G30S & Rekonsiliasi

Mengakui Kesalahan Perbuatan Terhormat

Masyarakat Beradab

 

Oleh: Harsutejo

 

Mengenang Dengan Rasa Malu. Sejarah selama 32 tahun rezim Orde Baru bergelimang dengan apa yang selalu mereka tuduhkan kepada musuh-musuh politik mereka ‘tujuan menghalalkan segala cara’, dengan sistimatik mereka praktekkan sendiri. Warisan kampanye Orba selama 32 tahun masih meninggalkan dampaknya yang jauh, termasuk persepsi sejarah G30S yang telah menjadi bagian dari jalan pikiran dan perasaan jutaan orang Indonesia. Dengan landasan itu pula telah dilakukan upaya politik kekuasaan lama yang tidak rela kehilangan kekuasaannya.

Selama 32 tahun dongeng dan fitnah kekejian Gerwani misalnya terus menerus dipompakan ke dalam benak seluruh rakyat Indonesia, kepada anak-anak sekolah melalui buku-buku sejarah, film, sebagian diabadikan dalam berbagai relief monumen Lubang Buaya yang sampai kini masih dipelihara. Dengan tepat Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menekankan perlunya mengenang sejarah tertentu dengan rasa malu, agar kita dapat belajar dengan lebih tepat terhadap kejadian sejarah itu untuk melangkah ke depan dengan keadaban antara korban dan pelaku kenistaan. Selanjutnya Prof Azyumardi mengemukakan empat dimensi pemaafan, (1) Pemaafan dimulai dengan penilaian moral; dalam konteks Islam disebut muhasabah, saling menghitung dan menimbang peristiwa pahit yang telah melukai, melakukan introspeksi dan penilaian moral terhadap kejadian itu. (2) Memutuskan restitusi, kompensasi kepada korban, atau hukuman kepada pelaku. Pemaafan tidak selalu menghapuskan hukuman, namun harus menghentikan pembalasan dendam. (3) Menumbuhkan empati kepada pelaku, bagaimanapun ia manusia biasa. (4) Mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan murni diperlukan guna memperbarui hubungan antar manusia, kesiapan hidup berdampingan secara damai dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing. 1)


Adakah Kesatria Orba? Dalam wawancara dengan The Wallstreet Journal dan Omaha World Herald pada 24 April 2001, mantan Senator AS Bob Kerrey menyatakan pengakuannya atas perbuatan tentara AS di Vietnam. Salah satu operasi yang dipimpin Letnan Kerrey (ketika itu 25 tahun) terdiri dari 7 tentara komando elite AL AS pada 25 Februari 1969 terhadap desa Thanh Phong di Delta Mekong. Pada malam itu ia mengaku ditembaki lebih dulu oleh Vietkong yang tak bisa dilihatnya, di tempat yang menurut info intelijen ada pertemuan musuh. Atas perintahnya pasukan AS membalas menembak, hasilnya 21 Vietkong terbunuh seperti yang tercantum dalam surat pujian yang menyertai bintang tertinggi ke empat Bronze Star untuk keberaniannya. Ketika ia mengetahui bahwa yang terbunuh hanya rakyat sipil, perempuan dan anak-anak. "…Saya begitu malunya sampai saya ingin mati… Saya disebut sebagai seorang pahlawan dan menyimpan ini di dalam hati." Dapat ditambahkan bahwa 17 hari setelah kejadian itu, Kerrey kehilangan sebagian kaki kanannya dalam suatu pertempuran. Untuk itu ia mendapat Medal of Honor.

Departemen Luar Negeri Propinsi Ben Tre Delta Mekong, Vietnam pada 27 April menyatakan bahwa operasi itu telah membunuh 13 anak, 5 perempuan dan satu kakek sebagai yang dikemukakan seorang saksi mata. Serangan brutal itu merupakan kejahatan perang. Jubir Kemlu Vietnam menyatakan bahwa untuk menemukan damai di hati mereka, cara terbaik bagi Kerrey dan yang lain yang berperang di Vietnam dengan mengambil tindakan konkret dan spesifik untuk menyumbang penyembuhan bekas luka perang di Vietnam. Sementara itu versi lain disampaikan oleh bekas anak buah Kerrey, Gerard Klann. Kepada The New York Times Magazine 29 April ia mengatakan ketika pencarian terhadap gerilyawan Vietkong tak menemukan apa pun, Kerrey memerintahkan pasukan mengumpulkan penduduk sipil dan membunuh mereka. Kisah Klann ini dikuatkan oleh saksi mata seorang perempuan Pham Tri Lanh (62 tahun) yang mengatakan pasukan itu telah membunuh 20 penduduk sipil termasuk 13 anak dan seorang perempuan hamil. Saksi mata lain Bui Thi Luom (44 tahun), penduduk setempat menyatakan pasukan AS masuk ke desanya dan membunuh 15 orang keluarganya. Ia yang ketika itu berumur 12 tahun, satu-satunya anggota keluarga yang selamat. Menurut tajuk Kompas 30 April 2001 sebaiknya pengalaman semacam itu dan yang serupa ditebus dengan sikap ksatria seperti lazimnya diajarkan pendidikan militer. Tajuk berharap tindakan Kerrey mengilhami munculnya semangat baru, jiwa lebih ksatria mengakui kesalahan yang dilakukan masa lalu, selanjutnya merancang program konkrit untuk membantu para korban yang pernah terkena tindak kekerasan masa lalu (Kompas 28,30 April,1 Mei 2001). Itulah perbuatan tentara AS yang dikendalikan oleh pemerintah AS, di samping kejahatan lain seperti pembunuhan, sabotase, perusakan oleh aparat intelijen. Setidaknya seorang Kerrey yang terpandang masih cukup memiliki keberanian moral untuk membuka kedoknya, setidaknya sebagian kedoknya.

Sampai pada pertanyaan, akan adakah pejabat militer dan sipil Orba (serta kelompok lain termasuk lapisan kecil intelektual) yang masih memiliki hati nurani dan keberanian moral yang akan mengakui dosa-dosanya yang berlumuran darah selama tragedi G30S 1965/1966, peristiwa Tanjungpriok, Lampung, Timor Leste, Papua, Aceh dan yang lain? Seorang Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden secara terbuka dengan jiwa besar tanpa risi telah mneyatakan maaf dalam hubungan peristiwa amat berdarah 1965/1966. Kebesaran jiwa Gus Dur telah mendapatkan simpati luas meskipun tidak dinyatakan dalam bentuk yang ramai sebagai berita laris di pasar. Ironis sikap yang dilandasi jiwa besar itu telah juga mendapat reaksi negatif dari sementara orang, bahkan mengecam dan menghujatnya. Agaknya kelompok kecil ini bersikeras hendak menutupi dosa-dosanya sendiri dan bersikukuh mempertahankan kedoknya. Bagaimanapun gaung Gus Dur telah mendapatkan respons sangat bagus dari seorang rektor IAIN seperti tersebut di atas. Dan ini adalah kecenderungan kuat akal sehat pasca perang dingin.


Pelanggaran HAM Berat dan Perikemanusiaan Standar Ganda. Dari jalannya peristiwa sejak 1 Oktober 1965 sampai berlangsungnya pembasmian berdarah terhadap sekelompok rakyat Indonesia merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Pelanggaran ini berlanjut terus berupa penangkapan, penganiayaan, penahanan dan pemenjaraan bertahun-tahun terhadap ratusan ribu korban. Selanjutnya juga kerja paksa, perkosaan, perampasan hak milik dan kehormatan, pemecatan sewenang-wenang, semuanya tanpa proses hukum kecuali hukum kekuatan dan kekuasaan. Pendeknya segalanya ada di ujung laras senapan. Setelah itu pun masih berlanjut lagi dengan pengingkaran hak sipil berupa penandaan kartu identitas berupa KTP dengan tanda ET (eks tahanan politik) cara-cara yang diwariskan rezim Hitler. Pelanggaran ini masih dilengkapi dengan apa yang disebut ‘bersih diri’ dan ‘bersih limgkungan’, suatu konsep anti kemanusiaan yang beradab yang telah memecah belah masyarakat, tindakan kejam yang berdampak mendalam dalam merusak kekerabatan masyarakat Indonesia. Tidak aneh apabila seorang kiai yang penyair, KHA Mustofa Bisri amat teriris pedih hatinya melihat tingkah laku penguasa Orde Baru semacam itu atas nama Pancasila yang disaktikan, menghajarnya dengan puisi keras penuh kepahitan dan sarkasme, sekaligus mencerminkan kenyataan pahit praktek kekuasaan penuh angkara,

