Tulisan JJ KUSNI
tentang restoran INDONESIA
* * *
RESTORAN INDONESIA PARIS:
20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (1)
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Maaf besar baru sekarang saya memenuhi permintaan Kang Saikul dan Kang Luthfi yang dikirimkan pada 7 Oktober 2002. Bukan disebabkan karena lupa atau karena tidak menganggap penting serta tidak menghormati permintaan Kakang berdua, tapi semata dengan pertimbangan akan lebih baik jika sekaligus saya tulis pada kesempatan khusus yaitu ketika koperasi Restoran Indonesia yang oleh Mbak Yuli Mumpuni, Kepala Bidang Penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, disingkat RI -- singkatan yang oleh para pekerja koperasi itupun digunakan, seperti diterakan pada taplak meja RI dari batik buatan Pekalongan.
Karena tentang RI, sebuah usaha berbentuk koperasi, tidak ada sesuatu yang patut dirahasiakan, maka tulisan memenuhi permintaan Kakang berdua tidak saya kirimkan melalui japri tapi saya sampaikan melalui saluran media listrik secara terbuka agar dengan demikian bisa diketahui khalayak lebih luas. Saya akan memulai cerita ini dari awal perjalanan -- mudah-mudahan dengan demikian permasalahan bisa jadi gamblang. Mudah-mudahan pula saya pun mampu menuturkannya dengan baik dan sederhana. (Soal kesederhanaan bentuk tulisan, memang merupakan cara bertutur yang selalu saya usahakan dan gunakan dengan pertimbangan agar gampang dipahami. Sebab saya kira tulisan dibuat untuk dikomunikasikan kepada audiens. Sehingga sekali pikiran yang dikomunikasikan menjadi milik audiens maka pikiran, mimpi, harapan dan lain-lain yang dikomunikasikan itu akan berobah menjadi kekuatan material. Jika hal yang dituturkan itu pelik dan rumit, si penulis selayaknya -- paling tidak inilah sikap saya -- mencoba mengutarakan hal yang pelik dan rumit itu dengan cara sesederhana mungkin sehingga jelas dan gampang dicerna.( Bentuk ndakik-ndakik hanya akan menyulitkan komunikasi dua pihak).
SUAKA POLITIK SETELAH TRAGEDI SEPTEMBER 1965:
Adanya suaka politik Indonesia dalam sejarah Republik Indonesia bukanlah masalah baru yang hanya muncul setelah Tragedi September 1965. Orang-orang yang terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (1958) telah memulai kehidupan sebagai suaka politik di negeri asing. Misalnya Takdir Alisjahbana mengungsi di Eropa Barat, Prof. Sumitro menyingkir ke Malaysia. Sedangkan sesudah Pemberontakan Nasional Nopember 1926, sementara pimpinan PKI ada yang bersuaka di Uni Soviet dan basis perlawanan Partai Komunis Tiongkok di Yen An.
Hanya saja jumlah pencari suaka politik pada periode-periode itu tidak sebanyak jumlah mereka yang mencari suaka politik setelah terjadinya Tragedi September 1965 yang oleh Orde Baru Soeharto dinamakan sebagai Pemberontakan G- 30- S/PKI. Saya sebutkan peristiwa yang berdampak luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat kita sampai hari ini, sebagai Tragedi karena kalau saya melihatnya dengan tenang, kita telah menjadi korban Perang Dingin antara dua kekuatan besar pada waktu itu (Tentang soal ini, saya tidak membicarakannya lebih jauh, karena bukan tema surat ini). Dalam hal ini, saya merundukkan kepala menyatakan hormat kepada kemuliaan dan kebesaran hati Gus Dur yang pada berbagai kesempatan di dalam dan di luar negeri telah meminta maaf kepada orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan non PKI, oleh keterlibatan orang-orang NU dalam masakre 1965.
Setelah Tragedi September 1965, orang-orang PKI dan non PKI yang meminta suaka politik bisa didapatkan di berbagai negeri berbagai benua: Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia. Umumnya mereka ini terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang dikirimkan oleh Pemerintahan Soekarno untuk belajar di luar negeri, kemudian mereka yang dikirim sebagai Delegasi berbagai bidang untuk melakukan kunjungan persahabatan sebelum Tragedi serta mereka yang kemudian setelah 1965 dengan 1001 cara meninggalkan Indonesia melarikan diri dari kejaran Orba. Jumlah besar tanpa preseden, orang Indonesia yang mencari suaka politik di lima benua inilah yang merupakan dasar sosial lahirnya sastra-seni eksil Indonesia yang sejak beberapa waktu lamanya jadi obyek penelitian anggota-anggota Jaringan Kerja Budaya (JKB) Jakarta, terutama Alex Soepartono dan kawan-kawannya.
Ciri umum pencari suaka politik ini adalah tertanda pada sikap anti Orde Baru Soeharto karena itu dengan berbagai cara, seperti lobbie, pembelejedan, menggerakkan unjuk rasa di luar negeri, dan lain-lain... sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim penanggungjawab masakre 1965-'66 dan berbagai masakre lainnya pada periode tersebut.
Di antara para pencari suaka politik ini terdapat sekitar 40-an orang dengan anak-istri mereka yang datang ke Prancis semenjak 1966 yang meningkat jumlahnya ketika partai-partai kiri Prancis naik ke panggung kekuasaan dan F.Mitterrand menjadi Presiden.
Ke-40 an orang yang datang ke Prancis yang menyatakan diri sebagai "Terre d'Asile" (Tanah Suaka) dan "Negeri HAM" (Pays de Droit de l'Homme), terdiri dari mereka yang bekerja di bidang-bidang berbeda. Ada yang dokter bedah, insinyur, wartawan, sastrawan dan lain-lain... Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mempunyai pengalaman bekerja di dunia restorasi. Dunia restoran adalah dunia asing dan tidak mereka kenal sama sekali. Mereka hanya mengenal restoran sebagai pelanggan bukan sebagai pengelola.
MENJUNJUNG HARGA DIRI MENCARI JALAN KELUAR:
Sekalipun Prancis menyatakan diri sebagai "Tanah Suaka" dan "Negeri HAM", tapi mendapatkan status suaka politik bukanlah urusan gampang. Proses panjang diperlukan untuk memperoleh status demikian. Bahkan ada di antara ke-40an orang ini yang sejak bandara sudah hampir dikirim kembali ke negeri dari mana ia datang, ada juga yang hanya diberi waktu 24 jam untuk segera meninggalkan "Tanah Suaka" dan "Negeri HAM" ini. Dari kenyataan ini, saya melihat penamaan diri demikian pun mengandung corak dan sikap politik (Tentang soal ini tidak saya masuki lebih lanjut, karena bukan topik surat). Yang banyak membantu ke-40an orang ini guna mendapatkan status suaka politik adalah imbangan kekuatan politik antara kiri dan kanan di Prancis yang boleh dikatakan imbang. Limapuluh banding limapuluh persen. Perobahan imbangan kekuatan berobah banyak ditentukan oleh pilihan dan praktek politik partai-partai politik tersebut dalam memecahkan soal negeri. Rakyat Prancis sendirilah yang menetapkan keputusan melalui pemilu berikutnya akan memilih partai-partai mana sebagai pengelola negeri. Karena itu pilihan rakyat oleh pers dan politisi sering disebut sebagai "pilihan pengadilan dan hukuman".
Setelah status suaka diperoleh masalah berikutnya yang menyusul adalah bagaimana hidup. Untuk hidup harus ada pekerjaan. Untuk memperoleh pekerjaan bukanlah masalah sederhana. Persaingan cukup ketat dan lagi pula Prancis akan lebih mendahulukan orang-orang Prancis dan yang berkulit putih. Tanpa pekerjaan jangan diharapkan bisa memperoleh tempat tinggal, dan tanpa mempunyai alamat serta tempat tinggal akan mengalami kesulitan memperpanjang izin tinggal (KTP).
Prancis memang termasuk negeri yang disebut "negara kesejahteraan". Karena itu ada bantuan sosial yang dinamakan Revenue Minimale d'Insertation (RMI). Tapi dengan RMI, orang tidak akan cukup menyewa apartemen. RMI tidak lebih cuma memadai untuk makan. Dengan latarberlakang ini maka Prancis mengenal masalah orang yang tanpa tempat tinggal (Sans Domicile Fixe -- SDF) yang menjadi perhatian pemerintah dan berbagai LSM, terutama pada musim diungin. Sampai sekarang SDF menjadi salah satu kampanye pemilu di negeri ini.
Kalaupun kita bekerja tapi gajipun pas-pasan tidak tentu kita bisa menyewa sebuah apartemen. Jika karena satu dan lain soal kita di PHK -kan, tunjungan pengangguran yang didapat akan menyusut dari tahun ke tahun sampai akhirnya pada suatu ketika kita tidak akan mendapatkan apa-apa lagi sebagai tunjangan pengangguran, lalu beralih ke tunjangan RMI. Dalam keadaan begini bagaimana mungkin kita bisa memperoleh atap tempat berteduh dan berlindung dari dingin, hujan serta terik matahari pada musimnya? Karena itu pekerjaan yang memberi penghasilan layak dan memadai untuk hidup menjadi soal mendesak setelah memperoleh status legal suaka politik.
Menghadapi permasalahan begini maka ke-40an penerima suaka politik Indonesia yang tadinya datang dari berbagai negeri, berkumpul di sebuah apartemen di Enghien, Montmorency, pinggiran kota Paris, di mana Jean-Jacques Rousseau pernah menulis karyanya "Berjalan-jalan di Hutan", bertemu dan berdiskusi mencari jalan keluar dengan tidak tergantung kepada pemerintah. Keputusan diskusi 20 tahun lalu itu adalah: Menciptakan pekerjaan sendiri! Dengan menciptakan pekerjaan sendiri, kita membela martabat diri dan Indonesia, tidak tergantung pada belas kasihan pemerintah Prancis dan menyelamatkan diri sendiri dengan usaha sendiri.
Saya jadi teringat judul novel Yudhistira Masaardi: "Mencoba Tidak Menyerah" yang menceritakan perjuangan korban-korban masakre September 1965. Kepada teman-teman dekat, saya katakan bahwa kalau saya menjadi Yudhis, situasi para korban dan sikap mereka menghadapi penderitaan serta tekanan seperti tak berujung itu dengan bukan "Mencoba" tapi benar-benar "Tidak Menyerah". Kalau mau hidup dan tetap mencintai kehidupan, orang-orang itu dihadapkan pada pilihan tunggal untuk "tidak menyerah", tidak boleh menyerah, mereka dipaksa untuk terus bertarung dan bertarung. Hal ini terjadi di dalam negeri dan pilihan ini jugalah yang dihadapi oleh ke-40an orang Indonesia yang mencari suaka politik di Prancis. Dalam bertarung dan terus bertarung terdapat jalan keluar. Jalan pertarungan adalah jalan harga diri dan kemartabatan anak manusia. Coba bayangkan, Kang Saikul dan Luthfi, apa yang didapatkan oleh mereka jika tidak bertarung dan sungguh-sungguh mencintai harga diri serta martabat kemanusiaan ketika mereka dilarang menduduki rupa-rupa pekerjaan karena pernah menjadi anggota, menjadi simpatisan PKI dan menyokong Soekarnoisme. Politik anti kiri Orba adalah bentuk masakre model baru karena itu saya sangat tidak memahami lembaga-lembaga tertinggi negara "Republik" yang masih mempertahankan politik tidak manusiawi demikian.
DISKUSI ENGHIEN MONTMORENCY MELAHIRKAN IDE RESTORAN:
"Apa yang harus dikerjakan", merupakan pertanyaan pokok dalam diskusi yang berlangsung di Enghien 20 tahun lalu itu. Ada yang mengusulkan percetakan, tapi segera ditangkal karena cash flow dan jumlah tenaga yang bisa bekerja di percetakan tidak banyak. Belum lagi memecahkan soal pemasaran dan tekhnologi. Yang menyanggah usul membuka percetakan mengajukan usul bahwa yang paling tanggap adalah restoran khas Indonesia. Alasannya: (1). cash flow cepat; (2). bisa memberi lapangan kerja kepada banyak orang dibandingkan dengan percetakan; (3). ketrampilan tekhnis tidak terlalu tinggi dituntut; (4). bisa menjadi tempat bertemu para sahabat dari segala penjuru; (5). mempropagandakan masalah budaya Indonesia secara efektif. Masakan Indonesia adalah salahsatu hasil budaya Indonesia; (5). fungsi sosialnya nyata.
Akhirnya Diskusi Enghien Montmorency menyepakati pendirian sebuah restoran Indonesia sebagai jalan keluar. Yang dimiliki pada waktu itu cuma ide. Tidak lebih dari mimpi jalan keluar. Sedangkan uang untuk mewujudkan mimpi ini sama sekali tidak tersedia. Mimpi adalah modal pertama yang mereka miliki, disamping tekad bertarung dan kecintaan akan hidup serta harga diri. Dari segi ini saya makin memahami kata-kata Martin Luther King: "I have a dream", kata-kata yang kupajangkan di tembok rumah kotrakanku di Palangka Raya. Tanahair dan dunia apakah kelebihan mimpi, Kang?! Kukira justru kekurangan seperti halnya kita kekurangan kasihsayang dan kecintaan akan hidup dan kemanusiaan.
Nah, Kang sementara kuakhiri di sini. Nanti akan kusambung lagi.
Salam hangatku selalu untuk Kakang berdua,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (2)
MENCARI MODAL AWAL:
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik, Setelah mempunyai mimpi, tekad, harapan dan kecintaan demikian, masalah berikutnya yang kami hadapi adalah bagaimana mewujudkan mimpi tersebut dalam keadaan sebagai anak kembara yang serba tiada dari segi material. Pekerjaan pun dibagi antar teman.
Untuk mengatasi ketiadaan material itu, kami menjual mimpi. Usulan proyek disusun dan ditawarkan ke berbagai pihak, termasuk melihat kemungkinan yang dibuka oleh pemerintah Prancis kepada para penganggur yang ingin menciptakan kerja sendiri. Untuk keperluan ini, saya berhenti dari pekerjaan agar jadi penganggur sehingga syarat jumlah minimal penganggur yang mengajukan usulan membuka lapangan kerja sendiri ke Pemerintah tercapai. Majikanku paham dan tetap memberiku pesangaon sebagai tanda simpati.
Dalam menyusun usulan proyek ini, yang draftnya disusun oleh orangtertua di kalangan kami: A.Umar Said, patut dicatat perbaikan-perbaikan dan masukan yang dilakukan dan diberikan oleh teman-teman Prancis. Yang terakhir ini juga aktif membantu kami dalam melakukan lobie-lobie. Dalam hal ini, Danielle Desque dari Boutique de Gestion Paris, teman-teman dari Agence de Liaison pour le Dévéloppement d'Economie Alternative (ALDEA) layak disebut namanya, sebagai pihak-pihak yang sangat berjasa. Karena jasanya di bidang pengelolaan usaha (gestion), Danielle Desque telah dianugerahi oleh pemerintah Prancis bintang jasa "Légion d'honneur".
Usulan proyek ini disampaikan kepada Comité Catholique Contre la Faime et pour le Dévéloppement (CCFD) -- LSM Prancis terbesar, CIMADE Paris dan LSM-LSM di berbagai negeri, terutama Eropa Barat. Di samping itu, surat edaran solidaritas dikirimkan kepada teman-teman di berbagai negeri berbagai benua yang isinya menghimbau solidaritas atau mengharapkan pinjaman dana yang akan dikembalikan kemudian. Dari teman-teman ini berhasil terkumpul F.Fr.150.000,-
Dengan uang yang dikumpulkan melalui cara inilah maka kami bisa memperoleh modal awal untuk mewujudkan mimpi tersebut. Wartawan-wartawan pro Orba pada waktu itu menuding kami seakan-akan mendapat bantuan dari Partai Komunis Prancis (PKP). Padahal dalam kenyataan untuk usaha ini, PKP dan partai-partai politik Prancis lainnya sepeserpun tidak pernah membantu kami. Di samping itu, sementara teman Indonesia mencemoohkan kami sebagai orang-orang yang jatuh ke tangan kapitalisme dan melupakan perjuangan demi Indonesia yang manusiawi. Mereka lupa bahwa untuk berjuang orangpun perlu hidup dan secara ekonomi tidak tergantung kepada siapapun. Lucunya, orang-orang Indonesia yang mencemoohkan kami demikian, kemudian pada suatu hari datang ke Restoran Indonesia minta makan secara gratis untuk rombongan yang tidak kecil usai melakukan unjuk rasa menyokong perjuangan rakyat Timor Timur. Tentu saja Restoran Indonesia tidak bisa memberikannya secara cuma-cuma, karena jika hal demikian dilakukan, lalu bagaimana kami melanjutkan kehidupan usaha. Lagi-lagi pengelola Restoran Indonesia dituding telah berobah menjadi kapitalistis.
Dengan cerita di atas yang ingin kukatakan bahwa dalam melakukan perjuangan kita tidak hanya memerlukan semangat yang berkobar-kobar, patut menghindari sektarianisme yang tidak melihat jauh dan sering terperangkap oleh penyakit kekanak-kanakan, menganggap diri sebagai gantang penakar kebenaran. Lupa bahwa perjuangan berjangka panjang dan penuh lika-liku. Kecuali itu kita patut mempunyai semangat dan syarat untuk mandiri agar tidak didikte oleh siapapun dalam mengambil keputusan strategis ataupun taktis.
Pendek kata, modal dalam mendirikan usaha ekonomi untuk menghidupi diri sendiri di negeri suaka ini adalah modal dengkul dan menjual mimpi serta memobilisasi solidaritas kemanusiaan dan keadilan . Karena itu dalam kegiatan selanjutnya Restoran Indonesia yang sebuah koperasi bisa bebas dalam menetapkan kebijakan di hadapan siapapun.
Artinya usaha ini dibangun mulai dari mimpi yang dilahirkan oleh kondisi sosial di negeri suaka, dengan manusia-manusia pemimpi dan bukan pertama-tama dari uang yang berlimpah. Dengan adanya manusia begini sebagai modal awal, maka manusia pemimpi itu berusaha mencari cara mewujudkan mimpi mereka, dalam hal ini mencari modal uang secara kongkret. Ketika kami memobilisasi solidaritas kemanusiaan dan keadilan di berbagai tempat dan berhasil, maka hasil ini membuktikan bahwa di planet kecil kita ini, manusia itu masih ada, bahwa kemanusiaan dan keadilan itu masih tidak pupus. Demikianpun Kang Saikul dan Luthfie, di tengah suara ledakan bom dan segala kegalauan yang melanda negeri seperti sekarang ini, saya masih percaya benar bahwa manusia di tanahair kita masih ada. Dan manusia ini tidak terkurung oleh batasan-batasan agama, aliran, partai dan pandangan yang beraneka ragam. Mereka justru adalah anak-anak bangsa dan negeri yang memandang keragaman sebagai kekayaan dan rahmat serta karenanya sanggup hidup damai, sanggup berdampingan dalam perbedaan dan keragaman itu. Saya kira, Kakang berdua adalah anak bangsa dan negeri dari jenis demikian.
Pengalaman ini lagi-lagi lebih meyakinkan saya bahwa manusia adalah modal paling berharga dari semua usaha. Karena itu saya kian memahami arti proses penyadaran yang dikatakan oleh pastor Paulo Freire untuk menjadikan rakyat sebagai aktor pemberdayaan dan pembebas diri mereka sendiri. Merekalah juruselamat diri mereka sendiri yang tidak tergantikan.Mereka bukanlah "kampungan", "ndeso" dan sejenisnya .... seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan elite suatu masyarakat ataupun oleh pihak kekuasaan. Saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya merekalah pahlawan sesungguhnya. Demikian pun Restoran Indonesia sebagai sebuah koperasi, bisa berdiri dan bertahan sampai sekarang bukanlah karena jasa individu, tapi terutama karena kerjasama kolektif. Bahwa sumbangan individu satu dan yang lain, ada yang besar ada yang kecil, saya kira sangat wajar sesuai dengan kemampuan masing-masing individu yang berbeda kapanpun dan di manapun. Semuanya patut dicatat, ujar penyair Chairil Anwar. "Bendera kecil, bendera besar punya tempat dan makna" tulis presiden-penyair Ho Chi Minh dari Vietnam. Merendahkan kolektif dan menempatkan individu di atas kolektif sama artinya dengan memelihara paternalisme feodalistik yang tidak tanggap terhadap usaha bersama yang cepat atau lambat akan mengakibatkan kehancuran kebersamaan. Arti penting semangat dan praktek kolektif ini ditekankan oleh Budhisatwati, salah seorang pengelola Restoran Indonesia sekarang, dalam suratnya kepada Tim Wahana di Jakarta: "Saya hanyalah salah satu skrup kecil dari usaha bersama kami".
MENGAPA KOPERASI:
Dipilihnya koperasi sebagai bentuk badan usaha justru karena bertolak dari ide kebersamaan menolak individualisme. Karena itu ide kebersamaaan dalam bentuk koperasi mampu menggugah solidaritas kemanusiaan dan keadilan para sahabat di berbagai negeri. Jika individualisme yang dijajakan, rasanya Restoran Indonesia sebagai sebuah koperasi tidak akan mungkin berdiri. LSM, Pemerintah Prancis dan solidaritas para sahabat pun tidak akan mungkin dimobilisasi. Bentuk koperasi menunjukkan semangat dan usaha bersama suatu kolektif manusia untuk bersama-sama mengatasi persoalan mereka demi kehidupan manusiawi bersama. Mendirikan secara bersama-sama adalah satu soal, mengelola usaha secara bersama-sama kemudian menjadi soal lain. Mendirikan sesuatu secara bersama-sama relatif lebih gampang dari mengelola suatu usaha secara bersama-sama sehingga usaha itu bisa berlangsung terus. Apa yang patut dibanggakan jika didirikan bersama lalu satu dua tahun kemudian mati? Pengelolaan individualistik dan kolektif tentu berbeda. Pengelolaan individualistik berbau diktatur dan paternalistik sedangkan pengelolaan koperatif bersifat transparan dan pembagian kerja serta tanggungjawab dan kontrol anggota. Pandangan dasar yang mengalasi koperasi jadinya adalah massa sebagai pahlawan bukan individu sekalipun individu punya peranan penting dalam kehidupan bersama. Pandangan inilah yang dipakai oleh sistem koperasi Restoran Indonesia dengan adanya Rapat Umum Anggota (Assemblée Générale) tiap tahun dan pengelola pun dipilih saban dua tahun sekali. Artinya tidak selamanya yang itu-itu saja. Semua pekerja Restoran adalah anggota koperasi dan anggota koperasi adalah pemilik restoran dengan sistem "satu orang satu suara".
Bentuk umum usaha restoran di Paris adalah bentuk konvensional yang bersifat individual. Yang mengambil bentuk koperasi hanya ada tiga -- sekarang tinggal dua buah, yaitu Le Temps de Cerises dan Restaurant Indonesia -- restoran dari sekian ribu restoran.
Bentuk usaha koperasi dibandingkan dengan sistem ekonomi dominan yang kapitalistis, nampak seperti menentang arus. Tapi dalam kenyataan , sistem koperatif dengan mengetrapkan hukum-hukum umum ekonomi tetap bisa bertahan dan berkembang dalam berbagai bidang usaha sebagai sistem paralel dengan sistem kapitalistis. Karena sistem yang kapitalistis yang berdominasi maka Prancis tidak bisa disebut sebagai negeri pra sosialis apalagi sosialis sekalipun partai-partai kiri yang memerintah. Berkuasanya partai-partai kiri di pemerintahan tidak menyentuh secara hakiki dominasi sistem kapitalistis. Yang dilakukannya melalui berbagai kebijakan lebih banyak memperkuat perlindungan kepentingan penduduk sebagai ciri dari sistem negara kesejahteraan. Apakah politik begini yang memang lebih realis? Ah, sekedar pertanyaan ilustratif belaka pada tulisan ini! Tapi jika kepentingan-kepentingan dasar, seperti perlindungan kesehatan, perumahan, cuti dengan digaji yang didapat melalui perjuangan berdarah disentuh, maka bisa dipastikan penduduk akan turun ke jalan secara masif. Ini adalah salahsatu cara massa rakyat melakukan kontrol terhadap kekuasaan politik negeri.
