PERMINTAAN MA’AF KEPADA
PARA KORBAN ORDE BARU
Oleh : A. Umar Said *)
Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia
Memang, betul jugalah kiranya kata-kata para nenek-moyang kita bahwa roda sejarah berputar terus, dan bahwa tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini. Untuk menghayati kebenaran ungkapan ini, baiklah kita ambil sebagai contoh ungkapan Gus Dur sewaktu berkunjung ke Dili (Timor Timur) pada tanggal 29/2, yang antara lain berbunyi:"Saya ingin mengutarakan permintaan maaf atas apa yang terjadi di masa lampau, baik kepada keluarga dan teman-teman korban Santa Cruz serta teman-teman dan keluarga yang dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Mudah- mudahan di masa mendatang tidak akan terulang lagi. Kita adalah orang-orang yang sama-sama mengalami penderitaan. Anda di bawah penindasan, kami pun di bawah penindasan. Alhamdulilah sekarang kita telah bisa melepaskan masa lampau yang penuh kesulitan dan penderitaan" (Dikutib dari Kompas tgl 1 Maret)
Contoh lainnya lagi yang juga amat menarik untuk kita renungkan bersama-sama adalah ucapan Xanana Gusmao dalam upacara untuk menyambut kunjungan Gus Dur waktu itu. Apa katanya? “Untuk Timor Loro Sae, Gus Dur adalah suatu simbol proses demokratisasi di Indonesia, suatu simbol nilai-nilai universal seperti perdamaian, keadilan, demokrasi dan kebenaran. Rakyat Timor Loro Sae sudah menerima dengan lapang dada semua yang terjadi di Tanah Airnya dan sekarang bersedia melihat ke masa depan yang demokratis, adil dan makmur supaya semua perjuangan dan penderitaan yang telah dialaminya tidak sia-sia”, demikian Xanana (Sumber: siaran Solidamor, 29/2)
Barangkali, kutiban-kutiban tersebut di atas mengejutkan banyak orang. Setidak-tidaknya, menggugah fikiran banyak orang. Dan, wajar-wajar sajalah kalau demikian. Sebab, memang banyak hal yang bisa kita tafakurkan bersama tentang ungkapan-ungkapan tsb (penjelasan : tafakur artinya memikirkan atau menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh. Pen). Sudah tentu, semua ini terpulang kepada sudut-pandang kita masing-masing. Salah satu di antaranya adalah yang sebagai berikut.
PERMINTAAN MA’AF ITU ADALAH BENAR
Sejak tersiarnya berita seperti tersebut di atas, berbagai komentar yang beraneka-ragam telah muncul. Ada yang mengatakan bahwa tindakan Gus Dur untuk minta ma’af adalah suatu keberanian. Ungkapan ini kiranya patut dilengkapi bahwa sikap Gus Dur bukan berani saja, melainkan juga sikap yang benar. Singkatnya, berani karena benar. Benar dari segi politik, baik dalam rangka nasional maupun internasional. Dalam rangka nasional, memang perlu ditegaskan bahwa politik Orde Baru untuk mencaplok -- secara tidak sah dan juga gegabah -- daerah bekas jajahan Portugis adalah kesalahan politik yang monumental. Ini merupakan pelajaran dan peringatan penting bagi seluruh bangsa, termasuk generasi yang akan datang. Dalam rangka internasional, tindakan Gus Dur menunjukkan ketulusan dan keseriusan pemerintahannya untuk menutup halaman hitam sejarah Indonesia, yang selama puluhan tahun telah menjadi bulan-bulanan kutukan opini dunia. Apakah dengan permintaan ma’af ini citra bangsa dan negara Indonesia tidak jatuh dan jadi terhina?
