agustus yang lalu kita peringati ulangtahun ke-60 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi itu adalah satu puncak dalam perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia selama puluhan tahun melawan imperialisme dan kolonialisme, pertama-tama dari Belanda, kemudian Jepang dan selanjutnya berbagai kekuasaan imperialis dunia.

Sejak tahun 1930 banyak sekali terjadi perubahan internasional dalam perimbangan kekuatan negara-negara imperialis dan sistem kolonialisme. Sistem kolonial yang lama runtuh, banyak negeri jajahan dan setengah-jajahan mencapai kemerdekaannya. Namun inti kupasan dan analisis Bung Karno mengenai imperialisme dan kolonialisme masih berlaku sampai sekarang.

Dengan proklamasi kemerdekaan R.I. rakyat Indonesia mematahkan belenggu imperialisme Belanda dan fasisme Jepang. Tetapi pada saat itupun imperialisme dan kolonialisme yang tak rela menerima kekalahannya terus merongrong Republik Indonesia yang muda itu.. Pada 1948 komplotan imperialis dengan ‘Red Drive Proposals’ yang bertujuan mencerai-beraikan serta menghancurkan kekuatan revolusioner rakyat Indonesia dilaksanakan dengan pencetusan Peristiwa Madiun. Sekalipun dipaksa menerima kompromi persetujuan Konferensi Meja Bundar rakyat Indonesia meneruskan perjuangan melawan imperialisme demi mewujudkan kemerdekaan yang sungguh-sungguh. Intervensi imperialis, khususnya imperialisme AS, tak berhenti dan semakin nyata. George McKahin, pakar Indonesia dari Universitas Cornell AS, menguraikan dalam bukunya ‘Subversi sebagai politik luarnegeri’, bahwa bagi imperialis AS intervensi dan subversi menjadi bagian dari politik luarnegerinya.

Dalam pernyataan ‘Dasa Sila’ yang disepakati oleh Konferensi AA Bandung pada 1955 dengan tegas dinyatakan dan dicanangkan bahwa ‘kolonialisme belum mati’ dan munculnya ‘neokolonialisme’ – jajahan model baru.

Tidak mengherankan bahwa Bung Karno yang menyuarakan tekad perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialisme dan kolonialisme itu berkali-kali menjadi sasaran percobaan pembunuhan. Berkali-kali itu gagal, tapi sebagaimana kolonel Maulwi Saelan dalam memoarnya menyatakan, akhirnya usaha itu berhasil, yaitu oleh rezim Suharto.

Dengan menelusuri jalan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ini, dapat dilacak tangan nekolim dalam tragedi nasional yang dimulai dengan peristiwa G30S September 1945. Hingga kini masih berlangsung perdebatan dan penelitian mengenai apa sesungguhnya yang terjadi. Namun dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam, kekuatan reaksioner AD dibawah jenderal Suharto segera melaksanakan pengejaran, penangkapan dan pembunuhan atas semua orang yang dituduh PKI atau menjadi pendukungnya.

Pada saat kita memperingati 40 tahun tragedi nasional 1965, patut kita kenang kembali bagaimana sikap Bung Karno mengenai peristiwa itu. Sikapnya konsekuen mendasarkan diri pada pengenalan mendalam atas siasat imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme. Dalam pidato NAWAKSARA, pidato pertanggungjawaban sikapnya kepada MPRS pada 10 Januari 1967, Bung Karno menegaskan bahwa atas dasar penyelidikannya yang seksama peristiwa G30S “ditimbulkan oleh ‘pertemuannya’ tiga sebab, yaitu: a) keblingeran pimpinan PKI, b) kelihaian subversi nekolim, c) memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’”. MPRS yang sudah dicopoti semua elemen yang mendukung Bung Karno dan yang kritis terhadap AD menolak pidato Bung Karno. Bung Karno lewat penyalahgunaan ‘supersemar’ diturunkan dan sampai meninggal berstatus ‘tahanan rumah’.

Mengapa pernyataan NAWAKSARA Bung Karno samasekali diabaikan? Mengapa sasaran hanya dibidikkan pada PKI dengan meninggalkan segala prosedur hukum? Mengapa tokoh-tokoh pimpinan PKI yang sudah di tangan AD tidak dibawa ke pengadilan tapi dibunuh secara gelap? Mengapa sebab b) kelihaian subversi nekolim dan c)memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’ samasekali tak jadi perhatian? Meneliti pidato NAWAKSARA memberi petujuk kepada kita mengenai sebab-sebabnya.

Dalam NAWAKSARA Bung Karno menekankan keharusan ‘kewaspadaan istimewa terhadap bahaya kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri dan bahaya kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri. Kejadian-kejadian yang kita saksikan membuktikan bahwa kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri (yaitu oknum-oknum yang ‘tidak benar’) sudah bersatu padu dengan kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri (kelihaian subversi nekolim). Pada hakekatnya kup kontrarevolusioner yang didalangi oleh jenderal Suharto sudah berjalan.