Dengan sistem koperasi ini maka ke-40an orang Indonesia pencari suaka di Prancis memperoleh syarat untuk hidup minimal untuk waktu yang panjang sampai ke usia pensiun. Mereka tidak lagi terganggu oleh ancaman PHK atau pun kesulitan dalam memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan apartemen dan perpanjangan izin tinggal. Dengan pekerjaan yang mereka ciptakan sendiri di koperasi, mereka bisa berobat dengan pergantian beaya 100% alias gratis. Sistem koperasi ini membuat kami menjadi tuan atas diri dan nasib kami sendiri. Kami adalah majikan dan buruh usaha kami sendiri.
BERBURU LOKASI:
Sambil mengumpulkan dana untuk mewujudkan mimpi di atas, para pencari suaka politik Indonesia itu siang malam mulai memburu lokasi di mana restoran itu akan dididirikan. Iklan demi iklan koran ditelusuri, tempat demi tempat di amati.
Masalah lokasi disadari benar sangat berperan penting bagi usaha yang mau dibangun itu. Sebelum mempunyai nama maka lokasi mempunyai peran dalam mengundang langganan.
Suatu kali di sebuah jalan buntu di mana Jean-Jaures dibunuh, didapatkan sebuah tempat yang diperkirakan layak sebagai lokasi. Agar tempat itu tidak lepas dari tangan maka ditandatangani perjanjian jual-beli dan kami harus menyerahkan uang F.Fr.30.000,- (tahun 1981) sebagai tanda-jadi-beli kepada pemilik lokasi. Kemudian pada suatu hari Bung A.Umar Said melalui harian Figaro membaca sebuah iklan kecil tentang dijualnya sebuah restoran bernama Restoran Madras kepunyaan sebuah keluarga India dari Guadalup terletak di pusat kota: 12 Rue Vaugirard, 75006 Paris. Tanpa pikir panjang, kami segera mendatangi pemiliknya sambil makan -- berlagak seperti orang berduit. Tanya punya tanya, bicara punya bicara, akhirnya orang Guadalup itu setuju menjual Restoran itu kepada kami walaupun tidak sedikit orang yang rebutan ingin membeli tempat sangat strategis tersebut. "Saya lebih suka menjualnya untuk saudara-saudara", ujar pemilik Restoran Madras itu, seorang ibu tua dan anak lelakinya yang bertubuh tinggi besar. "Ini adalah ujud solidaritas kami kepada kalian", ujar anak lelakinya. Sejak itu sampai sekarang hubungan kami dengan pemilik restoran Madras itu tetap baik dan bersahabat. Jika kami memerlukan saksi dalam soal-soal hukum yang menyangkut restoran, mereka dengan sukarela menjadi saksi. Kamipun sepakat memilih tempat strategis di jalan Vaugirard yang sekarang menjadi lokasi Restoran Indonesia dan dengan rela membiarkan yang F.Fr.30.000,- yang merupakan tanda janji jadi beli di atas hilang begitu saja.
Dalam berburu lokasi inipun juga dilakukan secara bersama-sama. Dengan memilih lokasi di jalan Vaugirard ini, mimpi makin mendekati ujudnya, menjadi setapak lagi lebih maju.
Sementara kisah ini saya akhiri di sini, Kang Saikul dan Luthfi. Besok akan kusambung lagi.
Salam hangat,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (3)
"BUMI DUKA DI JUBAH BUNGA"
Kang Saikul dan Luthfi yang baik,
Semua teman sepakat bahwa lokasi yang terletak di 12 Rue Vaugirard yang sampai
sekarang menjadi lokasi usaha Restoran, memang sangat strategis sebagai tempat
usaha restoran yang dirancangkan. Janji jual-beli pun ditandatangani. Pembayaran
dimulai. Karena jumlah modal yang dipunyai tidak mencukupi maka sisanya akan
dibayar belakangan dalam batas waktu yang telah disepakati bersama. Pekerjaan
pembersihan dan penataan ulang ruangan dimulai dengan mengerahkan semua tenaga
yang ada termasuk teman-teman Prancis baik lelaki maupun perempuan yang sejak
lama memang telah bersama-sama melakukan berbagai kegiatan seperti Malam Indonesia,
ikut serta dalam Fête (pesta) ini atau itu, dan lain-lain.... Tiap hari,
dari pagi sampai malam kami bekerja di sini. Hingga sekarang masih terbayang
di mata ingatanku betapa kotornya tembok-tembok dan betapa wajah putih Gisèlle
dan Lydie -- dua perempuan muda Prancis yang dengan sepenuh hati membantu
-- termasuk pakaian mereka jadi hitam legam tercoreng arang ketika mereka
menggosok tembok-tembok dapur. Keadaan wajah mereka dan semua teman lain yang
kotor oleh debu dan arang jadi bahan sendagurau menawar kelelahan. Melalui
kerja bersama ini rasa persahabatan dan solidaritas di antara kami terbina
makin kuat dalam diri masing-masing. Indonesia akhirnya mendapat tempat tersendiri
di relung hati teman-teman Prancis ini. Dengan menyisihkan sebagian dari gaji
bulanan mereka, kemudian tidak sedikit dari mereka yang mengunjungi pulau-pulau
tanahair yang mereka kenal ceritanya melalui pergaulan dan kerja bersama.
Merenungi hubungan persahabatan dan solidaritas yang kental begini, dalam
hati, saya mengagumi arti perdamaian dan kasihsayang antar anak manusia serta
menanyai diri: "Apa gerangan arti bangsa dan tanahair bagi kemanusiaan?
Apa gerangan arti negara, perbatasan serta kedaulatan? Apa makna ras dan perbedaan
agama?", pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin segera kujawab tapi kubawa
serta dalam perjalanan waktu dan kembara bacaan ataupun pengamatan. Pertanyaan-pertanyaan
ini membawa ingatanku kepada keadaan tanahair yang mandi darah oleh masakre
terbesar di abad kekinian, membuat hampir satu dari seluruh penduduk negeri
dilukai dan jadi kehilangan rupa-rupa termasuk yang paling esensil, keadaan
yang kudapatkan pelukisannya dalam sebuah haiku Jepang karya Issa: "bumi
duka/di jubah bunga".
Duka bumi ini seakan-akan tidak kunjung habisnya mencoba kecintaan pada bunga-bunga
kehidupan. Sampai ia pun datang mengunjungi kami yang sedang sibuk membersihkan
dan menata ruangan untuk restoran yang segera akan dibuka.
Hari itu ketika kami seperti hari-hari sebelumnya sedang sibuk dengan kerja
masing-masing, tiba-tiba tiga orang lelaki bulé berpakaian sipil masuk
sambil menunjukkan kartu polisi mereka serta surat perintah dari atasan mereka.
"Ada apa?" tanya seorang dari kami yang segera saja mengerumuni
tiga orang polisi Prancis itu. Salah seorang dari polisi itu menjawab bahwa
KBRI Paris melaporkan kepada kami bahwa kalian sedang menyiapkan rapat guna
melancarkan unjuk rasa menentang pemerintah Indonesia. Mendengar ucapan itu,
kami semua tidak bisa menawan bahak. Sedangkan teman-teman Prancis yang bersama
kami jadi sangat marah, berucap: "Kegilaan yang keterlaluan". Gisèlle
dengan gaya khasnya berkomentar: "Rapat apa? Kalian lihat saja apa nampaknya
kami sedang rapat atau sedang bekerja?". Polisi yang merasa tersinggung
oleh sikap dan kata-kata Gisèlle menjawab: "Kami hanya melaksanakan
perintah. Nanti kami laporkan ke atasan kami apa sebenarnya yang disebut rapat
persiapan demo oleh KBRI itu. Sekarang kami minta diri dan maaf. Tapi kami
akan datang kembali lagi kelak sebagai langganan restoran kalian". Teman-teman
Prancis masih saja bersungut-sungut ketika polisi itu sudah pergi. Dan memang
benar, ketika restoran sudah mulai dibuka tiga polisi itu datang berkali-kali
untuk makan. Mereka tertawa geli ketika diingatkan akan peristiwa "rapat
persiapan unjuk rasa anti Indonesia". Berbagai peristiwa yang mengenai
restoran membuat hubungan dengan mereka tambah sering. Apakah tambah akrab?
Entahlah! Sebab aku sendiri tetap saja selalu mencadangkan kepercayaan pada
polisi sebagai pihak yang memegang bedil. Bedil erat hubungannya dengan kekuasaan
dan kekuasaan seperti alkohol keras, gampang memabukkan. Penyalahgunaan terhadap
bedil dan kekuasaan jugalah kukira yang membuat bumi sering dilanda duka dan
basah darah, kehilangan demi kehilangan tak terperikan berulang kali terjadi.
"PUSAT KEBUDAYAAN" DAN PROMOSI INDONESIA
Dalam mimpi kami, Restoran Indonesia yang kami bangun ini selain menjadi sumber
hidup kami, ia sekaligus diharapkan sebagai tempat kegiatan kebudayaan dan
alat mempromosi Indonesia.. Untuk ini pada tahun-tahun pertama, di restoran
kami selenggarakan pameran lukisan, pameran batik, pameran foto, kursus bahasa
Indonesia, pertunjukan slide dan filem dari negeri-negeri yang dulu dikategorikan
sebagai Dunia Ketiga, perunjukan tari berbagai daerah:Jawa, Bali, Sunda dan
Dayak. Tapi karena kekurangan tenaga maka dalam perjalanan selanjutnya, kegiatan
yang teratur diselenggarakan adalah pementasan tari dan pameran. Sedangkan
pertunjukan slide dan filem serta kursus bahasa Indonesia dihentikan sekalipun
pesertanya pernah tercatat sampai 40 orang.
Hal lain, kami maui atau tidak, banyak orang-orang Prancis yang sebelum ke
Indonesia menelepon dan atau datang ke restoran menanyai soal Indonesia. Sehingga
restoran Indonesia yang pada waktu itu merupakan satu-satunya restoran Indonesia
di Paris, juga berfungsi sebagai biro informasi tidak resmi. Sering juga terjadi
bahwa sebelum menempuh ujian, mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Indonesia
datang ke restoran untuk menanyakan soal-soal pelajaran mereka. Tidak jarang
pula bahwa orang-orang Prancis yang sedang pacaran dengan orang Indonesia,
datang ke restoran meminta tolong menterjemahkan surat-surat cinta mereka.
Orang-orang ini bahkan melangsungkan pesta perkawinan dan ulangtahun perkawinan
mereka di restoran. Mereka akhirnya menjadi langganan setia restoran ini.
Kang Saikul dan Luthfi yang baik,
Bisakah keadaan di atas disebut sebagai bunga-bunga kehidupan yang marak di
bumi luka dan duka seperti yang dilukiskan oleh penyair Issa? Tapi dari secuil
pengalaman restoran ini saja yang jelas kusaksikan bahwa duka dan suka telah
menjadi asamgaram kehidupan di bumi yang tak terelakkan. Bumi duka hanyalah
satu warna saja dari perwajahannya yang utuh.
Sampai suratku yang mendatang.
Salam hangat,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (4)
SIAPA YANG AKAN MENJADI JURUMASAK?
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Ketika pembersihan dan penataan ruangan yang terdiri dari dua tingkat mendekati akhirnya masalah baru yang patut dipecahkan adalah masalah jurumasak dan menu yang bakal dihidangkan. Ketika menyusun studi kelayakan menu kongkret yang disebutkan hanya makanan yang akan dijual adalah masakan spesialitas Indonesia yang belum umum dikenal di negeri ini. Berdasarkan studi kelayakan atas dasar harga pada tahun 1981/'82, restoran akan berjalan baik jika tiap hari dikunjungi oleh sekitar 60 orang langganan. Jumlah ini memang adalah kapasitas maksimal ruangan yang telah kami beli hak usahanya. Jumlah langganan akan bertambah jika pergantian arus kedatangan tamu (shift) berganda. Diperkirakan oleh studi kelayakan 1981 itu bahwa untuk mencapai angka 60 orang langganan dengan dua kali buka sehari (siang dan malam), tidaklah akan terlalu sulit. Apalagi pada tahun tersebut tidak ada satupun restoran Indonesia yang terdapat di Paris sehingga restoran ini relatif memegang posisi monopoli dalam hal masakan Indonesia.
Membuat studi kelayakan yang baik memang merupakan satu soal tersendiri tapi tidaklah terlalu asing bagi kami yang oleh Mas Samiaji sebagai orang-orang tergolong "intelektuil" (lihat: Samiaji Mengenang 20 Tahun Restoran Indonesia -- Milis Cari, 11 Desember 2002). Bagi kami, kemampuan rata-rata dalam soal masak-memasak terbatas pada taraf masakan untuk diri sendiri, bukan mutu yang untuk dijual oleh sebuah restoran secara profesional. Bung Umar Said misalnya hanya lihai dalam membuat ceplok telor untuk diri sendiri. Saya sendiri suka pada membuka kaleng sardin atau membuat balado ikan. Mas Budiman almarhum tergantung pada masakan isterinya. Tinggal Bung Sobron yang paling suka masak, mungkin, didorong oleh kesukaannya akan makan. Tapi suka dan enak, antara suka dan mutu, antara suka masak dan layak jual adalah hal yang berbeda. Masalah baru menggoda kami dalam membuka restoran yang kelak jadi sandaran hidup kami. Di hadapan soal siapa yang akan menjadi jurumasak restoran -- masalah pokok bagi penyelenggaraan restoran --- semua kami sepakat dalam sikap bahwa "tidak ada rotan akarpun berguna", menyelesaikan soal ini dalam proses bekerja. Restoran harus dibuka dan dijalankan.
Sebelum menggunakan "akar" yang ada di kalangan kami di Paris, kami menghitung dan membaca kemungkinan-kemungkinan kemampuan yang tersedia di kalangan sahabat-sahabat Indonesia yang tinggal di negeri-negeri lain di Eropa Barat. Dengan cara ini kami mencoba memecahkan masalah penting tersebut. Dari pembacaan peta kemampuan dan kemungkinan ini kami mendapatkan dua nama, yaitu Parmin -- yang memang jurumasak profesional di sebuah hotel berbintang di Negeri Belanda, dan Else, istri mantan dutabesar Indonesia di Mali pada zaman pemerintahan Soekarno. Sekalipun bukan jurumasak profesional, tapi di kalangan kami, rasa hasil masakan Else memang sudah terkenal lezat. Yang paling ideal sebagai jurumasak dari kedua nama ini adalah Parmin memang. Tapi kami tidak mempunyai dana memadai untuk memenuhi keperluan Parmin sebagai jurumasak profesional di sebuah hotel berbintang, apalagi ia akan segera menikah. Sedangkan Else untuk menjadi jurumasak permanen juga tidak bisa karena tidak gampang meninggalkan keluarganya di Negeri Belanda ditambah lagi untuk menjadi tenaga kunci di dapur sebuah restoran diperlukan kemampuan fisik tertentu.
Akhirnya kami tetapkan juga bahwa sebagai pemecahan sementara, kami meminta solidaritas kedua teman tersebut secara bergiliran. Dan keduanya menyatakan persetujuan mereka. Lagi-lagi di sini patut dicatat jasa Bung Umar Said yang dengan sukarela menyediakan apartemennya sebagai "asrama". Di antara kami memang hanya beliaulah yang mempunyai apartemen yang layak dan mampu menampung banyak teman.
Dari sini Kakang berdua bisa melihat bahwa setiakawan dan kebersamaan merupakan kekuatan utama kami dalam mensukseskan berbagai usaha termasuk restoran Indonesia. Masihkah rasa setiakawan dan semangat kebersamaan ini tersisa dalam masyarakat kita? Ataukah di tengah mentalitas yang terkontaminasi oleh ide "uang sebagai raja", semangat yang tadinya mengakar di masyarakat kita jadi terpinggirkan dan menyusut menjadi hal yang bersifat potensial saja sekarang? Kami bukanlah manusia supranya Nietzche. Kami adalah manusia biasa, mahluk sosial biasa seperti anak manusia manapun. Dari praktek ini juga aku melihat saling hubungan antara individu dan kolektif serta makna mahluk sosial itu. Praktek ini juga memberitahukan kepadaku siapakah sang messias dan pahlawan itu sesungguhnya!
KERJA ITU MULIA:
Ketika bekerja di Indonesia sampai awal tahun ini, aku melihat bahwa di tanahair ada pemisahan tajam antara kerja badan dan kerja otak. Umumnya kerja badan dipandang dengan sebelah mata karena dilihat sebagai kerja "kuli". Berangkat dari pandangan ini maka di Kalimantan Tengah kusaksikan bahwa jabatan sebagai pegawai negeri sekalipun hanya sebagai pengantar surat dan kerja harian dipandang sebagai "pekerjaan idola". Tanpa mengeluarkan banyak tenaga tapi tiap bulan atau saban hari pasti mendapatkan sesuatu. Pandangan dan sikap ini, kecuali ada latarbelakang dengan jabatan sebagai pegawai negeri bisa mengeduk "sabetan" besar melalui KKN, iapun kukira menunjukkan betapa di negeri kita, kehidupan itu diancam oleh ketidakpastian.
Bagaimana sikap kami yang sekali lagi tergolong orang-orang berpendidikan tertentu dalam menghadapi soal kerja badan? Kami pun sesungguhnya tidak berbeda dari umumnya sikap orang Indonesia lainnya yang masih kulihat sampai sekarang dalam memandang kerja "kuli" atau kerja badan, apalagi jika orang itu berasal dari etnik Jawa -- daerah di mana feodalisme paling merasuk. Situasi harus hidup, harus mau mengerjakan apa saja yang syah untuk bisa makan di negeri suaka, memaksa kami melakukan kerja badan saban hari. Siapa yang akan memberikan kami makan jika bukan diri sendiri, jika bukan melalui kerja dan jerihpayah sendiri?! Karena itu dalam membersihkan dan menata ruang restoran, semuanya kami lakukan sendiri. Karena itu kami melakukan pekerjaan pelayanan di restoran tanpa kompleks, dengan kesadaran dan penuh harga diri. Apalagi kami tahu benar arti dan peranan restoran yang menyandang nama Indonesia.
Melakukan kerja badan dari tahun ke tahun sampai sekarang, membuat kami sadar bahwa kerja badan itu mulia, bahwa kerja itu merobah manusia, baik secara fisik maupun secara pikiran. Didien yang tadinya berjari-jari halus dan lembut, sekarang jari-jarinya menjadi kokoh. Kami yang tadinya meremehkan kerja badan sekarang tahu benar bahwa kerja badan itu mulia dan mendorong perkembangan masyarakat. Adakah masyarakat yang berkembang tanpa merupakan hasil dari kerja? Kebudayaan tidakkah merupakan hasil kerja termasuk kerja badan? Dari pengalaman ini aku kira selayaknya pekerja otak mampu melakukan kerja badan dan sebaliknya pekerja badan selayaknya berkemampuan juga menangani pekerjaan otak. Dalam hal ini aku jadi teringat akan ungkapan pada zaman pemerintahan Soekarno: "Merah dan Ahli". "Merah" menunjuk kepada keberpihakan kepada mayoritas penduduk atau rakyat (aku tidak memasuki uraian soal ini!), sedangkan "Ahli", menunjuk kepada kemampuan ketrampilan (skill know-how). Dalam ungkapan "merah dan ahli" sebagai orientasi pendidikan, tercakup penghargaan setara terhadap kerja badan dan kerja otak serta peranan kerja bagi perkembangan masyarakat dan manusia.
Pekerjaan membangun restoran dan bekerja di restoran Indonesia, kembali mengingatkan aku akan orientasi tersebut dan kembali mengajar dan mendidik diriku terus-menerus bukan hanya tentang kerja badan dan otak tapi juga mengenal watak manusia melalui pelayanan terhadap para langganan dan kolega sepekerjaan. Dengan latarbelakang ini maka kepada Deddy, seorang anak muda yang bersekolah di Paris, dan tinggal bersamaku, kutawarkan ia untuk bekerja di restoran. "Kau akan belajar banyak dengan bekerja sambil sekolah", ujarku. Dan ia setuju. Ketika menemuinya kembali di Jakarta, ia mengatakan kepadaku: "Di sini aku seperti ET (mahluk luar angkasa).Sepi dan merasa sendiri!". "Tapi Indonesia negerimu, kampunghalamanmu, Ded", jawabku. "Tidak gampang menjadi Indonesia dan mencintai", jawabku. Anak muda itu diam dan kutahu ia memikirkan apa yang kuucapkan. Kutahu ia bukan tipe anak muda dan anakbangsa yang malas berpikir. Karena berpikir inilah ia merasa sepi dan sendiri. Kembali aku teringat pada André Gide, sastrawan Prancis yang pernah menerima Nobel sastra, yang menasehatkan bahwa sesudah berpikir dituntut keberanian berpihak dan bertindak.
PERLENGKAPAN LAMA:
Biasanya pemilik baru, memulai usahanya dengan perlengkapan-perlengkapan baru. Piring, mangkuk, sendok, garpu, gelas baru. Pendeknya dengan perlengkapan-perlengkapan baru. Tapi ketiadaan modal menyebabkan kami berada di luar kebiasaa ini. Kami bekerja dengan perlengkapan-perlengkapan lama pemberian pemilik Restoran Madras yang telah kami beli. Kami bekerja dengan alat-alat seadanya. Kursi dan meja pun, kursi dan meja lama. Begitu juga dengan taplak meja, taplak meja peninggalan Madras dengan warna belang bonteng terpaksa kami gunakan. Bahkan kap lampu berwarna kuning masih kami pakai sampai sekarang. Yang baru adalah tata ruang dan sejumlah dekorasi sehingga memberikan ciri Indonesia. Termasuk baru juga tentu saja: papan nama Restaurant Indonesia yang terpajang di beranda luar, tulisan tangan Soejoso, salah seorang teman kami yang terbaik tulisan tangannya. Melihat nama Indonesia di antara sekian papan nama di kilometer nol, pusat kota Paris, terasa padaku ada kebanggaan tersendiri. Papan nama yang seperti mengatakan bahwa "di sini Indonesiaku hadir", dihadirkan oleh putera-puterinya yang terusir dan diusir. Melalui papan nama itu, terasa padaku yang mungkin hanya perasaanku sendiri, bahwa cinta kami kepada Indonesia dan rakyatnya tidak pernah dan tidak bisa diusir serta dienyahkan. Ia selalu ada dan hadir.
Sampai di sini dulu, Kang. Sampai surat dan cerita mendatang. Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (5)
RIJST TAFEL: LAHIRNYA SEBUAH KOSAKATA
Kang Saikul dan Luthfi yang baik,
Mudah-mudahan Kakang berdua tidak bosan jika cerita ini kulanjutkan. Kebungkaman alias tiadanya reaksi dari Kakang berdualah yang menumbuhkan pertanyaan demikian dalam hatiku. Tapi baiklah, aku tidak mau bertindak tangung-tanggung. Yang sudah kumulai akan kulanjutkan hingga ujung.