"…maka pancasila kalian pun selama ini adalah:

kesetanan yang maha perkasa, kebinatangan yang degil dan biadab,

perseteruan indonesia, kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan / perkawanan,

kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia…" 2)

Diperlukan peninjauan dan pengkajian kembali terhadap seluruh peristiwa besar yang telah berdampak begitu luas. Perlu dibukanya wawasan baru tentang penilaian kembali, bukan saja dari segi kebenaran sejarah, juga diakhirinya standar ganda yang selama ini dianut dan diindoktrinasikan kepada seluruh rakyat oleh penguasa Orde Baru, standar ganda kemanusiaan dalam menyikapi dan menilai pelanggaran hak asasi manusia terhadap sekelompok masyarakat bangsanya sendiri. Kebetulan golongan masyarakat itu bernama kaum komunis, simpatisannya, para pengikut Buang Karno, juga ribuan rakyat yang tidak tahu arti semua itu beserta anak cucunya. Kalau tidak maka perikemanusiaan yang kita jalankan perikemanusian diskriminatif, perikemanusiaan munafik, tidak ada bedanya dengan praktek yang dijalankan oleh rezim nazi Hitler dan rezim apartheid Afrika Selatan yang telah dilindas sejarah itu.

Pelanggaran hak asasi terhadap perempuan yang dijadikan budak seks selama pendudukan tentara Jepang di berbagai negara Asia termasuk Indonesia atau jugun ianfu, secara luas telah dikutuk dan dituntut.3) Pemerintah kerajaan Belanda telah menerbitkan buku yang berisi daftar dan data-data pelanggaran hak asasi manusia yang telah dilakukan tentaranya selama perang agresinya di Indonesia selama tahun 1945-1949.4) Bangsa dan kerajaan Belanda tidak merasa dipermalukan atau dilecehkan. Mengakui kesalahan merupakan suatu perbuatan terhormat dalam masyarakat beradab.

Selama tragedi G30S 1965 dan kejadian-kejadian yang mengikutinya juga telah terjadi perkosaan yang dilakukan oleh para penguasa yang berseragam maupun yang tidak terhadap tahanan, isteri tahanan, dan anak perempuan tahanan. Bahkan para tapol perempuan muda lebih dulu dijadikan sasaran pesta pora pelecehan seks dan perkosaan sebelum dibantai. Ribuan anak-anak menjadi terlantar, menggelandang, mengidap trauma bukan saja tanpa perlindungan bahkan disingkirkan dan dilecehkan. Dampaknya terhadap mereka ini belum pernah ada penelitian.

Adakah bangsa Indonesia yang selalu disebut beragama, ber Pancasila dan segalanya yang baik yang lain, akan dihinakan dengan pengakuan kesalahan kelompok pelaku? Adakah permintaan maaf terbuka yang didorong oleh kebesaran jiwa itu salah? Hanya karena sasaran itu adalah sekelompok masyarakat Indonesia yang dinamai komunis atau simpatisan komunis? Ketika seorang Kiai yang Presiden Republik Indonesia, meminta maaf dari hati nurani yang bening tanpa takut dihujat suara garang seperti tersebut di atas, seseorang yang dilecehkan seumur anak bungsunya sejak ia menyusuinya di ruang tahanan sebagai tapol sampai ia telah memberikannya beberapa cucu, mengungkap perasaannya lewat seorang cerpenis, "…Karena Presiden RI yang sekarang ini, ketika ia masih seorang kiai yang buta dengan hati yang baik setinggi langit, telah diterangi Tuhan pikirannya untuk meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang seperti aku ini".5) Pengakuan Komnas HAM akan pelanggaran berat HAM dalam peristiwa G30S 1965 barulah merupakan titik awal.


Rekonsiliasi Dengan Semangat Bhinneka Tunggal Ika. Apa yang dimaksud rekonsilisasi? Siapa atau pihak mana saja yang perlu melakukan rekonsiliasi? Tentu saja hal-hal itu perlu dirumuskan dengan jelas, seperti halnya pengungkapan kebenaran serta tindak lanjutnya baik bagi korban maupun bagi pelaku. Kita semua perlu belajar dari peran bersejarah seorang pemimpin sejati seperti Nelson Mandela yang penuh dedikasi dan kesabaran hampir tanpa batas itu. Mandela seorang revolusioner tulen, berjuang bagi perubahan mendasar negerinya menjadi negara merdeka yang demokratis dengan warga multi etnik, hitam maupun putih, memelopori perjuangan anti kekerasan dan anti balas dendam.

Sejarawan Dr Asvi Warman Adam menyatakan pengusutan kekerasan masa lalu hanya dapat dilakukan dengan tekanan dan desakan politik dari masyarakat. Pengungkapan kebenaran merupakan prasyarat rekonsiliasi. Tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban. Perlu penyiapan infrastruktur dan aturan hukum yang mendukung (Asvi Warman Adam Kompas 4 Des. 2000:38). Setidaknya sebagian masalah ini telah ditampung dalam Tap MPR V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang a.l. memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk segera membuat RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pada saat ini baru dalam tahap penyerahan RUU kepada DPR (2003). Banyak orang meragukan kemampuan DPR menghasilkan kinerja yang memuaskan. Memang keliru jika orang mengharapkan hasil segera yang memadai. Pengalaman mengajarkan bahwa segala sesuatu memerlukan perjuangan tak kenal lelah. Di samping itu masalah pelik tragedi 1965 dan akibatnya tidak cuma bisa diatasi oleh pemerintah secara formal, akan tetapi juga diperlukan dukungan dengan upaya seluruh masyarakat sendiri.

Kapan dan dari mana rekonsiliasi dimulai? Mari kita semua merenung sejenak, membersihkan pikiran kita dari segala kemungkinan rekayasa selama berpuluh tahun tentang segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Adakah pendapat, kesan, persepsi, gambaran kita tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan sejarah bangsa kita, khususnya tentang tragedi G30S sudah jelas dan benar adanya? Adakah rekayasa dan fitnah jahat yang telah kita anggap sebagai kebenaran selama ini? Bagaimana dari perspektif pihak korban beserta keluarganya yang jumlahnya jutaan, yang berpuluh tahun diperlakukan tidak adil secara sistimatik bahkan sebelum lahir pun karena harus "bersih lingkungan"? Lalu mereka menjadi "masyarakat diam"? Bagimana menyiasati hal itu dari perpektif Bhinneka Tunggal Ika, bahwa negeri tercinta ini beserta manusia yang mendiaminya begitu berbeda-beda dan beraneka ragam. Mereka, ya kita semua ini, berbeda dan beragam dalam hal suku-suku dan asal keturunan, bahasa, dialek, adat istiadat, agama dan kepercayaan, pandangan, jalan pikiran, cita-cita, ideologi dsb dsb dalam naungan negara RI yang bersatu. "Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang lebih takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (Al Hujuraat:13). Jadi perbedaan dan keragaman itu bukan saja suatu realitas sejarah yang harus diterima dengan saling hormat, bahkan suatu rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Ahmad Sahal, Redaktur ‘Jurnal Kalam’ menyatakan jika semua pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah bangsa ini. Bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi. Dalam kerangka sikap inilah kita menempatkan usul penghapusan Tap MPRS XXV/66. "Ada baiknya kita menyimak anjuran Surah Al Ma’idah ayat 8, ‘Janganlah kebencianmu pada satu kaum menjadikan kamu bersikap tidak adil (terhadap mereka)’" (Kolom ‘Islam-Maaf- dan PKI’, Tempo 16 april 2000:23).

1) Prof Dr Azyumardi Azra, pidato kebudayaan di TIM, Kompas 12 Nov.2001:6.

2) Mustafa Bisri, Gelap Berlapis-Lapis, Yayasan Al-Ibriz, Rembang & Fatma Press, Jakarta, 1998:52.

3) baca antara lain A Budi Hartono & Dadang Juliantoro, Derita paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1997; Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, KPG, Jakarta, 2001.

4) Lihat buku De Excessennota, SDU Uitgeverij Koningennegraft, Den Haag, 1995.

5) Martin Aleida, 'Ode Untuk Sebuah KTP', Kompas 17 Feb.2002:18.

