PERSPEKTIF PEMBERANTASAN KORUPSI
DI BAWAH MEGAWATI
(Oleh : A. Umar Said)
Presiden Megawati Soekarnoputri dalam salah satu bagian pidato kenegaraannya di depan Rapat Paripurna DPR berjanji, dirinya, keluarganya maupun Kabinet Gotong Royong yang dipimpinnya, tidak akan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam kesempatan ini Presiden mengungkapkan betapa sulitnya memberantas praktek KKN yang secara langsung atau tidak langsung telah menyebabkan keterpurukan Indonesia sejak tahun 1997 silam. Dijelaskan Presiden, berbeda dari tatanan masyarakat yang bersifat feodalistis, yang cenderung tidak melihat KKN sebagai kesalahan besar dalam tatanan demokrasi hal tersebut akan menjadi kesalahan besar. KKN, betapa pun kecilnya akan merupakan pelanggaran terhadap amanat orang banyak sekaligus pelanggaran terhadap sumpah jabatan."Dalam hubungan ini, ijinkanlah saya dengan rendah hati, melaporkan kepada sidang yang mulia ini, bahwa secara pribadi saya telah mengumpulkan seluruh keluarga dekat saya, dan meminta kepada mereka untuk sungguh-sungguh berjanji agar jangan membuka peluang sedikitpun bagi terulangnya KKN tersebut di kalangan keluarga saya," ujar Presiden di depan Sidang Paripurna DPR di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (16/8). Lebih jauh, Presiden pun mengungkapkan, keluarganya telah memberikan janji dengan sungguh-sungguh, dan ia berharap keluarganya akan tahan terhadap demikian banyak godaan yang berasal dari lingkungannya.
"Saya yakin, kita akan melakukan terobosan besar dalam pencegahan dan
penanggulangan KKN ini, jika kita semua yang berada di dalam ruang Nusantara
ini berjanji setidak-tidaknya dalam hati untuk tidak melakukannya," imbau
Presiden. Selain itu, Presiden juga telah meminta kepada seluruh anggota Kabinet
Gotong Royong untuk melaporkan kekayaannya masing-masing dan secepatnya menyerahkan
kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Demikianlah, yang bisa kita baca dari sebagian pidato Presiden Megawati, yang
22 halaman, dan yang mengangkat berbagai persoalan penting, antara lain :
masalah reformasi internal di tubuh TNI/Polri, pelanggaran Hak Asasi Manusia,
penegasannya bahwa Indonesia adalah negara hukjum, dan karenanya tidak seorang
pun berada di luar atau di atas hukum. Dikemukakannya juga tentang pentingnya
perobahan konstitusi, tentang hakikat, metoda dan wujud gerakan reformasi
serta proses demokratisasi yang dilancarkan bersama sejak 1998.
Tulisan kali ini dimaksudkan untuk lebih banyak menyoroti masalah korupsi yang telah diangkatnya secara berani dalam pidatonya itu. Tanpa mengurangi arti penting bagian-bagian yang lain, masalah korupsi yang diangkatnya adalah sesuatu yang patut kita sambut gembira, tetapi juga sekaligus kita renungkan berbagai konsekwensinya . Mengapa?
HUBUNGAN ANTARA KORUPSI DAN POLITIK, HUKUM DAN MORAL
Sejarah berbagai negeri di dunia yang dilanda oleh penyakit parah korupsi
menunjukkan adanya hubungan erat antara politik, hukum dan moral. Ini bisa
dilihat di Korea Selatan, Mexico,Thailand, Philipina, Pakistan, Aljazair,
Uganda, Zaire, Nigeria, Siera Leone, atau banyak negara-negara Amerika Latin
di masa lalu dan negara-negara Eropa Timur dewasa ini. Bahkan, di negara-negara
yang “maju” pun, hubungan antara kasus-kasus korupsi dengan politik,
hukum dan moral juga kadang-kadang nampak jelas, umpamanya di Prancis, Itali,
Jerman, bahkan juga di AS. Namun, apa yang sudah terjadi selama puluhan tahun
di Indonesia adalah sesuatu yang luarbiasa.
