Kumpulan berita/artikel (ke-1)
Tempo Interaktif, 5 Februari 2008
Legasi Tak Berujung
Kepemimpinan Soeharto diwarnai subyektivitas diri yang begitu kuat. Ia mewujudkan Indonesia yang ”makmur”, sentralistis, serta disegani tanpa peduli demokrasi dan hak asasi manusia. Keruntuhannya dimulai dari keagresifan anak-anaknya dalam berbisnis.
Jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin
yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya
ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar.
Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, setelah jenazahnya dikebumikan
di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu
terus mengharu biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ.
Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya
dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja
kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi
panggung-panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin
NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi
alternatif ketika separatisme mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua,
dan belahan lain di negeri ini.
Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini?
Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja mempunyai banyak kesempatan
untuk berbuat baik maupun buruk—ia melakukannya, silih berganti. Namun
ada proses yang seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang
panjangnya hanya bisa dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu
sentralisasi, bahkan kemudian personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai
nukleus sentral seluruh negeri.
Tak aneh, para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru dengan
kerajaan Jawa Mataram—sistem politik dengan konsep yang menempatkan
raja sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja
adalah sosok sakti, sangat sakti. Dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson
dalam bukunya yang klasik The Idea of Power in Javanese Culture, legitimasi
tidak datang dari manusia. Dengan kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan
manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar atau tidak, tampaknya yakin
dialah titik pusat itu.
Proses sentralisasi mungkin bisa tercium sejak dini. Tepatnya tatkala ia menyederhanakan
partai-partai—kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah—peninggalan
demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Pada
Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia, partai yang jumlahnya puluhan itu menjadi hanya sepuluh
partai. Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar.
Waktu itu, para demokrat pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66
yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. ”Kami
tahu dia tentara yang tidak senang politik,” kata Arief Budiman, salah
seorang aktivis.
Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan pada
pundaknya. Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan surat kabar
yang dibredel Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat ”menjelma”
menjadi koreksi terhadap Orde Lama; dan Soeharto sendiri merupakan koreksi
terhadap Soekarno. Ia terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintah
yang gemar mengutarakan slogan-slogan, pemerintah yang sibuk berseru ganyang
Malaysia dan membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai
600 persen. Sebuah program pembangunan direntangkan, inflasi dikendalikan,
dan Indonesia mulai memasuki pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Modal asing
berdatangan.
Tapi pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata
tidak berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar
pengikisan selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu
golongan. Peristiwa Malari (1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan
gagasan Tien Soeharto, Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi.
Tantangan para mahasiswa kali ini dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah
yang dulu toleran dan terbuka itu pun digantikan wajah galak dan represif.
Beberapa tahun kemudian, 1978-1979, tantangan yang frontal dari mahasiswa
dijawab dengan NKK/BKK—larangan berpolitik bagi para mahasiswa di kampus.
Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu
pun mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri
Presiden Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel
dan terjun ke dunia bisnis berbekal ”hak-hak istimewa” sebagai
anak presiden. Sebuah edisi majalah Forbes memberitakan, setelah krisis moneter
1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai US$ 16 miliar.
Dalam memoarnya yang tebal, From Third World to First, mantan Perdana Menteri
Singapura Lee Kuan Yew menyebut, ”Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya
perlu menjadi begitu kaya.” Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto
telah mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny
Moerdani pada akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan
aneka privilese bisnis.
Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Eriyanto dalam buku Kekuasaan Otoriter,
Soeharto adalah tipe manusia yang mendasarkan diri pada an act of faith—perbuatan
berdasarkan keyakinan—dan bukan tipe jenis an act of reason, perbuatan
berdasarkan akal. Karena itu, banyak ucapan dan tindakan Soeharto yang mengejutkan,
tapi ia tidak pernah ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak perlu pertimbangan
rasional ketika membubarkan PKI, tapi karena keyakinannya sendiri. Dalam biografi
yang disusun O.G. Roeder, ditunjukkan betapa yakin Soeharto ketika mengisi
kekosongan pimpinan Angkatan Darat. ”Saya bertindak atas keyakinan saya
sendiri.”
Dan agaknya dengan keyakinan yang sama pulalah ia memutuskan untuk melancarkan
operasi ”petrus” alias penembakan misterius untuk membasmi preman.
Sikap keras yang sama boleh jadi mendasari keputusan untuk melakukan tindakan
drastis yang melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua,
dan sejumlah tempat lain. Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia ini
sungguh tak mudah dihapuskan begitu saja.
Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk
yang begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu
berarti hampir separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini.
Dalam Kabinet Pembangunan VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat
menjadi Menteri Sosial. Dan manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada
seorang Menteri Sosial kemudian terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan
sebuah suksesi yang tidak berbeda dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung
mengambil alih peran ayahnya.
Gaya Soeharto memang sentralistis, nepotistis, dan kerap kali represif. Tapi
dari cara itu lahir pula program kesejahteraan yang berhasil—dan ujung-ujungnya
menampilkan citranya yang populis. Indonesia in the Soeharto Years: Issues,
Incidents and Images, buku yang berisi kumpulan tulisan yang membahas periode
itu, menyebut keberhasilan Keluarga Berencana, program yang bermula pada 1970
dan bertumpu pada pertimbangan nilai-nilai ekonomi semata. Soeharto percaya
setiap anak membutuhkan sandang, pangan, pendidikan; dan segenap kebutuhan
itu tak mungkin terpenuhi jika negeri ini mengalami ledakan pertumbuhan penduduk.
Pelaksanaan program Keluarga Berencana bersifat top-down dan sama sekali tidak
berasal dari aspirasi masyarakat. Dengan Tien Soeharto pada puncak organisasi,
dan didukung istri pemimpin tertinggi di daerah-daerah, mesin birokrasi menggerakkan
program Keluarga Berencana sampai ke desa-desa terpencil. Di dalamnya ada
represi yang berbuah sejumlah kisah pedih, walau dunia melihatnya sebagai
prestasi.
Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat serta keluarga
dekat tumbuh menjadi satu-satunya kalangan yang bertanggung jawab atas aneka
gejala sosial ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan,
korupsi yang demikian mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter
1997-1998.
Ahad dua pekan lalu, hidupnya yang panjang berakhir sudah, tapi lakon dan
legasinya—baik yang lama maupun yang belum lagi terungkap—terus
menghantui negeri ini.
· * *
·
Tempo Interaktif, 5 Februari 2008
Setelah Dia Pergi
DENGAN tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah tiang—lain soal Anda patuh atau keberatan—Soeharto yang berpulang Ahad dua pekan lalu sudah menjadi ”pahlawan”. Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan kemudian, ia masih seorang master dengan kuasa penuh.
Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan
berita kematian pedagang ”gorengan” Slamet, yang putus asa lalu
bunuh diri akibat harga kedelai ekstratinggi. Semua stasiun televisi—beberapa
memang milik anak-anaknya—mengarahkan moncong kamera ke rumah sakit,
seraya mengulang-ulang sejarah perjalanannya ketika mengemudikan negeri. Tentu
saja, untuk menghormati dia yang sakit keras, sengaja dipilih berita-berita
bagus saja.
Di rumah sakit, keluarga menetapkan ”protokoler” ketat: hanya
mereka yang mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota
lingkaran dekat lolos seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak
pernah lupa minta petunjuk sang bos, entah kenapa tak masuk hitungan. Juga
Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut Soeharto sebagai profesornya
itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan maaf untuknya, rupanya
belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu.
Ketika ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat
menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat
mengalahkan sinetron mana pun—artinya iklan pasti datang berduyun-duyun.
Usaha ”menggoreng” perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil.
Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati
dan dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya,
seakan keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama
Bahtiar benar. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan
media massa bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang
sebuah ”dunia” yang diciptakan media massa dan pihak-pihak yang
terlibat.
Sebentar lagi, setelah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak
lagi menjadi berita, yang tersisa adalah kasus perdata yayasan Soeharto, dan
debat tentang status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu
mengurus soal ahli waris ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum
tidak meminta penetapan menolak waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh
ke tangan enam anaknya. Setelah apa yang diberikan Soeharto, mestinya tidak
masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir untuk menolak waris
itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam perkara
perdata.
Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi para
kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah tinggal menyatakan
kebijakan zaman Soeharto yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, melawan
hukum, atau membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan diri dan kelompok
sendiri. Siapa pun yang menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa
langsung ditetapkan sebagai obyek pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar.
Selama ini mereka tidak melakukan usaha apa pun untuk menolak ”madu”
privilese yang mereka isap dengan riang.
Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua kekayaan
para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber dari privilese,
atau yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa ke pengadilan. Secara
prinsip, menikmati keuntungan dari kebijakan yang melawan hukum termasuk perbuatan
melawan hukum juga.
Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti tambahan
untuk mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu.
Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang badan
dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang kini mereka
puja dan sudah begitu banyak memberikan ”gula-gula” kepada mereka.