* * *

JANGAN LUPAKAN TRAGEDI

KEMANUSIAAN 1965-66

Ken Gagah Pamungkas (6 September 2003)


Banyaknya fakta kelumpuhan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
menangani peristiwa-peristiwa tragedy di masa lalu, menimbulkan keprihatinan
atas perkembangan bangsa di masa depan. Jelas akan menimbulkan pertanyaan
yang sangat skeptis: masih akan bisa ditegakkankah hukum, keadilan dan HAM
di negeri ini?

Adalah sangat kita puji posisi Nurcholis Madjid dalam masalah terorisme
kasus Kuta yang mengorbankan 200-an nyawa manusia. Dikatakan olehnya:
“Ungkapan kata-kata apalagi yang bisa diucapkan berkenaan dengan tragedi
kemanusiaan pembunuhan jiwa tanpa alasan seperti di Kuta, selain kutukan dan
laknat. Suatu kejahatan yang merupakan pelanggaran dan tantangan terhadap
ajaran agama tentang kesucian nyawa, harta, dan martabat manusia”.
Ditambahkan juga ayat Al Qur’an sebagai dasar pembenaran posisinya: "Barang
siapa membunuh seseorang tanpa kejahatan pembunuhaan atau perusakan di bumi,
maka bagaikan dia membunuh seluruh umat manusia. "(Q5: 32). Kemudian
dibulatkan pendapatnya bahwa: “Dalam ajaran itu, kejahatan terhadap satu
orang, satu jiwa, lebih-lebih lagi kejahatan pembunuhan bukanlah semata-mata
kejahatan kepada orang per orang sebagai pribadi saja. Kejahatan itu
merupakan kejahatan kepada segenap umat manusia, crime against humanity,
pelanggaran terhadap kesucian hak manusia yang paling asasi dan paling
inversial.”*)

Saya kira tidak aada seorangpun yang akan menilai negatif apa yang dia
katakan tersebut diatas. Bravo, hebat sekali.

Tetapi sangat disayangkan mengapa cendikiawan Nurcholis Madjid kurang
perhatian terhadap apa yang terjadi 38 tahun yang lalu, yaitu salah satu
Kejahatan Kemanusiaan yang terbesar di dunia: Pembunuhan 2-3 juta manusia
tak bersalah, penahanan tanpa proses hukum selama belasan tahun, pencabutan
passport orang-orang yang ada di luar negeri (karena belajar di Negara
Sosialis, karena menyuarakan aspirasi demokrasi), pendiskriminasian puluhan
juta manusia karena keluarganyanya dituduh tersangkut G30S. Sangat
disayangkan, pada hal bulan September ini adalah bulan titik awal tragedy
kemanusian tersebut, di mana setiap orang yang peduli HAM perlu
mengheningkan cipta untuk mengenangkan tragedy tersebut dan berdoa
mudah-mudahan tidak terulang lagi atas anak cucu kita.

Semua pelanggaran HAM besar seharusnya mendapat perhatian untuk
penyelesaiannya secara tuntas. Adalah suatu diskriminasi keadilan besar
apabila yang dipedulikan hanya masalah Tragedi Semanggi, Trisakti, Istiqlal,
Natal, Kuta, Hotel Marriott dll. Tanpa penuntasan masalah pelanggaran HAM
1965-66 berarti membiarkan bangsa ini tetap dalam suasan saling curiga,
saling praduga jelek, saling simpan rasa dendam. Dengan demikian akan
terganggulah segala upaya untuk memajukan bangsa dan negara ke arah
demokraasi yang berkeadilan dan berkemakmuran.

Terutama para tokoh Islam harus lebih merenungkan akan peristiwa tragedy
kemanusiaan 1965-66 tersebut di atas dan memelopori mencari jalan
penormalisasian situasi yang sudah puluhan tahun dijadikan abnormal oleh
rejim fasis Soeharto. Sebab tanpa keaktifan tokoh-tokoh Islam sendiri, akan
tetap melekatlah attribut “kekerasan” terhadap Islam. Padahal menurut ajaran
Islam sendiri kekerasan sangat dikutuk. Bagi orang non-Islam tentu yang
pertama-tama dilihat adalah faktanya: fakta terjadinya tragedy kejahatan
kemanusiaan 1965-66 yang tidak dapat diputar-balikkan.

Para tokoh ummat Islam harus berani jalan di depan untuk membuka jalan bagi
rekonsiliasi nasional. Mereka harus berani membuktikan (bukan hanya ucapan
dalam doa) yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.

 

*) (http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/06/nas5.htm)

* * *

Kolom IBRAHIM ISA 6 September 2003.

 

KEBENARAN - REHABILITASI - REKONSILIASI,

ADALAH KESATUAN YANG TAK TERPISAHKAN.

 

Tidak lama lagi, kita akan memasuki bulan-bulan Oktober, November dst. Adalah dalam bulan-bulan tsb --- 38 tahun yang lalu, pada akhir tahun 1965, negeri kita, dan masyarakat mancanegara, menyaksikan dimulainya suatu rentetan peristiwa yang amat mengerikan, menakutkan dan mengkhawatirkan bagi setiap insan yang punya hati nurani. Adalah pada bulan-bulan tsb di negeri kita terjadi suatu "klopjacht" terhadap segolongan besar di kalangan rakyat kita,(bahasa Belanda "klopjacht", artinya pemburuan/pengejaran dengan menggunakan anjing-anjing buruan). Peristiwa tsb, --- tak perduli ditelaah dan dianalisis dari sudut manapun, dengan menggunakan latar belakang sejarah yang bagaimanapun, --- satu hal adalah pasti, orang tidak bisa memungkiri tercatatnya serentetan fakta sejarah yang teramat keras. Pada periode itu telah terjadi suatu pelanggaran teramat serius dan berat terhadap hak-hak azasi manusia, (HAM), rakyat kita. Peristiwa separah dan seserius itu, baru sekali inilah terjadi dalam sejarah Indonesia berbangsa.

Menurut catatan dan kesaksian yang bersangkutan, yang terjadi adalah sbb: Dengan dipicu oleh penguasa militer ketika itu, telah berlangsung pengejaran, penangkapan, penyiksaan, pembuangan dan pembunuhan besar-besaran terhadap warganegara yang tidak bersalah, yang tidak tahu menahu duduk perkaranya, mengapa mereka ditindak. Semua tindakan kekerasan tsb, terjadi tanpa proses pengadilan yang wajar apapun. Semua tindakan itu, yang puncaknya adalah pembantaian masal (summary mass-execution), dilakukan DILUAR HUKUM. Semua tindakan kekerasan tsb betapapun telah melanggar prinsip-prinsip negara hukum. Mulai saat itu Indonesia memasuki era HUKUM RIMBA. Korban terhitung - menurut pengakuan Jendral Sarwo Edhi - panglima Kostrad ketika itu - melebihi tiga juta orang. TIGA JUTA KORBAN YANG JATUH! Hal seperti itu hanya terjadi pada suatu genocide yang terrencana. Bila korban yang jatuh sudah demikian besarnya, siapapun tidak bisa dibohongi dengan omongan ringan-ringan bahwa peristiwa itu adalah akibat "konflik di kalangan masyarakat sendiri". Atau dengan kata lain bahwa konflik itu adalah "konflik horizontal". Maka tercatatlah dalam sejarah Indonesia, bahwa negeri kita ketika itu memasuki suatu periode dimana KEKERASAN PENGUASA, KEKERASAN NEGARA -- MENJADI SUATU SISTIM DAN BUDAYA yang dipraktekkan terus selama puluhan tahun rezim Orba.

Dalam periode itu, sebelum penguasa militer memulai tindak kekerasannya, -- telah berlangsung terlebih dulu, suatu kampanye media yang ekstensif dan efektif - karena semua media lainnya yang tidak berada di bawah pengontrolan penguasa, telah diberangus. Kampanye ini dilakukan terus menerus, setiap hari, setiap malam, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan lamanya. Kampanye media ini mengandung satu PESAN ISTIMEWA yang tidak bisa disalah artikan: G30S/PKI adalah suatu penghianatan, adalah suatu aksi merebut kekuasaan negara. G30S/PKI telah melakukan pembunuhan kejam dan biadab terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira menengah ABRI. Semua yang dianggap pelaku, terlibat ataupun berindikasi G30S/PKI dimaklumkan berada di luar hukum. Mereka-mereka itu boleh dan harus dikejar, ditangkap, disiksa dan paling baik dihabisi samasekali. Dan memang itulah yang kemudian terjadi.