Selama Orde Baru, sistem politik atau struktur kekuasaan telah memungkinkan
merajalelanya korupsi besar-besaran, dan, di segala bidang pula. Korupsi yang
“membudaya” ini telah membikin kerusakan-kerusakan parah, terutama
di bidang moral di kalangan pejabat-pejabat, dan di kalangan “tokoh-tokoh”
masyarakat, dari tingkat yang paling atas sampai yang paling bawah. Sekadar
sejumput contoh di antaranya : sering kali, bikin KTP lewat kepala RT/RW harus
kasih “upeti” atau nyogok; untuk mendapat SIM atau paspor perlu
ada uang pelicin; untuk memasukkan anak belajar di sekolah harus membayar
“iuran” gelap; untuk dapat ijin berusaha diperlukan “beaya”
di bawah meja; mengurusi pajak harus ada “pengertian” dengan petugas
yang bersangkutan. Kerusakan moral di kalangan masyarakat “bawah”
adalah kenyataan yang sudah berlangsung lama. Namun, perlulah kiranya sama-sama
kita sadari bahwa betapapun besar kerusakan di tingkat “bawah”
ini masih kecil kalau dibandingkan dengan kerusakan-kerusakan di kalangan
“atas”. Bahkan, bisalah kiranya dikatakan, bahwa kerusakan di
“bawah” ini adalah hanya akibat dari kerusakan-kerusakan besar
yang terjadi di kalangan atas.
Pemerintahan Orde Baru yang berlangsung puluhan tahun (!), menunjukkan bahwa
sistem politik dan penataan kekuasaannya telah merupakan jaringan-jaringan
mafia, yang membikin korupsi, kolusi dan nepotisme telah mengganas, karena
hukum tidak berjalan seperti semestinya. Pejabat-pejabat berbagai tingkat
(sipil dan militer) mencuri kekayaan negara dengan berbagai cara, dan memperkaya
diri dengan uang haram yang dicuri dari keringat rakyat. Dengan bersekongkol
dengan fihak swasta, mereka juga berkolusi untuk bersama-sama merusak hukum
dan peradilan. Pengacara dibeli, polisi disuap, jaksa “ditutup”
mulutnya, hakim (termasuk hakim “agung”) bisa dipengaruhi, dengan
uang yang mereka peroleh secara HARAM. Dalam jangka lama negara kita telah
dikelola oleh orang-orang yang bermoral rendah, dari tingkat pusat sampai
daerah. Apa yang dinamakan DPR dan DPRD juga telah kejangkitan penyakit kerusakan
moral, sehingga tidak bisa berbuat banyak. Singkatnya, lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif dan judikatif, telah dirusak besar-besaran oleh kemerosotan moral.
Dan, seperti yang bisa sama-sama kita saksikan selama ini, dalam kemerosotan
moral ini peran merusak yang dimainkan oleh korupsi adalah besar sekali! Ini
bisa dilihat dari cara kerja dan juga cara hidup para pejabat (sipil dan militer)
dan “tokoh-tokoh” partai atau berbagai golongan masyarakat lainnya,
baik yang di Jakarta maupun di berbagai kota di daerah-daerah, umpamanya Tulungagung,
Jember, Wonogiri, Purwokerto, Sukabumi, Serang, Kotabumi, Padang, Medan, Banjarmasin,
Balikpapan, Menado, Makasar, Denpasar dll. Sistem politik atau pengaturan
kekuasaan yang ditrapkan Orde Baru selama puluhan tahun itulah yang telah
memungkinkan merajalelanya korupsi, yang mengakibatkan pembusukan moral di
mana-mana. Pejabat-pejabat atau tokoh-tokoh sudah tidak malu lagi mengatakan
terang-terangan bahwa mempunyai 3 sampai 7 rumah atau 4 sampai 9 mobil, sedangkan
mereka sama-sama tahu bahwa itu semua tidaklah mungkin dari gaji mereka, atau
dari “warisan orang tua”.