Tidak, bahkan sebaliknya! Pengakuan akan kesalahan yang telah dibuat oleh Orde Baru, bukan hanya mutlak diperlukan untuk memperbaiki citra Indonesia di mata dunia saja, melainkan lebih-lebih penting lagi bagi usaha pembongkaran dan penataan kembali pola berfikir kita di Republik kita, baik di bidang politik, maupun di bidang militer, dan juga di bidang moral.
SITUASI SUDAH BEROBAH
Sudah bisa diduga-duga bahwa tindakan dan sikap GUS DUR mengenai masalah Timor Timur ini bisa membikin marah, kecewa, atau masgul di sejumlah kalangan militer pendukung setia politik Orde Baru. Demikian juga, di berbagai kalangan non-militer yang tadinya menjadi aliansi-tradisional dalam menegakkan kekuasaan otoriter, yang telah menindas rakyat selama puluhan tahun itu (Harap baca lagi kalimat Gus Dur soal penindasan yang disebut di atas itu!) Mereka pasti tidak rela untuk mengakui bahwa kasus Timor Timur adalah pelanggaran besar di bidang politik, kesalahan parah dalam bidang militer (persoalan milisi, pembumi-hangusan secara besar-besaran, pemaksaan penduduk untuk mengungsi dll)dan kekalahan monumental dalam dunia diplomasi.
Para pendukung setia Orde Baru ini (baik yang militer maupun yang non-militer) tidak bisa mengerti, atau tidak mau menyadari, bahwa kasus Timor Timur adalah produk haram dari situasi sejarah. Perang Dingin yang berkobar dengan sengitnya waktu itu telah merupakan faktor penting, mengapa telah lahir konsep batil untuk mengagresi Timor Timur. Jadi, pada permulaannya, konsep ini bukan hanya merupakan produk hasil godogan Binagraha dan Cilangkap saja, melainkan juga hasil ramuan ketika tangan-tangan kepentingan Amerika (baca : kepentingan dunia Barat) juga ikut mengaduk-aduknya. Dalam hal ini, ada titik-titik persamaannya dalam kasus peristiwa besar yang tragis, sebagai akibat tercetusnya G30S.
Tetapi, situasi politik internasional sudah mengalami perobahan besar. Perobahan ini juga telah mempengaruhi perkembangan situasi di Indonesia. Seiring dengan makin membusuknya rezim militer di bawah Suharto dkk dan makin besarnya pelanggaran-pelanggaran HAM, maka rezim otoriter Orde Baru sudah makin kehilangan pendukung di dunia internasional. Dan juga di dalamnegeri! (cukup,cukup,sudah! Tidak usah panjang-panjang lagi soal ini. Sebab kita semua toh sudah tahu juga. Pen.)
PEMALSUAN SEJARAH OLEH ORDE BARU
Permintaan ma’af Gus Dur, sebagai presiden Republik Indonesia, kepada rakyat Timor Timur atas kesalahan-kesalahan Orde Baru bisa merupakan contoh bagi seluruh bangsa Indonesia, bagaimana kita semua harus bersikap terhadap kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, baik oleh perseorangan, maupun oleh kelompok, golongan, kalangan suku, kalangan ras, kalangan agama dll. Dalam rangka usaha bersama untuk menciptakan rekonsiliasi nasional, terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan bersama oleh berbagai komponen bangsa.
Salah satu di antara masalah-masalah itu adalah pengklarifikasian persoalan yang berkisar sekitar peristiwa G30S serta akibat-akibatnya kemudian. Sebab, masih banyak misteri yang belum terbuka dengan jelas selama ini. Apa yang sudah diketahui oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun adalah sejarah menurut versi Orde Baru. Dan sekarang, setelah Orde Baru telah ambruk, mulailah sedikit demi sedikit timbul keberanian dalam masyarakat untuk mempersoalkan kebenaran sejarah “made in” rezim militer itu. Sebab, berbagai fakta telah menunjukkan bahwa banyak hal-hal telah dibelok-belokkan atau juga ditutup-tutupi, sehingga versi bikinan Orde Baru itu merupakan racun dalam fikiran banyak orang. Racun itu masih tetap aktif ampai sekarang.
