TNI-AD AKAN LEBIH MEMPERHATIKAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh A. Umar Said*)
Ada berita yang menarik, tetapi yang barangkali tidak terlalu diperhatikan oleh banyak orang. Maklum, fikiran kita mungkin terlalu disibukkan oleh berita-berita tentang kerusuhan biadab dan berdarah di Maluku, oleh peristiwa Aceh dan Irian Jaya, atau oleh berita-berita tentang usaha pendongkelan Gus Dur dari sisa-sisa simpatisan Orde Baru, atau oleh isyu-isyu tentang maling-maling besar kelas kakap yang mau ditindak, atau, juga, oleh ledakan bom di Kejaksaan Agung dan isyu-isyu yang berseliweran dan malang-melintang tentang Sidang Umum MPR yad. Pokoknya, macam-macam persoalan pelik, di samping kesibukan pekerjaan kita sehari-hari, yang juga tidak gampang bagi banyak orang.
Padahal, mengingat besarnya arti penting berita itu, patutlah kiranya persoalan-persoalan
yang berkaitan dengannya mendapat perhatian yang selayaknya dari kita semua.
Berita itu (menurut Kompas 3 Juli 2000) menyatakan bahwa para prajurit Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) sejak bulan Juni 2000 dibekali
buku saku tentang "Pedoman Prajurit TNI AD dalam Penerapan Hak Asasi
Manusia". Buku itu antara lain berisi larangan bagi prajurit TNI untuk
melanggar HAM.
Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto yang ditanya pers usai serah
terima jabatan Komandan Pusat Teritorial TNI AD (Pusterad) di Cilangkap, Jumat
(30/6), mengatakan, tujuan diberikannya buku saku itu adalah untuk memberikan
pengertian kepada prajurit tentang pentingnya HAM dan bagaimana bertindak
tanpa melanggar HAM.
Menurut dia, tentara yang profesional itu di dalamnya telah terkandung isi
penghormatan terhadap HAM. Misalnya, tentara profesional tidak melepaskan
peluru pada sasaran yang tidak seharusnya ditembak (non combatant). "Dengan
tambahan pelajaran HAM itu, bukan berarti prajurit TNI bertindak ragu-ragu,
tetapi justru memberikan keyakinan pada dirinya bagaimana bertindak sesuai
prosedur yang berlaku," katanya.
Dalam buku bersampul hijau setebal 41 halaman itu antara lain berisi empat
larangan bagi prajurit TNI AD. Pertama adalah larangan melakukan pembunuhan,
perkosaan, dan penyiksaan. Kedua, larangan menghilangkan orang lain. Ketiga,
larangan merusak dan mengambil harta benda orang lain. Keempat, larangan melakukan
penghukuman di luar putusan pengadilan atau main hakim sendiri.
Disebutkan dalam buku itu, setiap pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan
prajurit TNI AD baik secara perorangan maupun satuan diproses sesuai dengan
hukum yang berlaku. Penyelidikan pelanggaran HAM adalah wewenang Komnas HAM.
Penyidik pelanggaran HAM adalah wewenang Kejaksaan Agung. (kutipan selesai).
PERKEMBANGAN YANG MENARIK DAN PENTING
Mungkin, karena berbagai sebab, di antara kita ada yang kaget terbelalak matanya
dan berkerut dahinya, ketika membaca berita di atas. Dan kekagetan semacam
itu ada dasarnya. Sebab, kalau berita itu akurat penyajiannya, maka ini merupakan
persoalan yang penting. Apalagi, kalau isi berita itu mengandung kebenaran
tentang garis atau pedoman TNI-AD yang akan ditempuh selanjutnya dalam menunaikan
tugasnya, yaitu : menghormati prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Sebab, kalau
(harap digarisbawahi perkataan KALAU di sini) pernyataan pimpinan TNI-AD itu
didasari oleh kesadaran yang tulus, dan keyakinan yang teguh, maka memang
merupakan suatu langkah penting dalam usaha bersama bangsa kita untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan parah yang sudah ditimbulkan oleh rezim militer Orde Baru
selama lebih dari 30 tahun.
