Pro dan kontra terhadap abolisi bagi Suharto
(Oleh : A. Umar Said)
Sudah banyak suara yang menggemakan sikap pro dan kontra terhadap masalah abolisi bagi mantan presiden Suharto. Sejak tersiarnya berita bahwa ia terpaksa dirawat di Rumah Sakit Pertamina, maka bertebaranlah pernyataan yang melagukan pentingnya abolisi, atau amnesti, atau penghentian proses hukum terhadapnya. Suara-suara semacam itu telah membangkitkan banyak reaksi pro dan kontra yang macam-macam dari berbagai fihak, baik dari kalangan pejabat, tokoh-tokoh terkemuka masyarakat, maupun dari pers, organisasi non-pemerintah dan bahkan juga dari “orang biasa”, antara lain para eks-tapol dan eks-napol.
Pada akhirnya, ramainya perdebatan atau pertukaran pendapat sekitar abolisi terhadap kasus Suharto adalah gejala positif bagi kehidupan demokratis dan pendidikan politik dan moral bagi bangsa kita. Karenanya, semakin banyak orang mempersoalkannya adalah semakin baik. Sebab, persoalan ini bukanlah HANYA urusan pribadi satu orang yang bernama Suharto saja, dan bukan pula HANYA urusan keluarganya saja. Masalah ini punya kaitan penting dengan banyak aspek kehidupan bangsa dan negara. Artinya, masalah Suharto adalah masalah kita bersama, atau masalah urusan orang banyak. Artinya, masalah ini bukanlah HANYA urusan Presiden Megawati, Jaksa Agung, DPR atau ketua Mahkamah Agung saja. Bukan pula HANYA urusan ahli-ahli hukum serta para terkemuka masyarakat lainnya.
Kasus Suharto adalah masalah besar, yang dampaknya bisa amat besar pula, di kemudian hari, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun di bidang kehidupan moral, atau juga di bidang keadilan sosial, peri-kemanusiaan atau HAM dan penegakan hukum . Karenanya, kalau dilihat dari segi sejarah lahirnya Orde Baru, dan dari apa yang telah terjadi selama 32 tahun itu, maka nyatalah bahwa kita perlu memandang kasus Suharto ini secara menyeluruh, proporsional, benar, adil dan jujur. Sikap ini perlu kita ambil bersama, demi kepentingan kelanjutan kehidupan bersama bangsa kita.
RAKYAT BERHAK UNTUK BERSUARA
Selama mantan Presiden Suharto dirawat di rumahsakit, muncullah secara bertubi-tubi dan menggebu-gebu suara dari berbagai kalangan yang mengusulkan supaya proses hukum terhadap Suharto dihentikan melalui abolisi. Usul ini telah dinyatakan, dengan berbagai dalih dan bentuk dan cara, oleh, antara lain : Wakil Presiden Hamzah Haz, Menteri Kehakiman Yusril, ketua DPR Akbar Tanjung, beberapa menteri dan anggota DPR, serta sjumlah intelektual. Bahkan, menurut keterangan pimpinan PDI-P Pramono Anung, Presiden Megawati juga sudah cenderung untuk menetapkan abolisi terhadap kasus proses hukum Suharto, walaupun sekarang masih menunggu pendapat DPR (siaran Liputan 6, tgl 22 Desember 2001).
Di antara dalih atau alasan yang dikemukakan oleh para pengusul abolisi adalah pertimbangan perikemanusiaan, dan keadaan kesehatan mantan presiden Suharto yang sudah tidak memungkinkan diajukannya di depan pengadilan (ingatan sudah lemah, bicara sudah sulit, sudah banyak lupa dll). Usul itu didasarkan kepada hasil pemeriksaan tim dokter. Di samping itu juga di dasarkan kepada pertimbangan bahwa Suharto adalah bekas pimpinan negara dan sudah berjasa, walaupun juga melakukan kesalahan-kesalahan. Bahkan, ada juga yang mengajukan dalih penegakan hukum, ketika mereka mengusulkan abolisi ini.