Setelah persoalan jurumasak sementara dipecahkan, masalah baru muncul: Bagaimana formula makanan yang akan dijual? Bagaimana menampilkannya. Kepada teman-teman sering kukatakan bahwa "di sini kita mewakili dan membawa nama Indonesia sebagai suatu bangsa". Melalui kata-kata ini yang ingin kukatakan bahwa dengan membawa nama Indonesia, pada diri kami teremban kemestian kewajiban menjaga martabat dan nama baik bangsa dan rakyat negeri tersebut sekalipun kami tidak beda seperti anak enggang yang terhalau dari rimba sarangnya, bagai kijang terusir dari padangnya. "Untuk itu selayaknya kita tampil maksimal, jangan asal-asalan" , ini adalah sikapku. Dengan sikap ini, dalam hati aku ingin memperlihatkan kepada para langganan yang datang, secara tidak diucapkan dengan kata bahwa ada Indonesia lain di samping Indonesianya Orde Baru yang berlumuran darah dan mempunyai citra sangat buruk di luar negeri.
Tentu Kakang berdua masih ingat dan pernah membaca sendiri berita yang melukiskan buruknya citra negeri kita di luar. Ketika itu, aku lupa tahunnya, di Tanzania, dilangsungkan Pertemuan Negara-negara Non Blok di mana Indonesia di bawah Presiden Soekarno turut membangun gerakan ini. Ketika Delegasi Indonesia datang di negeri tersebut, para wartawan Afrika, dengan gaya khas mereka menari-nari mengelilingi para Delegasi sambil secara berirama mengucapkan: "Indonesia, US puppet! Indonesia, US puppet!". Kejadian lain yang tidak menyenangkan yang kami alami yaitu ketika Dilli dibumi-hanguskan oleh milisia pro Indonesia. Salah seorang dari kami menerima telpon dari orang tidak dikenal hanya untuk melampiaskan kemarahan dengan mengucapkan kata-kata: "Indonesia, pembunuh!" atau datang ke restoran hanya untuk mengucapkan kata-kata serupa lalu pergi dengan membanting pintu. Keterbatasan pengetahuan mereka tentang diri kami menyebabkan mereka memandang secara pukul rata. Hanya saja teman kami yang menerima telepon dan tamu tersebut jadi "muring-muring" sendiri sambil menyumpah tanpa sasaran: "Kurangajar!". Tapi diri kejadian ini nampak pula bahwa kami pun sesungguhnya tidak bisa menghilangkan keindonesiaan kami dan tanggungjawab keindonesiaan kami.
Untuk menjawab pertanyaan formula makanan yang bagaimana yang akan kami tawarkan kepada para pelanggan, akhirnya Bung Umar Said pergi ke Belanda guna secara khusus mengeduk pengalaman restoran-restoran Indonesia yang mendominasi dunia perestoranan di negeri tersebut. Sebelumnya kami juga memasuki berbagai restoran di Paris untuk secara diam-diam mengamati cara kerja serta bagaimana mereka menampilkan makanan yang disaji. Bahkan ada teman yang sebelum bekerja, secara khusus magang di restoran Tionghoa untuk belajar.
Sepulang dari Negeri Belanda, Bung Umar kami yang gesit, datang dengan sederetan keterangan serta pengalaman berharga dan daftar menu sebuah restoran di Belanda yang beliau "curi". Sungguh mati, aku mengagumi "pencurian" ini. Semua kami mendengar keterangan Bung Umar dengan antusias dan kemudian sepakat bahwa formula yang kami terapkan adalah formula "rijstafel" yang kami terjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa Prancis menjadi "table du riz"(sampai sekarang aku tak tahu apa bagaimana mengindonesiakan formula ini).
Dengan formula ini segala macam makanan berasal dari manapun bisa dimasukkan sesuai keinginan dan sesuai dengan harga yang kita tetapkan sehingga menjadi sangat elastis, mulai dari makanan pembukaan sampai kepada makanan penutup. Semuanya menjadi satu paket lengkap, karena itu kami namakan "table du riz complet". Celakanya, sementara pelanggan yang tidak mengenal formula itu mengira bahwa "riz complet" adalah sejenis nasi yang berwarna kemerah-merahan. Berdasarkan pengalaman ini kemudian kata "complet"nya kami hilangkan sehingga formulanya hanya bernama "table du riz". Dengan ini maka bahasa Prancis mulai diperkaya oleh satu kosakata baru: "table du riz".
Kosakata lain yang dikenal melalui Restoran Indonesia yang mungkin kelak jadi kosakata Prancis juga adalah "rokok kretek" yang oleh restoran mulai diperkenalkan kepada para pelanggan. Sekarang di Prancis peminat rokok kretek ini kian bertambah jika dilihat bahwa pernah ia dijual di kedai-kedai rokok umum serta jumlah pelanggan yang terus meningkat menanyakan kretek.
Melalui rupa-rupa pengalaman ini, aku memahami benar catatan di buku tamu restoran yang ditulis oleh antropolog Prancis Christian PELRAS yang ahli soal Bugis, bahwa "makanan dan masakan merupakan masalah kebudayaan. Sedangkan restoran merupakan salahsatu sarana untuk tukar-menukar kebudayaan antar bangsa".
Table du riz, sesuai kuantitas dan harganya kami berikan macam-macam nama seperti Pelangi, Widuri, Vegetariane. Yang pernah menimbulkan ketawa di antara kami, ketika seorang pelanggan memprotes kami mengapa ketika di Indonesia ia tidak menemukan "table du riz Pelangi, ataupun Widuri". Bagaimana mungkin ada kalau nama-nama itu adalah kreasi kami sendiri.
Sedangkan untuk formula makan siang di mana para pelanggan memerlukan makanan yang jumlahnya tidak terlalu besar, kami berikan nama pulau dan daerah-daerah Indonesia seperti: Sumatra, Jawa, Bali.
Menghadapi kemungkinan adanya pertanyaan-pertanyaan dari pelanggan tentang nama-nama itu maka di setiap tembok ruangan kami tempelkan peta-peta batik Indonesia. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, setelah para pelanggan selesai dengan makanan pokok, dengan sebatang tongkat khusus yang kusediakan sendiri di bar, aku menjelaskan soal-soal geografi, demografi, sejarah, dan lain-lain soal lagi ..... serta tentu saja tidak lupa kuceritakan tentang etnikku: Dayak yang selalu membangkitkan senda-gurau di kalangan kami dan pelanggan. Ketika menjelaskan tentang Kalimantan, aku selalu membuka keterangan dengan kata-kata: "Aku berasal dari pulau terbesar ketiga di planet kecil kita ini". Mendengar pendahuluan demikian, para pelanggan makin terpikat dan penuh mereka-reka keterangan berikutnya. Kemudian kulanjutkan:"Pulau terbesar pertama adalah Pulau Hijau milik Denmark; yang kedua: Australia yang menolak jadi republik merdeka dan pulau terbesar ketiga di dunia itu adalah pulau asalku: Kalimantan". Para pelanggan biasanya tertawa dan berkata: "Jadi kau seorang Dayak" dan kujawab tanpa kompleks:"Ya, akulah satu-satunya Dayak di Paris" yang senantiasa disambut dengan derai tawa dan sendagurau. "Jadi kau seorang pemotong kepala", ujar mereka. "Tapi aku tidak akan memotong kepala Anda", jawabanku yang membuat suasana kian akrab di antara para pelanggan di seluruh ruangan. Kesempatan begini juga aku gunakan sekaligus untuk menjelaskan masalah-masalah etnologis. Biasanya kalau Bung Umar ada di sampingku ketika aku menjelaskan hal-hal demikian, Bung Umar akan meningkahi selalu: "Dan aku seorang Madura, tapi kami sejak lama bekerja bersama dan hubungan kami hubungan seperti saudara. Ia pun tidak akan memenggal kepalaku". Menyimpulkan dialog ini sering kukatakan kepada pelanggan bahwa agaknya etnik dan nasion hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan. Mereka dilahirkan sejarah, ruang dan waktu sesuai kepentingan ruang dan waktu tertentu.
Dialog-dialog dengan para pelanggan menyebabkan para pelanggan merasa di rumah atau berada di kalangan para sahabat sendiri.
Setelah masalah-masalah di atas kami selesaikan satu persatu, maka D day pembukaan restoran kamipun sudah hampir tiba. Tanpa diucapkan dengan terus-terang, tapi dari celetukan-celetukan kuketahui bahwa ruang benak masing-masing teman dipenuhi oleh pertanyaan tunggal: Apa bagaimana kelak yang akan terjadi dengan usaha ini, usaha yang dikelola oleh sekelompok "cendekiawan" terhalau dari kampung halamannya yang sedang memasuki dunia asing: dunia perestoranan. Aku menghibur diri dengan lirik lagu Dorisday: "Que sera, que sera" dan bait penyair Longefellow: "face the future with courage!".
Kang Saikul dan Kang Luthfi, Sementara kisah kuakhiri dan akan kulanjutkan besok malam. Salam hangatku selalu,
JJ.Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (6)
MENGANGKAT INDONESIA MELALUI RESTORAN
Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Kembali aku meminta maaf karena tidak bisa memenuhi janji melanjutkan cerita
malam kemarin. Aku sangat lelah dan pulang sudah terlalu larut malam. Sekalipun
semangat tidak melelah tapi kekuatan fisik patut diperhitungkan dan mempunyai
batas.
Sebelum memasuki cerita tentang D day, aku kira ada baiknya aku ceritakan
tentang nama Restoran Indonesia. Mengapa dinamakan Restoran Indonesia. Mengapa
tidak nama lain yang diambil seperti misalnya Jakarta-Bali, Surabaya atau
Palangka Raya.
Restoran Indonesia adalah nama yang diusulkan oleh seorang anak muda yang
bernama Iwan. Aku tidak tahu mengapa Iwan mengusulkan nama itu. Tapi semua
teman yang menyiapkan pembangunan Restoran ini bersetuju akan nama tersebut.
Shakespeare, sastrawan beken Inggris memang mempunyai sebuah kalimat yang
banyak disitat yaitu: "Apalah arti nama. Mawar tetap mawar", kalimat
yang dari segi tertentu tidak pernah terlalu kusepakati. Bagiku nama mempunyai
makna dan bagaimana mungkin makna ini dikatakan tidak punya arti. Nama merupakan
lambang dan coba kita camkan sejenak tidakkah dalam masalah lambang ini di
negeri kita terjadi suatu pergulatan untuk memenangkan sesuatu tujuan serta
bahkan untuk mempertahankan suatu kekuasaan. Tidakkah dalam masalah lambang
ini terjadi pergulatan berdarah bahkan penindasan yang merenggut nyawa manusia
tak terbilang jumlahnya?!
Ketika usul Iwan ini diajukan kepada kami yang mendirikan usaha koperatif
ini, aku langsung menyetujuinya dengan pertimbangan bahwa ketika itu tidak
ada satupun restoran Indonesia di Paris. Dengan menggunakan nama Restoran
Indonesia, maka sekaligus usaha koperatif ini menunjukkan posisi khasnya yang
bisa memikat semua atau banyak orang sehingga dari segi komersial nama itu
menjadi iklan sangat memikat sekaligus.. Pertimbangan lain bahwa dengan menggunakan
nama Restoran Indonesia, orang-orang "klayaban di luar negeri" ,
jika menggunakan istilah Gus Dur atau orang-orang "terdampar" apabila
menggunakan istilah penulis satirik Guritno Pamulang, kami bisa memperkenalkan
Indonesia saban hari dan terus-menerus kepada masyarakat Prancis serta para
para wisatawan yang datang ke Prancis dari segenap penjuru mata angin. Kalau
kami bekerja baik, maka pekerjaan kami bisa mengangkat nama Indonesia juga.
Dengan pertimbangan inilah maka dari diriku sendiri, aku selalu mencoba memberikan
yang maksimal untuk restoran yang membawa nama Indonesia. Aku merasa restoran
ini mempunyai misi "kedutaan" atau perwakilan Indonesia di negeri
di mana kami berada. Aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana sikap pihak
kekuasaan kepada kami, juga tidak menghiraukan apakah kami anak bangsa yang
dihalau dan terusir atau tidak. Sebab kupikir keindonesaiaan anak negeri dan
bangsa Indonesia tidaklah menjadi monopoli pemegang kekuasaan politik pada
suatu saat. Bukan monopoli Orde Baru dan seluruh perangkatnya. Indonesia adalah
milik bersama dan tanahair semua putra-putri Indonesia. Anak-anak negeri dan
bangsa boleh bersaing memperlihatkan keindonesiaan dan kecintaan mereka kepada
bangsa dan tanahair, bukan bersaing untuk saling menghujat, membenci, mengusir
dan membunuh atau merebut monopoli menguasai Indonesia. Inilah yang kusebut
konsep Indonesianisme dan bukan Indonesianisasi.
Boleh jadi Kakang berdua merasa ada ironisme di sini. Di satu pihak kami jadi
anak bangsa dan negeri yang terhalau sehingga terpaksa "klayaban"
atau "terdampar", tapi di pihak lain tetap berusaha mengangkat dan
memperkenalkan Indonesia.
Ironisme bukanlah dasar perangaiku, para Kakang tercinta. Tapi kenyataan dan
kehidupan memang sering menyindir kita dengan sangat tajam tanpa belas kasihan
seperti halnya sekarang.
Kebanggaan menjadi Indonesia masih belum hilang dariku. Sekarang pun tidak!
Jika Indonesia sekarang ada persoalan dan berada di ujung tanduk, masalahnya
kukira bukan karena menjadi Indonesia dan berusaha menjadi Indonesia, tapi
terutama terletak pada pilihan dan praktek politik pemegang kekuasaan negeri.
Pada masa pemerintahan Soekarno dulu, betapa kebanggaan menjadi Indonesia
dengan keragamannya sangat kurasakan dan dirasakan juga oleh anak-anak bangsa
lain. Kebanggaan ini kami ungkapkan misalnya melalui memanggil seorang teman
dari Aceh dengan nama sukunya sedangkan aku sering dipanggil dengan Dayak
-- asal etnikku. Melalui panggilan demikian masing-masing kami memperlihatkan
kebanggaan akan keragaman negeri dan bangsa. Berbeda dengan sekarang yang
jika menyebut nama Jawa terasa menyimpan kebencian.
Pergeseran perasaan dan makna ini kiranya bukanlah kebetulan, seperti halnya
bukan kebetulan pula jika kami bersepakat menamakan usaha koperatif kami dengan
Restoran Indonesia. Orde Baru agaknya memang banyak sekali melakukan pergeseran
negatif yang luar biasa dalam berbagai bidang bahkan melakukan penyesatan
berbahaya. Bahkan aku melihatnya, Orde Baru telah melakukan tindak pemandulan
kreatifitas anak negeri dan bangsa. Padahal anak negeri dan bangsa ini sesungguhnya
sama cerdik dan pintar dengan anak negeri dan bangsa manapun.
Dengan semangat ini maka ketika pulang ke tanahair, sebagai oleh-oleh bagi
Restoran Indonesia, di Pejompongan, aku belikan sebuah bendera Merah Putih
dan kemudian oleh Soejoso -- penanggungjawab RI (Restoran Indonesia) di pasang
di tembok ruang pertama -- sehingga begitu masuk, para pelanggan akan segera
melihat bendera tersebut yang jika ada kesempatan kujelaskan maknanya kepada
para pelanggan dengan semangat "liberté, egalité et fraternité"
semboyan Revolusi Prancis yang kuanggap punya nilai universal.
Nilai Revolusi Prancis yang universal ini pulalah yang kami angkat dalam nama
koperasi yang mengelola Restoran Indonesia: Koperasi Fraternité"
(SCOP Fratenité). Lalu bagaimana kita bisa ikut Shakespeare mengatakan
bahwa "apalah artinya nama"? Apa artinya kata?
Jika mengingat semangat dan praktek di atas, maka kepada para mereka yang
menyebut diri pemegang kekuasaan dan wakil rakyat, aku ingin menanyakan "mengapa
anak-anak negeri dan bangsa ini tidak dipulihkan hak-hak mereka sebagai anak
negeri dan bangsa". "Harus melalui prosedur?!". Bukankah prosedur
itu ada dalam kekuasaan para Anda Yang "Mulia"?! Bisakah kita bicara
tentang "kerukunan nasional" jika hak wajar anak negeri dan bangsa
yang sebenarnya sangat sederhana ini, tapi melambangkan anutan terhadap suatu
nilai agung, tidak diselesaikan?
Nama Indonesia yang dibawakan oleh Restoran Indonesia pada hakekatnya mengandung
dan membawakan suatu nilai patriotik jika kita bisa melihatnya dengan tenang
tanpa muatan emosional.
Dua puluh tahun hari ini, 14 Desember, usia Restoran Indonesia (RI), berarti
20 tahun anak-anak bangsa dan negeri yang terusir sehingga menjadi "klayaban"
telah dan terus-menerus secara sadar menjunjung nama bangsa dan negeri. Katakan
mereka komunis! Katakan mereka Soekarnois! Katakan mereka Islam, Katolik,
Protestan Kiri! Tapi apa salahnya mereka berpaham Komunis, Soekarnois, Katolik,
Islam, atau Protestan Kiri dan lain-lain..... jika negeri ini memang demokratis
dan tahu arti toleransi serta bhineka tunggal ika? Indonesia bukan monopoli
suatu aliran, partai atau kelompok manapun! Aku lagi-lagi jadi teringat akan
nasehat ayahku almarhum: "Belajarlah jadi dewasa, nak!". Agaknya
Indonesia sulit dan belum jadi dewasa. Padahal Indonesia adalah suatu konsep
agung dan mengandung nilai universal dilihat dari usaha bersatu dalam keragaman
yang juga tercermin dalam keragaman anggota-anggota Koperasi Restoran Indonesia
(RI), jika menggunakan istilah Mbak Yuli Mumpuni, Atase Pers KBRI di Paris
yang sekarang (dan dengan rendah hati selalu merasa dirinya tidak "mumpuni").
Untuk meresapi konsep Idnoneisa ini ditutut suatu kedewasaan berpikir dan
bertindak.
KOPERASI (SCOP) DAN PELUANG LAIN:
Dengan menggunakan bentuk SCOP (koperasi) sebagai bentuk badan usaha, selain
ingin menunjukkan bahwa ada alternatif lain dari kapitalisme buas yang di
negeri-negeri Masyarakat Eropa dikritik keras, dengan bentuk ini kami bisa
memobilisasi solidaritas keadilan masyarakat setempat. Kecuali itu dengan
bentuk badan usaha badan usaha begini bagi kami terbuka peluang membuka usaha
lain tanpa usah meminta izin khusus baru dari pemerintah. Jika usaha restoran
ini berkembang baik sehingga bisa melampaui batas hanya menghidupi anggota-anggotanya
dengan syarat minimal yang layak sebagai seorang manusia, bukan tidak mungkin
SCOP Fraternité mengembangkan kerjasama dengan koperasi-koperasi di
Indonesia.
Hanya saja ketika bekerja dan berusaha mengembangkan koperasi di pedesaan
di Indonesia, aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa rusaknya nama
koperasi di negeri kita, betapa sulitnya mengembangkan koperasi. Penduduk
di lapisan bawah sudah begitu tidak percaya kepada yang namanya koperasi.
Selalu diperlukan ketekunan dan waktu untuk memulihkan kepercayaan terhadap
koperasi. Lagi-lagi di sini diperlukan proses pencerahan atau proses pembebasan,
untuk penataan kembali pola pikir dan mentalitas, yang selalu diingatkan oleh
Paulo Freire, pastur dari Brasilia itu. Praktek juga yang meyakinkan aku bahwa
kemungkinan dan harapan tidak tertutup untuk mengembangkannya walaupun dari
pihak pemrakarsa dituntut banyak pengorbanan dan kesabaran.
Merlalui pengalamanku yang serba sedikit di lapangan di Indonesia, aku sering
bertanya-tanya (dan pernah kuungkapkan secara terbuka di depan seminar Gereja
Kalimantan Evangelis) mengapa tidak lembaga-lembaga agama menggunakan kemungkinan
organisatoris atau kelembagaan yang mereka miliki untuk usaha pemberdayaan
tanpa jatuh kepada sektarisme? Indonesianisme dan pemanusiawian manusia, aku
kira akan membebaskan kita dari sektarianisme yang masih saja merupakan penyakit
di negeri kita.
SEMANGAT JERUK PURUT:
Ketika kami sedang bekerja badan, belepotan arang dapur dan debu membersihkan
ruangan serta menata kembali ruangan, beberapa kali orang dari KBRI di masa
Dubes Barli Halim, datang menyaksiakan kami bekerja menyiapkan restoran. Kami
menerima orang dari KBRI itu dengan penuh rasa persahabatan dan tanpa curiga.
Masih kuingat orang yang diutus oleh KBRI itu menawarkan macam-macam kerja
sama jika nanti restoran sudah beroerasi. Dengan kepolosan tawaran tersebut
kami sambut. Antara lain ditawarkan utusan tersebut bahwa ia (baca:KBRI) akan
menyuplai jeruk purut dan lain-lain bahan dari Indonesia. Pada diriku -- yang
mungkin sangat naif -- berkembang suatu bayangan: Akankah melalui usaha produktif
non politik ini kelak berlangsung suatu kerjasama keindonesiaan yang membuka
suasana baru? Dengan bayangan ini maka tawaran jeruk purut itu aku sebut sebagai
semangat jeruk purut. Bisakah di masa Orde Baru semangat jeruk purut ini berkembang
dan diujudkan?
Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Surat ini sementara kuakhiri di sini dan akan kulanjutkan lagi pada surat
mendatang.
Salam hangatku selalu untuk Kakang berdua,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (7)
D- DAY: 14 DESEMBER 1982
Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Apakah persiapan tekhnis kami sudah siap untuk pembukaan usaha yang terutama
bermaksud menciptakan kerja untuk diri sendiri dan menjunjung harga diri sendiri
ini?
Secara tekhnis persiapan ruangan memang kami sudah siap. Tapi dari segi tekhnis
pengetahuan, seperti pengenalan terhadap anggur (wine), bagaimana menyimpan
anggiur, nama-nama kopi, teh, membuat aperitif (minuman perangsang hasrat
makan), dijestif (minuman usai makan), menampilkan makanan, cara menyajikan
makanan di meja secara profesional, dan tekhnis kerestoranan yang lain, kami
sama sekali masih buta dan masih buta sama sekali. Yang kami ketahui benar
tidak lain bahwa kami harus hidup tanpa tergantung siapapun, menjunjung harga
diri dan nama Indonesia serta untuk itu restoran harus hidup. Dari kenyataan
ini, saya ingin menanyakan tanggungjawab orang yang mengatakan (jika ada!)
bahwa Restoran Indonesia ini bobot politik anti Soeharto-nya lebih menonjol
daripada masalah "survival" dengan menjunjung harga diri dan nama
Indonesia.
Tanggungjawab kata-kata ini (jika ada) aku tuntut benar karena jika ada tuduhan
demikian aku anggap sebagai ketidak pahaman akan masalah orang terusir dan
ketidak hati-hatian dalam menggunakan bahasa ibu. Jika ada kata-kata demikian
diucapkan, aku ingin tanyakan siapakah yang mau menangani masalah kehidupan
kami jika bukan kami sendiri?! Jika juga ada kata-kata demikian telah ditulis
atau diucapkan maka aku ingin tanyakan kepada orang itu, apakah kami harus
hidup menurut keinginan sipengucap kata-kata yang dalam kenyataan tidak berbuat
apa-apa untuk kami? Apakah dengan mengucapkan kata-kata tersebut kami hanya
boleh mati dan tidak boleh hidup serta mencintai Indonesia dan menjadi Indonesia
seperti pihak yang tidak juga menyelesaikan sampai sekarang masalah orang
"klayaban" atau yang masih mendapat banyak kesulitan karena eks
tapol? Keindonesiaan dan nasib Indonesia , aku kira mungkin bisa relatif gampang
(aku gunakan istilah "relatif" karena aku tidak percaya adanya "kesempurnaan"
dan atau "kemutlakan") diselesaikan kalau kita meninggalkan sektarianisme
(entah di bawah selubung apapun) dalam ujud apapun dan betul-betul menjadi
penganut Indonesianisme.Boleh jadi ada yang ingin bergurau, tapi bergurau
pun dalam kehidupan punya muatan tertentu. Tapi gurauan pun sesungguhnya secara
langsung menunjukkan apa siapa kita dan apa yang mau kita ucapkan dengan cara
mencoba menggunakan dalih. Patut dibedakan antara usaha produktif dan sikap
politik seseorang. Tanpa bisa membedakan dua hal ini, usaha produktif dan
sipenulis atau sipengucap kata-kata tidak bisa memilah-milahkan masalah. Dari
segi usaha produktif profesional, usaha itu akan gagal.