Sekarang, lebih 38 tahun kemudian, kita bisa membaca sejumlah analisis dan kesimpulan, tulisan serta serta hipotesa, oleh pelbagai pakar, penulis, pengamat, peneliti, pengkaji nasional maupun internasional mengenai G30S. Sebenarnya bukan baru sesudah Suharto lengser, tapi jauh sebelumnya sudah bermunculan penelitian dan pengkajian kalangan ilmuwan sejarah mancnagera sekitar peristiwa G30S. Kesimpulannya berlawanan dengan apa yang diklaim oleh Orba. Sayangnya pada zaman Orba, pembaca Indonesia sulit memperoleh akses membaca litertur seperti itu. Bila semua penelitian, pengkajian maupun analisis tsb dipelajari - kesemuanya itu mengarah pada satu kesimpulan sbb: Bahwa tuduhan penguasa militer Suharto bahwa G30S didalangi oleh PKI atau Presiden Sukarno, atau PKI bersama Presiden Sukarno, menjadi amat diragukan kebenarannya. Ternyata bahwa versi penguasa militer Suharto lebih banyak rekayasanya ketimbang fakta-fakta yang terbukti.

Apalagi yang menjadi saksi peristiwa itu, yang langsung mengalaminya, seperti Letkol Latief, Waperdam I Kabinet Presiden Sukarno,Dr Subandrio, Marsekal Udara Omar Dhani, mantan ajudan Presiden Sukarno, Jendral Saelan, dan banyak lainnya lagi, bertutur lain samasekali terbanding tuduhan versi Suharto, yang selama rezim Orba diklaim sebagai kebenaran satu-satunya.

Ada satu segi yang mungkin kurang terpikir tapi belakangan mulai muncul: Mengapa Presiden AS Lyndon Johnson dan Ratu Elsabeth, masing-masing kepala negara blok Barat yang anti-Komunis, justru dengan amat sangat mendesak kepada Presiden Suharto agar dr Subandrio yang sudah dijatuhi hukuman mati, supaya diselamatkan jiwanya. Mengapa justru AS dan Inggris, yang berbuat demikiah. Bukankah G30S/PKI menurut mereka adalah suatu konspirasi Komunis bersama Presiden Sukarno. Bukankah menurut Orba, dr Subandrio sebagai Waperdam I, bersekongkol dengan PKI dan ambil bagian dalam mencetuskan G30S/PKI? Tetapi justru tokoh yang paling disasar Suharto ketika itu, sesudah Presiden Sukarno, hendak diselamatkan oleh AS dan Inggris? Ini seakan-akan suatu misteri. Maka tidak usah kita heran bila muncul kesimpulan, bahwa, sebabnya ialah karena AS dan Inggris tahu betul bahwa dr Subandrio bukanlah pelaku, pengkomplot ataupun dalang dari G30S. MEREKA TAHU BETUL BAHWA ADALAH KEKUATAN LAIN YANG MENDALANGINYA - CIA DAN JAWATAN INTEL INGGRIS. Bila dibaca DOKUMEN CIA (Penerbit Hasta Mitra, Jakarta - aslinya diterbitkan oleh US State Department, kemudian dicabut lagi dari peredaran, tapi sudah kadung menjadi rahasia umum) maka tidaklah aneh kiranya bila orang menunjuk AS sebagai - paling tidak - pelaku G30S, kalau bukan dalangnya.

Kasus G30S akan terus menjadi perhatian dan pengkajian para peneliti dan sejarawan. Suatu ketika, pasti kabut misteri yang meliputi peristiwa G30S pasti akan terkuak, dan misteri akan menjadi rahasa umum. Yang jelas ialah bahwa sampai detik ini, tidak satu versipun mengenai G30S yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran. Sebabnya sederhana, karena bukti-bukti tidak cukup. Saksi-saksi kakap banyak yang sudah dibunuh oleh rezim. Yang masih hidup menuturkan justru fakta-fakta yang berlawanan dengan apa yang dipaparkan oleh Suharto. Sampai waktunya tiba kasus G30S benar-benar terungkap, siapapun tidak bisa menerima versi rekayasa tentang G30S yang diklaim oleh Suharto. Apalagi bila rekayasa tsb digunakan sebagai dalih, agar "memahami", bahkn "membenarkan" terjadinya pelanggaran serius dan berat terhadap hukum, terhadap HAM, seperti yang telah terjadi setelah terjadinya peristiwa G30S.

Kalau saja kita menyempatkan diri untuk membaca pemberitaan sekitar usaha sebagian masyarakat untuk "rekonsiliasi" baru-baru ini, seperti yang terjadi di Blitar Selatan (antara ummat NU dan para korban 65), disitu bisa didengar kesaksian oleh saksi-saksi hidup - bahwa memang ketika itu telah terjadi provokasi oleh fihak tentara. Suatu provokasi yang tujuannya mencetuskan pengejaran dan pembantaian terhadap orang-orang PKI dan orang-orang Kiri lainnya. Menurut kesaksian orang-orang NU sendiri, kepada orang-orang NU fihak tentara menunjukkan "daftar maut" yang memuat nama-nama kiayi NU, yang katanya akan dibantai oleh PKI. Kepada orang-orang PKI diedarkan "daftar maut" lainnya yang berisi nama-nama orang PKI, yang katanya, akan dibantai oleh pemuda-pemuda Ansor (NU). Bisalah dimengerti bahwa tidak lama kemudian terjadilah pengejaran dan pembantaian "antara NU dan PKI". Namun kenyataannya korban terbesar ada di fihak PKI dan pengikut-pengikutnya. Karena tentara mempersenjatai orang-orang yang diprovokasi untuk membantai orang-orang PKI dan pengikutnya. Berita seperti tsb diatas, kalaupun dimuat di media Indonesia, itupun hanya di satu dua s.k. saja. Ini tidak mengherankan, karena media Indonesia dewasa ini pada pokoknya dimiliki atau dikuasai oleh para elite politik dan kalangan bisnis, yang samasekali tidak punya kepentingan untuk menegakkan kebenaran dalam sejarah bangsa kita. Mereka tidak suka dengan berita-berita yang mengungkap kebenaran sejarah, yang bila diungkap sesungguhnya akan memeperlancar usaha rehabilitasi dan rekonsiliasi.

TAPI ADA SATU HAL YANG PASTI. Ratusan ribu bahkan lebih dari sejuta warganegara yang tidak bersalah telah jadi korban. Mereka dibantai, dibunuh, dan . . . . . mereka tidak bersalah. Bahkan dalam banyak hal, tidak ada tuduhan samasekali. Mereka diambil aparat dari rumahnya dengan alasan untuk "diamankan". Tapi tidak kembali lagi. Adakah penamaan lain untuk tindakan sewenang-wenanag seperti itu, kecuali menyatakannya sebagai suatu pelanggaran teramat serius dan berat terhadap HAM rakyat Indonesia?

Di Argentina, juga ada peristiwa yang tidak banyak beda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Di Argentina juga telah terjadi pelanggaran berat HAM oleh tentara terhadap rakyat (khususnya golongan Kiri). Peristiwa tsb di kalangan orang-orang Argentina populer disebut THE DIRTY WAR, atau PERANG KOTOR. Pernah pelakunya - yaitu tentera - bukan oknum-OKNUM - tapi perwira-perwira tentara yang dinas aktif di lapangan dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM ini - diberikan amnesti oleh pemerintah sebelumnya. Tetapi baru saja amnesti ini dicabut lagi oleh menhamkam yang sekarang ini. Sehingga sebanyak 2000 mantan anggota diktatur militer Argentina bisa diajukan ke pengadilan, karena pelanggaran terhadap HAM. Demikian dikatakan oleh Menhankam Argentina Jose Pampuro, tg 3 Sept y.l. Seperti diketahui dari tahun 1976 ssmpai dengan 1983 Argentina diperintah oleh rezim tentara. Pada waktu itu ribuan orang yang beroposisi, umumnya orang-orang Kiri, dibunuh dan hilang. Dari yang 2000 anggota tentara tsb beberapa telah diajukan ke pengadilan.

Tidakkah kita bisa menarik pelajaran dari Argentina. Yang punya "political will" dan berani menegakkan kebenaran yang kelanjutannya bisa diikuti dengan rehabilitasi bagi korban dan rekonsiliasi atas dasar keadilan.