Namun, seperti yang sama-sama kita saksikan, usul abolisi ini telah ditentang
oleh banyak tokoh masyarakat, intelektual, pakar hukum, pimpinan LSM, dan
sebagian anggota DPR. Di antara mereka, (dengan latar-belakang yang beraneka-rupa),
ada yang menyoroti betapa besarnya bahaya bagi penegakan hukum, bagi perasaan
keadilan, bagi kelanjutan reformasi, bagi pemberantasan KKN, bagi kehidupan
moral, kalau abolisi ini sampai akhirnya betul-betul diputuskan oleh Presiden
Megawati.
Mengingat pentingnya masalah abolisi kasus Suharto bagi kehidupan bangsa,
maka wajarlah bahwa sudah timbul reaksi yang keras terhadap munculnya gagasan-gagasan
semacam ini. Kasus ini, pada tahap sekarang, merupakan acara perjuangan yang
amat penting bagi seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi dalam masyarakat
(yang tergabung dalam berbagai golongan dan komponen bangsa, tanpa memandang
suku, agama atau ras). Berbagai macam aksi dan beraneka-ragam langkah perlu
dilancarkan oleh sebanyak mungkin kalangan (umpamanya : LSM, gerakan-gerakan
rakyat, organisasi pemuda/mahasiswa, intelektual, pesantren dan madrasah)
untuk menyuarakan aspirasi mereka tentang perlunya pengadilan Suharto.
Tuntutan rasa-keadilan masyarakat, yang secara besar-besaran disuarakan lewat berbagai cara damai dan beradab, adalah amat penting untuk mengimbangi suara para “tokoh” (dalam pemerintahan maupun DPR) yang mempromosikan barang dagangan “abolisi” yang membahayakan keharmonisan kehidupan bangsa ini. Opini publik yang menentang abolisi perlu dikembangkan dan digalakkan bersama-sama, sehingga bisa merupakan kekuatan desakan terhadap para “tokoh” (termasuk Presiden Megawati) untuk mencampakkan gagasan yang salah ini. Dalam hal ini, seperti dalam hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan kehidupan bangsa dan negara, rakyat berhak bersuara.
PENEGAKAN HUKUM YANG BAGAIMANA ?
Dari “perdebatan” berbagai tokoh yang bisa diikuti selama ini di televisi, radio dan pers cetak, kita sama-sama melihat sendiri bahwa persoalan abolisi kasus Suharto telah memunculkan berbagai pendapat, yang berkaitan dengan aspek-aspeknya di bidang hukum, politik, moral. Beraneka-ragam kajian atau pendekatan telah diajukan oleh para pengacara Suharto beserta para pendukung usul abolisi. (Sekadar informasi bagi pembaca : dari Paris pun, lewat computer - dan dengan menggunakan ADSL dan Real Player - dapat diikuti setiap hari siaran televisi Liputan 6, Cakrawala, Hallo Indoneia dan berbagai radio seperti Elshinta, dan juga dapat dibaca sejumlah besar koran dan majalah yang terbit di Indonesia).
Dengan bumbu alasan-alasan kemanusian (usia sudah lanjut, dalam keadaan sakit, ketidakmampuan fisik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dll) para pendukung abolisi telah berusaha menggunakan penafsiran ayat-ayat hukum guna mencapai satu tujuan : membebaskan Suharto dari segala pertanggungan jawab atas berbagai kesalahan atau dosa yang pernah dilakukannya, antara lain soal KKN. Ada di antara mereka ini yang menonjolkan bahwa tokoh Orde Baru ini telah berjasa untuk bangsa dan negara, di samping ada juga yang menekankan pentingnya penghargaan terhadapnya sebagai bekas kepala negara yang pernah “dipilih oleh rakyat”. Ada pula yang begitu getolnya dalam mendukung abolisi sampai-sampai berani menyatakan bahwa politik Suharto selama puluhan tahun itu tidak salah, karena sudah selalu mendapat persetujuan atau pengesahan dari DPR dan MPR. Yang paling keterlaluan adalah pendapat bahwa sikap untuk memberikan abolisi adalah sebagai pendidikan bagi bangsa!