Hanya pengecut tulen yang sanggup ”menusuk” sang tuan yang sudah
di alam baka.
Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin menegakkan
keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk menjamin persamaan
kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa tindakan apa-apa, fasilitas istimewa
dan kenikmatan yang selama ini diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah
berakhir. Hanya kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung.
Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni—tindakan
yang diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan kasus ini lebih penting ketimbang
sibuk mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto—usul yang dipekikkan
lantang Priyo Budi Santoso, orang Golkar yang pernah tidak memenuhi panggilan
Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
* * *
Tempo Interaktif, 5 Februari 2008
Jalan Panjang Mengendus Cendana
Konferensi antikorupsi PBB digelar sehari setelah Soeharto meninggal. Momentum pencarian aset bekas presiden itu.
HAJATAN besar itu diawali hening cipta untuk menghormati bekas presiden Soeharto,
yang meninggal sehari sebelumnya. Perwakilan dari seratus lebih negara menyampaikan
duka atas nama negeri yang mereka wakili. Inilah konferensi antikorupsi yang
digelar Badan Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan PBB (UNODC) dan dihadiri
perwakilan Bank Dunia. Dua lembaga ini setengah tahun lalu meluncurkan dokumen
yang menyebut presiden kedua itu menyembunyikan uang curian US$ 15-35 miliar.
Digelar di Nusa Dua, Bali, sepanjang pekan lalu, Konferensi tentang Konvensi
Antikorupsi (UNCAC) merupakan lanjutan dari pertemuan di Yordania, Desember
2006. Konvensi yang diadopsi di Meksiko pada 2003 ini telah diratifikasi oleh
107 negara. Dari pelbagai isu yang dibahas, pengembalian aset jarahan yang
disimpan di luar negeri menjadi topik yang mendapat perhatian paling besar.
Ini sejalan dengan prakarsa pengembalian aset yang diluncurkan UNODC dan Bank
Dunia pada 17 September lalu.
Wafatnya Soeharto membuat gaung konferensi memudar. Sorotan media pun terpusat
di Jakarta dan Karanganyar, Jawa Tengah, tempat pemakaman. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, yang semula berencana membuka konferensi, justru memimpin
upacara pemakaman Soeharto. Tapi, bagi Ketua Dewan Pengurus Transparansi Indonesia,
Todung Mulya Lubis, berita duka dari Jakarta itu menjadi momentum bagi upaya
pengembalian aset yang diduga disimpan presiden yang berkuasa selama tiga
dekade itu.
Prakarsa pengembalian aset curian atau StAR (Stolen Assets Recovery) Initiative
diharapkan membantu negara berkembang yang selama ini kesulitan mencari harta
yang disembunyikan para koruptor. Bank Dunia melaporkan, uang hasil korupsi,
kejahatan terorganisasi, dan penghindaran pajak yang beredar diperkirakan
mencapai US$ 1,6 triliun setiap tahun. Uang yang umumnya berasal dari negara
miskin itu tersimpan di bank-bank di negara maju, seperti Swiss, Amerika Serikat,
dan Inggris.
Todung mendesak pemerintah menghubungi negara tempat kekayaan Soeharto disimpan
untuk meminta pembekuan ”hingga kelak terbukti ada kesalahan atau tidak”.
Jika harta Soeharto belum ditemukan, itu bisa dimulai dengan pembekuan aset
pihak yang melakukan tindak pidana bersama Soeharto. Dari sini bisa ditelusuri
kemungkinan adanya aset Soeharto. Tapi tidak gampang membekukan, apalagi memulangkan
aset itu. ”Prosesnya panjang,” kata Yusfidli Adhyaksana, jaksa
di Unit Kerja Sama Internasional Kejaksaan Agung.
Proses panjang yang dimaksud Yusfidli adalah dengan menggunakan instrumen
Mutual Legal Assistance (MLA) atau kerja sama hukum dengan negara tempat uang
itu disimpan. MLA, yang biasanya berkaitan dengan tindak pidana, harus melalui
birokrasi panjang. ”Sering proposal yang kami ajukan dikembalikan lagi
dan harus dilengkapi, dan kami tak tahu lagi kelengkapan seperti apa yang
diinginkan,” katanya. MLA akan lebih efektif jika ada kesepahaman hukum
di antara kedua negara dalam memandang perkara.
Berdasarkan pengalaman kejaksaan menarik aset dari luar negeri, proses pengadilan
sipil justru lebih cepat. Dalam pengembalian aset terpidana korupsi dana Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, dari Australia, Indonesia berhasil
menarik US$ 600 ribu. ”Tapi kita harus membayar mahal pengacara dari
negara setempat,” katanya. Proses serupa tengah ditempuh untuk mengembalikan
simpanan Tommy Soeharto di Guernsey, Inggris, yang diduga hasil korupsi dan
pengemplangan pajak.
Adapun negara yang menggunakan instrumen MLA dalam pengembalian aset memang
harus bersabar lebih lama. Filipina menunggu 18 tahun sebelum menarik kembali
uang bekas presiden Ferdinand Marcos sebesar US$ 624 juta dari Swiss, Kepulauan
Cayman, dan Amerika Serikat. Di Amerika Selatan, Peru, yang pernah dipimpin
Alberto Fujimori, harus menanti lebih dari lima tahun sebelum mendapatkan
kembali uang yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos.
Di Afrika, Nigeria menjadi negara yang paling sukses memulangkan uang yang
dirampok bekas pemimpinnya, Jenderal Sani Abacha. Setelah menanti lima tahun,
sejak Abacha meninggal pada 1998, negeri kaya minyak itu memulangkan aset
US$ 505 juta dari Swiss, Inggris, dan Luksemburg. Nigeria menjadi contoh paling
unik karena justru Mahkamah Agung Swiss yang menetapkan bahwa Sani Abacha
dan keluarganya terlibat kriminal sehingga aset mereka digolongkan hasil kejahatan
terorganisasi.
Melihat sukses di negara-negara itulah UNODC dan Bank Dunia meluncurkan Prakarsa
StAR, yang antara lain mempermudah proses MLA. Melalui UNCAC, yang sudah diratifikasi
banyak negara, seharusnya tidak ada alasan perbedaan sistem hukum, yang kerap
menjadi ganjalan pengembalian aset. ”Kita berharap ada kemudahan, juga
dana khusus dari PBB untuk program pengembalian aset ini,” kata Eddy
Pratomo, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar
Negeri.
Negara maju seperti Swiss, yang terkenal sebagai surga penyimpanan duit jarahan,
telah memberikan sinyal positif untuk mendukung pengembalian aset melalui
kerangka Prakarsa StAR ini. Wakil Menteri Luar Negeri Swiss, Anton Thalmann,
mengatakan Swiss telah mengembalikan dana ilegal US$ 1,6 miliar selama dua
dekade terakhir. ”Prinsip kerahasiaan bank di negara kami tidak untuk
melindungi para maling,” kata Thalmann. Ia juga menyebutkan, dalam waktu
dekat, Swiss akan meratifikasi UNCAC.
Toh, sehebat apa pun negosiasi di forum UNODC dan dengan negara-negara tempat
uang curian disimpan, yang lebih penting adalah negosiasi di dalam negeri.
”Dalam kasus Soeharto, negosiasi dengan keluarga dan pendukungnya yang
masih berkuasa harus dilakukan,” kata Dadang Trisasongko, Penasihat
Kemitraan, organisasi nonpemerintah di bidang pemberantasan korupsi. Menurut
Dadang, kelompok pro-Soeharto masih kuat, sehingga dukungan politik dari pemerintah
untuk mengusut harta bekas diktator itu masih lemah.
Jalan mengembalikan aset Soeharto masih panjang. Pertemuan Bali belum menghasilkan
kesepakatan penting seputar teknis pengembalian aset, meski semua negara setuju
dengan Prakarsa StAR. Di dalam negeri, pemerintah belum menunjukkan keinginan
mengusut harta Soeharto. ”Tidak ada pencarian aset Soeharto,”
kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata. Ia merujuk hasil
nihil yang diperoleh pendahulunya, Muladi, dan bekas Jaksa Agung Andi M. Ghalib
ketika menyelidiki harta Soeharto di Swiss pada 1999.
Adek Media Rosa (Nusa Dua)
* * *
Batak Pos, 5 Febrari 2008
Syahrial Sandan: Saya Tak Akan Pernah Memaafkan Soeharto
Meninggalnya mantan Presiden Soeharto ternyata tidak menyelesaikan persoalan
yang pernah ada di hati para korban kekerasan Orde Baru. Bahkan mereka bergeming
saja menyikapi berita kematian pemimpin asal Desa Kemusuk Godean, Yogyakarta,
itu.
Apa yang dirasakan dalam penderitaan berkepanjangan, membuat mereka tak juga
merasa iba dan kasihan. Gencarnya pemberitaan tentang penguasa Orde Baru ini
tak juga membuat mereka harus memaafkan. Para korban kekerasan fisik merasakan
tembok penjara sampai bertahun-tahun tanpa pernah diadili.