Menegakkan hukum dengan menciptakan dan memberlakukan undang-undang dan peraturan yang adil dan demokratis, adalah perlu. Bahkan perlu sekali. Ini wajar dalam rangka menegakkan negara Republik Indonesia sebagai NEGARA HUKUM. Tetapi pengalaman sekitar mencari kebenaran dalam kasus-kasus, misalnya Tanjung Periok, kasus Trisakti-Semanggi II dan Semanggi III, dan Peristiwa Mei 1998, menunjukkan bahwa DPR - notabene hasil pemilu yang bolehlah dibilang demokratis dan transparan - menjadi alat kepentingan elite politik, kepentingan CILANGKAP. Kepentingan itu adalah untuk membebaskan diri dari penegakkan hukum, dari pertanggungan jawab terhadap pelanggaran berat HAM. Halmana berarti mempertahankan terus IMPUNITY. Demikian pula halnya, rencana mengundangkan (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi < KKR > dikhawatirkan akan mengulangi praktek yang lalu. Akan dijadikan kendaraan politik untuk berusaha bebas dari proses hukum bagi yang bertanggungjawab dan bersalah dan peluang untuk lagi-lagi melakukan "dagang sapi" dan "deal-deal politik" lainnya. Itu semua sering disertai pula dalih, hendaknya "kita tidak membuka peluang untuk tindak balas dendam".

Kekhawatiran tsb dengan terang-terangan dicetuskan oleh Salahuddin Wahid (4 Sept), salah seorang anggota KOMNASHAM. Ia mengimbau agar "jangan sampai UU KKR menjadi alat untuk menciptakan impunity. Kalau masalah ini berlarut-larut, kata Wahid, berarti salah satu masalah berat yang kita warisi akan tetap tidak terselesaikan dan menghambat upaya kita keluar dari krisis. Juga akan menghambat laju gerakan reformasi yang telah berjalan lebih dari lima tahun tanpa hasil yang jelas. Sebagian besar masyarakat mengharapkan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu dapat segera diselesaikan dengan lebih mengutamakan rasa keadilan di atas pertimbangan normatif positivis dan politik. Penyelesaian semacam itu akan lebih memberi harapan bahwa lembaran hitam dalam sejarah kita tidak terulang lagi di masa depan. Demikian anggota KOMNASHAM Salahuddin Wahid.

Kiranya kurang lengkap pembicaraan sekitar KKR ini, bila usaha untuk mengurus kasus pelanggaran HAM selama 30 lebih, tidak dibimbing oleh suatu FIKIRAN STRATEGIS, yaitu REHABILITASI terhadap semua warganegara yang telah menjadi korban pelanggaran berat HAM, mulai 1965 sampai jatuhnya Suharto. Rehabilitasi para korban, termasuk yang sampai sekarang masih menderita diskriminasi sosial, ekonomi, etnis dan politik, jangan tertunda-tunda lagi. Tepat sekali apa yang diajukan dengan gamblang oleh Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, dalam suratnya bulan Juni y.l. kepada Presiden Megawati Sukarnoputri mengenai urgensi merahabilitasi para korban pelanggaran berat HAM. Usulan serupa juga diajukan oleh KOMNASHAM kepada Presiden Megawati Sukarnoputri.

Usulan-usulan tsb sepenuhnya tepat, karena masalah KEBENARAN DAN REKONSILIASI tidak bisa dipisahkan dari masalah REHABILITASI. Bahkan, untuk melancarkan usaha yang akan dilakukan oleh KKR langkah politik merehilitasi nama baik dan hak-hak kewargaraan para korban yang jelas tidak bersalah, adalah merupakan suatu CONDITIO SINE QUA NON. Sesuatu yang tidak boleh tidak. Janganlah hendaknya, dalih yang menjadikan momok "balas dendam", dibiarkan menghambat usaha mencari kebenaran dan merealisasi rehabilitasi para korban.

Melihat sendiri betapa DPR/MPR betul-betul mandul dan menolak untuk membela nasib rakyat yang jadi korban, gagal dalam menghapuskan TAP MPRS No XXV/1966 dan TAP MPRS No. XXXIII/1967 yang bertentangan dengan UUD RI yang sudah empat kali diamandemen - dimana pasal-pasal HAM jelas sekali terrumus, --- sudahlah tiba waktunya kiranya bagi Presiden Megawati Sukarnoputri untuk turun tangan.

KITA NANTIKAN KEPUTUSAN PRESIDEN MEGAWATI SUKARNOPUTRI MEREHABILITASI SEMUA KORBAN PELANGGARAN BARAT H.A.M SELAMA 30 TAHUN LEBIH! Karena rehabilitasi akan merupakan langkah penting dalam rangka REKONSILIASI NASIONAL.

***

 

* * *


HKSIS 3 September 2003


Supersemar: 5 Pertanyaan

untuk Jenderal Jusuf

 

Oleh : Asvi Warman Adam


SAMPAI hari ini naskah asli Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966
belum ditemukan. Sementara itu pelaku yang terlibat dalam peristiwa tersebut
semakin sedikit. Soeharto sudah sakit-sakitan dan ingatannya makin
berkurang. Harapan satu-satunya barangkali pada Jenderal (pur) Jusuf yang
sampai sekarang belum mau berbicara dengan terbuka mengenai persoalan ini.
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh mantan Pangab itu.

Pertama, bagaimana sesungguhnya proses penyusunan dan penyerahan surat
tersebut yang terkesan tidak wajar.

Sudah diketahui umum bahwa surat tersebut dibuat bukanlah atas inisiatif dan
kemauan Soekarno sendiri. Tahun 1998, anggota Tjakrabirawa Letnan Dua (purn)
Soekardjo Wilardjito mengaku bahwa Jenderal Panggabean menodongkan pistolnya
kepada Presiden Soekarno, sementara Jenderal Jusuf menyodorkan map surat
untuk ditandatangani.

Kesaksian Soekardjo di atas didukung pula oleh Kaswadi (77 tahun) dan Serka
(purn) Rian Ismail yang kini bermukim di Klaten, Jawa Tengah. Mereka melihat
bahwa tamu yang datang ke Istana Bogor berjumlah empat orang, bukan tiga
orang seperti yang diketahui selama ini. Bahkan Kaswadi mengakui bahwa "Pada
waktu itu, 11 Maret 1966, saya melihat Panggabean ada di Istana Bogor. Saat
itu sekitar pukul 01.00 WIB dinihari. Panggabean datang mengendarai mobil
jip dan berpakaian dinas militer. Ia kemudian berjalan masuk menuju Istana
Bogor", tutur Kaswadi kepada LBH Jogyakarta. Kesaksian tersebut perlu
dipertegas, kejadiannya tanggal 11 Maret atau 12 Maret 1966 (karena sudah
masuk 01.00 pagi). (Wilardjito sendiri kemudian sempat diperiksa polisi
bahkan dihadapkan ke pengadilan negeri Yogyakarta. Namun belum jelas
bagaimana keputusan hakim sampai sekarang).

Jabatan Mayjen M Panggabean pada waktu itu, seperti diungkapkan dalam
tulisan Moerdiono "Di antara Para Sahabat: Pak Harto 70 tahun", adalah ketua
Tim Umum yang dibentuk oleh Soeharto. Letnan Satu Infantri Moerdiono menjadi
sekretaris Tim Politik yang diketuai oleh Mayjen Basuki Rakhmat dan Mayjen
Ashari menjadi ketua Tim Ekonomi.

Jumat pagi 4 September 1998, Jenderal M. Jusuf mengatakan bahwa yang menemui
Soekarno tanggal 11 Maret 1996 hanya 3 jenderal, dan mereka di sana hanya
sampai pukul 20.30 Tidak ditanyakan wartawan, berapa lama ketiga jenderal
itu di Istana Bogor dan apa saja yang dibicarakan mereka dengan Presiden
Soekarno? Kalau betul mereka baru pulang pukul 20.30 malam, itu
memperlihatkan bahwa pembicaraan dengan Soekarno berjalan alot.

Di dalam buku 70 tahun Soeharto itu, dimuat pula penuturan Sudharmono, ia
menerima telpon dari Mayjen Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar
pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI
disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Soeharto. Sudharmono sempat berdebat dengan
Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut. Beberapa jam kemudian, 12
Maret 1966 pukul 01.00 datanglah Sekretaris MBAD Brigjen Budiono membawa
dokumen yang kemudian dikenal sebagai Supersemar. Menurut Sudharmono surat
perintah tersebut "diperbanyak (difotokopi) di kantor kami". Kurang jelas
apakah pada waktu itu sudah ada mesin fotokopi di Jakarta.