Kami sesungguhnya adalah orang-orang yang sudah dihukum mati oleh kekuasaan,
dan di hadapan "hukuman mati" itu kami menjawabnya: "kami ingin
hidup" (We want to live!"). Kami ingin hidup dan menuntut hak hidup
kami tanpa minta belas kasihan karena hidup dan menjadi Indonesia adalah hak
kami sebagai manusia, sebagai anak bangsa dan negeri yang bukan monopoli siapapun!
Tidak juga monopoli partai yang memerintah. Karena hak adalah hak! Jangan
katakan Indonesia negeri demokratik dan memegang teguh "bhinneka tunggal
ika" jika soal hak menjadi Indonesia ini saja tidak bisa diselesaikan.
Pada D Day, 14 Desember 1982, semua tim pendiri dan teman-teman dekat berkumpul
di 12, Rue Vaugirard, 75006 Paris , tempat restoran yang telah kami pilih.
Diliputi oleh rasa keindonesiaan Bung Umar dan aku memasang pengeras suara
di luar dengan maksud melalui pengeras suara itu orang-orang lewat bisa mendengar
bahwa di sini, di pusat Paris ini, Indonesia hadir dan ada! Hanya kemudian
sikap berkelebihan membuat kita bisa buta, kurang pertimbangan. Karena keesokannya
kami ditegur tetangga yang secara sopan berkata: "Wah, kalau senantiasa
terbuai oleh lagu-lagu indah demikian, kami akan lupa kerja". Bung Umar,
saudara tuaku, dan aku jadi terkekeh-kekeh sendiri sambil segera memindahkan
pengeras suara itu ke dalam.
D. Day kami langsungkan tanpa upacara dan pidato kecuali pemberitahuan kepada
teman-teman di jaringan LSM Prancis dan jaringan-jaringan lain. Pada hari
itu Bung Umar yang tulisan tangannya relatif lebih indah dari tulisan tanganku
membuat pengumuman bahwa pada hari pembukaan restoran kami adakan promosi
dan harga khusus.Tentu saja dalam bahasa Prancis.
Semua kami dalam keadaan gelisah memikirkan apakah restoran ini akan laku
dan akan berjalan baik serta bisa menghidupi kami. Kalau tidak jalan bagaimana
kelak kami membayar kembali hutang kami kepada teman-teman yang juga hidupnya
tidak berkelebihan tapi rela meminjamkan uang untuk membantu kami?
Jam 19.00 Restoran Indonesia kami dibuka tanpa upacara kecuali beranda dipenuhi
pengumuman.Yang paling gelisah dan tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya
adalah saudara tua kami Bung Umar. Ia mondar-mandir sambil mengusap muka --
suatu cara khususnya mengungkapkan kegelisahan dan kelelahan serta jarinya
tak pernah lepas dari rokok sekalipun tak dihisap kemudian diletakkan di mana
saja. Aku yang pernah tinggal bersamanya dan mengenal cukup baik memang sangat
memahami saudara tuaku ini.Bagaimana ia dan kami tidak gelisah? Kalau usaha
ini tidak jalan, betapa akan pahit jadinya kehidupan kami? Gaji bekerja bersama
orang lain tidak akan seberapa dan tidak akan mungkin membayar semua pinjaman.
Lalu kawan-kawan yang sudah tua akan hidup dari apa? Kegelisahan Bung Umar
adalah kegelisahan solidaritas dan keresahan manusiawi. Kalau beliau hanya
mementingkan diri sendiri, tentu ia tidak akan gelisah karena ia sudah mempunyai
pekerjaan setara dengan pegawai negeri.
Pekerjaan inipun ia tinggalkan demi kepentingan bersama dan melalui usaha
bersama ini, ia ingin menunjukkan cintanyanya kepada Indonesia dan keindonesiaan
dirinya sekalipun mungkin secara tidak sadar. Tapi justru kalau dilakukan
secara tidak sadar maka ia mempunyai watak keindonesiaan Bung Umar menjadi
tulen! Tentu soal begini, soal keindonesiaan seorang anak bangsa begini tidak
masuk perhitungan penguasa politik --terbukti sampai sekarang kami masih jadi
orang "klayaban". Dari kenyataan ini bisa dipertanyakan kemanusiaan
dan keindonesiaan pemegang kekuasaan politik dewasa ini! Mengingat keadaan
kami sekarang ini pada batinku aku bertanya: Apa gerangan yang ada di nurani
pemegang kekuasaan tentang arti kekuasaan, kemanuasiaan dan keindonesiaan?
Apa gerangan arti Republik bagi mereka?
Aku masih ingat benar di hari 14 Desember 1980 petang itu. Kami semuanya berada
di dapur bertiraikan kain batik. Tamu mulai datang dan kami semua berseru
gembira: "Wah, ada tamu!". Lalu Bung Umar yang gelisah segera keluar
menyambut mereka dengan segala keramahan. Ketegangan belum juga menyisih dari
kami dan kami tutupi dengan sendagurau. Begitu tamu masuk, masing-masing kawan
menempati pos masing-masing. Tamu makin banyak masuk dan semakin bertambah
banyak masuk. Kegelisahan melenyap oleh pemusatan perhatian pada pekerjaan
pertama kami sebagai awak restoran, pekerjaan baru kami. Dunia baru kami.
Menyadari tenaga fisiknya yang tidak sepadan dengan diriku, jauh-jauh hari
sidah kukatakan kepada Bung Umar agar ia memusatkan perhatian kepada pekerjaan
mengajak tamu bicara. Tapi yang namanya Bung Umar, ia tidak segan melakukan
pekerjaan apa saja dalam batas kemampuannya.
Di luar dugaan, hari pertama pembukaan, restoran kami yang berkapasitas 60
kursi itu penuh dan memberikan kami pengalaman pertama yang melegakan serta
memungkinkan kami menertawai diri kami sendiri. Tentu saja dalam pekerjaan
ini kami didampingi oleh Jean-Pierre, kawan Prancis dari resotran koperasi
Le Temps de Ceries.
Kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan telah mengantar kami melalui hari
pertama kehidupan sebagai restoratur dengan senyum lega di bawah alunan musik-musik
Indonesia dari berbagai pulau. Bisakah senyum ini kami pelihara? Berapa lama
gerangan kami akan bisa tersenyum sebagai putra-putri negeri yang "klayaban"?
Kami ingin hidup untuk suatu nilai, untuk mencintai Indonesia dan kemanusiaan.
"Sekali berarti sudah itu mati!" seperti kata penyair Chairil Anwar
walaupun pada diriku sendiri aku ingin suatu kehidupan tanpa mati bukan hanya
untuk hidup "seribu tahun lagi".
Pertanyaan ini muncul di benakku karena hidup adalah ruang dan waktu penuh
dadakan seperti kata penyair Longfellow: "Life is not easy. There is
time to be happy but there is time to be unhappy too". Hidup yang tak
ramah ini adalah kesatuan utuh dari "happy" dan "unhappy".
Ketika hari pertama ini berlalu, malamnya aku teringat pada Thomas Edison
yang berkata: "Di mana ada kemauan di situ ada jalan". Hari pertama
berlalu, apakah benar kami sudah meruntuhkan mitos bahwa "uang adalah
raja?!". Paling tidak hari pertama yang berakhir dengan senyum ini meyakinkan
aku bahwa modal paling berharga adalah manusia! Dengan manusia kita bisa menciptakan
yang tidak ada menjadi ada, yang kecil menjadi besar.
Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Sementara kisah kuakhiri di sini. Sampai surat mendatang. Mudah-mudahan Kakang
berdua tidak bosan mendengar atau membacanya.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (8)
"TAK ADA YANG PERLU KITA TAKUTKAN BILA KITA BERSIMBAH AIRMATA"
Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Ketidaktahuan kami tentang dunia baru restorasi sama sekali tidak menakutkan
kami untuk untuk memulai usaha bersama untuk "survival" ini. Kami
samasekali tidak punya pilihan kecuali bertarung. Pemegang kekuasaan politik
Indonesia sudah menjatuhkan keputusan secara tak semena-mena terhadap kami
untuk tak mungkin kembali dan sampai sekarang belum berusaha merobah keputusan
tersebut. Bahkan pers tulis di tanahair pun ketika kami difitnah, juga tidak
memberikan kami kemungkinan kepada kami untuk memperoleh hak jawab. Sebagai
contoh: Harian Republika Jakarta memuat tulisan yang menyerang Lekra dan Joebaar
Ajoeb almarhum mengirim jawaban tapi segera ditolak oleh harian tersebut dengan
kata pengantar bahwa tulisan itu sudah difotokopie sebagai dokumen tapi tidak
bisa dimuat. Bukan hanya Republika yang bertindak demikian. Bahkan semua tulisan
dari Paris yang mencoba menjawab semua tulisan yang sudah diterbitkan di penerbitan
Indonesia, otomatis tidak bakal dimuat sehingga suara yang terdengar hanyalah
suara dari satu jurusan mata angin. Suara orang-orang di atas mata angin.
Keadaan ini pernah kukatakan kepada Mas Willy (Rendra) dan sebelum meninggalkan
Eropa,Mas Willy menelponku: "Kau terus saja menulis Kus, jangan perduli
dimuat atau tidak!". "Tapi menyakitkan benar -- seperti Mas Willy
katakan di Yogya dulu apabila kita tidak bisa bersuara". Dan Mas Willy
menjwab:"Percuma saja kau berani melawan jika kau menangis!". Aku
jadi teringat akan kata-kata penyair Prancis Baudelaire:"Tak ada yang
perlu kita takutkan bila kita bersimbah air mata". Teringat akan kata-kata
penyair ini yang sejalan dengan kata-kata Chairil Anwar yang menolak segala
tabu dan berani menerjang hutan-hutan terlarang, pada diriku ketidaktahuan
kami akan dunia baru restorasi sama sekali tidak membuat diri gentar tapi
sebaliknya merangsang tekad. Tidak tahu bukanlah kesalahan asal kita tahu
bahwa kita tidak tahu dan mau tahu.Demikian pula bodoh bukanlah kesalahan
asal kita tahu kita bodoh dan ingin belajar. Kesalahan pun adalah hak jika
kita mau memperbaikinya. Coba, adakah dan siapakah di dunia ini yang ketika
lahir serta-merta menyandang gelar profesor doktor dan berjabatan presiden
atau menteri. Siapakah yang begitu lahir tahu segala dan dalam perjalanan
hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan?
Sadar akan ketidaktahuan dan kebodohan di bidang baru ini, aku berusaha belajar
maksimal dari Jean-Pierre Tupin dan Chapsal yang ahli anggur (wine) yang membantu
kami dengan sukarela. Aku belajar mengurus anggur, belajar membuat aperitif
dan tekhnik menyuguhkan dijesif. Menanyakan fungsi dijestif dan aperitif bagi
kesehatan secara nalar. Segala seluk-beluk wine kupelajari secara rinci dari
Monsieur Chapsal yang jika datang ke restoran pasti berbincang-bincang lama
sampai menuturkan kisah pribadi bagaimana ia bertemu dengan istrinya di suatu
pesta dansa terbuka di kampungnya dan pacaran. Ke manapun ia berpergian, Chapsal
selalu saja mengirimku selembar dua kartupos tanda persahabatan. Masalah anggur
menjadikan kami bersahabat dekat tanpa perduli perbedaan pandangan kami tentang
sementara soal di berbagai bidang. Chapsal mengajarku bagaimana bersahabat
dalam perbedaan. Chapsal berkulit putih dan aku kuning, tapi perbedaan warna
kulit ini justru menjadikan kami menjadi dua sahabat akrab. Pertemuan dengan
Monsieur (Tuan) Chapsal ini mengajarku juga bahwa sesungguhnya manusia itu
ada di mana-mana. Prasangka dan melihat sesuatu secara sama rata akan menyulitkan
kita menemukan manusia. Pengalaman lebih lanjut dengan orang-orang Prancis
dari berbagai tingkat, membawaku pada kesimpulan: "Mengapa tidak kita
mengeksplorasi dan mempelajari segala kekayaan budaya dan intelektualitas
Prancis yang sangat kaya untuk kepentingan Indonesia?". Sampai sekarang
masih tertancap kuat di benakkku ingatan saban mengenang ucapan Prof. Dr.
Denys LOMBARD almarhum yang adalah sahabat dan guruku sekaligus: "Saya
menyayangkan bahwa kebanyakan mahasiswa Indonesia yang belajar di Prancis
tidak memanfaatkan kesempatan di Prancis untuk belajar dari dan mengenal Prancis
secara maksimal. Mereka hanya mengejar gelar dan itupun sering dengan auto-sensor".
Berdasarkan ajaran Chapsal dan Jean-Pierre Tupin maka kemudian kepada kawan-kawan
di restoran aku secara bergurau tanpa menunjukkan bahwa aku bergurau, sebuah
aperitif yang kunamakan "Palangka Raya". Sayangnya Arief Budiman
yang adalah salah seorang pendukung kuat restoran, ketika datang ke Paris,
lupa kutawari aperitif Palangka Raya ini. Mendengar nama aperitif ini, teman-teman
senasibsepenanggungan di restoran pada melongo menatapku. "Coba deh,
Bung buatkan, aku!", ujar Soejoso. "Baik, tapi Bung tak usah lihat
campurannya. Bung hanya boleh mengatakan bagaimana rasanya". Ketika gelas
aperitif itu kutawarkan kepadanya, Bung Joso tertawa sambil berkata:"Boleh
juga, Bung". "Nah, itulah aperitif Palangka Raya", ujarku.
Kemudian dalam perjalanan restoran, Bung Joso termasuk salahserorang yang
paling kreatif menciptakan aperitif sampai sekarang. Praktek membuat Joso
dari tidak tahu menjadi tahu. Dari bodoh menjadi pandai.
TELEGRAM DARI JORIS YVENS:
Aku jadikan telegram dari Joris Yvens ini sebagai anak judul, Kang, karena
jika Kakang berdua ingat, Joris adalah sahabat dekat rakyat kita sampai akhir
khayatnya pada 29 Juni 1989. Dengan menjadikan telegramnya sebagai anak judul,
aku ingin dengan cara ini memberi penghargaan dan mengenang rasa persahabatan
dan kesetiaannya pada persahabatan itu. Kakang berdua tentu tahu bahwa Joris
adalah seorang Belanda, seperti halnya dengan Pitojo dan Haji Princen almarhum,
ketika rakyat kita berjuang merebut kemerdekaan menghalau kolonialisme Belanda
yang adalah negeri dan bangsa asal mereka, Joris, Pitojo dan Princen justru
berpihak kepada rakyat Indonesia. Joris mengabadikan solidaritas kemanusiaannya
melalui filem dokumenter "Indonesian Calling" sebuah filem tentang
pemogokan buruh Australia yang memboikot kapal-kapal Belanda yang mengangkut
senjata untuk menindas perlawanan rakyat kita. Sikap buruh Australia dan,
Joris ini membawa ingatanku pada kata-kata Julia Kristeva, seorang filosof
dan psikolog Prancis tentang "nasion tanpa nasionalisme". Sikap
mereka ini pulalah yang membawaku pada pertanyaan: Tidakkah etnik dan bangsa
itu hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan kendatipun ia dilahirkan dan
diperlukan sejarah pada ruang dan waktu tertentu. Artinya mereka bersifat
tidak mutlak dan terus berkembang sementara kemanusiaan adalah ruang raya
seperti muara tempat semua sungai bertemu.
Isi telegram Joris yang dengan sangat menyesal tidak bisa hadir karena berada
di luar Paris pada saat pembukaan restoran, sebagai dokumentasi ada baiknya
kusalin lengkap di sini:
"Felicitation pour l'ouverture de votre Restaurant. Regrette impossibile
venir ce soir mais certainement bientôt.Amicalement". Joris Yvens
( Selamat atas pembukaan Restoran kalian. Menyesal tidak bisa datang malam
ini tapi pasti dalam waktu dekat". Salam persahabatan". Tertanda
Joris Yvens.
Sayangnya, sampai beliau meninggal pada 29 Juni 1989, Joris tidak sempat melaksanakan
keinginannya. Yang datang berkali-kali hanyalah istrinya yang Prancis, Madeleine.
Sebelum meninggal Joris sempat menyelesaikan sebuah filem besar dokumenter
tentang Tiongkok berjudul "Kakek Pandir Memindahkan Gunung".
Karena pemihakannya terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia, Joris
berpuluh-puluh tahun tidak bisa kembali ke kampunghalamannya Negeri Belanda.
Baru kemudian setelah sikon berkembang, ia kembali dan pemerintah Belanda
membayar ganti rugi kepada Joris, entah berapa ribu gulden. Dari pengalaman
Joris inipun, aku melihat Kang betapa beratnya mencintai dan berpihak pada
keadilan dan kemanusiaan. Mencintai dan berpihak pada keadilan serta kemanusiaan
diperlukan kesanggupan menggadaikan kepala. Aku kira pengalaman Joris inipun
dialami oleh alm. Haji Princen ketika almarhum kembali ke Negeri Belanda yang
memandangnya tetap sebagai disertir..
Ketika Joris meninggal, Restoran kami telah mengirimkan karangan bunga khusus
atas nama Restoran dan Indonesia. Hanya dari kamilah tentu saja ada karangan
bunga belangsungkawa yang bertandakan Indonesia kepada seorang sahabat besar
dan setia rakyat Indonesia ketika ia meninggal. Sedangkan hubungan kami dengan
isterinya sampai sekarang tetap berlangsung baik. Joris meninggal dengan kecintaan
dan kesetiaan pada para sahabat Indonesianya seperti yang terungkapkan melalui
telegramnya di atas dan yang ia abadikan dalam "Indonesian Calling".
Cinta dan kesetiaan yang tanpa pamrih. Cinta, kesetiaan, persahabatan dan
solidaritas inilah juga yang memungkinkan kami putra-putri "klayaban"
membangun Restoran Indonesia di Paris.
POURBOIR (TIP) RIBUAN FRANCS:
Secara agama, aku adalah seorang Kristen Protestan dan Kakang berdua adalah
Islam. Tapi apakah perbedaan agama ini bisa menghalang persahabatan kita?
Apakah Kristen dan Islam menjadikan kita tidak bisa hidup bersama di negeri
bernama Indonesia? Apakah perbedaan agama ini bisa menghalang diri kita untuk
menjadi satu bangsa? Melalui surat-surat listrik pribadi Kakang berdua, aku
bisa menjawabnya: Tidak! Apalagi jika aku melihat kehidupan kita, bahkan sampai
sekarang di kampungku, sekalipun agama telah dipolitisir sedemikian rupa,
penganut berbagai agama masih hidup rukun dan menyebut diri mereka Dayak.
Agama di kampungku adalah pilihan pribadi masing-masing sedangkan hubungan
manusiawi tidak terganggu oleh pilihan pribadi ini. Tidak sedikit yang Islam
kawin dengan yang Kristen atau Kaharingan dan agama-agama lain. Hubungan manusiawi
adalah hubungan alami. Bening seperti air telaga.
Kebeningan hubungan manusiawi ini juga aku saksikan di negeri di mana kami
berlindung dan dilindungi ketika penguasa negeri menghalau kami bagaikan kami
ini bukan putra-putri Indonesia.
Pada D Day 14 Desember 1982 tidak sedikit teman-teman Prancis yang datang.
Mereka memesan makanan yang paling mahal dan sebagai setiakawan, usai makan
mereka meninggalkan tip (pourboir) sampai ribuan francs Prancis yang waktu
itu tentu sangat tinggi nilainya. Salah seorang yang aku ingat benar yang
telah meninggalkan tip demikian adalah seorang pastur bernama Jean-Quilvaut.
Sikap Jean-Quilvaut diikuti oleh pelanggan-pelanggan lain dan para sahabat
lainnya. Merenungi adanya solidaritas tanpa diminta begini, aku kira keadilan
dan kemanusiaan betapapun mungkin pada tahap awal dan dalam perjalanannya
harus menempuh lika-liku penuh onak dan duri tapi ia, cepat atau lambat, akan
kuasa menghimpun barisan manusia ke pihaknya. Artinya manusia itu tetap hidup
dan tetap ada di planet kecil kita ini. Adanya manusia di bumi inilah yang
membuat harapan dan mimpi mungkin terwujud. Benarkah? Jika demikian mengapa
kita terpenjara oleh sektarianisme yang menghaki kebenaran mutlak pada diri
sendiri tanpa mencadangkan tempat bagi kebenaran pihak lain? Hal-hal di atas
tentu saja sangat mendorong kami untuk mensukseskan perjalanan di dunia baru:Restorasi!
Sementara cerita kuakhiri di sini, Kang. Sampai surat mendatang.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (9)
BELAJAR ADALAH KEGIATAN SEUMUR HIDUP
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Pelanggan yang mengalir terus-menerus memang menggembirakan hati kami sekalipun
kami tidak memasang iklan di manapun oleh karena ketiadaan dana. Kalau boleh
digolongkan kepada kegiatan memasang iklan maka satu-satunya yang kami lakukan
adalah memasang tulisan berhuruf-huruf besar di triplek atau karton di beranda
restoran sehingga terbaca oleh orang-orang yang lalu di jalan Vaugirard --
jalan terpanjang di Paris. Jalan Vuagirard terletak dekat Universitas Sorbonne,
tidak jauh dari gedung Senat, Taman Luxembourg, Teater Nasional Odeon, bioskop-bioskop,
tokobuku-buku dan toko-toko pakaian di Kartir Latin di mana eksistensialisme
dilahirkan. Aku sendiri menganggap mengalirnya pelanggan mengunjungi restoran
kami, terutama karena rasa ingin tahu orang Prancis akan makanan Indonesia
dan hadirnya Indonesia di pusat ibu kota negeri ini sebagai sesuatu yang eksotis.
Eksotisme mengundang pertanyaan yang menandai perangai orang Prancis mulai
dari bocah-bocah hingga ke kakek-nenek yang tercermin dalam kalimat umum mereka
pakai: "Mengapa?" (pourquoi?) et "C'est quoi? (Apa?), "Karena"
(parce que) dan "ya tapi" (oui, mais). Rasa ingin tahu ini bisa
nampak dari pertanyaan "Mengapa dan apa, serta jawaban rasionalnya yang
dicari, ditunjukkan oleh kata "karena" yang keduanya terangkum dalam
kata-kata "ya, tapi!"(oui, mais..!). Kata-kata yang mengungkapkan
wajah mental rakyat negeri ini. Melalui kata-kata demikian terlukis pula bahwa
sikap tersebut bisa berkembang oleh adanya sistem demokrasi. Demokrasi artinya
menentang feodalisme, neo-feodalisme, otoritarianisme, militerisme, paternalisme
termasuk guruisme yang menganggap guru sebagai sumber kebenaran mutlak yang
tak bisa disanggah serta sedikitpun tidak membuka peluang untuk pertanyaan.