KEBERANIAN MEGAWATI PERLU DIDORONG TERUS
Kalau kita baca kembali bagian pidato Presiden Megawati yang berkaitan dengan
soal korupsi, maka nampaklah keberaniannya atau ketegasan sikapnya tentang
soal serius ini. Di depan seluruh bangsa (yang juga disaksikan oleh banyak
fihak di dunia) ia berjanji bahwa dirinya, keluarganya maupun kabinet Gotong
Royong yang dipimpinnya tidak akan melakukan KKN. Ditegaskannya bahwa ia secara
pribadi telah mengumpulkan seluruh keluarga dekatnya, dan meminta kepada mereka
untuk sungguh-sungguh berjanji agar jangan membuka peluang sedikitpun bagi
terulangnya KKN di kalangan keluarganya. Ia berharap juga keluarganya akan
tahan terhadap demikian banyak godaan yang berasal dari lingkungannya.
Mengingat situasi di Indonesia dewasa ini, pernyataan Presiden Megawati ini
sangat menarik. Arti penting pernyataannya ini bisa dilihat dari berbagai
segi, yang antara lain adalah agaknya sebagai berikut:
a) Dengan janjinya bahwa keluarganya tidak akan melakukan KKN atau tidak membuka
peluang sedikitpun bagi terulangnya KKN, ia sudah – sedikitnya banyaknya
– mengurangi berbagai kekhawatiran atau kesangsian tentang kemungkinan
bahwa kedudukannya sebagai Presiden akan digunakan oleh orang-orang dekatnya
(termasuk suaminya, Taufik Kiemas) untuk melakukan KKN. Kalau janjinya ini
betul-betul dilaksanakan, maka musuh-musuh politik kubu Megawati (yang cukup
banyak, dan yang akan selalu “mengincer” kesalahan-kesalahannya
untuk memukulnya) akan kehilangan peluru.
b) Kalau seruannya (kepada para menteri dan anggota DPR) untuk melakukan terobosan
besar dalam pencegahan dan penanggulangan KKN dapat direalisasikan dalam masa
dekat, maka integritasnya akan makin naik tinggi di opini publik, dan kewibawaan
politik dan kewibawaan moralnya juga bisa memainkan peran penting dalam memimpin
pemerintahan. Tetapi, sebaliknya, kalau seruannya ini ternyata gagal (juga
seperti usaha-usahalainnya di masa yang lalu), maka citranya akan anjlog di
hati banyak orang.
c) Karena Presiden Megawati telah menyatakan bahwa kabinet Gotong Royong yang
dipimpinnya tidak akan melakukan KKN, maka secara politik dan juga secara
moral ia bertanggungjawab atas janji yang “bobotnya” amat berat
ini. Sebab, korupsi sudah betul-betul meresap dalam kehidupan partai politik
di Indonesia, sedangkan Presiden Megawati harus berusaha menjaga keselamatan
atau hubungan baik antara berbagai unsur dalam pemerintahan koalisinya. Di
sinilah letak dilema yang dihadapinya. Sebab, kalau ia gigih melaksanakan
pembrantasan korupsi, maka pastilah ia akan menghadapi perbenturan politik
dari lawan-lawannya.
PERTEMPURAN DI BIDANG KORUPSI ADALAH IDEAL
Presiden Megawati sudah mengeluarkan pernyataan penting tentang berbagai persoalan
yang sedang dihadapi bangsa, termasuk masalah perlunya pembrantasan korupsi.
Sepatutnya, janjinya bahwa keluarganya tidak akan melakukan KKN janganlah
disambut dengan pesimisme atau ditanggapi dengan sinisme. Sebab, kalau janjinya
itu bisa dilaksanakan, maka akan merupakan teladan moral yang penting sekali.
Selama ini, terlalu banyak pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat yang tanpa
rasa segan sedikit pun mengejar “kemegahan” yang didasarkan pada
ke-haram-an, dan menumpuk kekayaan secara berlebih-lebihan dan tidak bermoral.
Banyak orang mengharapkan bahwa pernyataannya itu betul-betul adalah manifestasi
dari “political will” (kemauan politik) yang akan menjadi pegangannya
untuk seterusnya.