Seperti ungkapan Syahrial Sandan (70), korban kekerasan Orba kepada Batak
Pos, Senin (28/1), di Medan. Ia tak pernah bisa menerima perlakuan rezim Soeharto
terhadap dirinya dan teman-temannya.
“Walaupun dia sudah meninggal, saya tak akan pernah memaafkan Soeharto.
Kalau pemerintah mau memaafkan silakan saja, tapi saya tidak. Apa yang saya
derita tidak sebanding. Apalagi kami mengalami kematian perdata dan pembunuhan
karakter,” tegas Syahrial Sandan, korban kekerasan Orde Baru yang dipenjara
selama 12 tahun, sejak tahun 1965 sampai 1977.
Syahrial ditahan karena ia diduga terlibat dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Padahal, pria yang sewaktu ditangkap berprofesi sebagai pengacara dan
staf pengajar Fakultan Hukum USU itu tidak terbukti bersalah dan tak pernah
diadili dalam persidangan.
Mungkin pria ini sudah terlampau dekat dengan kaum buruh marginal, hingga
memasuki usia 70 tahun ia tetap tabah menunggu pemerintah untuk merehabilitasi
nama baiknya. Ia mengaku pernah mengajukan rehabilitasi kepada pemerintah
karena tuduhan yang tidak terbukti. Namun, sampai saat ini pemerintah tidak
mampu mengakomodasi keinginannya.
“Pernah ada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) No.22
Tahun 2007, tapi tetap tidak adil karena harus memaafkan si pelaku, sedangkan
saya tidak pernah terbukti bersalah,” ujarnya.
Sementara itu, politisi kondang Sumut, Ahyar Hasibuan (64), yang juga anggota
DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat serta Eksponen 66, mengatakan, secara hukum
kasus pidana Soeharto akan dihapuskan dengan meninggalnya mantan orang nomor
satu Indonesia itu. Namun, secara perdata, seharusnya diturunkan kepada ahli
warisnya.
“Aparat hukum seharusnya menjelaskan kepada masyarakat kenapa proses
hukum Soeharto begitu lambat dan setelah ini apa yang akan mereka lakukan.
Kejelasan secara politik dan hukum dibutuhkan agar nasib pemimpin di negeri
ini jelas kesalahannya dan jelas pertanggungjawabannya,” ujarnya.
Sementara itu, Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) FISIP
USU Medan, Ridho Ramadhan (22), mengatakan, secara kemanusiaan Soeharto boleh
saja dimaafkan. Namun, proses hukum harus terus dilanjutkan. Penyelidikan
atas Yayasan Supersemar harus tetap dijalankan walaupun Soeharto meninggal.
“Keluarga Cendana merasa harta itu milik mereka makanya tidak mau disita,
tapi bagaimanapun Yayasan Supersemar harus di audit,” tegasnya. Fry/bam
* * *
Majalah Tempo Edisi. 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008
Di Kuil Penyiksaan Orde Baru
Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali sampai hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban penculikan yang selamat. Berikut adalah pengalamannya:
PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya masih tetap basah
dalam ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah,
dan saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit,
Jakarta Timur itu. Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan
antikediktatoran.Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas.
Di tengah aksi protes mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun terbelah: pro atau anti-Soeharto.Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (tapi tak pernah terbukti di pengadilan), SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang.
Sejak itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru sebagai pedagang buku atau lainnya.Tapi petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998.
Malam itu, sekitar pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, saya menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut.Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah ”tamu tak diundang” sudah menunggu. Mereka memakai seibo (penutup wajah dari wol), tapi digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas.
”Mau mencari siapa?” tanya saya. ”Tak usah tanya, ikut saja,” bentak seorang lelaki. Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya. Kami digiring menuruni tangga. Saya agak meronta, tapi dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara: saya diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah.Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli.
”Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka.Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, ”Merpati, merpati.” Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka.Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur.Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel.
Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. ”Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang.Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada.”Allahu akbar!” saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap.l
l lENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia ”dijemput” sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto.Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis.
Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua segala.l l lKlik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya.”Sudah siap mati?” bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam.”Sana, berdoa!”Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan.
Tapi ”eksekusi” itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja.Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi.Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan kemudian, Andi Arief (kini Komisaris PT Pos Indonesia) diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat ”X”, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya.Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul.
Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan.Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? ”Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto?Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali.
* * *
Kompas, 5 Februari 2008
Bereskan Kasus Soeharto
Jakarta, Kompas - Sejumlah elemen yang tergabung dalam Komite Pemurnian Reformasi ’98 menuntut agar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bertindak atas utang perkara korupsi mantan Presiden Soeharto berikut kroni-kroninya. Pemerintah mesti menjalankan mandat berupa Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998.
Perwakilan Komite yang dipimpin anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution itu bertemu dengan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid di Gedung MPR, Senin (4/2). Hadir di antaranya Patra M Zen, Ratna Sarumpaet, Effendy Ghazali, Mochtar Pakpahan, Ahmad Fauzi (Ray Rangkuti), korban peristiwa Tanjung Priok, penembakan misterius, dan kasus G30S 1965.
Komite ini juga menolak upaya Partai Golkar yang mengusulkan gelar pahlawan untuk Soeharto dan meminta media massa sejalan dengan amanat reformasi, tidak ikut arus yang dikembangkan kelompok penyokong Orde Baru.
Dalam pertemuan itu, Hidayat Nur Wahid menyatakan, MPR tidak pernah ambigu menyikapi kasus Soeharto. Ketetapan MPR menyangkut Soeharto tidak pernah diabaikan, MPR tidak pernah mencabut atau mendeponirnya.
Namun, kata Hidayat, pemerintahlah yang bertugas melaksanakan ketetapan MPR. Hidayat juga menampik bahwa ketetapan MPR itu diabaikan.
Misalnya saja, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penjabaran ketetapan MPR. ”Kalau itu dicabut, alangkah tidak reformisnya bangsa kita,” kata Hidayat.
Lihat dengan jernih
Sekitar 50 orang yang tergabung dalam Kesatuan Rakyat Adili Soeharto meminta agar masa pemerintahan Orde Baru dilihat dengan jernih. Semua prestasi dan kesalahan yang terjadi di periode itu perlu diungkap dan disampaikan sebagaimana mestinya, hingga dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia di kemudian hari.
”Jangan hanya hal-hal baik saja yang dilihat. Sisi buruknya masa itu juga harus diperhatikan,” kata Garda Sembiring, Minggu di Tugu Proklamasi, Jakarta.
”Jika beberapa hari lalu pemerintah disibukkan dengan meninggalnya (mantan Presiden) Soeharto, sekarang kami ingin mengenang ribuan orang yang menjadi korban Orde Baru. Sebab, masa itu tidak berisi pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, namun juga utang, kerusakan alam, dan sejumlah pelanggaran HAM,” kata Garda.
Lestari (76), salah satu korban peristiwa 1965, menambahkan, pemerintah harus berani mengungkap sisi gelap Orde Baru dan memberi keadilan bagi para korbannya. ”Sehingga penderitaan saya tidak terulang kembali,” kata Lestari yang pada tahun 1965 kehilangan dua saudara dan seorang anaknya itu.
Wasiat Soeharto
Direktur Perdata HAM Departemen Hukum dan HAM Cholilah, Senin, mengatakan, hingga kini belum diterima pendaftaran wasiat mantan Presiden Soeharto. Pendaftaran wasiat ditangani oleh Subdirektorat Harta Peninggalan.
”Pendaftaran wasiat itu merupakan salah satu kewajiban notaris. Notaris setiap bulan harus melaporkan ada tidak wasiat yang mereka tangani. Untuk wasiat almarhum Soeharto, berdasarkan penelitian Subdirektorat Harta Peninggalan selama ini belum terdaftar wasiat dari Soeharto,” katanya.
Menurut Cholilah, tugas Balai Harta Peninggalan adalah menampung harta-harta orang yang tidak hadir dalam persidangan atau harta-harta yang tidak jelas pemiliknya. (DIK/NWO/VIN)
* **
temu_eropa@yahoogroups.com
4 Februari 2008
Rekan-rekan sekalian yang baik,
Hingar bingar di media pers Indonesia menjelang dan pada saat meninggalnya Suharto telah menyingkap kepalsuan sikap politik para tokoh partai Golkar, yang dulu pada saat awal Era Reformasi menyatakan bahwa Golkar juga pro Reformasi, bahkan Golkar juga setuju dengan keputusan MPR untuk menuntut Suharto dimuka pengadilan untuk mempertanggung jawabkan kejahatannya selama masa kekuasaannya.