Pertanyaan pertama di atas mengenai proses hanya tentu bisa dijawab oleh
Jenderal Jusuf, salah satu saksi kunci yang hidup sampai sekarang. Soeharto
sendiri sudah berkurang ingatannya.

Pertanyaan kedua tentang siapa pengetik Supersemar? Beberapa waktu lalu
muncul lagi pengakuan Letkol (pur) TNI-AD Ali Ebram, staf Asisten I
Intelijen Resimen Cakrabirawa bahwa dia yang mengetik surat tersebut. Surat
tersebut diketik dalam waktu satu jam dengan didiktekan oleh Bung Karno. Ia
mengetik dengan gemetar dan mengatakan bahwa konsep itu berasal dari
Soekarno sendiri. Yang diingatnya sekarang bahwa "dalam surat itu disebut
ajaran, koordinasi, terus laporan dan menyangkut empat poin: soal keluarga,
melindungi keluarga yang tidak ada. Yang keempat itu memberi laporan".
Sebagai orang yang tidak biasa mengetik, ia mengerjakannya dengan gemetar
dan berkata kepada Soekarno "Pak, saya mohon ampun kesesa (Pak, saya mohon
tidak tergesa-gesa). Sebelum ditandatangan diketik kotanya yaitu Bogor.

Betulkah Ali Ebram yang mengetik surat tersebut? Pasti Jenderal Jusuf tahu
persis.

Pertanyaan ketiga, benarkah apa yang disampaikan oleh pakar AS Ben Anderson
bahwa mungkin saja surat perintah yang asli itu dihilangkan karena diketik
dengan kop Markas Besar Angkatan Darat. Jadi jika dipertahankan tentu sangat
lucu, surat kepresidengan ditulis dengan kertas berkop MBAD. Jadi surat itu
"dihilangkan" bukan karena isi tetapi karena kop suratnya. Ben mengutip
pengakuan seorang tentara yang mengaku waktu itu bertugas di Istana Bogor.
Tidak dijelaskan nama dan pangkat tentara tersebut. Jika benar hal ini maka
proses keluarnya surat perintah itu sebetulnya sudah direncanakan dengan
matang di Jakarta, paling tidak oleh ketiga Jenderal tersebut.

Jawaban pertanyaan di atas jelas dapat dijawab oleh Jenderal Jusuf karena
ialah yang membawa surat tersebut ke Jakarta dan menyerahkannya kepada
Jenderal Soeharto.

Pertanyaan keempat, di mana naskah asli Supersemar berada? Konon, menurut KH
Yusuf Hasyim, dari Tebuireng Jombang, yang menyimpan naskah asli Supersemar
itu adalah Mas Agung (almarhum). Bila ini benar, kenapa surat tersebut
sampai jatuh ke tangan tokoh yang dekat dengan Bung Karno? Yusuf Hasyim
diberi salinan dua naskah Supersemar, yang satu berjumlah dua halaman,
sedangkan yang satu lagi hanya satu halaman. Naskah asli itu konon kabarnya
disimpan di sebuah bank di luar negeri, diperkirakan di Singapura.

Jenderal Jusuf diduga mengetahui keberadaan surat tersebut. Paling sedikit
ia dapat mengungkapkan setelah dibaca oleh Soeharto, surat itu diserahkan
kepada siapa. Tentu saja, Sudharmono dan Moerdiono dapat dimintai
keterangan.

Pertanyaan kelima, apa yang dibicarakan oleh Jenderal Jusuf, Basuki Rachmad
dan Amir Machmud di rumah Soeharto. Seperti sudah diketahui bahwa Presiden
Soekarno meninggalkan sidang kabinet dan berangkat dengan helikopter ke
Bogor, setelah mengetahui berkeliaran pasukan tidak dikenal di sekitar
istana tanggal 11 Maret 1966. Jusuf, Basuki Rachmad dan Amir Machmud segera
pergi ke rumah Soeharto di jalan Agus Salim. Bagaimana skenario yang
dibicarakan mereka saat itu. Jawaban pertanyaan ini sangat penting dan
krusial bagi penulisan sejarah Indonesia, khususnya sejarah terbentuknya
Orde Baru.

Mengenai Supersemar meskipun banyak kisah yang kontroversial di situ tetapi
secara umum dapat disimpulkan bahwa surat tersebut bukanlah dibuat Presiden
Soekarno dengan sukarela. Meskipun tidak ada todongan senjata, dapat
dipahami bahwa penulisannya dilakukan dengan tekanan. Pada Supersemar,
mungkin saja ia bisa berdalih tidak memaksa Soekarno, tetapi kenyataan
ketiga Jenderal pembantunya telah membuat Soekarno terpaksa untuk membuat
Surat Perintah tersebut. Apalagi pada pagi 11 Maret 1966 berkeliaran pasukan
yang tidak memakai tanda pengenal di sekitar Istana, sehingga Soekarno
memutuskan meninggalkan Istana dan pergi ke Bogor.

Perlu diingatkan kembali bahwa Undang-Undang no 7 tahun 1971 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, fasal 11 berbunyi: Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam
fasal 1 huruf a Undang-Undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.

Orang yang terbukti menyimpan naskah asli Supersemar dan tidak
menyerahkannya kepada negara ia bisa dijatuhi hukuman maksimal 10 tahun
penjara. Hal ini juga berlaku bagi siapa, termasuk seorang Jenderal
sekalipun. Wahai Jenderal Jusuf berbicaralah. Sebelum terlambat.

Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes
en Sciences Sociales, Paris.

Sambungan yang lalu, bersambung.......

* * *

Koran Tempo, 29 Agustus 2003.


Rekonsiliasi Model Blitar Selatan


Oleh Asvi Warman Adam

 


Dewasa RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) sudah berada di tangan
DPR. Pembahasannya tentu akan diikuti dengan pengesahan serta pembentukan
komisi tersebut. Namun institusi itu tentu bersifat formal dan berada pada
level nasional. Sesungguhnya untuk menciptakan rekonsiliasi nasional
diperlukan juga lembaga yang bersifat non formal dan menyentuh sampai kepada
masyarakat lapisan bawah.

Tulisan ini mengangkat aktivitas sebuah LSM yang bergerak melakukan
rekonsiliasi pada tingkat akar rumput (grass root) di seluruh pulau Jawa.
Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2002 di Jawa Timur dan kemudian
dilanjutkan tahun 2003 di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Salah satu
aktivitasnya berlangsung di Blitar Selatan justeru pada pelataran Monumen
Trisula. Bila secara internasional dikenal Rekonsiliasi ala Afrika Selatan,
maka secara nasional dan lokal menarik pula diketengahkan rekonsiliasi model
Blitar Selatan.

Semasa Orde Baru, wilayah Blitar Selatan dianggap "tidak bersih lingkungan".
Penataran P4 secara intensif dilakukan dua kali dalam sebulan. Bahaya laten
komunis senantiasa disampaikan dari waktu ke waktu lewat berbagai media.
Untuk memperingati keberhasilan penumpasan PKI tahun 1968 dibangun Monumen
Trisula di Blitar, Jawa Timur. Operasi militer itu menangkap 850 orang, 33
tewas. Jumlah korban itu tentu lebih banyak karena berdasarkan penggalian
medio

Pada era reformasi, wacana anti komunis dicoba dicairkan Abdurrahman Wahid
dengan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian 1965 serta usulan
pencabutan TAP MPRS/XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan
Komunisme/Marxisme/Leninisme. Ide itu macet di tengah jalan. Walaupun
demikian, gagasan rekonsiliasi itu tetap hidup terutama di lingkungan anak
muda NU yang bergabung dalam jaringan Syarikat yang merasa perlu meluruskan
sejarahnya sendiri. "Kami menanggung beban karena orang tua kami terlibat
pembunuhan", demikian ucap seorang aktivis. Itulah sebabnya mereka
berikhtiar untuk berekonsiliasi dengan keluarga korban pembantaian dan/atau
eks tapol peristiwa 1965 seperti terlihat dalam kasus Blitar Selatan di
bawah ini.