Tetapi, kita pun perlu menyadari bahwa realisasi kemauan politiknya ini sama
sekali tidaklah mudah. Sebab, unsur-unsur atau sisa-sisa kekuatan Orde Baru
adalah masih kuat sekali di mana-mana, termasuk di sekelilingnya atau di dekatnya.
Presiden Megawati sekarang ini sedang dikepung oleh kekuatan-kekuatan gelap
ini, termasuk di Sekretariat Negara dan di kabinetnya sendiri. Sedangkan,
sejarah selama puluhan tahun sudah membuktikan bahwa kebanyakan koruptor-koruptor
yang paling besar adalah (harap catat :tidak semua!) justru para pendukung
utama Orde Baru, atau “tokoh-tokoh” yang bersekongkol dengan pemerintahan
Orde Baru.
Oleh karena itu, adalah wajar kalau kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi
mendukung langkah-langkah positif Presiden Megawati yang berkaitan dengan
usaha pembrantasan korupsi. Pembrantasan korupsi adalah bagian penting dari
perjuangan reformasi, karena berkaitan erat dengan pembenahan kehidupan politik
negeri kita, penegakan hukum dan perbaikan moral. Jadinya, pembrantasan korupsi
adalah juga bagian penting dari perjuangan melawan Golkar serta unsur-unsur
Orde Baru di berbagai partai lainnya. Oleh karena itu, kalau Presiden Megawati
ingin melaksanakan pembrantasan korupsi secara tegas, maka kemungkinan akan
terjadinya “bentrokan” dengan unsur-unsur seperti tersebut di
atas adalah besar sekali.
Memang, dapat dimengertilah kiranya, bahwa Presiden Megawati akan berusaha
untuk menjaga hubungan baik di antara berbagai kekuatan politik yang diwakili
dalam kabinetnya, di DPR atau dalam masyarakat. Dukungan dari berbagai kekuatan
memang diperlukan, supaya pemerintahannya bisa berjalan secara lancar, efisien,
dan tidak terlalu banyak hambatan atau kerecokan-kerecokan. Namun, kalau Presiden
Megawati terlalu “toleran” terhadap berbagai korupsi besar yang
sudah terjadi atau yang akan terjadi - atau bahkan ikut menyembunyikan atau
mendiamkan saja – maka kekuatan kubu Megawati akan terseret dalam lumpur
busuk ini, dan karenanya juga akan terpental keluar dari hati para pendukungnya,
bahkan juga dari hati rakyat banyak lainnya.
Sebenarnya, bagi kubu Megawati, “pertempuran” di bidang pembrantasan
korupsi adalah pertempuran yang amat ideal. Sebab, justru dalam masalah korupsi
inilah terletak kelemahan yang paling besar lawan-lawan politik kubu Megawati.
Dan juga, dalam masalah pembrantasan korupsi ini pulalah, kubu Megawati akan
mendapat dukungan besar dari banyak fihak, terutama dari kekuatan pro-reformasi.
MEGAWATI PERLU DIDORONG TERUS
Bagi banyak orang, pernyataan Presiden Megawati tentang masalah korupsi adalah
suatu “surprise” yang cukup mengherankan, dan sekaligus juga menimbulkan
harapan. Keberaniannya dalam menyatakan bahwa keluarganya dan orang-orang
dekatnya tidak akan melakukan korupsi adalah sesuatu yang patut dicatat sebagai
peristiwa penting. Demikian juga, pernyataan suaminya (Taufik Kiemas) yang
minta supaya semua orang mengawasi keluarganya dan melaporkan kalau terjadi
hal-hal yang bisa dianggap berbau KKN. Sesuai dengan pernyataan mereka itu,
maka perlulah kiranya ada dorongan supaya apa yang diungkapkan oleh Presiden
Megawati mengenai soal korupsi itu sungguh-sungguh menjadi kenyataan.