Dalam situasi negeri kita di mana sudah puluhan tahun (dan sampai sekarang) hukum sudah dimanipulasi secara kasar dan besar-besaran oleh para penguasa Orde Baru (terutama oleh Suharto), dan norma-norma keadilan sudah dirusak demi kepentingan haram sebagian kecil sekali bangsa kita, maka membela Suharto atas nama penegakan hukum adalah suatu hal yang patut sekali untuk dipertanyakan ketulusannya atau kejujurannya (bahkan, juga kebenarannya). Yang jelas adalah kebalikannya. Justru demi penegakan hukum (secara benar) dan demi dihormatinya perasaan keadilanlah maka kasus Suharto perlu terus diproses, baik secara hukum, secara politik, maupun secara moral.
Kita semua sudah menyaksikan - selama puluhan tahun - bahwa di antara kerusakan-kerusakan paling parah yang dibikin oleh Orde Baru (baca : Suharto dkk) adalah justru di bidang penegakan hukum ini. Karena dilecehkannya supremasi hukum inilah maka begitu banyak orang-orang yang tidak bersalah telah dibunuhi begitu saja secara besar-besaran, ratusan ribu ditahan – dan dalam jangka waktu yang lama sekali - tanpa proses pengadilan, kehidupan demokrasi telah dicekek, hak-hak asasi manusia telah diinjak-injak dalam berbagai bentuk dan cara dan dalam skala besar pula, KKN merajalela, dan kebobrokan moral melanda di seluruh negeri. Karenanya, ketika orang mulai bicara soal abolisi bagi kasus Suharto, perlulah kiranya pengalaman pahit dan pedih bangsa selama lebih dari 30 tahun ini dijadikan pertimbangan menyeluruh yang serius, adil, dan jujur. Mengabaikan, atau menutup-nutupi, atau menganggap enteng saja kesalahan-kesalahan dan dosanya, adalah suatu sikap yang tidak menguntungkan bagi kebaikan pendidikan bangsa.
PERI-KEMANUSIAAN DAN KEPEMIMPINAN
Ada pendapat juga bahwa kasus Suharto perlu di-abolisi, demi menjunjung rasa peri-kemanusiaan. Pendapat semacam ini bisa menyesatkan fikiran banyak orang. Pada dasarnya, para pendukung abolisi - dengan latar-belakang pertimbangan dan kepentingan yang mungkin berbeda-beda – menginginkan supaya Suharto tidak diadili. Apa artinya?. Dengan mengusahakan supaya Suharto tidak diadili, maka, pada hakekatnya, para pendukung abolisi itu tidak menghargai peri-kemanusiaan. Dengan dalih menghormati peri-kemanusiaan terhadap seorang ini, maka mereka menganggap sepi saja peri-kemanusiaan terhadap puluhan juta orang lainnya. Sebab, entah berapa puluh juta orang, yang selama puluhan tahun sudah mengalami perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, sebagai akibat politiknya (atau karena berbagai tindakan-tindakannya lainnya), baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan, yang lebih menyedihkan, adalah bahwa sisa-sisa politiknya itu, sampai sekarang, masih terus menimbulkan penderitaan bagi sejumlah besar rakyat kita.