Sekarang, ternyata mereka itu tanpa merasa malu, seirama dengan kerabat dan Crony Suharto, para tokoh Golkar itu mengumbar pujian setinggi langit kepada Suharto. Dengan sadar atau tidak mereka itu menyakiti hati para korban kejahatan Orba /Suharto ketika mereka memberikan penghormatan berlebihan, sampai-sampai mengusulkan agar Suharto, seorang ex diktator yang dikenal dunia sebagai bekas penguasa yang paling korup dan kejam itu, diberi gelar pahlawan bangsa. Sesungguhnya usaha para petinggi Golkar untuk menarik keuntungan politik atas kematian Suharto dengan cara melupakan kejahatannya itu merupakan perbuatan licik tak terpuji. Latar belakang sikap Golkar terhadap kematian Suharto yang perlu disingkap adalah, bahwa Golkar telah menyalah gunakan momentum kematian Suharto untuk menarik keuntungan politik sebagai awal kampanye persiapan Pemilu tahun depan. Dengan melupakan kejahatan Suharto dan memuji "jasanya", Golkar memperhitungkan, sebagai partai pemerintah zaman Orba
/Suharto berkuasa yang bertanggungjawab ikut menopang kekuasaan berdarah rezim
Orba / Suharto juga berpengharapan akan dimaafkan dan karena "jasanya"
mereka itu berharap bisa menuai panen suara dari para pemilih pada Pemilu
tahun depan. Padahal, "jasa" Suharto yang mereka banggakan itu adalah
warisan berupa utang bertumpuk, sumber minyak yang mengering, kekayaan alam
yang ludes dan hutan yang semakin gundul tanpa bekas adanya industri nasional
yang tangguh. Yang bisa kita saksikan saat ini adalah kehidupan para Crony
Cendana yang berlimang harta dan kemewahan ditengah mayoritas penduduk 230
juta yang miskin dan serba kekurangan. Indonesia, akibat dikuasai oleh rezim
korup Orba /Suharto selama 32 tahun menjadi negara jauh terbelakang, kalah
maju dibandingkan dengan negara tetangganya di Asia.
Ikut sertanya presiden SBY larut dalam irama kampanye Golkar seperti itu pada
dasarnya hanya semakin menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaannya sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan. Para pemilihnya, yang memberikan mandat langsung
kepada SBY jelas dikecewakan dengan sikap politik SBY yang hanya menuruti
kehendak Golkar beserta Crony Suharto.
Orang memilih SBY waktu itu karena SBY bukan calon Golkar dan SBY waktu itu
juga mengumbar janji untuk terus melanjutkan proses Demokratisasi, mengurangi
pengangguran dengan janji membangun lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan.
Dalam prakteknya tidak ada sedikitpun dari janji-janjinya yang sampai saat
ini dipenuhi. Kelemahan pemerintahan SBY telah dimanfaatkan sepenuhnya oleh
partai Golkar yang sudah mulai berkampanye untuk Pemilu tahun depan. SBY dalam
hal ini hanya dijadikan pelengkap acara yang dipimpin dan dimoderasi oleh
Golkar demi keuntungan Golkar.
Orang tidak menduga sebelumnya, bahwa SBY bisa diperlakukan serendah itu oleh
Golkar.
Tetapi, kalau menyimak pemberitaan dari sementara media akhir-akhir ini, seperti yang dikumpulkan oleh Bung Umar Said dan juga dikirimkan kemilis kita ini, ada kelihatan kilas balik dari pemberitaan sebelumnya. Dari berbagai kumpulan berita ini bisa disaksikan penolakan dari publik atas manover politik Golkar yang memanfaatkan momentum kematian Suharto. Nampak semakin luas lapisan masyarakat yang tidak mau begitu saja menuruti kemauan para Crony dan petinggi Golkar untuk memaafkan Suharto atas kejahatannya selama berkuasa.
Pada masa sekarang, arus informasi tidak kenal batas dan dengan lewat internet setiap saat orang bisa mengakses berita aktuel dari segala sumber yang tersebar diseluruh penjuru dunia. Ketika sebagian besar media di Indonesia sedang sibuk menyajikan berita tentang kasak-kusuk para Crony dan petinggi Golkar yang sedang berkampanye untuk memaafkan kejahatan Suharto dengan memuji-muji Suharto sebagai "putra terbaik" bahkan mengusulkan untuk diberi gelar pahlawan nasional, pada waktu bersamaan orang bisa membaca berita lewat internet yang disiarkan oleh media pers internasional tentang matinya seorang ex-Diktator yang paling korup dan brutal dalam sejarah dunia modern.
Dalam berita itu juga diutarakan bahwa Suharto meninggal tanpa terlebih dulu diadili atas kejahatannya terhadap kemanusiaan dan korupsinya karena para elite politik yang ada saat ini, yang diuntungkan pada masa berkuasanya Suharto, tidak menaruh perhatian serius untuk mengkaji ulang dan menarik pelajaran dari sejarah gelap berdarah masa kekuasaan Suharto.
Suara yang menuntut untuk meneruskan proses pengadilan atas kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi Suharto semakin santer terdengar lewat pemberitaan pers nasional maupun internasional.
Perjuangan untuk keadilan bagi korban kekejaman Orba / Suharto pada dasarnya merupakan salah satu tugas pokok dalam rangka mendorong maju proses demokratisasi di Indonesia. Menjadi tugas generasi masa kini, terutama kaum mudanya untuk mengkaji ulang sejarah gelap masa lalu, melakukan koreksi besar terhadap kesalahan generasi tua yang korup yang tidak peduli masa depan bangsanya.
Salam,
Arif Harsana
* * *
Suara Merdeka, 4 Februari 2008
Hidayat dan Buyung Tolak
Gelar Pahlawan Soeharto
Jakarta, CyberNews. Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution menolak usulan pemberian gelar kepada mantan Presiden RI Soeharto, karena status hukum Soeharto belum tuntas.
''Aneh, bila gelar pahlawan diberikan kepada Soeharto, padahal status hukumnya
tidak selesai dan tidak tuntas. Selesaikan dulu status hukumnya,'' kata Hidayat
saat menemui Komite Pemurnian Reformasi dan para ''presiden'' dari Republik
Mimpi di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Senin (4/2). Ketua MPR justru mendesak
pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada tokoh bangsa yang tidak pernah
memiliki kontroversi apapun. ''Saya sangat setuju bila tokoh seperti Sjafruddin
Prawiranegara, Moh Natsir dan Bung Tomo diberi gelar pahlawan,'' ujarnya.
Di tempat yang sama, Adnan Buyung Nasution menyatakan, pemerintah jangan membiarkan
pemberitaan media yang justru memperbodoh rakyat sehubungan dengan meninggalnya
Soeharto.
''Pemberitaan mengenai Soeharto sudah tidak proporsional. Rakyat dicekoki
dengan berita tentang kebesaran dan kejayaan Soeharto. Ini upaya yang sistematik
untuk menutupi segala kebobrokan, pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi pada
masa Soeharto,'' kritiknya.
Adapun Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Patra M Zen mendesak
MPR mendorong penuntasan dosa sejarah rezim orba, seperti penghilangan nyawa
dan mematikan hak perdata.
''Kami menolak usulan Partai Golkar untuk menyematkan gelar pahlawan kepada
Soeharto. Usulan tersebut adalah upaya para kroni penyokong orba untuk membebaskan
dari segara hutang perkara hukum Soeharto dan kroni-kroninya,'' tandas dia.
Menurutnya, pemberian gelar itu sangat mengkhianati amanat reformasi. Padahal,
reformasi muncul karena adanya kemuakan publik terhadap manipulasi pemerintahan
model orba yang zalim, koruptif dan represif terhadap rakyat. ''Kami meminta
gelar tersebut diberikan kepada yang lebih berhak,'' tegasnya.
Kepribadian Terbelah
Sedangkan pakar komunikasi politik Effendi Ghazali menjelaskan, banyak tokoh
politik yang mengalami kepribadian terbelah. ''Banyak tokoh yang dulu setuju
dengan jatuhnya Soeharto, tiba-tiba menjadi orang yang mudah sekali memaafkan,''
ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, para tokoh itu justru mengungkapkan segala kebaikan yang
dimiliki oleh Soeharto. ''Kalau itu diteruskan, split personality itu mencapai
puncaknya, dan mencapai 16 kepribadian,'' tuturnya.
Indikatornya, tokoh tersebut dapat berbicara lain saat bertemu dengan orang-orang
yang berbeda. ''Kalau bicara dengan wartawan, aktivis, konstituen dan pejabat,
omongannya berlainan. Sehingga, tidak ada lagi kepastian yang bisa didapat
dari omongannya.''
Menurut Effendi, yang paling berhak memaafkan Soeharto adalah para korban
kekejamannya. Dalam kesempatan itu, sejumlah korban orba seperti warga yang
sumberdaya alamnya dieksploitasi, hadir memberikan kesaksiannya.
Begitu juga dengan anak korban penembakan misterius (petrus), korban Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Timor Timur, peristiwa Tanjung Priuk serta
orang dan keturunan yang dituduh PKI. ''Saya tidak setuju dengan rencana untuk
mengangkat Soeharto sebagai pahlawan,'' ujarnya.