Mengingat pentingnya masalah pedoman TNI-AD yang baru ini (yang menyatakan
bahwa akan menghormati HAM) maka seluruh komponen bangsa, dari golongan yang
manapun, perlu ikut bersama-sama mendorong dan sekaligus juga mengawasi, supaya
pedoman baru ini betul-betul dilaksanakan dalam praktek. Semua LSM atau organisasi
non-pemerintah (Ornop), lembaga swasta atau badan pemerintah, pers, universitas,
partai politik, anggota DPR, intelektual, dll perlu terus-menerus pasang telinga
setajam-tajamnya dan buka mata selebar-lebarnya, untuk mengamati - dan mengkontrol
- apakah pernyataan bahwa TNI-AD menghormati HAM itu bukannya hanya omong-kosong
belaka. Kalau tidak, maka begitu ada gejala yang menyimpang, sebaiknyalah
kita segera bersama-sama bertindak. Jelasnya, begitu muncul praktek-praktek
TNI-AD yang bertentangan dengan HAM, perlu segera ada kritikan atau peringatan
(atau aksi-aksi dalam berbagai bentuk, kalau perlu), dari kita semua.
Namun demikian, tidak semestinyalah kalau kita sejak permulaan menanggapi
pedoman baru TNI-AD ini dengan sikap yang semata-mata - dan a priori - mengandung
kecurigaan atau serba negatif melulu. Seyogyanya, kita semua tetap mengawasinya
terus-menerus - dengan sangat waspada - di samping mendorong sekuat-kuatnya
supaya pedoman ini ditrapkan dalam kenyataan.
ORDE BARU ADALAH PELANGGARAN HAM OLEH TNI-AD
Kalau kita cermati apa yang tercantum dalam berita tersebut di atas (mohon
buang waktu sedikit, untuk membacanya kembali) maka wajarlah kalau bisa terbit
dalam hati kita harapan akan adanya perobahan yang besar dalam pola berfikir
dan sikap mental atau moral di kalangan TNI-AD. Dan, perobahan pola berfikir
dan sikap moral TNI-AD ini merupakan sumbangan sangat penting bagi penyelesaian
berbagai masalah rumit dewasa ini, dan juga untuk menciptakan syarat-syarat
bagi tercapainya rekonsiliasi nasional menuju persatuan dan kesatuan bangsa,
yang sungguh-sungguh (!!!).
Sebab, dari pengalaman kita masing-masing selama lebih dari 30 tahun, maka
jelaslah bahwa dosa terbesar dan kesalahan terberat rezim militer Orde Baru
adalah justru di bidang Hak Asasi Manusia. Pandangan yang mengentengkan prinsip-prinsip
Hak Asasi Manusia inilah yang merupakan fondamen (dasar) segala konsep yang
keliru dan praktek otoriter yang dituangkan dalam ipoleksosbud Orde Baru (ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya)
. Dalam hal ini, kesalahan para pimpinan TNI-AD (dari echelon yang paling
atas sampai yang paling bawah) adalah yang paling besar. Sebab, inti utama
Orde Baru adalah terutama sekali TNI-AD, yang dibantu oleh para pendukungnya
dari berbagai golongan dan kalangan (antara lain : Golkar, pemuka golongan
Islam, konglomerat, intelektual, pers).
Sikap memandang rendah HAM - atau mencuekkannya saja - yang dianut pimpinan
TNI-AD itulah yang melahirkan secara berturut-turut serentetan panjang kesalahan
besar dan kerusakan parah, umpamanya : penyerobotan kekuasaan dari Presiden
Sukarno oleh Suharto dkk, pembunuhan besar-besaran tahun 65/66, penangkapan
dan pemenjaraan ratusan ribu orang-orang simpatisan PKI atau bukan, penyunatan
MPR dan DPR, penyederhanaan partai-partai, pembatasan ormas, politik massa
mengambang, surat bebas G30S/PKI, bersih lingkungan, hilangnya nyawa aktifis-aktifis
PRD, kasus dukun santet Banyuwangi atau Tasikmalaya, peristiwa 27 Juli, peristiwa
Aceh, Lampung, Tg Priok, Semanggi, pembakaran Glodok, dll. dll. dll.