Mengadili Suharto bukanlah HANYA meminta pertanggungan-jawab atas kesalahan-kesalahannya, melainkan juga berarti menolak konsepsi-konsepsinya di berbagai bidang, yang telah terbukti mendatangkan kesengsaraan bagi banyak orang dan menimbulkan kerusakan-kerusakan parah terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa, yang kita warisi dewasa ini. Penolakan kita bersama - secara tegas dan jelas - terhadap berbagai konsepsi buruk Suharto (baca: dan kawan-kawannya) adalah salah satu cara penting untuk mencegah terulangnya kembali pengalaman pahit bangsa kita selama Orde Baru.
Ada yang mengusulkan abolisi kasus Suharto, dengan alasan bahwa tindakan itu perlu sebagai penghargaan bangsa yang beradab terhadap mantan kepala negara yang pernah “dipilih oleh rakyat” untuk memimpin bangsa. Mengenai soal ini, cukuplah kiranya kalau kita buka kembali halaman-halaman sejarah (yang benar !!!) bagaimana Suharto bisa naik menjadi kepala negara melalui berbagai jalan yang penuh bau mesiu dan ujung bayonet (dan mayat Bung Karno!). Dan tentang bahwa ia sudah “dipilih” rakyat untuk memimpin bangsa, perlulah kita ingat kembali bagaimana 7 kali “pemilihan umum” yang lalu telah “dimenangkan” secara mutlak oleh Golkar, berkat berbagai rekayasa kasar dan penggunaan cara-cara yang bathil dan dana yang haram.
Suharto adalah seorang warganegara RI yang pernah menjabat sebagai presiden/kepala
pemerintahan selama 32 tahun, panglima tertinggi ABRI, dan orang tertinggi
Golkar. Namun, ia adalah juga seorang manusia, sebagai halnya 220 juta warganegara
kita lainnya. Ia mempunyai hak untuk mendapat perlakuan yang berperikemanusiaan,
seperti halnya warganegara atau ummat Tuhan lainnya. Mestinya, di depan hukum
dan di depan Tuhan, kedudukannya adalah sama. Oleh karena itu, mengistimewakan
“peri-kemanusiaan” terhadapnya sambil mengabaikan perikemanusiaan
terhadap jutaan warganegara lainnya adalah suatu sikap yang tidak berdasarkan
nalar yang sehat dan hati nurani yang bersih.
Mengingat itu semua secara menyeluruh, kiranya patut diajukan pertanyaan kepada
para pendukung abolisi : apakah dengan abolisi itu berarti bahwa bangsa kita
menjunjung peri-kemanusiaan? Dan, apakah dengan abolisi itu berarti bahwa
bangsa kita menghormati rasa-keadilan?
ABOLISI AKAN MENGHAMBAT REFORMASI
Seperti yang sudah sama-sama kita saksikan dewasa ini, gagasan atau usul tentang abolisi kasus Suharto, sudah menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat dalam masyarakat, dan juga telah menjadi perdebatan di kalangan pakar hukum atau tokoh-tokoh (untuk sekadar menyebutkan sejumlah kecil di antara mereka : Hendardi SH, Adnan Buyung Nasution SH, Munir SH, Dr. Kristiadi, Judilherry Justam, Dr. Deliar Noor, Dr Dimyati Hartono SH, Prof. Harun Alrasid, Amien Aryoso SH, Prof Dr Loebby Loqman, Bachtiar Sitanggang SH, Prof Dr M Burhantsani SH, Prof. Mahmud MD, Gus Dur dll. Mohon ma’af bagi nama-nama yang tidak tersebutkan di sini). Mengingat besarnya perhatian banyak orang terhadap masalah penting ini, maka dapatlah kiranya diperkirakan bahwa kasus abolisi untuk Suharto ini akan terus menjadi topik hangat dalam masyarakat dan menjadi bahan polemik di antara berbagai kalangan.