Berbagai pertanyaan sudah muncul, umpamanya : sebenarnya, apakah itu G30S?; sampai di manakah pimpinan PKI terlibat dalam G30S?; apakah PKI sebagai organisasi partai besar juga ikut terlibat?; peran apakah yang dipegang Letkol. Untung?; apakah Suharto waktu itu sudah tahu ttg akan adanya G30S?; mengapa Presiden Sukarno sampai digulingkan?; peran apa yang dimainkan oleh CIA atau dinas rahasia Inggris waktu itu?; dan ……..segudang pertanyaan-pertanyaan lainnya.
BERBAGAI KESALAHAN MONUMENTAL ORDE BARU
Penelitian yang serius dan yang relatif menyeluruh ttg peristiwa G30S adalah
penting untuk menentukan siapa yang bisa dianggap salah dan siapa saja yang
terlibat dalam peristiwa itu. Tetapi, betapapun juga, sudah bisalah kiranya
ditarik kesimpulan bahwa Orde Baru telah melakukan pelanggaran terhadap perikemanusiaan
secara besar-besaran, dan dalam kurun waktu yang panjang pula, terhadap sejumlah
besar warganegara republik kita. Jutaan orang yang tidak bersalah atau tidak
berdosa sama sekali telah menjadi korban pembantaian besar-besaran. Kemudian,
ratusan ribu orang telah ditahan atau dipenjarakan tanpa proses pengadilan.
Kemudian lagi, ratusan ribu orang yang tidak bersalah dan sudah dipenjarakan
ini masih terus juga disiksa lagi, selama puluhan tahun, setelah menjadi ex-tapol.
(Harap baca cuplikan Deklarasi Universal HAM pada akhir tulisan. Pen)
Perlakuan yang kejam ini telah ditrapkan terhadap anggota-anggota PKI atau anggota berbagai organisasi massa. Bahkan juga terhadap orang-orang yang hanya dituduh, diduga, atau di-indikasikan, atau di-isyukan, sebagai komunis, sebagai simpatisan PKI atau bahkan terhadap para pendukung Sukarno. Di antara mereka banyak terdapat pegawai negeri, guru, tentara, polisi, dan lain-lainnya, yang telah dipecat begitu saja, tanpa mendapat jaminan untuk hidup. Entah, berapa ratus ribu buku yang bisa ditulis tentang penderitaan pahit mereka itu semuanya. Barangkali, dalam sejarah ummat manusia modern, halaman-halaman gelap Orde Baru inilah yang bisa menandingi sejarah kekejaman fasisme Hitler, Mussolini, Franco dan Hideki Tojo (atau juga Polpot?. Pen.)
Kesalahan berat Orde Baru atau dosa raksasa rezim militer yang dipimpin oleh Suharto dkk adalah pentrapan hukuman kolektif secara besar-besaran terhadap sejumlah besar manusia Indonesia. Supaya lebih jelas lagi: yaitu, hukuman kolektif terhadap orang-orang yang sama sekali – harap catat besar-besar : sama sekali -- tidak bersalah, yang tidak mempunyai sangkut-paut sama sekali dengan G30S, atau yang tidak tahu menahu tentang peristiwa itu. Politik “deshumanisasi” (men-tidak-manusiawikan) sebagian besar warganegara kita ini jugalah yang telah mendatangkan penderitaan batiniah dan siksaan jasmaniah bagi puluhan juta sanak-saudara (jauh maupun dekat) para korban.