Nalar di hadapan isme-isme ini dibunuh. Sedangkan di sini pertanyaan dan nalar
itu dikembangkan dan berkembang.
Mengalirnya pelanggan ke restoran di hari-hari awal begini, aku sendiri melihatnya
tidak lebih dari gejala dan boleh jadi gejala sementara saja yang akan berhenti
atau terus berlangsung jika mereka mendapat jawaban kongkret dari kuriusitas
dan pertanyaan eksotis. Gejala bukanlah hakekat.
Kekhawatiran akan nasib restoran yang menjadi sandaran nyata masalah "survival"
kami, tetap menjadi masalah menggoda perhatian dan pemikiran. Benarkah ia
bisa dijadikan sandaran atau tidakkah kelak ia akan jadi bumerang yang kemudian
menjerat kami dengan hutang tak terbayar?
Kekawatiran dan pertanyaan-pertanyaan demikian mendorong kami. Oleh kekawatiran
ini maka Bung Umar dan aku tidur di kursi restoran selama hampir setahun ditemani
oleh teman dari restoran koperasi Le Temps de Cerries, Jean-Pierre Tupin dan
Aziz, seorang teman mahasiswa jurusan perfileman Universitas Paris VIII dari
Senegal. Sedangkan teman-teman lain pada jam 23.00 dengan alasan bertempat
tinggal di pinggiran kota, meninggalkan seluruh pekerjaan kepada kami. Piring,mangkok,
sendok, garpu bertumpukan di dapur. Sedang di ruang depan, meja masih berantakan
tak tertata. Padahal menurut ketentuan restoran profesional, pelayanan baru
dianggap berakhir jika semuanya sudah tertata rapi kembali. Akulah bersama
Aziz, Jean-Pierre yang menyelesaikan semua itu di antara teguran Bung Umar
yang tak kuhiraukan agar pekerjaan itu ditunda besok. Mengapa mesti menunda
pekerjaan sekarang untuk besok jika bisa dikerjakan sekarang? Demi restoran
ini maka kuliah malamku di Paris VIII kubengkalaikan untuk kemudian pindah
ke l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l'EHESS), pecahan dari
Sorbonne. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bertanya atau menanyakan.
Bung Umar, Jean-Pierre, Aziz dan aku tidur di kursi dan meja restoran hampir
setahun lamanya. Lelah? Tentu saja, apalagi bagi usia orang seperti saudara
tuaku Bung Umar. Tapi tidak pernah kudengar ia mengeluh kecuali mengulang-ngulang
teguran kepadaku: "Besok, dan besok saja kerjakan!".
Selama setahun tidur bersama di kursi dan meja restoran, aku banyak sekali
belajar dari Jean-Pierre bagaimana membuat minuman aperitif, disgestif dan
segala rupa ketentuan restoran. Walaupun bukan menjadi ahli, tapi melalui
proses setahun ini pengetahuanku tentang masalah tekhnis dunia restoran berkembang
dari tidak tahu menjadi tahu. Segala rupa pekerjaan kulakukan mulai dari membuat
fond de caisse, memesan minuman, daging, belanja kebutuhan mendesak, membuat
pembukuan sederhana, mencuci piring, mengepel lantai, membantu persiapan dapur....
Dari pengalaman ini aku simpulkan bahwa hampir tidak ada yang tidak mungkin
dicapai dan diketahui kalau kita memang mempunyai kemauan keras dan mau belajar
dengan rendah hati. Belajar merupakan syarat untuk berkembang maju dan ia
merupakan kegiatan seumur hidup. Hanya bersandar pada insting, kita tidak
akan mungkin mengobah situasi ke tingkat perbaikan. Pengalaman semenjak di
Yogya ketika bekerja di Remaja Nasional, ruangan khusus Harian Nasional Yogyakarta
untuk murid-murid Sekolah Dasar, pelajar SMP dan SMA, aku sudah meragukan
arti menentukan dari bakat. Belajar bukanlah pekerjaan sederhana tentu saja.
Ia memerlukan ketekunan dan disiplin serta kesadaran. Lagi-lagi melalui pembangunan
restoran dan proses perkembangan selanjutnya, aku kian mengenal sulitnya berkolektif
dan berkoperasi. Koperasi tidak gampang memecat anggota-anggotanya berbeda
dengan usaha swasta apalagi yang dipunyai oleh perorangan. Semangat koperasi
dilahirkan melalui pendidikan entah dengan kata-kata atau teladan. Oleh karena
keadaan ini maka dalam sistem koperasi bisa saja terjadi adanya anggota-anggota
yang "mencuri kerja" atau "mencuri malas" -- istilah yang
muncul dalam proses kerja di sini -- tapi saban rapat kolektif, orang begini
suka omong besar. Jika tim pimpinan kolektif tidak bijak dan tidak tanggap,
maka usaha koperasi cepat atau lambat akan hancur bermula dahulu dari terus
merugi. Tapi adakah pilihan lain bagi kami dan bagi kita jika ingin maju bersama
kecuali belajar hidup berkolektif? Hipokrisi hanya akan menghancurkan kehidupan
kolektif. Karena itu hidup berkolektif itu kukira perlu belajar dan memaksa
kita untuk terus-menerus belajar, sanggup melihat serta mengkoreksi kesalahan.
Meninggalkan sikap dan semangat kolektif kita akan jatuh pada sikap "mbossy",
"main perintah" atau merasa diri majikan. Boleh jadi ada di antara
teman-temanku yang marah dengan pengungkapan ini, Kang, karena menganggap
aku mempertontonkan bopeng muka kolektif kami. Tapi kata-kata ini kutulis
juga tanpa mengindahkan bahwa aku akan dicerca dengan maksud dan harapan bahwa
pengalaman buruk hidup berkolektif kami tidak dialami oleh kolektif lain dari
anak negeri dan bangsa ini. Pada diriku sendiri, tidak ada kompleks jika ada
yang dengan berbaik hati menunjukkan bopeng pada wajah perangaiku karena kita
memang mahluk sosial dan patut pandai hidup bersama. Hidup bersama pun diperlukan
kemampuan belajar.
Beberapa orang yang pernah turut tidur di meja dan kursi di restoran adalah
teman-teman seperti Prof. Dr. Jomo K. Sundram dari Malaysia, Jose Ramos Horta
-- sekarang menteri luar negeri Timor Lorosae. Aku ingat benar betapa pagi-pagi
begitu bangun sambil mengurus makan minum sendiri, Jomo dan Ramos menyapu
restoran dan ikut kami mencuci piring para pelanggan. Demikian juga dengan
teman-teman lain sahabat Prof. Dr. Husein Ali dari Malaysia -- sekalipun tinggal
di hotel sederhana di sebelah restoran, tidak segan membantu kami menyapu,
mencuci piring dan melayani pelanggan. Kasihsayang, solidaritas dan kehangatan
persahabatan antar anak manusia yang lintas negeri dan bangsa mendorong kami
untuk menang dan tidak menyerah. Hal ini tidak bisa dibeli dan tidak dijual,
Kang.
GAJI:
Bagaimana kami menggaji diri kami sendiri? Dasar kami menetapkan gaji kami
sendiri tidak lain daripada ketentuan pemerintah tentang perupahan minimum.
Sampai sekarang kami berpegang pada patokan gaji minimum yang di sini disebut
SMIC (salaire minimum interprofessionnel de croissance) sedangkan penerima
gaji SMIC ini disebut Smicards. Gaji ini adalah gaji yang dijamin undang-undang
untuk kalangan bawah masyarakat.
Dengan gaji ini maka smicards mempunyai jaminan kesehatan, jaminan hari tua,
jaminan pengangguran jika di PHK-kan, mempunyai syarat untuk menyewa apartemen
sederhana dan jika hemat bisa menabung sedikit saban bulan. SMIC menjamin
untuk hidup layak sebagai anak manusia, dan SMIC ini seperti halnya dengan
satu bulan cuti dibayar adalah buah pertarungan berdarah rakyat pekerja. SMIC
memberi syarat bagi kita untuk hidup hanya pas-pasan. Adalah akan sangat keliru
jika ada bayangan bahwa dengan SMIC kami akan bisa pulang ke tanahair atau
melancong jarak jauh sampai dua kali setahun, apalagi pulang dengan gaya yang
mewah. Bisa pulang ke tanahair sekali setahun saja sudah merupakan upaya yang
diperhitungkan benar sejak awal.
Pada awalnya gaji kami di restoran sama rata. Egaliter. Mulai dari penanggungjawab
sampai ke pelayan ruangan (garçon). Tip, kami bagi bersama. Baru dalam
proses, kami menyadari dan memperbaiki sistem egaliter ini dan membuat perbedaan
antara penanggungjawab, pekerja di dapur dan pelayan di luar. Sekalipun demikian,
perbedaannya tetap tidak tinggi. Tapi bukankah John Rawl -- filosof dan sosiolog
Amerika yang baru saja meninggal, menunjukkan bahwa keadilan (justice) tidak
identik dengan egaliter mutlak?! Untuk bisa pulang ke tanahair sambil menengok
keluarga di Hong Kong, penanggung jawab kami yang tertinggi gajinya di antara
kami pun mesti perlu mendapat bantuan dari keluarga untuk bisa bepergian dengan
anak- istri. Jika hanya bersandar pada gaji di restoran, hal demikian tidak
bakal mungkin ia lakukan. Gaji di restoran pada pokoknya adalah gaji survival
yang tidak memungkinkan diri bermewah-mewah. Apalagi jika disamping membayar
beaya mutlak untuk hidup, kita masih patut menyisihkan jumlah untuk koran,
majalah dan buku. Koran, majalah dan buku bisa ditiadakan jika kita rajin
ke perpustakaan atau berkeputusan meninggalkan sepenuhnya dunia kecendekiawan
dari mana umumnya kami berasal dan berketetapan hidup hanya untuk bekerja
serta hidup asal hidup. Tapi Paris terlalu menggoda dan menggelitik dunia
pemikiran seorang penanya dan pemimpi..
Tidak sekali dua, teman-teman dari berbagai negeri Eropa Barat meminta sokongan
finansil atas nama rakyat Indonesia kepada kami dan kami sulit memenuhinya
dengan menambah pengeluaran dari kantong sendiri. Teman-teman ini menganggap
kami kikir, berobah jadi kapitalistis, tudingan yang terlontar karena tidak
memahami keadaan kami sesungguhnya. Sumbangan bisa datang dari kami hanya
jika kami mencari jalur lain dan atau membuat kegiatan pengumpulan dana. Yang
paling aktif melakukan kegiatan ini sekarang adalah saudara kami Arie.
REPAS & PAGUYUBAN:
Pekerja-pekerja restoran jika makan di restoran saat tidak giliran bekerja,
sejak beberapa tahun, berdasarkan keputusan bersama, pun harus membayar tiga
euros. Bukan gratis. Ketetapan ini kami tetapkan demi kehidupan restoran,
sandaran hidup kami. Makanan yang kami santap di luar jam kerja di restoran
ini kami klasifikasikan sebagai "repas". "Repas" dengan
harga khusus. Dengan sistem ini kami membela usaha produktif dan diri kami
sendiri. Jika kami dalam keadaan sulit, pihak lain paling-paling akan berkata:
kasihan dan kata kasihan ini sama sekali bukan jalan keluar.
Apabila kami mengundang makan teman-teman dan anggota koperasi yang mengundang
teman-teman itu maka restoran akan memberi reduksi harga. Lagi-lagi tidak
gratis. Sebuah restoran Philippina di Roma, pernah bangkrut karena menggunakan
sistem gratisan ini. Tentu saja apa yang kukatakan di atas hanyalah prinsip
umum dan prinsip bukan suatu ketetapan kaku yang tidak bisa berobah dalam
syarat-syarat tertentu.
Lebih jauh lagi, komunitas keluarga Indonesia dan para sahabat yang mencintai
Indonesia di Paris, telah membentuk sebuah paguyuban. Jika ada tamu dari Indonesia,
Paguyuban inilah yang akan mengurus mereka dan membayar makanan mereka jika
makan di Restoran Indonesia dengan harga penuh. Apabila kolektif pimpinan
restoran memberi potongan harga, maka hal itu adalah kebijakan kolektif penanggungjawab
restoran. Tapi secara prinsip, Paguyuban membayar penuh sesuai harga di menu.
Keuangan Paguyuban didapat dari yuran dan sumbangan tak mengikat dari manapun
datangnya. Lahirnya Paguyuban juga berasal dari pengalaman bertahuntahun dalam
menerima tamu dari tanahair atau dari mana saja. Artinya ide ini dilahirkan
oleh kondisi sosial kami di sini.. Bukan lahir dari jenialitas atau datang
dari langit. Dengan begini maka kegiatan restoran dan kegiatan di luar restoran
bisa berjalan semuanya tanpa saling menggerowoti. Pengalaman menuntut kami
untuk bisa mendisiplin dan mengatur diri.
Untuk meningkatkan jumlah pelanggan, sebelum aku kembali ke tanahair, pernah
kudengar adanya ide dari kalangan penanggungjawab dan teman-teman Prancis
untuk membentuk semua organisasi yang tadinya direncanakan bernama "Sahabat
Restoran Indonesia". Anggota-anggotanya terutama sahabat-sahabat Prancis.
Bagaimana kelanjutan ide ini, sampai sekarang tidak pernah kuusut kembali.
Menyimpulkan pengalaman, mengkoreksi kesalahan secara terbuka dalam rapat-rapat
kolektif adalah cara kami belajar menjadi profesional. Suatu usaha produktif
betapapun kecilnya, kami yakini benar patut dikelola secara profesional pula.
Aku jadi teringat akan pepatah Tiongkok: "Kalau ingin tahu rasanya buah
persik harus makan buah persik itu". Inti ide pepatah inilah yang menuntun
kami mengelola restoran koperasi kami di Paris ini.
Dalam kerangka peningkatan kualitas para pekerja secara profesional, sebagai
anggota Federasi Koperasi Seluruh Prancis, rata-rata anggota restoran telah
mengikuti berbagai tingkat dan jenis pendidikan profesional yang diselenggarakan
oleh Federasi Koperasi tersebut.
Jika bulan ini, Restoran koperasi kami sudah berusia 20 tahun, apakah kehidupan
pandak begini juga mengatakan bahwa koperasi masih merupakan jalan alternatif
untuk mengelola hidup dan masyarakat yang manusiawi? Di tengah-tengah sistem
kapitalisme seperti di Prancis, koperasi tetap dan terus berkembang sementara
ketika di Indonesia aku saksikan sistem koperasi ini dihancurkan oleh Orde
Baru sehingga berbicara koperasi di daerah pedalaman pertama-tama kita disambut
dengan sinisme yang menolak. Apakah penglihatanku keliru dan atau kehancuran
demi kehancuran ini memang patut disanjungbanggakan sebagai kejenialan Orde
Baru?! Tapi yang pasti kukira kita patut mencari jalan keluar yang tanggap
budaya, tanggap lingkungan dan situasi demi -- sekali lagi! -- hidup dan masyarakat
yang manusiawi. Perut tidak bisa menunggu dan Indonesia mendesak diselamatkan.
Ide, organisasi dan program yang tanggap dengan mengambil rakyat benar-benar
sebagai poros agaknya sekarang merupakan keperluan yang mendesak. Karena penderitaan
bersifat menyeluruh dan total maka kukira kebangkitanpun patut menyeluruh
dan total pula.
Sampai surat mendatang, Kang.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (10)
"IL FAUT SAVOIR ETRE FORT"
(Harus Belajar Menjadi Kuat)
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Pelanggan terus-menerus mengalir mengunjungi restoran. (Benarkah masakan Indonesia
memang punya pasar di Prancis sehingga mengalirnya pelanggan bukan hanya suatu
gejala?Aku tidak membahas soal ini lebih lanjut, Kang). Apalagi setelah di
edisi minggu sebuah harian nasional "Le Figaro" Paris, keluar sebuah
artikel panjang mengenai Restoran Indonesia yang adalah satu-satunya sampai
hari tersebut di ibukota Prancis dilengkapi foto Bung Sobron berpakaian putih-putih
yang menampilkannya sebagai jurumasak, jumlah tamu yang datang membludak.
Tahun 1980-an termasuk tahun-tahun "jaya-jayanya" kekuasaan Jendral
Soeharto dan Orbanya. Untuk tampil dengan nama sebenarnya kami sangat enggan
apalagi untuk difoto dan disebarluaskan melalui sebuah publikasi. Dalam hal
ini aku perlu mengacung jempol atas kesediaan Bung Sobron yang sangat tidak
berkeberatan untuk melakukan tersebut baik difoto ataupun memberikan wawancara.
Bung Umar sendiri juga sangat enggan dan kalau tampil selalu menggunakan nama
samaran serta menolak untuk di foto. Jangankan memberikan wawancara atau di
foto, saban ada orang Indonesia yang tidak kami kenal masuk ke Restoran, kami
memandangnya dengan mata curiga. Kami memandang Orba itu tidak punya kemanusiaan
dan tidak segan melakukan apa saja untuk menghancurkan lawan politiknya.Orba
tidak bisa dipercayai. Nyawa manusia sama sekali tidak punya arti bagi Soeharto
dan Orba yang oleh sementara orang dipuji sebagai pemimpin dan politisi agung.
Suatu hari pelukis Marah Jibal tiba-tiba datang ke Restoran sebelum jam buka.
Ia langsung saja duduk dan mengawasi semua teman-teman yang lalu lalang menyiapkan
shift service malam (Restoran mempunyai dua service:siang dan malam. Siang
dimulai jam 12.00 sampai jam 14.00, sedangkan malam mulai jam 19.00 sampai
22.30 kecuali akhir pekan sampai jam 23.00). Marah Jibal adalah anggota Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakjat) dan salah seorang pimpinan inti Lembaga Seni Rupa
Pusat Lekra (Lesra Lekra). Tapi dalam Tragedi September 1965 dan seterusnya,
ia dikenal dan dicurigai sebagai "tukang tunjuk" bahkan sampai menjadi
"tukang pukul". Siauw Giok Bie alm. yang turut berjasa dalam pertempuran
melawan Inggris di Surabaya, ikut serta juga dalam melawan serbuan fasisme
Jepang di Tiongkok, adik kandung tunggal Siauw Giok Tjhan (juga almarhum)
-- pimpinan Baperki, mengaku sebagai salah seorang yang pernah digebuk oleh
Jibal. Budiman Sudarsono, mantan pimpinan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)
Pusat melayani Jibal dengan latar belakang pengetahuan ini. Hebatnya lagi,
dalam pembicaraan dengan alm. Mas Budiman, Jibal merasa gagah dengan memperlihatkan
bahwa ia tahu benar alamat kami masing-masing. Aku lalu teringat akan pesan
Jendral Marinir Ali Sadikin yang mengkritikku karena dalam sebuah penerbitan
sederhana: Majalah Kancah, aku mengumumkan alamat benarku. Penerbitan ini
pernah membuat wawancara khusus dengan Bang Ali yang kemudian dikutip dan
disiarkan oleh berbagai pihak serta diterjemahkan ke bahasa asing . "Sekalipun
kau di Paris, tapi petrus (penembak misterius) bisa saja menjadikan kau sasaran",
Bang Ali melalui jalurnya memperingatkan aku. Dari pesan ini aku menangkap
bahwa Bang Ali ingin aku selalu waspada dan berhati-hati dan Orba seperti
Jendral Pinochet dari Cile serta juga terjadi dalam sejarah politik dunia
bahwa pihak penguasa represif tidak segan membunuh lawan-lawan poilitiknya
di negeri manapun. Orba tidak punya nurani. Dengan rasa terimakasih mendalam
atas peringatan Bang Ali ini, aku menasehat diri dengan kata-kata: "Il
faut savoir être fort" (harus belajar menjadi kuat), kata-kata
yang terdapat di ruang paling bawah kantor pusat Kepolisian Nasional Prancis
sekarang ini. Tadinya ruangan ini dijadikan sebagai penjara di mana para pejuang
anti fasis di tahan dan disiksia. Sekarang ruangan tersebut dipelihara dan
dirawat dengan baik oleh pihak kepolisian. Corat-coret yang terdapat di temboknya
juga dibingkai dan dipelihara (Mengapa hal begini tidak kita lakukan di Indonesia?!).
Sehubungan dengan ini, akupun teringat akan pesan saudara tuaku: Joesoef Isak
dari Hasta Mitra: "Kalau kau ditangkap dan disiksa, Kus, sekali-kali
kau jangan ngomong. Kalau kau disiksa, paling-paling kau akan pingsan dan
mati. Tapi kalau kau ngomong, penyesalanmu akan terbawa sampai mati dan tidak
bakal bisa kau tebus. Karena itu pula kau harus lunak dan memahami teman-teman
yang tidak tahan siksa lantas ngomong. Beri mereka pintu keluar!". Terimakasih
Bung Ucop. Aku akan ingat selalu pesan Bung.
Courage!" (beranilah!), demikian pesan para pejuang anti fasis Prancis
yang tertera di tembok-tembok ruang bawah kantor pusat Kepolisian Nasional
Prancis di jalan St. Germain, di tengah kota Paris. Dan bagiku, kata-kata
mereka bukanlah kata-kata kosong, tapi terjemahan ide, tekad dan mimpi mereka.
Lagi-lagi suatu petunjuk bahwa untuk mencintai tanahair, untuk mempunyai mimpi
manusiawi orang harus berani menggadaikan kepala. Lagi-lagi mememperlihatkan
apa hakekat kata dan bahasa.Ini adalah masalah keberpihakan kepada kemanusiaan,
bukan masalah gelar profesor, doktor atau Ph. D -- simbol keahlian yang juga
memang diperlukan oleh tanahair dan bangsa! Tapi apa artinya keahlian kalau
kita tidak manusiawi. Tanpa komitment keahlian membuat kita seperti mesin.
Komitmen diuji dalam kesulitan mandi darah dan juga di hadapan tumpukan dollar
serta rupiah. Pemimpi yang berpihak pada kemanusiaan, meminjam kata-kata sobatku
Arief Budiman, adalah orang yang berani menempuh jalan sepi. Jalan kita adalah
jalan sepi, ujar Arief (Ingin kucatat di sini secara khusus, bahwa jika di
sana-sini terkadang Arief dan aku ada perbedaan pendapat, patut diketahui
bahwa perbedaan itu adalah wajar. Perbedaan adalah manusiawi dan alami! Sering
aku heran, mengapa banyak para pengkritik Arief yang tidak bisa menghargai
keindonesiaan dan rasa kemanusiaan Arief. Aku memprotes ketidakadilan cara
mengkritik dan menilai Arief. Protes yang tidak mengatakan bahwa Arief tidak
boleh dikritik. Kritik dan cara mengkritik memperlihatkan apakah kita bisa
atau tidak membedakan antara musuh, sekutu dan teman. Cara mengkritik pada
galibnya memperlihatkan pemahaman kita tentang hakekat juga adanya).
Mengapa perempuan Prancis,wartawan harian Figaro yang di sini termasuk kategori
koran kanan, ini datang sukarela dan membuat artikel panjang tentang Restoran
Indonesia? Sederhana saja alasannya! Ia telah mengambil anak angkat seorang
Indonesia sejak bayi dan karenanya ia merasa bagian dari Indonesia. Adanya
Restoran Indonesia di Paris dirasakannya sebagai satu kebanggaan. Lalu apa
artinya sikap ini? Bagiku, ia menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah sikap politik
yang memihak keadilan dan kebenaran adalah keadilan. Klasifikasi kiri dan
kanan sering jatuh ke dalam sektarianisme dan kepentingan yang membutakan
serta mengekang.