Soal abolisi bagi Suharto memang perlu (bahkan harus!) dijadikan masalah besar bangsa. Sebab, kalau abolisi akhirnya diputuskan oleh Presiden Megawati - atas pertimbangan apa pun ! – maka dampaknya yang negatif akan jauh lebih besar ketimbang dampaknya yang positif. Dampak negatif ini, yang skalanya dan intensitasnya bisa besar sekali, akan menimpa banyak bidang. Dampak negatif ini akan makin membikin sulit dilaksanakannya reformasi dan rekonsiliasi. Sebab, kalau dikaji secara dalam-dalam, maka jelaslah bahwa Suharto adalah ekspresi terpusat dari segala kebobrokan, kejahatan atau dosa-dosa, yang telah dibikin oleh Orde Baru.
Dengan kalimat lain, sebagai presiden/kepala negara dan kepala pemerintahan selama 32 tahun, ia merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas terjadinya banyak kejahatan-kejahatan di bidang politik, ekonomi, sosial, moral, dan kejahatan terhadap peri-kemanusiaan (crime against humanity). Ia telah secara aktif menciptakan (atau ikut menyetujui) banyak politik - atau berbagai tindakan - yang merupakan kejahatan terhadap demokrasi dan HAM. Setidak-tidaknya, dalam banyak kasus ia telah membiarkan saja terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan, yang nyata-nyata telah mendatangkan kesengsaraan bagi banyak orang, atau, yang secara jelas-jelas telah merugikan kepentingan negara. Korupsi yang merajalela di kalangan “atas” (sipil maupun militer), termasuk KKN di kalangan keluarganya sendiri (umpamanya : Tutut, Sigit, Bambang, Titiek, Tommy, Mamiek) adalah salah satu di antara berbagai akibat tindakannya atau politiknya. Terhadap itu semualah ia harus dimintai pertanggungan-jawab. Ini adalah tuntutan yang adil, yang sah, yang benar, yang dibenarkan oleh jiwa ajaran agama yang mana pun juga.
Kalau Suharto “diberi abolisi”, maka berarti bahwa kesalahan politiknya atau kejahatan tindakan-tindakannya (pelanggaran HAM secara besar-besaran, pembunuhan kehidupan demokrasi selama puluhan tahun, pemupukan kekayaan luarbiasa bagi keluarganya dengan cara-cara KKN, pengelolaan tujuh “yayasan” yang tidak jelas juntrungnya dll) tidak bisa diganggu-gugat lagi oleh bangsa kita. Seandainya abolisi ini terjadi, maka bangsa kita bisa dibikin bingung, apakah Suharto itu pernah melakukan kesalahan dan kejahatan besar terhadap rakyat dan negara atau tidak. Padahal, ia telah dipaksa turun dari kedudukannya sebagai kepala negara oleh rakyat (yang diwakili oleh gerakan mahasiswa secara besar-besaran), justru oleh karena ia telah melakukan berbagai kesalahan dan kejahatan. TAP MPR tahun 1998 no 11 (pasal 4) yang menentukan pentingnya pemberantasan KKN juga telah memberikan isyarat tentang perlunya pemeriksaan terhadap Suharto dalam kasus KKN. Karenanya, seandainya abolisi jadi diputuskan terhadap kasus Suharto, maka ini akan berarti bahwa lonceng kematian telah dibunyikan bagi reformasi, bagi penegakan supremasi hukum, bagi rasa keadilan, dan bagi kesehatan nalar bangsa.
Mengingat itu semuanya, maka perlulah kiranya digalang terus, bersama-sama, kekuatan opini umum untuk menolak gagasan abolisi. Opini umum yang kuat akan merupakan dukungan politik dan moral bagi Presiden Megawati (termasuk juga para “tokoh” lainnya) untuk menyelesaikan kasus Suharto ini melalui jalan yang tetap menjunjung tinggi penegakan hukum, rasa keadilan masyarakat, dan nalar sehat. Singkatnya, abolisi kasus satu orang ini tidaklah akan mendatangkan kebaikan bagi bangsa. Bahkan sebaliknya.
Paris, 26 Desember 2001