* * *
Kedaulatan Rakyat, 4 Februari 2008
Pak Harto Patut Diteladani
- Kader Partai Golongan Karya (Golkar) berkewajiban menjunjung harkat dan martabat Pak Harto selaku bapak bangsa maupun pendiri Partai Golkar. Segenap anak bangsa patut mengenang jasa dan meneladani nilai-nilai perjuangan Pak Harto.Hal ini dikatakan Ketua DPD Partai Golkar DIY Drs Gandung Pardiman MM, pada acara tahlilan dan doa bersama memperingati 7 hari wafatnya mantan Presiden RI Soeharto, yang digelar di Kantor DPD Golkar DIY, Sabtu (2/2) malam.
"Jasa Pak Harto bagi bangsa ini tak ternilai, baik saat merebut, mempertahankan maupun mengisi kemerdekaan. Kita patut meneladani segi positif dari beliau serta memaafkan dosa dan kesalahan beliau, karena sebagai manusia biasa tak ada yang sempurna," katanya.Gandung menyambut baik niat putri Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) untuk kembali bergabung ke Partai Golkar.
Ia menampik pendapat bahwa rencana mbak Tutut tersebut akan memperkuat stigma bahwa Partai Golkar adalah sarang kekuatan Orde Baru (Orba). "Kita tidak perlu malu mengakui bahwa Partai Golkar adalah penyangga Orba. Partai Golkar dengan kesadaran penuh bertekad menghilangkan hal-hal yang jelek dari rezim Orba, tapi juga harus berani menumbuhkembangkan hal-hal positif dari Orba yang dibutuhkan rakyat. Ini memang trademark Partai Golkar," tandasnya.Acara tahlilan dan doa bersama tersebut dipimpin H Suwardi, diisi siraman rohani oleh KH Moch Amir.
* * *
IBRAHIM ISA, 4 Februari 2008
Sejarawan Muda BONNIE TRIYANA
Gugat 'Kepahlawanan'
Mantan Presiden Suharto
Pagi ini kubaca sebuah artikel yang ditulis oleh sahabatku Sejarawan
Muda Bonnie Triyana. Bagus! Tidak terlalu panjang, termasuk cekak aos.
Singkat padat tetapi berisi dan memasuki kasus-kasus sejarah yang belum
terlalu banyak diketahui umum, dan sementara kasus yang dirakayasa atau
dimanipulasi oleh Orba mengenai peranan sejarah mantan Presiden Suharto.
Antara lain kasus penyelundupan karet dan beras yang dilakukan oleh
panglima tentara di Jawa Tengah. Pelakunya adalah Jendral Suharto
bersama Bob Hassan. Lalu tindakan pimpinan AD (Jendral Nasution cs)
terhadap kasus penyelundupan tsb. Jendral Suharto kemudian digeser dari
kedudukannya sebagai panglima di Jawa Tengah. Disoroti pula rekayasa
atau pemelintiran sejarah sekitar pemrakarsa 'Serangan Umum 1 Maret
1949' atas Jogyakarta yang diduduki Belanda ketika itu. Selanjutnya
dikemukakan usaha Jendral Suharto sebagai panglima 'Operasi Mandala', di
luar pengetahuan Presiden Sukarno yang sedang sibuk memimpin kampanye
'Ganyang Malaysia', diam-diam menghubungi fihak Malaysia untuk menempuh
'jalan lain' dalam kontroversi Indonesia-Malaysia. Lalu taggung jawab
mantan Jendral Suharto dalam kasus 'Pembantaian Masal' terhadap kaum
Komunis, Kiri lainnya dan para pendukung Presiden Sukarno.
Dalam kasus-kasus sejarah mantan Presiden Suharto yang diangkat dan
difokusikan oleh sejarawan muda Bonnie Triayana, bisa dilihat bahwa
Suharto bukan orang yang tanpa cacat dalam sejarah dan tanggungjawabnya
selama Orba, bahkan sebelumnya.
Halmana menunjukkan bahwa mantan Presiden Suharto tidak punya syarat
untuk dibenum jadi pahlawan nasional. Karena soalnya jelas, peraturan
negara menentuka bahwa, calon pahlawan itu tidak boleh punya cacat dalam
sejarahnya.
Dengan demikian, terhadap mantan Presiden Suharto bukannya gelar
pahlawan yang menantinya tetapi proses pengadilan terhadap
tindakan-tindakan menyalahi hukum dan HAM selama ia berkuasa.
* * *
Tulisan Bonnie Triyana gamblang dan obyektif dalam mempersoalkan kasus
CACATNYA SUHARTO. Mari dibaca lagi artikel tsb seperti yang sikutip di
bawah ini
Bonnie Triyana:
Menimbang Kepahlawanan Soeharto
Dari Jurnal Nasional, Minggu, 27 Januari 2008
Bung Karno baru digelari pahlawan 14 tahun setelah kematiannya,
sedangkan Bung Hatta harus menunggu lima tahun. Bagaimana dengan Soeharto?
Setelah Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari lalu, ada beragam
pendapat yang mengemuka: sebagian masyarakat mengenangnya sebagai bapak
pembangunan, sementara yang lain mengenangnya sebagai diktator. Bahkan
Partai Golkar melalui beberapa petingginya mengusulkan agar mantan
Presiden Soeharto digelari pahlawan. Munculnya berbagai kontroversi itu
tak lepas dari keberhasilan Orde Baru di dalam mempropagandakan figur
Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran ekonomi dan pencipta
stabilitas negara. Ingatan sebagian masyarakat terhadap Soeharto pun tak
pernah lepas dari citra yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru.
Pengertian pahlawan menurut Peraturan Presiden No. 33/1964 adalah: a)
warga negara RI yang gugur dalam perjuangan dalam membela bangsa dan
negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang
dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan
yang membuat cacat nilai perjuangannnya. Apakah mantan presiden Soeharto
memenuhi ketentuan ini?
Nama Soeharto mulai populer ketika ia disebut-sebut sebagai perwira yang
menginisiasi sekaligus memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di
Yogyakarta. Melalui serangan itu tentara Indonesia berhasil menduduki
Yogyakarta selama enam jam sekaligus menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis. Pada 1979, untuk
menunjukkan peran penting Soeharto dalam SO 1 Maret 1949 itu dibuatlah
film Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Film
itu kemudian menjadi tontonan wajib bagi semua lapisan rakyat, tak
terkecuali siswa SD yang diharuskan menontonnya di bioskop-bioskop. Tak
berhenti di sana, versi sejarah itu pun ditulis dalam buku-buku sejarah
yang kemudian diajarkan kepada siswa sekolah.
Namun ketika tahun 1998 Soeharto tak lagi menjabat presiden muncul versi
lain tentang peran Soeharto dalam SO 1 Maret 1949. Tentu saja
versi-versi itu berbeda dengan apa yang selama Orde Baru sajikan kepada
masyarakat. Dalam Pledoi Kolonel Abdul Latief misalnya, dikatakan bahwa
pada saat serangan itu berlangsung ia menemui Soeharto sedang berada di
front belakang sembari menyantap soto babat. Pengakuan lain yang juga
berlawanan dengan versi resmi Orde Baru adalah tentang penggagas SO 1
Maret 1949 yang ternyata bukan digagas oleh Soeharto sendiri, melainkan
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Awal 1956 Soeharto jadi Panglima TT-IV/Diponegoro di Semarang. Pada saat
itu, bekerjasama dengan pengusaha Bob Hasan, ia menjalankan aktivitas
extra-militer menyelundupkan gula ke Singapura untuk dibarter dengan
beras. Kelak Bob Hasan menjadi “partner” bisnisnya ketika ia berkuasa
sebagai presiden di masa Orde Baru. Dalam otobiografinya, Soeharto
mengatakan penyelundupan itu ia lakukan untuk mengatasi kekurangan
pangan di Jawa Tengah. Namun demikian aktivitas extra-militer itu pula
yang menyebabkannya diberhentikan sebagai panglima dan diperintahkan
untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat
(SSKAD) di Bandung.
Robert Elson dalam Biografi Politik Soeharto mencatat pemberantasan
korupsi di kalangan tentara tak terlepas dari peran penting Jenderal
Nasution yang membentuk Inspektorat Jenderal Angkatan Bersenjata sebagai
“tangan kanannya”. Pada April 1957 ia mengeluarkan perintah untuk
menyelidiki tindakan korupsi di setiap komando teritorial, termasuk di
antaranya TT IV pimpinan Soeharto. Atas mediasi Jenderal Gatot Subroto
kepada pucuk pimpinan Angkatan Darat, Soeharto urung dipecat dari
kedinasan tentara. Kariernya pun terselamatkan.
Pada saat konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, Soeharto dipercaya
menjabat Wakil Panglima Komando Siaga Mandala (Kolaga). Dalam pada itu
ia telah memperhitungkan kalau kekuatan militer Indonesia tak sebanding
dengan Malaysia yang didukung oleh Inggris dan Australia. Upaya
penerjunan pasukan infiltran ke wilayah Malaysia seringkali gagal.