Bagaimana caranya ? Diawali dengan membongkar kembali ingatan tentang masa
sekitar tahun 1965, sebagaimana dituturkan oleh Budiawan, doktor sejarah
lulusan National University of Singapore. Sebelum 1965 tidak ada ketegangan
yang signifikan antara PKI dan NU (Ini untuk kasus di Blitar Selatan, bukan
Jawa Timur secara keseluruhan). Situasi "membunuh atau dibunuh".
"mendahului atau didahului" diciptakan begitu meletus G30S 1965. Ketika itu
beredar selebaran berisi daftar kyai NU yang hendak dibunuh PKI; di lain
pihak di kalangan PKI juga muncul selebaran berisi nama-nama tokoh PKI yang
hendak dibunuh Banser NU. Ternyata sekarang masing-masing pihak mengaku
tidak pernah membuat selebaran tersebut. Menurut para kyai tua NU
pembunuhan itu

Muncul kesadaran baru di kalangan nahdiyin di sana bahwa mereka dulu
diperalat militer untuk menghancurkan PKI. Para kyai tua gundah, di satu
pihak, mereka setuju ide "berbaikan kembali" dengan eks PKI/BTI dan
keluarganya; di pihak lain, ada rasa sesal yang tidak mudah dihilangkan.
Itulah sebabnya mereka mendukung rekonsiliasi, tapi tidak diucapkan secara
eksplisit. Sebaliknya, para eks PKI/BTI dan keluarganya lebih bersemangat
menyambut rujuk sosial ini. Mereka merasa kembali "diuwongke"
(dimanusiakan). Ada kesan, seperti diungkapkan Budiawan, beban psikologis
tentang masa lalu justeru lebih kuat di kalangan "pelaku" daripada "korban"
.. (Bandingkan dengan Tzvetan Todorov, Facing The Extreme: Moral Life in the
Concentration Camp", 1999).

Dengan adanya beban psikologis di kalangan (sebagian) kyai tua, rekonsiliasi
tidak dalam format bermaaf-maafan seperti hari raya Idul Fitri, atau
"pengakuan-pengakuan publik" seperti di Afrika Selatan, melainkan dikemas
dalam pertunjukan kesenian bersama, untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad
SAW dengan kepanitiaan bersama. Perencanaan, pembiayaan hingga pelaksanaan
kegiatan dibicarakan dan dikerjakan bersama. Dipilihnya pertunjukan kesenian
bersama (kentrung dari kalangan NU, dan campur sari dari kalangan keluarga
eks-tapol) merupakan taktik aktivis muda NU untuk memudahkan izin penguasa
lokal (Danramil, Kapolsek dan Camat). Agar pesan rekonsiliasi tidak
kabur --karena memang masih sulit untuk diungkapkan secara verbal--,
pertunjukan kesenian bersama sengaja digelar di pelataran Monumen Trisula.

Dengan digelar di pelataran tugu tersebut, kedua kelompok yang kini duduk
berdampingan itu, diingatkan kembali akan posisi mereka yang berseberangan
tahun 1968: pihak PKI/BTI sebagai target operasi militer, sedangkan pihak NU
sebagai pendukung/front belakang operasi tersebut. Selama ini kedua belah
pihak memandang monumen itu dengan perasaan traumatis. Tetapi sekarang
melalui pertunjukan kesenian bersama dan dalam situasi psikologis yang
berbeda, pemaknaan terhadap "situs sejarah" itu pun berubah. Tugu itu telah
menjadi saksi rujuk sosial. Dengan demikian sebuah peristiwa baru diciptakan
untuk menetralisir ingatan tentang masa lalu yang pahit sekaligus peristiwa
yang baru ini direkam sebagai memori kolektif bersama. Di sana tidak ada
testimoni publik seperti di Afrika Selatan, namun kebenaran telah
diungkapkan.

Upaya ini jelas berbeda dengan ishlah yang dilakukan oleh Jenderal-Jenderal
yang terlibat dalam kasus pembunuhan Lampung dan Tanjung Priok dengan
memberi sejumlah uang kepada korban peristiwa tersebut agar tidak lagi
melakukan penuntutan. Ikhtiar rekonsiliasi tingkat akar rumput dengan model
Blitar Selatan ini tentu perlu disosialisasikan ke tempat lain dan oleh
organisasi lain. PPRP (Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian)
yang dipimpin Judo Poerwowidagdo juga telah melakukan kegiatan sejenis di
Poso. Demikian pula

Dalam waktu dekat diharapkan sudah terbentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa komisi itu
tidak memiliki tujuan, mandat dan tingkat keberhasilan yang sama. Namun
paling sedikit komisi itu diharapkan bisa mengungkapkan fakta sejarah
kekerasan yang selama ini telah digelapkan. Dengan demikian pelanggaran HAM
itu diharapkan tidak terulang lagi di masa datang. Yang tak kalah
pentingnya upaya ini merupakan bagian dari penyembuhan trauma masa lalu para
korban maupun pelaku kekerasan itu sendiri. Yang paling penting, KKR itu
perlu ditopang oleh kegiatan non-formal oleh berbagai lembaga swasta dan LSM
sehingga bisa menyentuh masyarakat akar rumput dan menyebar ke seluruh
daerah. Bahkan KKR secara nasional itu tidak akan efektif bila tidak
didahului oleh gerakan model Blitar Selatan itu.

(Asvi Warman Adam, peneliti LIPI)

 

* * *

Catatan A. Umar Said

PERISTIWA 65 PELANGGARAN BERAT HAM

Berbagai pendapat Prof. DR. Said Aqiel Siradj MA yang diungkapkan dalam tulisan di majalah RUAS edisi VIII th II, 2003 sangat penting untuk mendapat perhatian dari sebanyak mungkin orang, baik di kalangan Islam di Indonesia, maupun yang di luar kalangan Islam. Sebab, berbagai pendapatnya itu diutarakannya sebagai tokoh penting dalam NU (Ketua Pengurus Besar) dan mantan anggota Komnas Ham dan sarjana Islam terkemuka.

Seperti yang bisa disimak dalam tulisan yang berjudul “NU akan terbuka atas penyidikan kembali tragedi ’65-‘66 “ (harap baca kembali tulisannya selengkapnya di website http://perso.club-internet.fr/kontak/ ) ia mengutarakan pendapatnya bahwa (saya kutip) :” peristiwa ’65 itu ada faktor eskternal dan internalnya. Faktor eksternal tak bisa lepas dari ketegangan politik perang dingin dua negara adikuasa. Jelas dalam peristiwa itu ada rekayasa Amerika. Prolog peristiwa itu sendiri sudah mulai matang sebelum Amerika” masuk”. Sementara faktor internalnya ada perebutan kekuasaan . Presiden Soekarno jatuh dan presiden Soeharto menjadi presiden dengan rezim Orde Baru nya »

Dalam tulisan kali ini tidak (atau belum) dibahas tentang faktor eksternal dan internal yang berkaitan dengan G30S, termasuk masalah peran Bung Karno dan PKI, atau faktor CIA, TNI-AD dan lain-lain Tetapi, lebih banyak disoroti arti penting pesan yang terkandung di dalam tulisan itu untuk kalangan Islam, terutama tentang sikap terhadap kaum komunis di Indonesia. Pesannya ini, seperti halnya pesan politik dan pesan moral Gus Dur dan tokoh-tokoh NU lainnya (termasuk kalangan muda NU) merupakan angin segar yang menyejukkan bagi kehidupan bermasyarakat dan bagi suasana politik di Indonesia, terutama sesudah jatuhnya rezim militer Suharto lima tahun yang lalu.


ORDE BARU MEMUPUK SENTIMEN ANTI-KOMUNIS

Seperti sudah sama-sama kita saksikan, selama lebih dari 30 tahun, rezim militer Suharto telah menyiksa – dalam berbagai bentuk dan cara - puluhan juta orang warganegara. Mereka ini terdiri dari pendukung atau simpatisan politik Presiden Sukarno dan simpatisan PKI yang berasal dari bermacam-macam suku, ras, agama atau aliran politik. Kampanye anti-komunis telah dilancarkan berpuluh-puluh tahun oleh Orde Baru secara besar-besaran dan secara bengis, yang jarang tandingannya di dunia.

Begitu intensifnya kampanye ini, sehingga dampaknya sangat luas dan mendalam dalam masyarakat, termasuk di kalangan Islam. Rezim militer Suharto dkk telah menyemaikan dan menyuburkan sentimen anti-komunis di kalangan Islam, sesuai dengan kepentingan Orde Baru sendiri, yaitu mempertahankan kekuasaan, yang berhasil direbutnya dari tangan Presiden Sukarno. Penyebaran sentimen anti-komunis (dan anti-Sukarno) di kalangan Islam ini merupakan siasat besar Orde Baru mengingat kedudukan yang penting faktor Islam di Indonesia.