ANTI-HAM ADALAH: BIADAB! (jangan kaget,
harap baca dulu selanjutnya. Pen)
Jatuhnya Suharto adalah bukti bahwa politik Orde Baru sudah ditolak oleh rakyat Indonesia dan tidak mendapat dukungan opini internasional lagi. Di bawah pimpinan Gus Dur, bangsa kita dewasa ini sedang memperbaiki kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh Suharto dkk, dan mengusahakan rekonsiliasi nasional. Salah satu hambatan besar untuk rekonsiliasi nasional ini adalah masih diteruskannya pola berfikir Orde Baru terhadap para eks-tapol, terhadap golongan “kiri” pada umumnya, dan terhadap para sanak-saudara korban Orde Baru.
Pola berfikir Orde Baru bisa diperas : pelanggaran berat dan besar-besaran terhadap HAM! Dan, pelanggaran berat dan besar-besaran terhadap HAM ini punya nama lain : biadab. (Mohon dicatat, ini bukan sekedar makian yang sembarangan. Melainkan istilah yang sudah ditimbang-timbang, dan diukur, sepadan dengan kasus yang berkaitan. Pen)
Dalam jangka 32 tahun, pola berfikir yang tidak menghargai HAM ini telah di-indoktrinasikan secara besar-besaran dan sistematis dengan berbagai cara. Sebagai akibatnya, tidak sedikit jumlah orang dari berbagai kalangan yang dihinggapi penyakit anti-HAM ini. Itulah sebabnya mengapa anggota-anggota DPR, atau MPR, atau Mahkamah Agung, atau para intelektual, atau para pemuka agama, telah diam saja seribu bahasa, dan itupun selama puluhan tahun pula! Sedangkan mereka itu semua telah menyaksikan sendiri pelanggaran-pelanggaran HAM ini dalam berbagai bentuknya.
Marilah sama-sama kita tafakurkan dengan hati nurani yang bersih : bukankah gejala semacam ini menyedihkan? Sudah demikian butahatikah bangsa kita ini? Apakah kebiasaan berfikir yang tidak beradab ini bisa dan boleh diteruskan?
Tidak! Diteruskannya pola berfikir Orde Baru akan tetap membikin berlangsungnya terus penyakit yang merongrong kehidupan bangsa kita.
PENTINGNYA MINTA MA’AF KEPADA PARA KORBAN ORDE BARU
Gus Dur telah memberi contoh sikap yang luhur dengan minta ma’af kepada rakyat Timor Timur. Sudah saatnyalah sekarang, dan juga tepat pulalah, bahwa para pengikut setia Orde Baru (yang masih terdapat dimana-mana)juga minta ma’af kepada para korban Orde Baru. Mereka yang telah pernah ikut menyetujui pola berfikir Orde Baru patut menyadari bahwa minta ma’af kepada para korban Orde Baru juga berarti bersedia meninggalkan jalan yang telah sesat itu.
Minta ma’af atas kesalahan terhadap pelanggaran HAM yang begitu parah itu bukannya sesuatu yang hina. Permintaan ma’af ini bukan saja penting untuk rekonsiliasi nasional, melainkan juga untuk menolong diri mereka-mereka yang telah ikut serta – dalam berbagai derajat dan melalui berbagai bentuk – dalam kesalahan-kolektif yang telah berlangsung lama itu. Dengan permintaan ma’af ini, mereka akan dibebaskan dari beban moril karena merasa ikut bersalah. Dengan permintaan ma’af ini, mereka kemudian bisa ikut secara positif, dan dengan kelegaan hati, dalam usaha besar untuk menggalang persatuan nasional, yang sekarang tercabik-cabik dalam berbagai bentuk itu.
Permintaan ma’af tidak hanya bisa dimanifestasikan dengan ucapan atau pernyataan saja. Yang penting adalah dengan tindakan nyata dan tulus. Dengan ikut serta dalam perlawanan-bersama terhadap pola berfikit Orde Baru, mereka secara tidak langsung sudah minta ma’af kepada para korban Orde Baru. Membela kepentingan para korban Orde Baru, merupakan manifestasi permintaan ma’af yang nyata. Dan untuk itu, banyak jalan yang bisa ditempuh bersama-sama. (HABIS)