Melihat beberapa kegagalan itu Soeharto lebih memilih untuk melakukan
“jalan lain” di dalam menyelesaikan konfrontasi. Ia menugasi beberapa
pembantunya untuk mengadakan kontak dengan pihak Malaysia yang kemudian
menjadi langkah awal normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Tentu saja
operasi-operasi itu dilakukan tanpa sepengetahuan Bung Karno sebagai
Panglima Tertinggi ABRI.
Pintu menuju kekuasaan semakin terbuka lebar ketika terjadi peristiwa 1
Oktober 1965. Posisi lowong yang ditinggalkan oleh Jenderal A Yani
memberikan kesempatan kepada Soeharto untuk melancarkan perang terhadap
PKI, musuh bebuyutan Angkatan Darat. Soeharto mengatakan ”....kegiatan
saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di
mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat
pelarian mereka.” Dalam otobiografi yang disusun oleh Ramadhan KH dan
G
Dwipayana itu pula ia jelaskan taktik Angkatan Darat membasmi komunis,
“Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam
pertentangan-pertentangan itu, kecuali pada saat-saat yang tepat dan
terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk
melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing...”
ujar Soeharto.
Cara yang ditempuh Soeharto itu justru membawa petaka besar bagi bangsa
Indonesia. Ratusan ribu orang (sumber lain mengatakan 3 juta) tewas
dalam tragedi pembantaian massal sepanjang tahun 1965 - 1969. Sekira 10
ribu anggota dan simpatisan PKI ditahan di Pulau Buru tanpa terlebih
dulu melalui proses pengadilan. Mereka dituduh terlibat, baik secara
langsung maupun tidak, dalam peristiwa pembunuhan tujuh jenderal dan
seorang perwira pertama Angkatan Darat. Di banyak daerah, anggota PNI
(Ali Sastro-Surachman) pun tak luput dari penangkapan. Beberapa sarjana
menyebut peristiwa itu sebagai “periode sejarah tersembunyi” yang
tak
pernah diungkap secara bebas semasa Soeharto berkuasa.
Konsolidasi kekuasaan Orde Baru membutuhkan kepastian stabilitas
politik. Bukan hanya komunisme, semua yang hal yang dinilai bertalian
erat dengan kekuasaan Soekarno dan memiliki potensi kontra dengan Orde
Baru diminimalisasi sedemikian rupa. Hal itu sesuai dengan tugas Kabinet
Pelita I: pemilihan umum; stabilitas politik; pembersihan aparatur
negara; dan stabilitas ekonomi serta pembangunan lima tahun pertama.
Atas dasar stabilitas politik pula pemerintah Soeharto melakukan fusi
terhadap partai-partai politik di tahun 1973. Golongan Karya jadi mesin
politik Orde Baru yang hampir bisa dipastikan selalu memenangkan setiap
kali penyelenggaraan pemilu. Soeharto selalu punya argumen bahwa era
liberal di tahun 1950-an dengan sistem multipartai tak membawa Indonesia
pada kemakmuran.
Pembangunan, stabilitas politik dan keamanan jadi tolok ukur
keberhasilan Orde Baru, kendati pencapaian tersebut harus ditempuh
dengan cara-cara yang mengabaikan demokrasi dan hak azasi manusia.
Keberhasilan pembangunan yang dipuja-puji banyak pihak menjadi selubung
penutup penderitaan rakyat di pelbagai sudut lain Indonesia. Harus pula
dilihat sebagai sebuah fakta bahwa pembangunan di masa Soeharto berkuasa
bertumpu pada “bantuan lunak” lembaga donor internasional yang
semakin
lama semakin berlipat ganda bunganya. Ketika Soeharto berhenti pada
1998, ia meninggalkan warisan utang (pemerintah dan swasta) sebesar US$
150 miliar.
Warisan lain yang juga perlu diingat adalah korban pelanggaran
kemanusiaan yang sejak Soeharto berkuasa (secara de facto) pada 1965,
mulai dari pembantaian massal 1965-1969, pembuangan ke Pulau Buru,
terlunta-luntanya nasib eksil di luar negeri, Tanjung Priok, penembakan
misterius, Peristiwa Lampung, 27 Juli 1996, korban operasi militer di
Aceh dan Papua, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Trisakti.
Bahwa ada sebagian oranga mengatakan ia pernah melakukan sesuatu yang
bermanfaat sah-sah saja, tapi bagaimana dengan mereka yang justru
dirugikan oleh pemerintah Orde Baru? Bukankah Perpres No.33/1964
mengatur bahwa seseorang yang membuat cacat nilai perjuangannnya tak
memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Maka demi keadilan untuk seluruh
rakyat Indonesia baik yang sempat merasakan manisnya kue pembangunan
maupun yang sebaliknya, cukup rasanya Soeharto dikenang sebagaimana
adanya, tidak secara berlebihan apalagi sampai terlontar ide untuk
memberinya gelar pahlawan.
* * *
* * *
Sinar Harapan, 4 Februari 2008
Imlek, Pak Harto, dan Pahlawan Sejati
Oleh Tom Saptaatmaja
Imlek Tahun Tikus 2559 rasanya kurang lengkap karena tanpa keberadaan Pak
Harto lagi yang sudah mangkat (27/1/2008). Bagaimanapun, Imlek di negeri ini
pernah amat ditentukan oleh kebijakan Pak Harto. Imlek dan segala hal yang
terkait dengan pernak-perniknya pernah dilarang dalam rezim Soeharto.
Bukan hanya terkait Imlek, kehidupan warga Tionghoa amat menderita akibat
kebijakan Soeharto yang anti-Tionghoa (Baca Soeharto dan Kebijakan Anti-Tionghoa
oleh Mega Christina, SH,27/1/2008). Memang Pak Harto menjadikan beberapa konglomerat
Tionghoa di masa itu, seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Namun mereka
tak lebih sebagai broker atau cukong (meminjam istilah Leo Suryadinata, pakar
etnis Tionghoa dari National University, Singapura) dan menjadi sapi perah
rezim.
Gara-gara para konglomerat itu, stereotip Tionghoa pasti kaya gampang dipercaya.
Akibatnya orang sulit mempercayai fakta bahwa 65-70 persen warga Tionghoa
di Indonesia sesungguhnya miskin, seperti diteliti Eddy Prabowo Witanto, pakar
masalah Tionghoa dari Universitas Indonesia. Dalam sebuah seminar yang diadakan
Unika Widaya Mandala Surabaya(26/1), penulis yang kebetulan jadi moderator
dibisiki Soedrajad Djiwandono, belum pernah ada satu survei pun yang membuktikan
“fakta” 70% ekonomi negeri ini dikuasai etnis Tionghoa.
Sesungguhnya kebijakan Soeharto terhadap etnis Tionghoa dalam banyak hal mengadopsi
kebijakan serupa di era penjajahan Belanda. Jika di era Orba ada politik broker
atau cukong, rezim kolonial juga menjadikan etnis Tionghoa sebagai penarik
pajak dan menempatkannya secara berbeda sebagai warga Asia Timur Raya yang
berbeda dengan warga pribumi.
Dengan Pass and Zoning System, orang Tionghoa ditempatkan dalam “ghetto”
(Pecinan) dan jika mau keluar masuk kawasannya harus menunjukkan surat. Lalu
guna mengawal kebijakan yang diskriminatif itu, pemerintah kolonial mendirikan
Kantoor voor Chineeesche Zaken (KCZ). Akhirnya relasi yang harmoni (peaceful
coexistence) antara etnis Tionghoa dengan yang lain di Nusantara berubah jadi
prasangka sosial (social prejudice).
Sinofobia
Dalam beberapa hal, rezim Soeharto justru lebih kejam daripada kolonial, karena
Orba menerapkan apa yang disebut “cultural genocide” atau pembunuhan
budaya Tionghoa meminjam istilah Geoffrey Robertson. Jika Belanda masih mengizinkan
perayaan Imlek, Orba malah melarangnya.
Lewat Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto, segala hal terkait dengan agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, termasuk Imlek terlarang dari muka
umum. Barongsai atau liang liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin
tidak boleh diputar di radio. Sekolah-sekolah berbahasa Mandarin ditututup.
Dalam 32 tahun, mayoritas etnis Tionghoa secara umum menderita, kecuali yang
bisa menggelayut di dekat Istana Cendana. Kehidupan etnis ini diawasi seperti
rezim Apartheid Afsel dulu mengawasi warga kulit hitam. Etnis Tionghoa diawasi
karena dinggap mendukung Bung Karno dan berkiblat ke Tiongkok dan mendukung
Peristiwa 1965.
Warga Jatim, misalnya, yang tinggal di kota-kota besar dan berumur 50 tahun
ke atas pasti masih bisa bertutur sendiri bagaimana sulitnya hidup ketika
itu. Penulis juga sering bertemu dengan warga Tionghoa yang masih trauma dengan
peristiwa yang sudah 40 tahun lebih terjadi di negeri kita, yakni Peristiwa
30 September 1965.
Mayjen Soemitro, Pangdam Brawijaya Mayjen kala itu (1966), langsung mengeluarkan
serangkaian peraturan yang sangat sinofobia (sangat anti-Tionghoa) di Jatim.