Dari segi inilah kita bisa lihat pentingnya pendapat Prof. Dr Aqiel Siradj, yang menyatakan :” Setahu saya, versi NU mengenai peristiwa ’65 itu dulu sampai sekarang tidak tunggal. Banyak versinya sesuai kesaksian masing masing tokoh NU. Kalau kita melihat Gus Dur misalnya, sewaktu jadi presiden ia sudah mohon maaf atas keterlibatan NU waktu itu. Ini karena dia humanis. Dalam hal ini, saya setuju dengan pandangan Gus Dur.


KOMISI PENYIDIKAN KETERLIBATAN SUHARTO

“Saya mendukung apa yang dilakukan oleh Komnas HAM yang membentuk komisi penyidikan keterlibatan Soeharto pada tragedi peristiwa “65. Namun harus mempertimbangkan kondisi waktu itu. Tidak boleh semuanya digebyah uyah. Kita sebagai warga NU harus arief melihat persoalan ini, Peristiwa ’65 memang tragedi berdarah yang korbannya paling banyak PKI. Tetapi peristiwa sebelumnya juga dilihat », tegasnya.

Tentang pembunuhan orang-orang komunis ia mengatakan : « Dalam kacamata apapun , hukumnya dosa, membunuh orang tanpa melalui pengadilan. Apalagi hanya karena PKI maka mesti dibunuh itu dosa. Saya dukung sepenuhnya Komnas HAM yang akan mengangkat kembali pelanggaran berat HAM tahun ’65 itu. Tapi hendaknya kembali dengan semangat yang arief dan objektif. Semua bertanggungjawab, Penguasa atau pelaku, pertanggungjawabannya kan mesti beda ».

Tentang rekonsiliasi antara antara eks-tapol dengan kalangan Islam, dikatakannya : « Rekonsiliasi eks tapol PKI dengan kelompok Islam selain NU bisa di lakukan. Saya kira Muhammadiyyah masih bisa diajak bicara. Yang memahami Islam secara benar, masih bisa diajak berdialog. Kalau yang tidak punya nalar, memang sulit. »


REKONSILIASI DENGAN EKS-TAPOL

Pernyataan yang demikian penting ini perlu diketahui oleh banyak orang, yang menunjukkan bahwa berlainan dengan sebagian kalangan Islam yang selama ini menyokong politik dan kebudayaan berfikir rezim militer Orde Baru, ada kalangan Islam lainnya yang menganggap perlu adanya rekonsiliasi dengan para eks-tapol. Rekonsiliasi dengan para eks-tapol adalah bagian atau langkah penting bagi terselenggaranya rekonsiliasi nasional. Dan rekonsiliasi nasional adalah amat diperlukan untuk menyehatkan demokrasi di Indonesia dan memperkuat persatuan bangsa.

Suara dari kalangan NU yang mengumandangkan pandangan yang humanis dan berwawasan luas ini akan memberikan sumbangan penting bagi pencerahan bangsa pada umumnya dan kalangan Islam pada khususnya. Dengan memancarkan pandangan-pandangan yang menyejukkan hati banyak orang inilah kalangan Islam di Indonesia akan memainkan peran yang lebih positif lagi bagi kehidupan bangsa dan negara.

Sudah waktunya bagi berbagai kalangan Islam di Indonesia untuk meninggalkan sama sekali keterkaitannya dengan kebiasaan atau kebudayaan berfikir Orde Baru.


APA G30S KARENA KETOLOLAN PKI DAN SUKARNO ?

Mengenai peristiwa ’65, rupanya bukan hanya di kalangan NU saja yang tidak mempunyai versi yang tunggal, tetapi juga kalangan-kalangan lainnya. Selama ini sudah banyak tulisan mengenai peristiwa itu, baik yang dibuat oleh berbagai kalangan di Indonesia maupun oleh para ahli dan pengamat asing. Namun, pendapat atau pandangan berbagai kalangan itu (baik yang di Indonesia maupun di luarnegeri) tentang masalah G30S masih berbeda-beda bahkan ada yang saling bertentangan.

Sudah makin banyak dan beraneka-ragam pula bahan; informasi, atau data yang disajikan kepada umum selama ini dari sumber orang-orang Indonesia (antara lain : Omar Dani, Tumakaka, Subandrio; Manai Sophiaan, Kolonel A. Latief, Roeslan Abdulgani, mantan menteri Sutomo, Setiadi, Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Heru Atmodjo, Sumarsono, Pramoedya Ananta Toer, A. Karim DP, Jusuf Isak, dan masih banyak lagi nama-nama lainnya yang terlalu panjang untuk disebut). Di samping itu, tidak sedikit buku yang sudah diterbitkan oleh wartawan, sejarawan atau ahli-ahli asing mengenai Bung Karno, PKI, G30S, Suharto dan rezim militer Orde Baru. Untuk sekadar menyebutkan sejumlah kecil di antaranya adalah : Bob Hering, Peter Dale Scott, Noam Chomsky, Ben Anderson, Joop Morien, Daniel Lev, John D. Legge, Prof. Wertheim, Audrey dan George Kahin, Harold Crouch, Lambert Giebels, Cindy Adams.

Walaupun sudah banyak buku yang beredar tentang Sukarno, G30S, PKI, CIA, Suharto dan Orde Baru, bangsa kita masih terus perlu terus-menerus mempelajari sejarah bangsa di masa-masa yang lalu guna membangun hari depan yang lebih baik bagi rakyat. Untuk itu berbagai macam tulisan, buku, diskusi, atau perdebatan tentang soal-soal besar bangsa ini, senantiasa amat diperlukan sebagai pendidikan politik dan peradaban bangsa, terutama bagi generasi muda kita. Umpamanya: siapakah dan apakah Sukarno itu bagi bangsa Indonesia ? Bagaimana kita patut menilai Sukarno ? Apa-apa sajakah segi-segi positif dan negatif sosok Sukarno bagi bangsa ?

Mengenai G30S banyak pula aspek-aspek yang bisa dan perlu terus-menerus dibahas. Apa itu sebenarnya G30S? Adakah peran Bung Karno dan PKI dalam G30S? Sampai di manakah keterlibatan CIA dalam usaha menggulingkan kekuasaan politik Sukarno? Bagaimana Suharto menghadapi presiden Sukarno dan G30S? Mengapa Orde Baru begitu anti Sukarno dan anti-PKI? Apa G30S itu terjadi karena ketololan PKI dan Sukarno?


YANG MEMBELA POLITIK SUHARTO .....

Mungkin saja, bahwa sebagian dari persoalan atau pertanyaan itu tidak akan segera mendapatkan penjelasan atau jawaban, atau bahwa sebagian lagi akan tetap menjadi misteri sejarah. Barangkali banyak hal akan menjadi lebih jelas kalau di masa datang arsip militer (misalnya arsip Teperpu atau arsip negara lainnya yang bersifat rahasia) tentang periode sebelum, selama dan sesudah G30S dinyatakan terbuka untuk umum.

Meskipun banyak hal tentang G30S yang diajukan berbagai fihak masih bisa dipertanyakan atau diperdebatkan kebenarannya, satu hal sudah jelas bagi makin banyak orang, yaitu bahwa Suharto dkk sudah melakukan kejahatan peri-kemanusiaan terhadap puluhan juta orang. Suharto dkk bukan saja sudah membunuhi jutaan anggota dan simpatisan PKI – dan banyak simpatisan Bung Karno - yang tidak bersalah apa-apa, tetapi sudah pula mengkhianati Bung Karno dan membunuhnya secara politik dan secara fisik. Suharto dkk dengan rezim militernya yang bernama Orde Baru (harap dicatat bahwa fasisme Hitler yang anti-komunis juga suka memakai istilah Orde Baru) telah mencekik kehidupan demokratis sesudah membasmi PKI secara biadab.

Berbagai pelanggaran, penindasan dan kejahatan yang sudah dilakukan oleh rezim militer Suharto dkk selama lebih dari 30 tahun ini sudah terlalu banyak dan juga terlalu jelas bagi banyak orang. Begitu jelasnya sehingga kalau sekarang ada orang yang masih berani terang-terangan membela atau membenarkan politik Suharto dkk maka dianggap sebagai orang aneh atau tidak sehat nalarnya. Atau jadi bahan tertawaan.

Seperti sudah dibuktikan oleh sejarah, Suharto bukanlah penyelamat Republik Indonesia dan bangsa Indonesia, tetapi perusak Republik Indonesia. Titik.

Paris, 1 Juli 2003

* * *