Singkatnya, Orde Baru, yang dipimpin oleh Suharto, adalah sistem kekuasaan
otoriter yang telah dibangun atas dasar pelanggaran Hak Asasi Manusia secara
besar-besaran, dan sistematis, dan menyeluruh pula. Pelanggaran ini berjalan
lama sekali, yaitu lebih dari 32 tahun. Jelaslah kiranya, sudah, bahwa konseptor,
sekaligus aktor utama sistem Orde Baru adalah pimpinan TNI-AD (dengan dibantu
oleh Golkar dan pendukung-pendukung setianya dari berbagai kalangan). Dalam
hal ini, peran busuk Dwifungsi ABRI merupakan faktor penyebab yang penting.
KEBUDAYAAN KEKERASAN ABRI MASA LALU
Barangkali, masih ada saja orang yang sekarang ini belum meyakini betapa dahsyatnta
akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Orde Baru (baca : TNI-AD).
Padahal, pelanggaran ini sudah begitu hebatnya meluas dan mendalam dalam banyak
fikiran orang, sehingga kemudian menanamkan semacam "kebudayaan".
Kebudayaan kekerasan, yang manifestasinya kita saksikan dewasa ini di berbagai
kalangan atau golongan, adalah salah satu di antara produknya. Arogansi militerisme,
yang menganggap remeh kalangan sipil atau memandang rendah hak-hak rakyat
dan martabat MANUSIA, adalah produknya yang lain lagi.
Sebagai akibatnya, pimpinan ABRI (TNI-AD) selama puluhan tahun, dengan leluasa
dan sewenang-wenang, telah dapat menyalahgunakan kekuasaan dan menggunakan
kekerasan. Ini sudah sama-sama kita alami. Tetapi, jarang kita sadari bahwa
pengaruh buruk praktek ini telah menjalar kemana-mana dan tertanam dalam sekali
dalam mental banyak kalangan dalam masyarakat. Main ancam, main gertak, main
otot, main suap, main kongkalikong telah menjadi kebiasaan banyak orang, baik
dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan. Pengaruh beracun ini juga menjadi-jadi
di kalangan elite politik maupun kalangan elite ekonomi, bahkan juga dalam
masyarakat. Akibat-akibatnya masih terus kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari,
sampai sekarang ini!
Dengan menggunakan nalar yang sehat dan hati nurani yang bening, kita bisa
menelaah secara jelas bahwa kekuasaan rezim militer Orde Baru bisa bertahan
selama lebih dari 32 tahun justru karena penggunaan tangan besi yang bercorak
fasisme untuk menginjak-injak Hak Asasi Manusia. Cara-cara inilah yang telah
mematikan kehidupan demokrasi begitu lama di Indonesia. Pengalaman Orde Baru
ini membuktikan pengalaman sejarah, sekali lagi, dan, untuk kesekian kalinya,
bahwa diktatur militer selamanya bertentangan dengan demokrasi. Diktatur militer
atau militerisme adalah musuh rakyat. Ini merupakan pelajaran pahit, tetapi
berharga sekali bagi bangsa Indonesia, juga untuk kemudian hari.
PERLU PEROBAHAN YANG MENDASAR (RADIKAL)
Mengingat itu semua, agaknya kita patut menaruh harapan bahwa apa yang dinyatakan
oleh Jenderal Tyasno Sudarto mengenai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia -
yang dijadikan pedoman TNI-AD - adalah sesuatu yang akan bisa memberikan citra
baru kepada TNI-AD, yang selama ini sudah terlalu buruk di pandangan umum,
baik secara nasional maupun internasional. Tetapi, yang lebih penting lagi
adalah adanya perobahan yang betul-betul mendasar di bidang moral atau pola
berfikir. Perobahan radikal di bidang moral atau pola berfikir inilah satu-satunya
jalan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan besar TNI-AD yang sudah dilakukan
begitu lama dan yang sudah, karenanya, menimbulkan kerusakan-kerusakan begitu
parah dalam kehidupan bangsa.