Misalnya, etnis ini hanya diperbolehkan berdagang di Surabaya. Kota-kota lain
di Jatim tertutup juga dilarang pindah keluar dari Jatim. Yang tinggal di
Jatim dikenai pajak Rp 2.500 per orang.
Sudah barang tentu kebijakan itu menimbulkan gejolak yang luar biasa. Setiap
hari ribuan warga Tionghoa berunjuk rasa.Konyolnya, demo itu juga direspons
dengan demo tandingan yang anarkis dan sangat anti-Tionghoa. Setiap warga
Tionghoa yang ditemukan ikut demo bisa dipukuli hingga babak-belur seperti
dipaparkan Charles A. Coppel dalam bukunya, Tionghoa Indonesia dalam Krisis
(Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Pokoknya secara singkat bisa diungkapkan jika di awal rezim Soeharto, etnis
Tionghoa begitu menderita, menjelang lengsernya pada 21 Mei 2008, etnis inipun
menjadi tumbal, yakni dalam Tregedi 13-15 Mei 1998. Selain ratusan korban
diperkosa, tragedi itu menyebabkan kerugian paling sedikit Rp 2,5 triliun
atau 238 juta dolar AS (Damar Harsanto, May Riots Still Burns Into Victim’s
Minds, The Jakarta Post, 14/5/2002).
Pahlawan Sejati
Syukurlah seiring lengsernya Pak Harto, angin kebebasan berembus di negeri
ini. Pada 17 Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 Tahun 2000, isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto.Namun
di sana-sana masih ada praktik buruk, semisal warga Tionghoa masih sulit mengurus
KTP. Satu lagi yang penting direnungkan, etnis Tionghoa jangan merasa sebagai
kelompok yang paling menderita di bawah rezim Soeharto. Kita perlu mengaca
pada Bung Karno, Bung Hatta, dan para korban HAM di masa rezim Orba yang mungkin
lebih menderita.
Meski begitu, kita jangan hanya menyalahkan semua dan menimpakan semua kesalahan hanya pada Pak Harto seorang. Ada banyak orang yang mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Untuk itu, penulis menghimbau etnis Tionghoa memaafkannya. Yang tidak mau memaafkan, silakan saja, karena kita bisa memahami alasannya. Tapi jangan lupa, Menurut Bernard D Meltzer, pengacara AS, saat Anda memaafkan, Anda memang tidak bisa mengubah masa silam, namun pasti mengubah masa depan.
Tentu saja memaafkannya bukan berarti mengubur semua proses hukum, terlebih
terkait para kroni Pak Harto (masalah perdata). Dengan demikian, maaf seperti
ini tidak jadi preseden buruk di depan. Maksudnya, jika koruptor atau penjahat
meminta maaf, bukan berarti tindakan korupsi dan kejahatannya tidak dikenai
sanksi hukum. Jangan sampai dengan memaafkan, segala persoalan bisa diselesaikan.
Jika demikian, bubarkan saja lembaga-lembaga hukum yang ada.
Kini juga ada usulan Golkar agar Soeharto segera dianugerahi gelar pahlawan
nasional, sementara hingga sekarang malah belum ada pahlawan dari etnis Tionghoa.
Tak jadi masalah, karena orang yang memiliki jiwa kepahlawanan sejati tidak
mengharapkan imbalan dari kontribusi yang dia berikan bagi tanah air atau
kemanusiaan. Apalagi, gelar pahlawan nasional di negeri ini seringkali masih
bernuansa KKN, jauh dari nilai-nilai yang diperjuangkan para pahlawan.Yang
dimakamkan di Taman Pahlawan pun malah ada yang pecundang, kata Bung Tomo
(Wacana Pahlawan Etnis Tionghoa oleh Endang Suryadinata, SH 16/11/2007).
Penulis adalah seorang teolog dan aktivis kemanusiaan. Tinggal di Surabaya
* * *
Kompas, 4 FEBRUARI 2008
Ketua MPR Jamin TAP soal Soeharto
Tidak Dicabut
Bung Tomo Lebih Pantas Dapat Gelar Pahlawan
JAKARTA, SENIN-Wacana Partai Golkar yang mengusulkan agar mantan Presiden
Soeharto mendapat gelar pahlawan, membuat para korban kekejaman rezim Orde
Baru ini menemui Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, Senin (4/2). Para korban meminta
komitmen Hidayat Nur Wahid untuk tidak mencabut TAP MPR No XI tahun 1998 yang
meminta Soeharto tetap diadili.
"Saya jamin, TAP MPR itu tak akan dicabut. Kalau TAP MPR sampai dicabut,
berarti bangsa Indonesia ini sama saja tidak reformis lagi," kata Hidayat
Nur Wahid di depan para korban Soeharto yang tergabung dalam Komite Pemulihan
Reformasi.
Mereka yang mendatangi Hidayat Nurwahid juga berasal dari beberap tokoh LSM,
termasuk para mantan presiden dari Republik Mimpi yang dikomandoi oleh pakar
Komunikasi Politik, Effendy Gazali. Sementara yang lain, Ketua YLBHI, Patra
M Zein, Asfinawati (LBH) Jakarta), Ratna Sarumpaet, Romo Beny Susetyo, Usman
Hamid (KontraS), Ray Rangkuti, Amir Daulay, Adnan Buyung Nasution serta beberapa
tokoh aktivis LSM lainnya.
Hidayat dalam pertemuan juga sepakat agar pemerintah tidak memberikan gelar
pahlawan kepada mantan penguasa Orde baru itu. Hal ini, katanya lagi, penting
untuk terus ungkap agar jangan sampai sikap pemerintah salah dalam memberikan
status pahlawan kepada Pak Harto yang hingga kini kasus hukumnya belum juga
selesai.
Sikap Hidayat ini langsung disambut oleh Nur, salah seorang keluarga korban
Orde Baru. Menurutnya, bila diminta siapa yang paling layak, maka pahlawan
asal Surabaya, Bung Tomo, lebih layak menyandang gelar Pahlawan Nasional ketimbang
Soeharto. "Soeharto hingga kini masih memendam kesalahan-kesalahan nya
selama berkuasa 32 lebih. Apalagi, bukti sejarah mencatat perlakukan terhadap
sosok untuk dianugerahi gelar pahlawan, lebih pantas Bung Tomo dan Sjafrudin
Prawiranegara, " ungkap Nur.
Hidayat pun kembali mempertegas, TAP MPR NO XI tahun 1998 tidak akan dicabut
sebelum bangsa Indonesia benar-benar bebas dari KKN dan terbentuknya UU baru.
Hidaya kemudian meminta agar tak perlu diperdebatkan lagi soal gelar pahlawan
kepada Pak Harto yang dianggapnya tidak layak diberikan.
"Gelar pahlawan sebelum status hukumnya s
elesai, ya sangat aneh kalau sampai diberikan. Saya sepakat, mestinya pemerintah segera mengapresiasi gelar kepada tokoh perjuangan kemerdekaan seperti Bung Tomo dan M Natsir. Termasuk kepada Syafrudin Prawiranegara, " tegas Hidayat Nur Wahid . (Persda Network/Rachmat Hidayat)
* * *
Aliansi Rakyat Adili Soeharto
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Serikat Rakyat
Miskin
Kota (SRMK), dan Laskar Pemuda Rakyat Miskin(LPRM), Partai Persatuan
Pembebasan Nasional (Papernas).
Pernyataan Sikap
Orde Baru telah Merusak Fondasi Kebangsaan Indonesia!!!
Orde Baru telah merusak Kehidupan Politik dan Demokrasi di Indonesia!!!
Adili, Dan sita Harta Rejim Orde Baru dan Kroninya!!!
Keberhasilan media membangun plot untuk mengembalikan image, seolah-olah
Orde baru baik, tidak bersalah, kemudian ramai-ramai dimanfaatkan elit
politik nasional dan pejabat pemerintah untuk mengeluarkan statemen,
seruan, instruksi, pendapat, dan apresiasi terhadap jasa-jasa Soeharto.
Amien Rais, salah satu dari tokoh tersebut, meminta masyarakat Indonesia
untuk memaafkan Soeharto dan meminta penghentian pengusutan kasus
Soeharto. Presiden SBY, kendati tidak secara terbuka dan masih ragu
menyampaikan sikapnya, namun sedang berdemagogi untuk menggiring rakyat
memaafkan Soeharto. Pemerintahan SBY, lewat Menteri Sekretaris Negara
Hatta Radjasa menginstruksikan pengibaran bendera merah putih setengah tiang
untuk
seluruh kantor/instansi pemerintah, perwakilan RI di luar negeri, kantor
swasta, dan masyarakat luas selama tujuh hari mulai 27 Januari-2
Februari 2008. "Selama tujuh hari itu, kita nyatakan sebagai hari
berkabung nasional," ujar Hatta di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta,
Minggu (27/1). Selain itu, ada wacana yang berkembang, bahwa pemerintah
akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Ada beberapa isu yang harus disikapi oleh kaum pergerakan---termasuk
kaum intelektual, sehubungan dengan meninggalnya Soeharto, proses
hukumnya yang terbengkalai, dan sikap sejumlah elit politik dan
pemerintahan SBY-JK yang sungguh sangat berlebihan terhadap Soeharto.