Kebetulan ketika itu yang "service" siang hanya berdua. Jumlah tamu
berjas berdasi (untuk menunjukkan lapisan masyarakat pembaca harian Le Figaro)
mencapai 60 orang. Sedangkan pengalaman kami masih sangat terbatas. Jean-Pierre
Tupin waktu itu pun sedang berisrahat. Aziz, si Senegal, itu tidak ada. Kami
berdua yang service sungguh-sungguh kewalahan. Rasa sedih dan malu menyelinap
ke dalam diriku karena terasa aku memalukan bangsa dan tanahair. Pada diriku,
diam-diam aku berkata: "Maafkan aku Indonesiaku!" Ya, Indonesia,
kata ini selalu memberiku motivasi dan tenaga. Cinta kepada tanahair, kepada
mimpi adalah sumber kekuatan. Lalu jika demikian apakah cinta Indonesia adalah
suatu monopoli kekuasaan atau orang-orang di atas angin? Mengapa anak Indonesia
dilarang mencintai Indonesia? Pertanyaan ini aku alamatkan kepada pihak kekuasaan
dan kepada semua yang merasa diri Indonesia dan punya rasa keidonesiaan. Bagiku
penindasan, kungkungan dan segala ancaman tidak mengharuskan aku turut menghancurkan
tanahair dan bangsa, tapi menjadi tantangan untuk kian mencintai dan membelanya.
Sejak lama aku digoda oleh pihak-pihak yang ingin membangun "Borneo Merdeka"
dan atau "Dayak Merdeka", tapi aku anggap jalan ini adalah jalan
pintas yang bertentangan dengan "Il faut savoir être fort"
dan "courage" serta "merdeka atau mati!" -- semboyan yang
menghiasi tembok-tembok berbagai kota tanahair ketika melawan kolonialisme
Belanda. Jalan pintas adalah jalan gampang-gampangan! Mengapa kukatakan jalan
pintas? Kujawab dengan pertanyaan: Di mana salahnya konsep Indonesia?! Dengan
semangat dan pikiran ini jugalah dahulu maka pahlawan nasional asal Dayak,
Tjilik Riwut menolak ajakan sobatnya Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan untuk
membangun Dayak atau Kalteng Merdeka. Apa arti kemerdekaan Dayak sebagai negara
dan bangsa sendiri, jika kemudian Dayak dijajah dan ditindas oleh Dayak sendiri?
Konsep pemederkaan hakiki, aku kira inilah yang patut diselesaikan dulu. Sedangkan
etnik dan bangsa -- memang diperlukan oleh sejarah pada tingkat tertentu tapi
ia adalah batasan semu bagi kemanusiaan, keadilan dan kebenaran!
DARI ANCAMAN KE ANCAMAN:
Tahun-tahun pertama, kami mengalami rupa-rupa pengalaman. Beberapa telpon
anonim, datang meminta Restoran harus membayar jumlah tertentu kepada pihak
penelpon. Pascal LUTZ, direktur sukarela restoran (tanpa dibayar sampai sekarang),
yang mengangkat telepon tersebut mengatakan: "Datanglah, kita rundingkan
bersama!". Pascal yang aktivis Amensty International Prancis, dan juga
direktur beberapa asrama imigran Afrika dengan jawaban demikian bermaksud
jika penelpon datang, mereka akan dibawa ke asrama imigran Afrika yang sangat
dekat dengan kami juga. Di situ mereka akan ditanyai jaringan mereka dan tentu
saja kami tidak akan memenuhi tuntutan pembayaran bulanan mereka. Penelpon
gelap tidak juga datang dan tidak lagi pernah menelpon kembali setelah mendapatkan
jawaban Pascal.
Usaha pemerasan lain datang dari entah grup mana. Mendengar adanya kaset-kaset
Indonesia diputar di Restoran mereka ingin menagih pajak untuk itu. Dan lagi-lagi
Pascal Lutz yang menjawab mereka: "Produksi kaset-kaset ini tidak ada
urusan dengan Prancis. Sepeserpun kami tidak mengambil uang Prancis untuk
memproduksikan kaset lagu-lagu ini. Kalian selayaknya berterimakasih kepada
kami yang sedang memperkaya Prancis melalui lagu-lagu ini. Pergilah segera
dari sini!", ujar Pascal di mana Aziz yang dari Senegal berdiri di belakang
dengan pandang tajam mengarah kepada dua lelaki yang meminta uang pembayaran
bulan pembayaran kaset lagu-lagu Indonesia.
Merenungi pengalaman ini aku lagi-lagi merasa pentingnya memberi daya paksa
pada kata-kata. Rakyat kitapun jika ingin menyelamatkan bangsa dan tanahair
dari kangkangan elite busuk patut memberikan daya paksa pada kata-kata pengungkap
konsep adil dan benar serta manusiawi. Memberi daya paksa pada konsep "bhinneka
tunggal ika" dan "indonesianisme"!
Setelah ancaman-ancaman telepon ini teratasi dan tak lagi terulangi, suatu
malam terjadi usaha pembakaran terhadap restoran. Menurut keterangan polisi,
karena akhirnya soal pembakaran (dalam arti harafiah ini) di bawa ke pengadilan
dan Bung Soejoso menjadi saksi dari pihak Restoran, dilakukan oleh grup dari
Partai Front Nasional, Le Pen, yang berkecendrungan neo-nazi dan sangat anti
orang asing..
Karena menggunakan ruang bawah sebagai restoran pun, kami pernah digugat ke
pengadilan oleh pemilik tempat ini. Pemilik Restoran Madras dengan sukarela
menjadi saksi kami dan si penggugat kalah. Hukum dan kesetaraan di depan hukum
memang diusahakan benar dibela di sini. Hukum bukanlah kata-kata dan keinginan
penguasa! Sekarang Jacques Chirac sekalipun menjadi presiden Republik Prancis
tetap digugat atas dugaan bersalah ketika menjadi walikota Paris.
Ancaman yang kami rasakan paling menekan adalah ancaman ketika Politon menjadi
atase militer KBRI di Paris. Pada saat itu kami berkali-kali menerima telpon
gelap dari orang yang menyebut diri sebagai "Komando Jihad". Kebetulan
yang mengangkat telepon itu adalah aku sendiri. Ancaman ini muncul setelah
keluarnya tulisan Arief Budiman di Harian Kompas, Jakarta (Desember 1983)
yang memandang Restoran ini sebagai "kedutaan sesungguhnya". Arief
menulis artikel tersebut setelah kunjungan keliling Eropanya atas undangan
Majalah Kancah, Paris. Artikel Arief ini agaknya menyulut kemarahan pihak
KBRI Paris, yang waktu itu di bawah dubes Barli Halim, termasuk menteri luar
negeri Mochtar Kusumatmadja. Dubes Barli Halim menduga bahwa Restoran Indonesia
sebagai pusat propaganda anti pemerintah" sekalipun terhadap dugaan itu
pihak Kedubes "tidak mempunyai bukti-bukti tentang itu" (UPI, 21
Desember 1983). Wartawan Derek Manangka, yang waktu itu berada di Paris, di
Harian Sinar Harapan, Jakarta, menulis serangkaian artikel menuding Restoran
Indonesia. Untuk berbicara baik-baik dan menjelaskan masalah, Derek Manangka
kami undang tapi beliau tidak mau datang. Untuk itu Joko, menulis sebuah artikel
berjudul "Mereka Menciptakan Pekerjaan Sendiri. Restoran Indonesia di
Paris" (Kompas, Jakarta, 29 Januari 1984) menjelaskan duduk masalahnya
dan sepatah katapun sesudah itu Derek Manangka tidak memberi komentar. Dari
sikap Derek Manangka ini, aku ingin mempertanyakan jati diri dan harga diri
seorang wartawan yang bebas.
Sesudah polemik inilah, maka berkali-kali pihak yang menyebut diri "Komando
Jihad" menelpon ke restoran melakukan ancaman akan "mempetruskan
kami " terutama Bung Umar dan Bung Sobron sebagai adik kandung D.N. Aidit
-- karena adanya kata Aidit pada nama yang dipakai Bung Sobron! -- dan teman-teman
lain. Yang menyebut diri sebagai Komando Jihad itu, merincikan langkah mereka:
Menembak mati orang-orang itu, lalu membawanya dalam karung ke Indonesia.
Agak ke kanak-kanakan memang rincian ini karena apakah sebegitu gampang mereka
keluar dari bandara Charles de Gaulle Paris? Tapi ancaman dan kenalaran memang
adalah soal lain. Aku mengetahui hal ini karena kebetulan selalu akulah yang
menerima telepon ancaman dari yang menyebut diri "Komando Jihad"
itu. Bukan hanya melalui telepon: Bahkan ada seseorang Indonesia (tanpa usah
kusebut namanya) yang khusus datang ke Restoran merincikan langkah-langkah
tersebut dengan berpura-pura berkemauan baik dengan memberi yang disebutnya
informasi. Informasi terkadang sulit dibedakan dengan ancaman.
Untuk menghadapi segala kemungkinan maka kami mengambil langkah-langkah kongkret,
termasuk memberitahukan kementerian luarnegeri Prancis sehingga Restoran Indonesia
langsung berada di bawah pengawasan Kementerian Luar Negeri Prancis.Sedangkan
Patrice de Beer, wartawan dari Departemen Asia, harian Le Monde -- harian
paling berpengaruh di Prancis -- menanyaiku sebagai teman dekat ketika datang
makan di Restoran: "Masihkah ada ancaman terhadap kalian?". "Jika
hal itu terus dilakukan saya akan menelanjanginya di Harian Le Monde",
ujar Patrice. "Karena itu tolong saya selalu diberitahu", lanjut
Patrice sambil memelukku sebelum meninggalkan restoran.
Setelah pengambilan langkah-langkah ini dilakukan maka telepon gelapn yang
mengancam dari yang menyebut diri Komando Jihad itupun lenyap serta-merta.
Ketidaknalaran, ketidakmanusiawian, ketidaan jati diri, kesanggupan menjual
diri demi uang dan kedudukan, menandai periode waktu itu dari pihak-pihak
yang memusuhi kami sedangkan solidaritas manusiawi berbagai pihak memihak
kami secara nyata. Arief Budiman termasuk orang yang gigih membela kami di
hadapan segala ancaman dan tudingan. Arief dengan gagah berkata bahwa ia bersahabat
baik dengan kami ketika ia diinterogasi militer, dan iapun mendesak agar kami
diperlakukan setara dengan anak bangsa yang lain. Kami tidak akan melupakan
para sahabat. Sahabat yang baik adalah sahabat yang datang pada saat berdua
dan dilanda kesulitan. Arief adalah salah seorang dari sahabat demikian yang
penilaiannya bahwa Restoran Indonesia adalah juga "kedutaan" Indonesia
dalam arti yang lain yang kemudian diakui oleh Atase Pers KBRI sekarang, Yuli
Mumpuni (18 Desember 2002). Dua puluh tahun kemudian kata-kata Arief baru
diakui dan dibenarkan. Artinya kalau pada suatu kebenaran, keadilan dan kemanusiaan
kalah, tidak berarti mereka salah tapi karena imbangan kekuatan tidak memungkinkan
ia memperlihatkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaannya. Membaca kata-kata
Mbak Yuli Mumpuni ini, dalam hati aku ingin berseru: Hidup kemanusiaan, keadilan,
kebenaran, solidaritas serta Indonesianisme! Yuli Mumpuni adalah diplomat
jujur dan manusiawi. Sayang Rief (Arief Budiman), kau tidak berkesempatan
hadir pada ulangtahun ke-20 tahun koperasi restoran yang selalu kau bela-bela
ini sehingga kau tidak bisa menyaksikan suasana akrab antara kami dan orang-orang
KBRI Paris. Inikah wajah baru Indonesia, di mana penguasa dan rakyatnya menyatu?
Mungkin terlalu jauh penafsiranku karena perjalanan ke sana masih panjang
kukira .
RESTORAN INDONESIA MEMANGGIL KENANGAN:
Suatu malam aku mendapat giliran service. Aku melayani sebuah meja yang diduduki
oleh dua orang perempuan: yang seorang sudah nenek-nenek dan seorang lagi
sudah setengah baya. Ketika datang ke mejanya dengan tangan penuh talam makanan,
sang nenek berkata: "Tahukah kau mengapa aku datang ke Restoran Indonesia
-- restoran tunggal di Paris sekarang ini?" tanyanya.
Aku memandangnya. Tentu saja tidak, jawabku. "Maukah Anda mengatakan
sebabnya?" tanyaku sambil meletakkan makanan satu per satu. "Aku
dilahirkan di Indonesia, ketika Prancis menguasai Indonesia!", ujarnya.
Kami berdua memandang jauh. Jauh ke masa silam dengan isi kenangan sendiri-sendiri.
Aku membayangkan masa sebelum aku lahir dan hanya mengenalnya dari buku-buku,
sedang sang nenek membayangkan pengalaman nyatanya."Aku datang ke mari
dipanggil oleh nama Indonesia, negeri di mana aku dilahirkan dan tidak lagi
pernah kukunjungi. Dengan kemari tanpa tahu sempatkah aku kembali lagi kemari
aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak lupa negeri kelahiranku yang selalu
bersuara memanggil-manggilku datang". Mendengar keterangannya mataku
memandang jauh menembus tembok-tembok ruangan sampai aku kembali tersentak
ketika ia menanyai: "Kau dengarkah aku?". "Maaf, ya aku dengar
dan sangat mendengar Anda!". Nenek itupun bercerita tentang masa kecilnya
dengan kata-kata yang mengalir tanpa henti. Masih banyak lagi orang-orang
yang datang seperti nenek Perancis ini, terutama orang Belanda yang tinggal
di Prancis -- yang merupakan suatu komunitas tersendiri seperti halnya orang
Amerika Serikat. Kepada sang nenek, lalu aku usulkan agar membaca E. du Perron
yang di sini berjudul : "Pays d'origin" diterbitkan oleh Gallimard,
Paris. "Perron", ujarku adalah sastrawan tiga negeri sekaligus:
Indonesia, Belanda dan Prancis. Perron adalah ujud lenyapnya batas bangsa
petunjuk semunya nasion di hadapan kemanusiaan. Para pelanggan yang mendengar
percakapan kami menjadi pada melirik ke arah kami karena boleh jadi dialog
kami bukanlah dialog biasa antara pelayan dan pelanggan.
Kata Indonesia yang digunakan oleh Restoran Indonesia merupakan suatu seruan
kepada orang-orang yang mempunyai kenangan tersendiri terhadap negeri kita.
Restoran Indonesia dari segi inipun merupakan suatu titik bertemu masa lalu
dan hari ini, antara kenangan dan kenyataan yang terus berkembang. Di Restoran
Indonesia mereka mendapatkan kembali kenangan dan masa lalu mereka. Menemukan
kembali manusia Indonesia. Tidak jarang, orang-orang jenis ini datang membawa
kaset sendiri dan minta kaset lagunya diperdengarkan. Ah kemanusiaan di manakah
batasmu: agama, etnik, bangsa, warna kulit, pesek dan mancungnya hidung?!
Kemanusiaan kulihat sangat menderita sampai hari ini dan tidak betapa gampang
menjadi manusia yang sering diganggu oleh sektrarianisme yang egoois. Agaknya
kita patut belajar untuk untuk bisa menjadi manusia.
Sementara sekian dulu Kang.. Sampai surat mendatang.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (11)
DI SINI ADA INDONESIA,
TAK ADA POSTER POLITIK, KANG!
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Berada di bawah tekanan semacam teror verbal dan kongkret demikian, kami segera
menyampaikan masalahnya ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Prancis yang waktu
itu sudah berada di tangan partai-partai kiri. Aku tidak tahu tindakan dan
langkah-langkah apa yang telah diambil oleh Kemlu negeri suaka kami. Yang
nyata sejak hal ini kami laporkan, maka telepon-telepon gelap dari yang menamakan
diri sebagai "Komando Jihad" dan selalu didahului serta diakhiri
oleh seruan Tuhan Yang Maha Besar, tidak lagi berdering membawakan ancaman
dan seruan tersebut. Boleh jadi Kemlu Prancis tidak ingin pengalaman pencari
dan penerima suaka yang diculik dan dibunuh, terulang terhadap kami. Perlu
kujelaskan bahwa pencari suaka dari Korea Selatan yang seorang pelukis pernah
diculik dari Paris dan dibawa pulang ke Korea Selatan pada waktu negeri ini
dikuasai oleh rezim diktatur militer yang buas seperti Orba. Pencari suaka
dari Cile, Maroko (dikenal sebagai Kasus Ben Barka) dan Afrika Selatan (Kasus
September) dibunuh justru di apartemen mereka. Berdasarkan pengalaman-pengalaman
buruk yang menampar muka pemerintah Prancis begini maka agaknya begitu laporan
kami diterima, Kemlu segera mengambil langkah-langkah tertentu. Tidakkah hal
ini mencoreng wajah Republik Indonesia? Siapakah yang mencorengnya kalau bukan
Republik Indonesia sendiri melalui tindakan-tindakan serta kebijakan-kebijakannya?
Sedangkan di pihak kami, kamipun mengambil langkah-langkah preventif tertentu.
Salah satu tuduhan pemerintah Orba (baca:Kemlu -- melalui suara Menteri Luar
Negeri Mochtar Kusumaatmaja (lihat berita UPI yang aku kutip dalam surat terdahulu)
bahwa Restoran merupakan pusat kegiatan anti pemerintah Orba. Diberitakan
bahwa tembok-tembok ruangan restoran dipenuhi oleh poster-poster politik anti
Orba.
Bagaimana nyatanya? Sampai sekarang, tidak selembar poster politik kecil
sekecil apapun yang terpampang di tembok ruangan restoran. Yang kami pasang
adalah peta Indonesia, di kaca beranda terpampang gambar Garuda Indonesia,
di ruang dalam terpajang bendera sang saka, topeng-topeng Bali, Jawa dan Sunda.
Sebuah gambar besar orang Dayak terpajang di tembok luar yang bisa dilihat
oleh semua orang yang lalu lalang di jalan Vaugirard. Suasana Indonesia akan
segera dirasakan orang yang masuk ke Restoran Indonesia baik melalui lagu-lagu
yang kami perdengarkan, acara-acara budaya yang kami gelarkan secara periodik.
Ketika Amnesty International, CCFD, Cimade yang membantu kami dalam pendirian
restoran ini sama sekali tidak kami pajangkan. Alasan kami bahwa restoran
bukanlah tempat kegiatan politik, tapi usaha produktif untuk menghidupkan
diri kami. Jika dikatakan kami sebagai kolektif Restoran Indonesia dikatakan
berpolitik maka politik itu adalah bahwa kami ingin hidup sebagai anak manusia
yang layak tanpa menyandarkan diri kepada bantuan pemerintah Prancis dan juga
tidak mengharapkan belas kasihan dari siapapun. Politik kami adalah kemandirian
dan menjaga harga diri serta martabat bangsa Indonesia yang kami jadikan nama
restoran ini. Politik itu adalah memperkenal dan mempromosi Indonesia dari
segi budaya. Sejak berdirinya sampai sekarang, politik inilah yang kami terapkan.
Sebenarnya sejak berdirinya kami ingin agar bisa terjalin kerjasama nyata
antara kami dan Kedubes Indonesia untuk melaksanakan politik budaya ini, tapi
baru setelah 20 tahun kemudian setelah hadirnya Adrian Silalahi sebagai Dubes
Indonesia di Paris dan jasa besar Mbak Yuli Mumpuni yang merambah pelaksanaan
keinginan lama ini. Dua puluh tahun, kami menjadi "duta" (menggunakan
kata-kata Mbak Yuli Mumpuni, Andreas Sitepu -- bagian protokoler KBRI -- dan
yang ditulis oleh Arief Budiman 20 tahun lalu, Indonesia tanpa siapapun yang
menunjuk kami, tanpa mengharapkan puja-puji dari siapapun. Dua puluh tahun
pula kami sudah mencoba sebagai putra-putri bangsa dan negeri menggalang persahabatan
dengan rakyat Prancis dan para pelanggan dari seluruh penjuru bumi yang datang
kemari. Rasa persahabatan mereka terekam di dalam hampir 20 buah buku tamu
yang terus saja bertambah jumlahnya. Kepada Dubes A. Silalahi dan Mbak Mumpuni
-- yang tentu saja dibantu oleh perubahan situasi politik tanahair -- selayaknya
kami (atau lebih tepat kukatakan: aku pribadi, karena aku tidak berhak mengatasi
namai teman-temanku! ) mengucapkan terimakasih atas segala prakarsa kedua
diplomat Indonesia ini. Sambil menulis baris-baris ini pula pada diriku terselip
bayangan dan andaian bahwa suatu hari: Mbak Yuli Mumpuni bisa menjadi dubes
Indonesia di Paris. Mbak Yuli adalah seorang perempuan yang cekatan, luwes,
penuh prakarsa dan berani melakukan terobosan-terobosan dalam batas yang memungkinkannya
kendatipun mungkin ia ingin lari mengejar keterceceran oleh masa silam. Melalui
prakarsa-prakarsanya, aku melihat Mbak Yuli Mumpuni yang sesungguhnya juga
adalah seorang penyair selama di Yogyakar
Dengan kata-kata ini, aku ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya aku selalu
mencoba menghindari diri dari cara pandang pukul rata yang kukira berbahaya
dan berdampak pengucilan diri semata yang tidak seharusnya.
Jika selama dua puluh tahun di Paris ada dua alur kegiatan paralel untuk Indonesia yaitu dari pihak Kedubes dan yang lain dari pihak restoran Indonesia, sekarang setelah dua puluh tahun berlalu dua alur paralel itu memperlihatkan gejala pertemuan di muara yang bernama kepentingan Indonesia di bawah ide Indonesianisme partisipatif. Dengan baris-baris inipun aku ingin bertanya: Tidakkah dalam usaha membela kemanusiaan dan menjadi manusia, kita layak pula melakukan manuvre-manuvre yang cerdik demi membuka jalan kerukunan. Bertikai dan memulai pertikaian jauh lebih sederhana daripada mencari jalan kerukunan. Lebih gampang dan sangat sederhana mendorong orang menjadi lawan daripada menarik seseorang menjadi sahabat. Aku tidak yakin suatu usaha raksasa bisa dikerjakan hanya oleh satu dua orang manusia supra (yang tidak ada itu) ataupun hanya dikerjakan oleh satu dua kelompok atau partai politik manapun yang mengaku-ngaku sebagai pelopor. Membenci lebih gampang daripada mencintai!
LARANGAN DATANG KE RESTORAN INDONESIA:
Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Dubes A.Silalahi dengan Mbak Yuli Mumpuni sebagai tenaga pembidasnya -- tentu saja tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden -- akan makin terasa nilainya apabila diingat betapa Kedubes Indonesia di Paris selama hampir dua puluh tahun melarang mahasiswa, diplomat dan orang-orang Indonesia datang ke Restoran Indonesia sekalipun untuk makan. Para diplomat diperkenankan datang hanya apabila jika diundang oleh pihak lain tapi terlarang untuk datang secara berprakarsa. Sekalipun demikian, tidak terbilang jumlah mahasiswa dan orang Indonesia yang datang makan ke restoran ini. Salah seorang mahasiswa asal Tapanuli yang sedang belajar di Marseille ketika datang makan ke Restoran Indonesia dengan marah berkata: "Mosok, makan saja di Restoran ini dilarang. Apa hubungan makan dan politik!". Tidak sedikit pula mahasiswa-mahasiswa ini seusai makan nongkrong sambil ngobrol seperti di warung-warung di tanahair. Sedangkan kami membiarkan mereka dan terus melanjutkan pekerjaan. Sambil mengepel lantai atau melakukan segala persiapan service yang lain, mereka sering kucandai: "Makanan yang kalian santap dan air yang kalian reguk di sini akan mengobah kalian jadi PKI", ujarku, "lalu beasiswa kalianpun diputus". "Kami kemari tidak ada urusannya dengan PKI tapi dengan rendang, sate, semur atau balado", jawab mereka geram sambil menghirup seteguk demi seteguk kopi tubruk di hadapannya di antara asap kretek, aroma khas yang menandai restoran di bawah alunan lagu-lagu Batak, Minang, Maluku dan lain-lain...