Namun, tentu sajalah sama-sama kita sadari, bahwa perobahan di bidang moral
atau pola berfikir di kalangan TNI-AD (terutama di kalangan pimpinan dan angkatan
tua-nya) bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Memang, seperti yang sudah dibeberklan
oleh media massa, sebagian kecil di antara mereka sudah ada yang bertekad
untuk menempuh jalan baru dengan meng-introdusir fikiran-fikiran baru (reformasi,
menerima konsep supremasi sipil, menghayati demokrasi, menjauhi militerisme
dll). Tetapi, sebagian yang cukup besar, masih terus saja berkubang dalam
lumpur busuk kebiasaan-kebiasaan Orde Baru. Ini wajar. Dan, bisa dimengerti.
Sebab, mereka ini sudah terbiasa "memanfaatkan" sebesar-besarnya,
dalam jangka yang lama sekali, penyalahgunaan kekuasaan yang inherent dalam
suatu diktatur militer.
Demi kejelasan, marilah sama-sama kita coba menyimak pemikiran seperti yang
berikut : elite Orde Baru (militer, dan terutama pimpinan TNI-AD, maupun sipil)
adalah sebagian kecil bangsa kita yang dengan melakukan berbagai pelanggaran
serius Hak Asasi Manusia telah membunuh demokrasi sambil sekaligus menjadi
parasit (benalu) bangsa dan negara. Tanpa menggunakan kata-kata kasar atau
tidak senonoh, cukuplah kiranya kita amati KKN yang merajalela di seluruh
bidang kehidupan, pelecehan hukum dan peradilan, dan kerusakan moral di kalangan
elite. Berbagai kasus dan skandal selama Orde Baru - yang buntutnya masih
masih berseliweran sampai sekarang ini !!! - adalah cermin dari kerusakan-kerusakan
ini.
Dan, yang patut kita renungkan dalam-dalam adalah bahwa kerusakan moral di
kalangan TNI-AD itulah yang telah mendorong tumbuh-suburnya kerusakan moral
komponen-komponen bangsa lainnya.
TIDAK MUDAH MENINGGALKAN KEBIASAAN LAMA
Nah, di sini pulalah letak kesulitannya. Sebab, kalau kita menoleh balik jauh
ke belakang, maka akan nyatalah bahwa Orde Baru pernah menggunakan jaring-jaringan
kekuasaan yang otoriter dan menyeluruh itu, untuk menyebarkan secara dalam
(dan meluas) racun politik yang anti-HAM dan anti-demokrasi, sehingga dengan
kekuatan sekitar 500.000 anggota ABRI saja rezim militer ini telah bisa memborgol
lebih dari 200 juta orang dalam jangka lama. Di samping itu, akibat parah
lainnya yalah bahwa begitu banyak golongan telah bisa dijerat dengan "suapan"
dalam berbagai bentuk, sehingga mereka akhirnya menjadi pendukung setia Suharto.
Perkembangan situasi akhir-akhir ini menunjukkan, dan dengan jelas sekali,
bahwa setelah kekuasaan Suharto dan Habibi digulingkan, sisa-sisa kekuatan
Orde Baru ternyata masih kuat sekali. Kekuatan gelap ini masih bercokol di
mana-mana, upamanya : di kalangan militer, di kalangan birokrasi, di kalangan
berbagai partai politik, di kalangan konglomerat, di kalangan intelektual
dan kebudayaan (termasuk media massa), dan juga di kalangan agama. Mereka
inilah yang, sekarang ini, dengan segala jalan dan bentuk sedang menentang
berbagai politik Gus Dur. Di antara mereka ini ada yang mencoba bermain cantik
sebagai reformis dengan memakai topeng baru, atau mengganti baju kuningnya
dengan jubah hijau, atau dengan suara lantang (tetapi palsu) berbicara soal
demokrasi dan reformasi dll.