Pertama eksistensi orde baru muncul dalam panggung politik nasional,
dengan cara melakukan propaganda, provokasi, dan penghancuran proses
revolusi Indonesia yang sedang digalang Soekarno dan kaum kiri. Orde
baru berkuasa, dengan menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang
anti-imperialis, anti neo-kolonialisme, dan pro pada kemandirian
nasional. Karena berkuasa dengan bantuan kekuatan imperialis, segera
setelah berkuasa, rejim Orde baru melakukan terror, penghancuran, dan
pemusnahan semua kehidupan politik dan demokrasi yang sedang tumbuh.
Orde baru menjalankan politik massa mengambang(floating Mass) untuk
menjauhkan rakyat dari kehidupan politik. Orde baru melumpuhkan
eksistensi partai politik dengan menciutkan parpol, serta memaksakan
Golkar sebagai partai yang harus dimenangkan dalam setiap pemilu. Dengan
idelogi Dwi-fungsi ABRI, 5 paket UU politik, dan pemberlakuan Azas
tunggal, Orde baru sukses mencerabut demokrasi dan membungkan mulut
rakyat dengan kekerasan dan tindakan militeristik. Orde barulah, yang
membuka kembali pintu bagi masuknya kepentingan Imperialisme, lewat UU
PMA tahun 1967. dengan kebijakan ini, kandungan emas kita di Papua,
Nikel di Sulawesi, hutan-hutan di Sumatera, dan banyak lagi akhirnya
dijarah pihak asing tanpa menyisakan sedikitpun keuntungan bagi rakyat
Indonesia. Kalau dulu Soekarno berhasil mempersatukan bangsa Indonesia
dengan prinsip kesukarelaan karena adanya kesamaan psikologis terbebas
dari neokolonialisme, maka Soeharto memaksakan NKRI dengan jalan
kekerasan, invasi militer hingga terjadi pembantaian massal lewat DOM di
Aceh dan Papua, serta kasus Timor Leste. Soeharto dan rejim Orde barunya
telah menghentikan derap langkah bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah
"Nation" yang berkepribadian, merdeka dan berdaulat.
Kedua kasus Soeharto memiliki beberapa aspek, yakni kejahatan ekonomi
(KKN), kejahatan kemanusiaan, politik (pembungkaman demokrasi), dan
persoalan penulisan sejarah. Kasus Soeharto tidak bisa dilihat dari satu
sudut pandang, Soeharto secara personal, tetapi harus diingat bahwa
kasus ini adalah kejahatan sebuah Rejim dan Kroninya yakni Orde Baru.
Seharusnya, sejak dari awal bukan hanya Soeharto yang harus diperiksa
dan diusut tetapi semua mantan pejabat dan kroni (keluarga dan teman
dekat Soeharto) harus diperiksa dan diadili. Karena selama berkuasa,
Soeharto telah memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri, keluarga
dan kroninya, maka seharusnya pengejaran Soeharto tidak boleh dihentikan
oleh Kejagung. Pemerintah sepatutnya membentuk lembaga yang berfungsi
melakukan pengejaran dan penyitaan terhadap asset Soeharto, keluarga,
dan kroni, tidak ada peduli Soeharto sudah meninggal, karena ini
menyangkut asset Negara yang harus diselamatkan untuk kepentingan
rakyat. Selanjutnya, persoalan pelanggaran HAM selama Orde baru tidak
boleh begitu saja didiamkan hanya karena pertimbangan kemanusiaan.
Apalagi, pertimbangan kemanusiaan yang digelorakan pemerintah sangat
absurd, dan punya tendensi politik mengamankan kepentingan politik Orba.
Pembantaian yang dilakukan Soeharto (baca;Orde baru) sejak tahun
1965/1966 terhadap simpatisan dan anggota PKI, tanjung priok, talang
sari, Penembakan misterius, DOM di Aceh dan Papua, Invasi ke Timor
Leste, penculikan aktivis tahun 1996/1997, tragedy 27 Juli, provokasi
anti-etnis Tionghoa, hingga kerusuhan Mei 1998, adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan secara Universal. Apakah hanya melindungi nyawa
seorang pembunuh jutaan manusia lainnya, cukup untuk dikatakan alasan
kemanusiaan?
Ketiga Soeharto sangat tidak layak diperlakukan dengan proses
penghormatan di akhir usianya, seperti yang ditunjukkan pemerintah dan
Media massa. Kematian mantan diktator Chile, Augusto Pinochet, hanya
dilakukan dengan proses upacara secara kemiliteran yang sangat
sederhana. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY, semua jajaran elit
politik nasional, dan media massa seolah-olah mau menunjukkan bahwa
Soeharto adalah seorang bapak bangsa yang berjasa besar, sedangkan pada
yang sama CNN, BCC dan majalah ekonomi "The Economics",
melangsir berita mengatakan "Soeharto seorang diktator".
Keinginan pemerintah untuk memberikan gelar kepahlawanan tentunya sangat
tidak masuk akal, dan semakin menambah daftar pahlawan versi pemerintah
yang berlawanan dengan sejarah perjuangan rakyat Indonesia.
Keempat asumsi bahwa kehidupan di bawah Orde Baru jauh lebih baik, jauh
lebih enak, jauh lebih aman, ketimbang dimasa sekarang adalah sebuah
bentuk kefrustasian warga masyarakat atas kegagalan pemerintah paska
Orde baru. Sebuah harapan perubahan yang lahir setelah ditindas selama
32 tahun, di jawab dengan pengkhianatan oleh elit politik dan
partai-partai politik berkuasa. Pemerintahan sekarang tidak layak
disebut "Orde reformasi" karena tidak ada perubahan mendasar
dalam kehidupan ekonomi dan politik. Yah, memang ada sedikit geliat
demokrasi dalam kehidupan politik paska Orde baru dalam hal; kebebasan
pers, kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat,
system multi-partai, Dwi Fungsi TNI dihapuskan dan perlahan militer
kembali kebarak. Namun, semua itu masih berjalan gagap dan disabotase
dengan pengkhianatan reformis gadungan seperti Amien Rais, Megawati, dan
lain-lain. Disana-sini, warna kehidpuan politik orde baru masih eksis,
korupsi-kolusi dan nepotisme(KKN) masih merajalela dimana-mana, dan
pembungkaman, kekerasan terhadap aliran, ideology dan kelompok minoritas
masih terus berlansung, malah semakin intensif. Maka menurut kami,
perjuangan berdarah-darah mahasiswa dan rakyat tahun 1998 telah berakhir
dengan pengkhianatan oleh elit politik yang menyebut dirinya "kaum
reformis" ataupun "kaum demokrat". Bagi saya, pemerintahan
sekarang ada kelanjutan dari rejim Orde baru, yang berbeda hanya warna
dan benderanya saja, namun perilaku, watak dan tindakannya, tetap saja
sama dan serupa. Ada kesinambungan antara pemerintahan Orde baru dengan
pemerintahan-pemerintahan paska Orde baru, kesinambungan ini nampak
tersirat dalam cara-cara dalam membuat kebijakan yang sama sekali tidak
mempertimbangkan kepentingan rakyat miskin.
Sehingga, menurut kami Aliansi Rakyat Adili Soeharto, selain persoalan
kasus hukum karena KKN dan pelanggaran HAM harus tetap dilanjutkan,
Soeharto dan rejim Orde baru harus mempertanggung jawabkan semua
kesalahan pada masa lalu kepada rakyat Indonesia. Oleh Karena itu, maka
kami menyatakan sikap sebagai berikut:
(1) Adili Rejim Orde baru dan Kroninya atas berbagai kasus
pelanggaran HAM dan KKN di masa lalu.
(2) Seluruh harta milik Soeharto dan kroninya harus secepatnya disita
untuk kepentingan rakyat, karena pada dasarnya itu adalah asset bangsa
yang dirampas Soeharto.
(3) Cabut dan hapuskan semua produk hukum, politik dan budaya warisan
rejim Orde baru.
(4) Rejim Orde baru telah merusak karakter dan kepribadian Bangsa
Indonesia, semua bentuk propaganda Orde baru lewat buku sejarah dan
lain-lain harus dihentikan, untuk menyelamatkan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan kepribadian bangsa Indonesia.
(5) Turunkan harga-harga kebutuhan pokok, sediakan sembako murah dan
massal untuk rakyat miskin, dengan mendirikan depot-depot sembako
ditiap-tiap kelurahan.
Demikian Pernyataan Sikap ini kami buat. Tetap lanjutkan perjuangan
untuk menegakkan demokrasi dan keadilan di negeri ini.
Jakarta, 2 februari 2008
Aliansi Rakyat Adili Soeharto
Juru Bicara/Humas:
Lalu Hilman Afriandi (+62818467080)