Segala macam bentuk dorongan, atau desakan (atau tekanan) ini kelihatannya
perlu sekali, mengingat adanya kekhawatiran dari berbagai fihak (dan kekhawatiran
ini memang ada dasarnya) bahwa Presiden Megawati akan terlalu “lunak”,
atau bahkan “menyerah” kepada sisa-sisa kekuatan Orde Baru, dalam
rangka politik untuk menyelamatkan koalisi. Bahkan, dorongan atau tekanan
ini bukan hanya penting untuk terrealisasinya pembrantasan korupsi saja, melainkan
juga untuk : penuntasan reformasi, pengokohan kehidupan demokrasi, perlindungan
HAM, penegakan hukum dan keadilan, penyehatan moral bangsa, kepemihakan kepada
kepentingan rakyat banyak. Ketika kubu Megawati sudah menunjukkan kecenderungan
terlalu pragmatis menghadapi sisa-sisa kekuatan Orde Baru (yang menyelinap
di kalangan Golkar, PPP, PAN, TNI-AD dll ) maka melakukan tekanan terhadap
kubu Megawati adalah mutlak diperlukan.
Kesulitan lainnya yang dihadapi oleh kubu Megawati adalah kenyataan selama
ini yang membuktikan bahwa aparat-aparat hukum dan peradilan (termasuk juga
pengadilan) masih banyak dikangkangi oleh oknum-oknum yang sikap politik mereka
masih terkontaminasi oleh Orde Baru. Kebanyakan di antara mereka (sekali lagi
: tidak semua!) sudah merupakan sapu yang penuh kotoran, sehingga tidak mungkin
lagi untuk membersihkan kotoran besar yang bernama korupsi ini. Kepemimpinan
Bagir Manan di Mahkamah Agung, atau M.A. Rachman di Kejaksaan Agung, atau
Bimantoro di Kepolisian RI sekarang sudah disangsikan oleh banyak orang, dalam
usaha pentrapan hukum dan keadilan di negara kita dewasa ini.
Agaknya, kubu Megawati perlu sering atau selalu diingatkan (dan diperingatkan!)
bahwa dalam perjuangan yang multi-facet (bersegi banyak) ini mereka perlu
bersekutu dengan seluruh kekuatan pro-reformasi, dan bukannya kepada golongan-golongan
yang pro-Orde Baru. Sebab, aliansi sementara yang sekarang membentuk koalisi
ini adalah, pada dasarnya, aliansi sementara berbagai kekuatan politik yang
mempunyai agenda-agenda tersembunyi, yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat
yang mendambakan adanya reformasi, demokrasi, penegakan hukum dan HAM.
Untuk lebih jelas lagi : kubu Megawati tidak bisa mengharapkan dukungan yang
tulus dari sisa-sisa Orde Baru, kalau memang mau sungguh-sungguh menyelesaikan
tugas-tugas penting tersebut di atas. Sejarah berkembangnya PDIP-P dan juga
dukungan yang besar kepada partai ini dalam pemilu yang lalu adalah justru
berkat keinginan rakyat untuk membuang Orde Baru dalam keranjang sampah sejarah
dan melumpuhkan Golkar. PDI-P atau kubu Megawati perlu ingat bahwa kebesaran
PDI-P (dan sosok Megawati) akan bisa dipertahankan (bahkan bisa dikembangkan)
dalam pemilu tahun 2004 yang akan datang, kalau ia setia dalam memperjuangkan
reformasi, demokrasi, HAM dan pembrantasan korupsi. Dan bukan sebaliknya.
Karena itu, mendorong terus kubu Megawati supaya setia memihak rakyat dalam
pertempuran melawan kebusukan-kebusukan Orde Baru adalah penting. Untuk itu,
mengembangkan terus kekuatan gerakan pro-reformasi, adalah mutlak perlu. Besarnya
kekuatan pro-reformasi (baik yang tergabung dalam berbagai partai, LSM, beraneka-ragam
Ornop maupun yang dalam gerakan-gerakan ekstra-parlementer lainnya) adalah
tumpuan harapan utama bahwa negara dan bangsa kita bisa diselamatkan dari
proses pembusukan, yang sudah berlangsung terlalu lama ini. Ringkas-padatnya
: apa pun yang terjadi, perjuangan untuk reformasi harus jalan terus, melalui
berbagai jalan dan beraneka-ragam cara dan bentuk.
Paris, musim panas, 19 Agustus 2001