Pernah terjadi rombongan 30-an orang mahasiswa Malaysia ingin makan di Restoran
Indonesia. Tapi setelah berkonsultasi dengan KBRI Paris maka niat ini mereka
batalkan karena mereka katakan demi menghormati perasaan KBRI Paris.
Restoran Indonesia adalah sebuah pulau mungil Indonesia dan menawan hati orang
di tengah-tengah segala ragam bangsa yang ada di kota kosmopolitan ini. Pada
waktu itu, orang-orang bisa datang ke Restoran Indonesia tanpa melapor dan
datang ke KBRI Paris. Pulau mungil Indonesia di Paris ini masih bisa bertahan
dan berkembang sampai sekarang tanpa terganggu oleh larangan ini dan itu dari
pihak kekuasaan Orba, bisa berlanjut sambil menjunjung nama Indonesia.
ANAK-ANAK NEGERI YANG TERSIA DAN TERLUNTA:
Selama 20 tahun berdirinya Restoran ini rupa-rupa pengalaman kami alami antara lain dalam hubungan dengan orang-orang Indonesia yang tersia dan terlunta-terlunta di negeri asing. Akan terlalu banyak jika kututurkan semua. Karenanya akan kupilih satu dua peristiwa saja.
Suatu hari seorang lelaki muda kekar bertubuh jangkung berambut pendek. Ia
mencari pekerjaan. Ketika kutanyakan ia dari mana dan bagaimana maka bisa
sampai ke Prancis. Jawabnya ia asal Tapanuli dan tadinya pernah ikut Legiun
Asing -- batalion khusus Prancis yang terdiri hanya dari orang-orang asing.
Semacam tentara sewaan dan terkenal akan daya tempurnya. Ketika datang ke
Restoran, ia katakan ia sudah meninggalkan Legiun Asing dan mencari pekerjaan
sambil mencari jalan pulang ke tanahair. Karena latarbelakangnya tidak jelas
tentu saja kami tidak bisa menerimanya apalagi kami masih berada dalam tekanan
dan sorotan mata KBRI Paris. Kami menyarankan agar lelaki muda itu datang
ke KBRI meminta bantuan untuk memecahkan masalahnya.
Pengalaman lain kami kedatangan tamu Prancis dari organisasi Anti Perbudakan
membawa seorang perempuan muda Indonesia yang lari dari majikan Arabnya yang
ketika itu sedang berobat di ibu kota Prancis ini. Tamu Prancis dari organisasi
Anti Perbudakan itu meminta bantuan salahseorang dari kami untuk menjadi penterjemah
dalam mengurus perempuan TKW dari Arab Saudi ini. Tentu saja kami berusaha
sebisa kami menyediakan tenaga itu sampai segala urusan perempuan muda TKW
ini selesai.
Ada lagi perempuan Indonesia yang terpaksa cerai dari suami Prancisnya karena
sering dipukul. Untuk sementara kami membantu perempuan ini dengan memberikannya
pekerjaan "part-time". Sekarang perempuan Indonesia ini sudah memperoleh
pekerjaan lain dan boleh dikatakan tidak lagi berada dalam kesulitan.
Politikkah ini? Ya, politik kemanusiaan dan solidaritas manusiawi yang juga
pernah kami terima di negeri suaka ini dan di negeri-negeri lain yang pernah
kami lalui dalam perjalanan sebagai anak negeri yang terusir dari tanahairnya.
Solidaritas ini juga pernah kami berikan kepada teman-teman dari Muangthai,
Senegal, Cile, atau mahasiswa-mahasiswa berbagai negeri yang mencari kerja
sambil melanjutkan studi mereka. Nasion jadi kabur batasnya di hadapan kemanusiaan
sekalipun demikian nasion Indonesia yang penuh kemelut sekarang memang patut
diselamatkan dan juruselamatnya adalah putra-putri Indonesia sendiri. Masihkah
Indonesianisme partisipatif itu tersisa pada diri kita?
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Cerita akan kulanjutkan dalam surat mendatang.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (12)
"YO SANAK YO KADANG",
TEGAKKAN NILAI-NILAI REPUBLIKEN!
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Aku tidak akan menceritakan semua apa yang kami alami selama dua puluh tahun menjalankan restoran ini.Terlalu njelimet dan membosankan apalagi kemampuanku bertutur sangat terbatas. Kemampuanku tidak seperti Anton Chekov yang mampu menuturkan hal-hal sederhana menjadi sangat menarik dan serirng membuat kita terkekeh-kekeh, termasuk menertawakan kedunguan diri sendiri. Karena itu aku patut pandai-pandai memilih dari gudang pengalaman 20 tahun itu apa yang kira-kira masih ada gunanya untuk hari ini dan syukur-syukur juga berguna untuk hari-hari lebih jauh. Untuk itu aku tidak ingin melewatkan cerita berikut.
Hari dan tanggalnya tentu tidak penting. Yang jelas Jendral Soeharto masih menguasai negara yang disebut Republik Indonesia pada waktu itu. Sebuah Biro Perjalanan dari Negeri Belanda mengorganisasi kedatangan serombongan kuranglebih 30 orang anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dari berbagai propinsi Indonesia ke Paris. Mayoritas dari mereka adalah anggota-anggota Golkar, partai pemerintah waktu itu.
Untuk makan malam mereka, Biro Perjalanan yang dikelola oleh seorang Indonesia, mengatur mereka makan ke Restoran Indonesia. Tentu saja kami menyambut mereka dengan sangat sekalipun membatasi diri dalam menjawab segala pertanyaan mereka karena Biro Perjalanan tersebut sebelumnya telah memberitahukan kepada kami apa siapa mereka. Kebetulan hari itu, aku turut melayani rombongan istimewa ini.
Melihat kap lampu restoran kami yang berwarna kuning, salah seorang dari mereka berkomentar: "Wah, benar-benar kuning itu ada di mana-mana. Kan demikian, Mas?", katanya. Sambil menyilahkan mereka duduk, aku yang paham maksud lelaki setengah baya ini menanggap harapannya yang memancing ucap: "Secara agama, saya ini seorang Kristen Protestan, Mas. Sebagai orang Protestan, saya mempercayai adanya kelahiran, kehidupan dan kemudian kematian". Mendengar ucapanku itu, pengantar rombongan dari Biro Perjalanan Belanda itu menegurku dengan suara nyaring dalam bahasa Prancis : "S'il te plait! S'il te plait" (Please! Please!) yang mengisyaratkan agar aku tidak melanjutkan komentarku. Sambil menahan ketawa, aku meninggalkan ruangan tanpa sedikitpun menunjukkan perobahan airmuka atau sikap. Aku mengucapkan kalimat itu karena merasa si pengucap pernyataan terdahulu seperti sudah mabuk oleh kekuasaan dan melupakan keberadaan orang lain. Aku merasa si pembuat pernyataan lupa arti negeri, bangsa dan negara bahkan hakekat partai politik itu sendiri.
Ketika berdua saja, sang pengantar rombongan meninju ringan bahuku: "Lho, memang kurangajar. Kau tahu mereka adalah orang-orang Golkar", ujarnya. Aku ketawa dan mengajaknya minum calvados seseloki sebagai digestif seusai makan. "Emangnya kalau sudah Golkar dan jadi partai pemerintah lalu boleh bersikap dan berucap sembarangan", jawabku. "Tapi bisnis jangan dicampuri politik, dong!", ujarnya. "Lho, memang kurang ajar!", katanya lagi. "Ya, kau benar, tapi aku tidak tahan melihat keangkuhan sikap orang di atas angin", balasku lagi.
Setelah KBRI Paris tahu bahwa rombongan tamu anggota DPRD makan di Restoran Indonesia, Biro Perjalanan dari Negeri Belanda itu ditelepon diperingatkan agar tidak mengulangi pengaturan demikian lagi terhadap tamu-tamu Indonesia. Nalarkah kebijakan ini?
Kisah lain: Akupun pernah mengusir tamu yang berjas-berdasi ketika tamu itu mengatakan bahwa makanan yang kami suguhkan seperti makanan anjing. Menjawabnya kukatakan: "Karena tuan menyantap makanan anjing, sebenarnya tuan tidak lebih dari anjing itu sendiri, dan restoran ini terlarang bagi anjing. Maka silahkan tuan keluar sekarang juga. Kami tidak menuntut bayaran dari anjing". Tapi lelaki berjas-berdasi dari Spanyol itu terus saja makan hidangan yang dikatakannya sebagai makanan anjing. Ketika selesai makan, kukatakan lagi: "Anjing tak usah kembali kemari!" dan kulihat wajahnya merah malu.
Belajar dari pengalaman ini semua maka dalam buku tamu kami cantumkan patokan-patokan kesopanan bagi para pelanggan dan juga prinsip-prinsip kami. Benar kami memerlukan uang, tapi bukan karena uang kami sukarela mengorbankan harga diri dan martabat kami. Kami hadir di sini, suka atau tidak suka mewakili sebuah bangsa dan negeri di samping memang bermartabat. anak manusia seperti siapapun. Partai pemerintah atau siapapun, tidak kami izinkan menghina kami walaupun mungkin pada waktu tertentu mereka berada di atas angin.
Karena kami dilihat sebagai pekerja restoran, tidak sedikit orang Indonesia yang memandang rendah kami dan sikap ini hanya kami tertawakan dalam hati. Pikirku, kalau orang-orang ini tahu bahwa dari segi pendidikan, para pekerja restoran ini tidak kurang taraf pendidikan apalagi pengalaman dari mereka sendiri yang tentu saja lebih berada dari kami , apakah mereka tidak akan malu ketika menyadari nilai sesungguhnya diri mereka? Sebab pada suatu saat, tidak sedikit dari pekerja restoran ini yang secara pendidikan berjenjang S1 dan bekerja sambil belajar untuk memperoleh jenjang lebih tinggi. Prinsip belajar sambil bekerja adalah sangat umum di sini. Tidak sedikit tamu-tamu kami tercengang apabila kami melayani para pelanggan dengan bahasa-bahasa ibu para pelanggan itu sendiri seperti: Spanyol, Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, Tionghoa, Albania, Korea, Ceko, Vietnam dan lain-lain tanpa usah kami cantumkan di papan pengumuman khusus seperti yang dilakukan oleh tidak sedikit restoran lainnya.
Apabila ada pelanggan yang meremehkan pekerja restoran, bagiku sendiri, kupandang sebagai sikap orang yang tidak paham arti kerja badan dan arti kerja secara umum bagi perkembangan masyarakat.
Dalam hal ini, bisakah Kakang berdua bayangkan, bagaimana kami bekerja di dapur atau apa yang kami perbincangkan di ruangan sambil menunggu tamu datang? Untuk melukiskannya aku ingin menyitat kata-kata alm. Ali Sugiharjanto -- mantan direktur Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, yang sambil kuliah juga pernah bekerja di restoran ini. Bung Ali yang ketika itu bekerja bersamaku mengatakan : "Aku kira tidak ada restoran di dunia ini di mana para pekerjanya sambil bekerja di dapur atau di mana saja bicara tentang puisi, prosa, politik, filsafat, sosiologi, antropologi, dan lain-lain soal serius". Bayangkan pula bahwa apabila Rendra, Sitor Situmorang atau Radar Pancadahana datang, tidak aneh jika usai makan kami saling membaca puisi. Pekerja restoran membaca puisi sendiri! Di ruangan depan restoran sampai sekarang masih terpajang tanda mata Rendra kepada restoran berupa petai tiruan. Sedangkan kawan-kawan Papua meninggalkan lukisan rakyat Papua. Orang-orang Suriname dan Kaledonia Baru turunan Jawa pun berbuat demikian. Orang-orang ini -- berapa turunan pun mereka di rantau tetap merindukan Indonesia -- dan di Restoran Indonesia mereka menemukan Indonesia serta kerinduan mereka yang terpendam. Sayangnya, Orba sangat banyak membuat putra-putrinya, sangat banyak menterluntakan putra-putrinya sedangkan sampai sekarang pemerintah Indonesia sangat tidak memperhatikan nasib mereka yang terlunta tapi cinta Indonesia mereka tetap menyala ini. Aku menggugat ketidakadilan ini, Kang!
Kami memang pekerja kasar. Kami memang kuli! Kuli dari diri kami sendiri! Tapi kami menjunjung harga diri dan martabat bangsa dan tanahair di tengah segala kesulitan yang kami hadapi. Ditempa oleh segala kesulitan dan menghadapi bersama-sama segala kesulitan ini kami menjadi seperti satu keluarga -- boleh jadi hubungan kami lebih dekat dari saudara kandung sendiri. Tapi justru hubungan begini pula yang menyebabkan kami sering bertengkar sangat sengit. Hanya saja setelah bertengkar sengit seperti tidak terdamaikan, dalam beberapa menit atau jam kemudian, kamipun rukun kembali seperti tidak terjadi apa-apa .Meminjam istilah orang Batak: "pohon bagesek karena dekat!" . "Bagesek", tidakkah masalah ini manusiawi? Merenungi kedekatan hubungan kami -- baik dengan pekerja lama ataupun baru dari berbagai generasi serta asal etnik -- pertanyaanku: Mengapa kami bisa begitu dekat dan merasa sesaudara padahal tidak ada hubungan darah apapun atau sedikitpun? Apakah arti hubungan manusiawi dan berbangsa? Umar Said yang Madura dan aku yang Dayak, mengapa kami bisa menjadi saudara? Hubungan kami bukanlah "dudu sanak dudu kadang" tapi sudah menjadi "yo sanak yo kadang". Dari sini aku kira hubungan orang sebangsa pun bisa menjadi begini, hubungan manusia sejagad pun bisa begini asal menggunakan hubungan kesetaraan manusiawi, asal sama-sama menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keluar dari sektarisme yang selalu cupet itu sekalipun menggunakan nama Tuhan. Bukankah atas nama Tuhan sering dilakukan pembantaian kalap? Bukankah atas nama Tuhan juga di sini kami pernah diancam dan diteror -- sekalipun secara verbal?! Dan bukankah karena jusutru sikap keterbukaan manusiawi anti kecupetan maka kami bisa menjalin hubungan akrab dengan Gus Dur, termasuk dengan Mbak Yuli Mumpuni yang atase Pers KBRI Paris dan lain-lain?
Yo sanak yo kadang, aku kira perumusan Jawa yang memberi arah bagi hubungan
antar anak manusia, bukan hanya terbatas pada anak negeri dan bangsa bernama
Indonesia. Nah, tentang kemelut negeri sekarang, tidak mungkinkah dengan semangat
yo sanak yo kadang yang sejalan dengan nilai-nilai republiken bisa kita tanggulangi?
Etnisisme ataupun separatisme, juga sektarianisme, kukira akan merasa diri
malu berada di hadapan semangat ini. Prasangka politis apalagi! Tapi semangat
yo sanak yo kadang ini tidak berarti menutup kebenaran justru sanggup mengatakan
benar terhadap yang benar dan salah pada yang salah. Dari sini kukira bisa
diharapkan kerukunan nasional. Maka dengan semangat dan ide yo sanak yo kadang
mengapa tidak kita
ungkapkan kebenaran dan tegakkan nilai-nilai republiken!? Di Restoran Indonesia,
selama dua puluh tahun semangat dan ide yo sanak dan yo kadang ini tumbuh
dan berkembang. Keindonesiaan kami menemukan dan mematangkan dirinya.Sekalipun
demikian aku tahu bahwa perjalanan masih panjang dan sangat panjang menuju
batas malam serta "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh"
yang sangat panjang itu pula.
Sampai surat mendatang Kang.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (13)
WILAYAH BUMI KEMANUSIAAN ITU
SELUAS CAKRAWALA
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Kepada seorang pelanggan kami berkulit hitam yang datang dengan istrinya
juga berkulit hitam -- karena mereka memang berasal dari Pantai Gading, Afrika,
negeri utama penghasil coklat dunia -- kutanyai dari mana mereka mengetahui
dan mengenal Restoran Indonesia. "Dari Antenne 2", ujarnya. Antenne
2 adalah salah satu dari enam atau tujuh terusan TV Prancis. "Saya melihat
laporan panjang tentang Restoran Anda dari situ dan sejak itu saya niatkan
benar jika ke Paris, akan ke mari.. Sekarang keinginan tersebut sudah saya
ujudkan", lanjut lelaki hitam tersebut. "Mudah-mudahan kami tidak
mengecewakan Anda karena sering terjadi bahwa bayangan nampak lebih besar
dari pohon", ujarku. "Anda boleh percaya bahwa istri saya dan saya
menyukai makanan Indonesia. Laukpauk bersantan dan pedasnya cabai, rasa umum
dalam masakan Afrika kami dapatkan pada masakan Indonesia. Pada masakan Indonesia
kami rasakan bau matahari Afrika, harum tetumbuhan benua kami", ujar
lelaki hitam itu lagi. "Apakah ini petunjuk bahwa rakyat Afrika dan Indonesia
itu memang bersaudara?", lanjutnya sambil memegang tanganku dengan lembut.
"Fosil manusia tertua memang terdapat di benua Afrika, dan saya kira
fosil tertua itu membenarkan Anda bahwa manusia pada dasarnya memang bersaudara",
jawabku. Kamipun melanjutkan saling tukar cerita sekalipun sering terpotong-potong
oleh pekerjaanku melayani tamu-tamu lain. Sedangkan tamu-tamu di meja tetangga
lelaki Afrika itu sesekali meningkahi dialog kami. Bermula dari dialog-dialog
begini tidak sedikit aku mendapatkan tamu-tamu yang dalam perkembangan selanjutnya
menjadi sahabat akrab sampai sekarang.
Restoran jadinya seperti jembatan yang mengantar anak-anak manusia dari berbagai
benua dan negeri untuk saling bertemu, berkenalan dan menjadi sahabat. Oleh
rasa persahabatan mendalam inilah misalnya maka secara periodik Sini Cedercreutz
dan Michael yang direktur perusahaan kertas Finlandia di Prancis, menyuplai
kami dengan rupa-rupa kertas keperluan restoran berkualitas sangat tinggi.
Sini dan Michael yang direktur itu mengantar dan mengangkat sendiri kertas-kertas
tersebut untuk kami. Aku namakan kertas hadiah ini sebagai kertas persahabatan
dan rasa kemanusiaan dari Finland. Persahabatan kami dengan Sini dan Michael
berkembang sangat dalam sampai-sampai satu dari kunci rumah mereka, mereka
tinggalkan pada kami. Kapanpun kami bisa datang dan tinggal di rumah mereka.
Sedangkan Didien salah seorang anggota tim penanggungjawab restoran sering
membuat nasi uduk, masakan ikan ala Dayak kesukaan Michael. Tidak hanya itu,
dalam menghadapi soal-soal sangat pribadipun kami selalu saling bantu. Kami
akhirnya berkenalan dengan seluruh keluarga Sini dan Michael di Finlandia.
Saban Sini datang dari Finlandia, ibunya selalu mengirimkan kami sesuatu.
Lagi-lagi dari hubungan ini, aku melihat bahwa kemanusiaan itu sebenarnya
berwilayah jauh melampaui pagar-pagar perbatasan negeri dan bangsa, apalagi
etnik yang kemudian nampak jadi sangat cupet. Bahwa kemanusiaan dan kasihsayang
itu luas seperti cakrawala, seperti samudera di mana sekian banyak sungai
bermuara. Kemanusiaan itu bagaikan samudera yang untuk mencapainya patut melintasi
lika-liku tanjung dan rantau sungai.
Ada sahabat setia kami yang lain lagi. Jean-Claude namanya. Seorang lelaki
60an tahun, berasal dari Prancis Selatan sehingga kalau ia bicara aksen selatannya
sangat menonjol yang membuat kami geli dan iapun jadi tertawa menyaksikan
kegelian kami. Ia adalah pensiunan direktur sebuah kantor pos cabang di Paris.
Jean-Claude kami kenal melalui restoran dan sejak berdirinya restoran 1982.
Mula-mula ia datang sendiri di hari-hari pertama restoran buka. Sejak itu
Jean-Claude terkadang hampir saban hari datang, paling tidak dua kali seminggu.
Begitu datang ia selalu masuk ke dapur dan berbincang sebentar dengan teman-teman
di dapur setelah menyapa semua orang di luar. Sikap Jean-Claude yang langsung
masuk dapur ini menjadi perhatian langganan lain dan meninggalkan dampak istimewa
yang positif kepada para pelanggan. Sikap Jean-Claude merupakan bahasa isyarat
tersendiri dalam dialog bisu dengan para pelanggan yang datang.. Teman-teman
di dapur selalu menyuguhkan sesuatu yang istimewa untuk Jean-Claude berbeda
dari yang seharusnya. Demikian juga teman-teman yang bekerja di luar dapur.
Kepada Jean-Claude selalu disediakan sajian khusus berupa digestif kesukaannya
yaitu arak dan sesuai ketentuan bersama kepada Jean-Claude selalu ada reduksi
harga. Hubunganku pribadi dengan Jean-Claude pun berkembang sehingga ia sering
kuundang makan ke apartmenku, apalagi tadinya kami memang tinggal di kartir
yang sama: Paris XVIII. Ketika aku berada di Palangka Raya, Jean-Claude sering
menelponku sekedar menanyakan kabar. Sedangkan seorang teman dari Bali tanpa
malu-malu karena sudah merasa demikian dekat mengusulkan secara serius kepada
Jean-Claude yang membujang sampai sekarang agar kawin dengan saudara perempuannya!
Pada acara-acara khusus serta terbatas yang diselenggarakan oleh restoran,
Jean-Claude selalu diikutsertakan sebagai "orang dalam" kami bahkan
sering ia kami minta bicara atau pidato di hadapan para pelanggan untuk menambah
kata pengantar yang kami berikan.
Lelaki lain yang juga bujangan yang menjadi sahabat sangat dekat kami adalah
Serge Senez, berlatarbelakang pendidikan kimia, seorang Prancis kelahiran
Marseille, turunan pejuang anti Franco, fasis Spanyol itu.. Orangtua Serge
mengungsi ke Prancis seperti halnya dengan ribuan kaum republiken Spanyol
lainnya ketika mereka dikalahkan oleh serdadu Franco yang disokong Hitler,
dan kemudian meninggal di Prancis Utara. Saban bermobil dalam perjalanan ke
Negeri Belanda atau Belgia, Serge dan aku selalu singgah ke makam ayahnya.
Teman-teman dekatku dari Jepang, Indonesia atau negeri-negeri lain sering
menginap di rumah Serge karena apartemenku terlalu kecil untuk menampung teman-teman.
Sedangkan Louis Joinet, penasehat hukum Perdana Menteri Prancis Maurois dan
Fabius kemudian menjadi salah seorang tokoh penting di Komisi HAM PBB, saban
lewat Kartir Latin di mana restoran kami terletak, selalu singgah, walaupun
hanya sebentar, sekedar menyalami semua teman dan seperti Jean-Claude langsung
juga masuk ke dapur.
Nama lain yang patut kusebut namanya adalah Paulette Giraud dan Pascal Lutz
yang turut mendirikan koperasi ini.