Bahan-bahan dan publikasi yang selama ini diterbitkan, khususnya di luarnegeri, semakin jelas menyingkap ‘kelihaian subversif nekolim’ dalam Tragedi Nasional 1965. Satu bahan penting yalah DOKUMEN CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965 yang diterbitkan oleh Hasta Mitra. Bahan ini merupakan kumpulan data intelijen otentik yang dibuka oleh State Department AS tapi kemudian ditarik kembali oleh CIA. Dari bahan-bahan ini para sejarawan a.l. menyimpulkan bahwa Amerika memberikan nama-nama orang komunis kepada Angkatan Darat Indonesia, yang membunuh paling tidak 105.000 orang komunis pada 1965-1966. CIA tidak bisa lagi menutup peranannya.

Buku yang sangat penting untuk memahami peranan imperialis AS (Pentagon dan CIA) dalam usaha mendominasi dunia yalah karya Noam Chomsky dan Edward S. Herman yang berjudul: ‘The Washington Connection and Third World Fascism’ (Keterkaitan Washington dengan Fasisme Di Dunia Ketiga), 1979. Dalam Bab 1, Introduksi, a.l. disimpulkan ‘Dunia kolonial yang lama dihancurkan selama Perang Dunia II, menghasilkan kebangkitan nasionalis-radikal yang mengancam hegemoni tradisional Barat dan kepentingan-kepentingan ekonomi bisnis Barat. Untuk membendung ancaman ini Amerika Serikat menggabungkan diri dengan elemen-elemen elite dan militer di Dunia Ketiga yang fungsinya membendung pasang-surut perubahan.´ Inilah yang dilakukan oleh rezim-rezim diktatorial seperti di Vietnam Selatan untuk menahan perjuangan pembebasan rakyat Vietnam, kemudian juga oleh Mobutu di Zaire, Pinochet di Chili dan Suharto di Indonesia. Dalam bab-bab berikutnya Noam Chomsky mengupas keterkaitan neokolonialisme dengan Washington dan bebagai jenis teror yang diterapkan di berbagai negeri dunia ketiga. Bab 4 berjudul ‘Teror Konstruktif’. Mengapa ‘konstruktif’? Karena pembantaian berdarah dan teror yang secara substansial menciptakan iklim investasi yang menguntungkan. Inilah yang dimaksud ‘konstruktif’, sebab mencapai tujuan yang jadi prioritas paling tinggi bagi pemimpin-pemimpin ‘Dunia Bebas’. Adapun masalah hak-hak asasi manusia dapat dikesampingkan. Selanjutnya dengan subjudul: Indonesia: pembasmian massal, sorga kaum investor, diuraikan makna kejadian-kejadian di Indonesia ‘Massaker-massaker besar di Indonesia pada tahun 1965-1966 punya artipenting bersegi tiga. Pertama, kejadian-kejadian itu merupakan suatu tahap baru dalam kekerasan kontrarevolusioner ditandai oleh “pembasmian massal guna mengkonsolidir kekuasaan otoriter”. Kedua, kejadian-kejadian itu mempertunjukkan seterang-terangnya respon pemerintahan AS atas pertumpahan darah di mana hasil-hasil politik dari pembantaian itu dipandang sebagai “positif”. Ketiga, karena reaksi para jurnalis yang bertanggungjawab dan para pemimpin politik antusias, dan protes dunia terhadap pembunuhan massal itu minimal, maka pertumpahan darah di Indonesia mempersiapkan jalan untuk jadi model yang dapat berwujud untuk pogrom-progrom lain yang biarpun lebih kecil tetap berskala besar seperti pada tahun-tahun kemudian di Chili.’

Analisis Chomsky sepenuhnya dibuktikan kebenarannya pada Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Di bidang ekonomi rezim Orba membuka pintu selebar-lebarnya untuk investasi modal asing, meninggalkan prinsip berdikari Bung Karno. Indonesia betul-betul menjadi sorga bagi kaum investor. Ini hasil atas dasar pembantaian massal luarbiasa atas jutaan rakyat tak berdosa, sedangkan dunia barat yang mendominir media massa yang biasanya suka berteriak mengenai pelanggaran hak-hak asasi kemanusiaan, betul-betul bisu dalam seribu bahasa. Sebagaimana dicatat Chomsky “protes dunia itu ....minimal”.

Begitu luas dan besar pembunuhan terjadi di Indonesia, sehingga Chomsky menamakannya ‘holocaust terbesar yang kedua dalam abat keduapuluh.’

Melalui analisis dan bukti-bukti nyata Chomsky menyingkap keterlibatan nekolim, khususnya AS, dalam Tragedi Nasional 1965. Dengan segala cara yang licik para pemihak imperialis ketika itu berusaha mencegah penerbitan edisi pertama buku ini, tapi usaha ini akhirnya sia-sia.