Mengingat itu semua, maka jelaslah agaknya bahwa tidak mudah bagi sayap reformis
di kalangan TNI-AD untuk meng-introdusir gagasan atau pola berfikir baru,
termasuk masalah Hak Asasi Manusia. Orang-orang militer atau golongan lainnya
yang pernah diuntungkan oleh rezim Orde Baru merasakan kepentingan mereka
dirugikan oleh berbagai politik Gus Dur. Mereka inilah yang dengan menggunakan
macam-macam dalih, yang masuk-akal maupun yang tidak, atau berdasarkan kenyataan
ataupun hanya rekayasa saja, sedang berusaha ramai-ramai mengganti pemerintahan
Gus Dur dengan yang lain. Mereka inilah bahaya yang sesungguhnya bagi penegakan
demokrasi dan Hak Asasi Manusia di bumi Indonesia.
USAHA MEREKA HARUS DIGAGALKAN !!!
Sejarah bangsa Indonesia akan mencatat bahwa pada suatu periode yang cukup
panjang, TNI-AD telah melakukan kesalahan serius dan dosa berat karena telah
melakukan berbagai pelanggaran besar-besaran di bidang Hak Asasi Manusia.
Sebagai akibatnya, situasi negara dan bangsa adalah keadaan yang seperti kita
saksikan dewasa ini. Oleh karena itu, usaha sayap reformis di kalangan TNI-AD
untuk mengadakan perbaikan atau perombakan, perlu mendapat dukungan. Perombakan
ini hanya bisa dilakukan, kalau TNI-AD dengan jujur atau tulus mengakui kesalahan-kesalan
mereka di masa yang lalu, dan juga bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Amatlah penting bagi TNI-AD untuk, selanjutnya, di kemudian hari, tidak bisa
dipengaruhi, dibeli, diperalat, dirayu, oleh berbagai kekuatan yang anti-demokrasi,
anti-reformasi, anti HAM yang sekarang ini berusaha, sekuat mungkin, menimbulkan
kekacauan politik dan kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA. Kekuatan-kekuatan
ini bersembunyi di dalam kalangan militer sendiri, di DPR/MPR, dalam media
massa, dan juga di di kalangan berbagai komponen bangsa. Mereka menghalangi
langkah-langkah pemerintahan Gus Dur, yang mau mengikis habis KKN, mengadili
Suharto beserta kroninya, dan mendemokratisasikan kehidupan bangsa.
Bahaya yang datang dari sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini masih besar. Mereka
menguasai dana yang dahsyat sekali jumlahnya, yang telah mereka jarah dari
kekayaan negara atas kerugian rakyat. Seperti selama 32 tahun, mereka bisa
menggunakan segala cara, termasuk yang paling tidak bermoral, demi mencapai
tujuan mereka yang haram. Usaha mereka ini harus digagalkan oleh kekuatan
pro-demokrasi, pro-reformasi, pro Hak Asasi Manusia, tidak peduli dari ideologi
yang manapun juga, tidak peduli dari agama yang manapun juga, dan juga tidak
peduli dari suku yang manapun juga.
Mengalahkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru dalam segala bentuknya bukanlah masalah
balas dendam kepada siapapun, dan bukan pula untuk mencari kecelakaan atau
kesengsaraan bagi siapapun. Sebaliknya, hilangnya segala kebusukan dan keburukan
yang diwariskan oleh Orde Baru adalah untuk menyelamatkan kepentingan bangsa
keseluruhannya, termasuk kepentingan dasar bagi mereka yang sekarang masih
menentang arus-besar demokrasi dan reformasi.
Paris, musim panas, 13 Juli 2000