Peranan nekolim ini dengan jelas dibahas juga dalam artikel David Easter yang dimuat di Journal of Cold War History, Vol. 5, No. 1, 2005. Judulnya ‘Keep the Indonesian Pot Boiling’; Western Covert Intervention in Indonesia, Oktober 1965-March 1966. (Biarkan kerusuhan di Indonesia terus berjalan, Intervensi Terselubung Barat di Indonesia, Oktober 1965-Maret 1966). Pembahasan itu lebih jauh menambah persepsi kita. Dalam studi ini David Easter menguraikan persekongkolan antara negara-negara AS, Inggris, Australia dan Malaysia untuk menyebarluaskan propaganda yang menghasut permusuhan terhadap PKI. Dampaknya yalah memberi hati kepada pembunuhan massal terhadap kaum komunis.Terjadilah kerjasama antara negara-negara Barat ini dengan kekuatan AD yang tak setuju dengan politik konfrontasi Sukarno terhadap Malaysia, sehingga mensabot politik itu. Tulis Davis Easter “...Kolonel Willis Ethel, atase militer AS di Jakarta, secara reguler bertemu dengan asisten Nasution”. “Ethel juga memberi jaminan agak luas, bahwa Inggris tidak akan mengeskalir Konfrontasi selama tentara Indonesia sibuk membereskan kaum komunis.” “Tentara Indonesia bisa menindas kaum komunis dengan tidak usah kuatir mengenai operasi-operasi Inggris dan Australia dalam Konfrontasi. Selain itu , Amerika secara rahasia memberi bantuan material kepada tentara.”

David Easter mengakui bahwa propaganda Barat membantu menggambarkan kaum komunis sebagai pembunuh-pembunuh haus darah yang selayaknya harus dibasmi. Dampak kampanye itu adalah untuk ‘dehumanize’ (‘membukan-manusiakan’) kaum komunis supaya lebih mudah membunuhnya. Kita sama-sama tahu ‘keberhasilan’ nekolim dan rezim Orba dalam usaha ini sehingga sampai sekarangpun sangat berat untuk mencabut stigma ‘komunis sebagai penjahat dan pembunuh’ dan melenyapkan diskriminasi pada korban 1965.

Publikasi penting yang juga perlu disebut yalah karya Roland Challis, ‘Shadow of a Revolution - Indonesia and the Generals’, 2001. Roland Challis yang jadi koresponden BBC untuk Asia Tenggara dari tahun 1964-1969, meliput semua kejadian sejak peristiwa 30 September 1965, pengejaran dan pembantaian kaum komunis atau yang disangka komunis, sampai berdirinya rezim orba di bawah Suharto. Kesaksian atas berlangsungnya Tragedi Nasional itu begitu menyentuhnya sehingga ia mempersembahkan bukunya kepada jutaan orang Indonesia yang jadi korban. Teks yang dicantumkan pada halaman depan bukunya berbunyi: “Dedicated with respect to the memory of more than one million Indonesians who died and are still dying because of the greed, brutality dan ruthless indifference of the military, politicians, global corporations and ‘statesmen’of all nations.” (Dipersembahkan dengan rasa hormat demi mengenangkan lebih dari satu juta orang Indonesia yang telah mati dan masih akan mati disebabkan kerakusan, kebengisan dan ketak-acuhan kejam para militer, politisi, korporasi-korporasi global dan para ‘negarawan’dari semua bangsa.)

Hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak yang harus dinikmati oleh semua manusia. Tapi di Indonesia selama puluhan tahun, khususnya sejak berdirinya rezim Orba, hak-hak itu telah dilanggar dan diinjak-injak. Nekolim lewat negara-negara Barat merestui pelanggaran-pelanggaran itu. Peranan nekolim ini tidak hanya terbatas pada Indonesia, tapi di kebanyakan negeri dunia ketiga, seperti kesewenang-wenangan yang terjadi di negeri-negeri Amerika Latin, Afrika dan Asia, Irak, dan bahkan di beberapa negeri Eropa. Dalam pidatonya pada tanggal 9 September yang lalu dalam Konferensi Hak-hak Asasi Manusia Suhakam, Malaysia, mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dengan tajam mengecam kemunafikan negara-negara Barat dalam hal ini Mereka mengangkat diri sebagai yang berhak meletakkan dasar hak-hak manusia dan menjadi pengawas atas pelaksanaannya di dunia. Globalisasi mereka bukanlah untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan kapital.

Pada saat kita memperingati 40 tahun Tragedi Nasional 1965 harus kita camkan peranan jahat nekolim, yang sampai sekarang masih berlangsung. Imperialis AS kini satu-satunya negara adikuasa.. Ambisinya dewasa ini dengan seksama diuraikan dalam karya Chomsky yang terbit 2003 berjudul: HEGEMONY OR SURVIVAL – America’s quest for global dominance (HEGEMONI ATAU BERTAHAN-HIDUP – pelacakan Amerika untuk mencapai dominasi global).

Rakyat dan bangsa kita masih menghadapi perjuangan jangka panjang agar hak-hak asasi manusia dapat ditegakkan dan dinikmati setiap orang. Usaha ini memerlukan persatuan semua kekuatan rakyat dan bangsa Indonesia. Nekolim adalah musuh internasional, maka perlu pula menggalang kerjasama dan solidaritas dengan rakyat berbagai negeri untuk mewujudkan bersama dunia adil dan demokratik.

15 Oktober 2005

A.S. Munandar