Pascal Lutz selama 20 tahun menjadi direktur koperasi kami -- karena kami
sebagai penerima suaka politik pada tahun 1982, secara hukum tidak berhak
menjadi menduduki jabatan direktur. Selama 20 tahun Pascal bekerja dengan
kami tanpa mau menerima imbalan sepeserpun. Dengan perhitungan realistis,
teman-teman mulai mengambil kewarganegaraan Prancis dan sejak itu posisi direktur
atau wakil direktur, secara hukum bisa kami pegang sendiri secara resmi. Pascal
tadinya adalah aktivis LSM Frères des Hommes dan Amnesti Internasional.
Dalam kegiatan bersama di Amnesti inilah kami berkenalan dan menjadi sahabat
dekat sampai sekarang. Sedangkan Paulette tadinya aktif di LSM Katolik, INODEP
kemudian di lembaga penelitian Centre Lebret -- salah satu kontak Gus Dur
di Paris.
Dalam hal pengelolaan, kami dibantu oleh tenaga profesional, Jean-Sandra,
yang juga sahabat dekat kami.
Tidak bisa kuderetkan semua nama-nama para sahabat non Indonesia kami yang
kami kenal melalui restoran yang tanpa pamrih membantu kami mensukseskan usaha
produktif ini dan untuk ini aku minta maaf kepada mereka karena siapapun dari
kami tidak bakal melupakan jasa serta rasa persahabatan mereka.
Melalui kegiatan usaha produktif koperatif ini, aku pribadi dididik untuk
mengenal lebih dalam lagi arti solidaritas, kebersamaan, dan makna kemanusiaan
serta humanisme yang wilayahnya melampaui batas-batas sempit etnik, bangsa,
negeri dan negara. Melalui kegiatan usaha produktif koperatif ini pula, aku
mempunyai kepercayaan besar bahwa pemanusiawian bumi kehidupan adalah perspektif
yang bukan khayali sekalipun memang sangat tidak gampang apalagi perspektif
itu berada jauh di balik lautan awan sistem dominan di mana manusia memakan
manusia. Perspektif itu adalah matahari yang memang ada dan tetap ada sekalipun
terkadang terlindung kegelapan awan hitam yang gampang membuat orang hilang
harapan. Demikianpun aku memandang tanahair kampunghalaman. Jika hidup tanpa
harapan, mimpi dan kepercayaan diri, apakah kita bisa melangkah terus memberi
arti pada setiap helaan nafas? Saban memandang perspektif ini aku merasa adanya
kemestian untuk berpacu matahari sebelum senja tumbang menjadi malam hayat.
Dan kepada generasi di bawahku ingin kusisipkan pertanyaan di antara baris-baris
ini: Siapakah penanggungjawab timbul tenggelamnya negeri ini?! Dalam hal ini
aku teringat akan kata-kata seorang pemikir-penyair Asia yang mengatakan bahwa
"dunia ini memang milik bersama kita, tapi pada analisa penghabisan dunia
ini adalah milik kalian. Kami seperti matahari senja menjelang malam sedangkan
kalian seperti matahari jam delapan sembilan pagi". Matahari jam delapan
sembilan pagi itu bisakah mengirimkan cahaya ke segala penjuru raya kehidupan
serta tanahair jika ia menggantung di sebuah tempurung mungil?
Sedangkan restoran sederhana ini sendiri yang lahir dari mimpi, tidak lain
dari anak kandung yang diasuh kebersamaan, solidaritas dan cinta kemanusiaan
anak berbagai bangsa yang mencakrawala.
Sekian dulu, Kang.Sampai suratku mendatang.
Salam hangatku selalu,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (14)
INDONESIA DI BERBAGAI TERUSAN TV PRANCIS
Kang Syaikul dan Kang Lutfhi yang baik,
Ketika menulis baris-baris ini, terlintas juga di benakku suatu teguran.
Teguran dari diri sendiri: "Ah, Kusni, kau masih saja melanjutkan tuturan
tentang Restoran Indonesia, sementara banyak soal besar lainnya terus berlangsung
di hadapan mata dan orang sibuk berakhir tahun menyongsong Tahun Baru 2003".
Tapi seperti sering kutulis bahwa bukan kebiasaanku melakukan sesuatu secara
tanggung-tanggung, demikianpun aku ingin terus menulis tentang Restoran Indonesia
ini sampai selesai sambil sekaligus menyampaikan harapan terbaikku kepada
Kakang berdua, kepada semua sahabat baik di KMNU, Wanita Muslimah dan di mana
saja saat kita bersama-sama menyongsong Tahun Baru 2003 ini. Tahun 2002 segera
berlalu artinya usia kita bertambah lanjut seiring dengan perjalanan waktu
yang tak pernah perduli pada hasrat kita untuk "hidup seribu tahun lagi"
atau lebih seperti keinginanku sendiri, sekalipun pikiran dan hati kita digalaukan
oleh kemelut demi kemelut tanpa ujung sebagai konsekwensi wajar saat kita
memilih dan mencintai kehidupan serta menolak bunuh diri. Hanya saja akupun
sadar tidak otomatis bertambahnya usia membuat kita kian matang dalam berpikir
dan bersikap. Bisa saja terjadi kita tambah gila dan kian terkurung oleh kecupetan
dan kehilangan kemanusiaan. Kian tak enggan meledakkan bom di mana-mana atas
nama Tuhan Yang Maha Besar , mengucilkan orang lain sesama manusia sebagai
bukan anak manusia yang setara. Kian membuat batasan ini dan itu sehingga
membatasi orang mengungkapkan diri secara leluasa. Mengucapkan harapan kukira
di dalamnya mengandung kesiapan sikap menghadap paling tidak dua kemungkinan:
yang baik dan buruk. Mana dari keduanya yang akan dominan ditentukan oleh
banyak faktor. Sedangkan ketika mengucapkan kata sifat "terbaik"
berarti aku menginginkan yang positiflah yang dominan. Untuk bisa terwujud
dominasi positif tersebut, tidakkah di sini dari kita masing-masing, baik
secara individual maupun secara kolektif diharapkan kemampuan menarik kesimpulan
dari pengalaman dan perjalanan waktu yang sudah berlalu sehingga bila perlu
akhirnya kita bisa menertawakan ajal, diri sendiri dan memenangi kehidupan?
Kalau menurut Louis Dumont (1911-1998) yang nampaknya juga disinggung oleh
Habermas dalam karya terbarunya (terbit di Paris tahun 2002), kemampuan individuallah
yang paling banyak ditagih untuk hal demikian.
Dalam usaha menarik pengalaman dari waktu yang sudah lewat, kejujuran terhadap
diri sendiri sesuai dengan alur pikiran Louis Dumont, sangat diperlukan. Kita
perlu berani bahkan menertawakan dan mencemooh diri sendiri.Tentu saja seperti
orang Tiongkok (bukan hanya orang di Tiongkok tentu saja) bilang, bahwa segalanya
"satu pecah jadi dua" dan kemudian untuk sementara ada gejala "dua
menjadi satu" untuk kemudian "pecah" lagi, yang menunjukkan
akan abadinya gerak dan perobahan.
Anggaplah tuturanku sekarang sebagai salah satu bagian dari usaha menarik
pengalaman sambil memenuhi anjuran guru dan sahabatku almarhum Prof. Dr. Denys
LOMBARD, Indonesianis terkemuka Prancis, yang wanti-wanti (apa ya bahasa Indonesianya?)
selalu mengingatkan aku supaya pada suatu saat "mengambil jarak"
dari lapangan. "Tanpa menarik diri dan mengambil jarak, mengeluarkan
diri dari peran partisipan, kau tidak akan bisa melihat sesuatu tanpa emosi",
ujar Denys. "Sesudah itu kau terjunilah kembali badai topan kehidupan
yang tak berbelas kasihan itu", nasehatnya. Lombard pun tahu benar bagaimana
kami membangun usaha produktif restoran koperatif ini. Dan beliau sendiri
sering datang untuk makan malam. Beliau sangat menghargai usaha ini apalagi
beliau tahu bahwa di sini kami memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat
Prancis dan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, melalui rupa-rupa kegiatan
kebudayaan.Melalui restoran ini, tidak sedikit buku-buku l'Archipel yang telah
kujual melalui suatu pameran buku tentang Indonesia yang kami selenggarakan.
Beliau juga tahu bahwa pada suatu ketika yang panjang aku tidak bisa kembali
ke Indonesia dan ia selalu mendorongku untuk menjaga optmisme. "Waktu
bekerja untuk kalian. Sabarlah", ujarnya. Dan suatu ketika saat aku sudah
mempunyai segala syarat untuk pulang sekembali dari Australia, sebelum berangkat
aku menemuinya. Pamit. Ia diam seribu bahasa. Marah besar terhadap keputusanku.
Beliau tidak kukatakan tentang persiapan-persiapan apa yang telah kulakukan
untuk mengawal kepulanganku. Begitu kembali ke Paris, ia dan Claudine Salmon,
istrinya, kutelepon sambil tertawa. Lombard jengkel dan kembali tak banyak
bicara seperti biasanya karena tahu aku sedang mengolok-olokannya. Hanya Claudine
yang berkomentar bahwa "Cerita belum berakhir". Pernyataan Claudine
ini sampai sekarang masih kurenungkan tanpa bisa menarik suatu kesimpulan
karena benar memang "cerita belum berakhir" dan ini dibuktikan oleh
pengalamanku ketika bekerja selama tiga tahun di kampung kelahiran: Kalimantan
Tengah.Kampungku sendiri! Kalau Gus Dur mengatakan bahwa kemanusiaan di Indonesia
hampir hilang atau hilang, tapi aku ingin mengatakan bahwa di Indonesia masih
ada manusia, sekalipun manusia di negeri itu berada pada posisi terjepit.
Setelah mengetahui kegiatan kebudayaan periodik yang kami lakukan di restoran,
maka harian, majalah dan beberapa televisi Prancis (hampir semua dari tujuh
terusan yang ada pada waktu itu) silih berganti datang untuk meng-cover adanya
restoran dan kegiatannya. Tim penanganggung jawab restoran setuju dengan syarat
bahwa kami yang bekerja tidak difoto dan wajah kami tidak ditunjukkan dalam
tayangan, dengan Bung Sobron sebagai kekecualian . Syarat ini disetujui sekalipun
dalam kenyataan tidak sepenuhnya ditepati. Bodohnya (akau katakan "bodoh"
dan bukan "sayangnya", agar teman-temanku tergerak akan makna dokumentasi),
restoran tidak mempunyai dokumentasi tentang semua ini. Kalau kuingat bagaimana
di Indonesia kita sanggup membakar dan menghancurkan dokumentasi serta buku-buku
--- seperti perpustakaan Pramoedya A. Toer yang dihancurkan oleh Orba di tahun
1965 -- aku berkata pada pada diri sendiri: "Agaknya bangsa ini belum
tahu arti dokumentasi dan belum bisa berpikir jauh. Agaknya bangsa ini belum
paham arti sejarah untuk kehidupan".
Kang, apakah komentar introspektif ini terlalu mengada-ada atau dicari-cari
sehingga jadi berkelebihan? Kalau demikian, mengapa kita begitu gampang menghancurkan
dokumentasi sehingga kalau mau melakukan penelitian perpustakaan kita perlu
ke luarnegeri antara lain ke Leiden, Negeri Belanda di mana terdapat perpustakaan
terbesar tentang Indonesia setelah mereka membeli sebuah mikrofilm dokumentasi
dari Amerika. Kakang bayangkan patung-patung dan segalanya tentang Dayak banyak
dihimpun di Tropen Museum Amsterdam, sementara orang Dayak sendiri tidak enggan
dan dengan ringan menjual segalanya itu dengan harga yang dikira sudah tinggi.
Pada suatu saat banyak patung di Borobudur jadi tak berkepala.
Tanpa dokumentasi ini kita jadi asing terhadap diri kita sendiri. Generasi
tertentu kita jadi tumbuh tanpa tahu sejarah diri bangsanya (Bukti tentang
ini aku tangguhkan karena akan terlalu jauh menyimpang dari tema yang kututurkan
sekarang). Aku melihat bahwa kesadaran sejarah kita seperti halnya kesadaran
berbahasa kita masih sangat lemah, Kang.
Dengan pertimbangan politik tentu saja tayangan televisi-televisi Prancis
tidak terlalu menelanjangi pemerintah Orde Baru (Orba). Yang ditonjolkan adalah
semangat kemandirian kami dan apa arti adanya restoran ini bagi hubungan antar
rakyat (people to people relationship) dari segi kebudayaan. Ingin kukatakan
sekali lagi: Orba menyingkirkan dan menteror kami sebagai anak bangsa dan
negeri, kami mengangkat negeri dan bangsa serta menghadirkan bangsa dan negeri
dari segi budaya ke masyarakat dunia. Karena itu ingin kutanyakan sekali lagi
kepada pemerintah Megawati sekarang, apakah kami akan tetap diperlakukan seperti
Orba memperlakukan kami? Prosedur dan prosedur ada di tangan pemerintah sekarang.
Aku menanyai keindonesiaan dan kemanusiaan pemerintah sekarang: Mengapa begitu
sulitnya anak bangsa dan negeri menjadi Indonesia?! Jika hubungan kami dengan
KBRI dan Restoran Indonesia atau hubungan Restoran Indonesia dan KBRI sekarang
membaik dan hangat, maka hubungan demikian terbatas pada hubungan yang bersifat
"individual" KBRI Paris jika boleh menggunakan pengertian Louis
Dumont dan Habermas mengenai hubungan sosial dan hakekatnya. Jika pemerintah
Mega terlalu sibuk dengan urusan "kekuasaan" sentrisnya, lalu di
mana salahnya apabila daerah-daerah menjadi tidak puas? Ah, aku terlalu meluaskan
masalah, Kang. Tapi aku hanya melanjutkan satu alur pikiran dan perasaan yang
kurasakan ketika melihat tanahair dan yang kulihat di Kalteng. Masih menggunakan
pengertian Louis Dumont ( lihat: Sciences Humaines, Paris, Janvier 2003),
daerah jika dalam suatu komunikasi sosial tidak lain adalah "individu"
lain yang tidak bisa diabadikan. Indonesia yang sekarang ada karena daerah-daerah.
Adalah salah besar menganggap eksistensi Indonesia sekarang hanya berangkat
dari egosentris Jakarta. Keindonesiaan adalah satu perangkat nilai yang diterima
secara sadar.
Apa-bagaimana kami menyiapkan diri menghadapi kamera-kamera televisi Prancis?
Semua kami berbaju batik dan berpeci hitam -- yang pada zaman pemerintahan
Soekarno merupakan lambang Indonesia. Ya! Kami memelihara dan mengangkat lambang
Indonesia ini. Sementara teman-teman yang melakukan pertunjukan mengenakan
pakaian daerah mereka masing-masing. Thomson, penyanyi dari Tapanuli mengenakan
pakaian tradisional Tapanuli dengan gitar di tangannya. Sementara crew (awak)
televisi mengatakan bahwa pakaian Thomson bukan Indonesia tapi Amerika Latin,
aku memprotesnya dengan keras: "Kalau tidak tahu tidak usah omong. Anda
lakukan pekerjaan Anda saja sesuai petunjuk. Indonesia terdiri dari ratusan
etnik, ribuan sub-etnik. Saudaraku yang penyanyi itu adalah anak gunung yang
dingin. Dan secara antropologi serta perpindahan penduduk bumi bisa kujelaskan
panjang lebar kepada Anda untuk menjawab komentar Anda, tapi sekarang bukan
saatnya".
Dari pernyataan ini aku mendapat bukti bahwa pengetahuan orang Prancis tentang
Indonesia sangat-sangat minim. Semestinya tugas KBRI lah menangani soal ini,
dan kali ini tugas tersebut kami lakukan sendiri tanpa KBRI. Tanpa diminta
, tanpa diperintah, apalagi dibayar, kecuali sesuai nurani dan panggilan jiwa
sebagai anak negeri dan bangsa. Jika dipertanyakan lebih jauh: Bisakah KBRI
melakukan tugas ini tanpa melibatkan seluruh anak bangsa dan anak negeri di
luar negeri? Atau mengapa tidak KBRI melibatkan seluruh anak bangsa dan negeri
di luar untuk menunaikan tugas ini? Agaknya Dubes A. Silalahi dan Mbak Yuli
Mumpuni yang sekarang Atase Pers, menyadari peranan anak bangsa dan negeri
di luarnegeri untuk menunaikan pekerjaan ini. Bayangkan, tidak sedikit orang
di sini lebih mengenal Bali dari Indonesia. Dan setiap mereka yang akan berangkat
ke Bali kebetulan singgah makan di Restoran, melalui peta yang terpampang
di setiap ruangan kami menjelaskan kepada calon wisatawan itu di mana Bali,
dan memberikan semua keterangan yang mereka perlukan sampai kepada masalah
taksi apa yang sebaiknya mereka ambil di Jakarta, bagaimana menyeberang jalan
di mana tanda zebra tidak dihiraukan oleh para pengendara, dan sebagainya....
Hal lain yang mungkin perlu juga kukatakan bahwa, tidak sedikit orang Prancis
yang tidak mau mengunjungi Indonesia, jika Soeharto masih berkuasa. Sikap
ini diambil oleh mereka yang sadar politik dan tahu politik pemerintah Orba.
Sikap ini misalnya diambil oleh direktur sukarela koperasi kami, Pascal Lutz.
"Mengapa harus bersikap kaku demikian", tanyaku. "Kalau kau
ke Indonesia, berarti kau menyumbang rakyat di sana. Misal kau membeli sesuatu
dari seseorang yang menjual barang souvenir di Bali atau di Prambanan, tidakkah
dengan demikian kau menyumbang mereka dan bukan menyumbang Soeharto?",
tanyaku untuk mendorong mereka mengobah keputusan. "Ya, tapi sumbangan
kepada pemerintah Soeharto yang fasis dan pembunuh itu tetap akan lebih besar
lagi", ujar mereka bertahan. "Aku kira sekarang ini seperti halnya
di mana-mana, termasuk di Prancis, paling tidak ada dua Indonesia. Indonesia
yang penindas dan Indonesia yang ditindas! Ada yang baik, ada yang busuk",
bantahku. "Ah, kau terlalu politis", jawab mereka. "Tapi tidakkah
pembicaraan Anda sendiri sesungguhnya sudah bersifat politik?". Dialog
begini sering sekali terjadi antara kami dan para pelanggan. Dan dari tipe
dialog begini, Kakang berdua bisa membayangkan corak restoran ini dibandingkan
dengan restoran lain di manapun. Dialog begini tidak terhindarkan karena suka
atau tidak suka, mau atau tidak mau, antara pelanggan dan pekerja restoran
akan terjadi dialog bukan hanya sekedar menghidangkan makanan. Adanya kontak
manusiawi begini sangat disukai oleh pelanggan Prancis yang bisa dikatakan
"criwis" dan "santai". Merekapun suka menggoda kami yang
melayani mereka. Suatu ketika, aku tidak bekerja di dapur tapi di luar. Seorang
perempuan muda nampak sangat senang dengan bumbu sate yang terbuat dari saus
kacang. Ia tanya apa mungkin minta tambah. Tentu saja kujawab bahwa sama sekali
tidak ada soal. Aku segera ke dapur mengambil saus sate dari kacang itu. Dengan
bibir penuh buumbu kacang itu, tiba-tiba perempuan muda itu mengecup pipiku
sambil mengucapkan terimakasih. Melihat pipiku bercap saus kacang bumbu sate,
semua pelanggan jadi terbahak-bahak tapi perempuan itu tetap tenang melanjutkan
makan malamnya seperti tidak terjadi apa-apa. Mendapatkan kecupan demikian,
akupun mengucapkan terimakasih sambil menepuk punggung gadis tersebut. "Aku
tak akan usap saus kacang di pipi ini agar aku selalu ingat Anda", ujarku.
Ruangan jadi penuh derai gelak-bahak pelanggan. Nona itu tetap tenang meneruskan
makan malamnya seperti tidak terjadi apa-apa.
Kontak manusiawi dimungkinkan oleh restoran kami maka tidak jarang banyak
yang memperoleh jodoh melalui restoran ini dan melangsungkan perkawinan mereka
di restoran ini juga. Adanya kontak manusiawi ini pula memungkinkan kami memperluas
jaringan persahabatan dengan orang-orang dari berbagai penjuru bumi.
JUTAAN KARTU NAMA RESTORAN BEREDAR:
Berkali-kali dan berulang-ulang kami mencetak kartu nama Restoran. Berkali-kali
dan berulang-ulang pula selama dua puluh tahun ini kartu nama tersebut segera
habis. Pencetaknya? Pada suatu ketika adalah juga sahabat kami yang bekerja
menangani percetakan sebuah kementerian pemerintah Prancis. Usai dicetak,
dia sendirilah yang mengantarnya ke restoran, seperti yang dilakukan oleh
Michael yang direktur perusahaan kertas Finlandia.
Pelanggan jadinya merupakan juru iklan utama kami yang jauh lebih efektif
dibandingkan dengan iklan yang hanya kami pasang di Pariscope -- sebuah penerbitan
pembimbing para wisatawan yang datang ke Paris.
Kartu-kartu itu ada di hotel-hotel, ada di kantor-kantor LSM bahkan di gedung
DPR dan Senat Prancis. Melalui kartu-kartu yang diambil dan dibawa oleh para
pelanggan, orang-orang seluruh Prancis saat datang ke Paris datang ke restoran.
Melalui kartu-kartu itu nama Indonesia diperkenalkan dan mengundang orang
datang ke pulau mungil Indonesia yang memikat yang berada di pusat kota. Pulau
mungil memikat karena warna Indonesianya dan nilai junjungannya yang tertuang
pada nama SCOP (koperasi) -- satu-satunya restoran Indonesia yang menjunjung
nilai tersebut dan hanya ada dua restoran demikian di Paris. Nilai-nilai tersebut
bukan hanya diucapan tapi benar-benar dipraktekkan sementara nilai-nilai tersebut
di Indonesia sendiri sudah sangat merosot.
Uang untuk hidup memang satu soal, tapi nilai junjungan adalah soal lain.
Di sini kami berusaha memadukan keduanya. Hidup hanya mengejar dan mengumpul
uang dengan cara apa saja asal dapat uang akan berbeda kadarnya daripada hidup
manusiawi dan bernilai manusiawi. Tapi soal ini adalah pilihan masing-masing.
Bumi kehidupan terkadang berjarak jauh dari yang ideal sehingga mengharuskan
kita bertarung di setiap langkah diayun.Terlanjur lahir dan meresapi nilai
Dayak sebagai "anak enggang dan putra-putri naga", aku merasakan
pertarungan ini sebagai keindahan tersendiri di samping memang tidak mempunyai
pilihan lain. Kemestian bertarung inilah yang membuatku sekaligus jadi pemimpi.
Hidup di Paris kami mengangkat Indonesia dan dengan mengangkatnya kami merangkul
bumi. Indonesia adalah diri kami. Hidup kami! Dari dan dengan Indonesia kami
menjadi anak bumi! Tayangan berbagai terusan televisi, koran-koran dan majalah
Prancis tentang restoran ini tidak lain dari pengakuan bahwa: Di sini Indonesia
hadir! Mereka yang datang dan bukan kami yang meminta! Kenyataan ini kembali
mengingkatkan aku bahwa betapa patutnya kita memberikan daya paksa pada kata-kata
agar mimpi tentang keadilan dan kebenaran mengujudkan dirinya di bumi.
Kepada setiap pelanggan yang datang, tidak lupa kukatakan bahwa makanan terutama
"pencuci mulut" (desert) seperti rambutan, papaya, nenas, pisang,
kolak dan lain... bukanlah yang terbaik. "Kalau mau yang terbaik, Anda-anda
patut membayar tiket pesawat", ujarku, keterangan yang sering menimbulkan
gelak-bahak para pelanggan dan membuat hubungan kami jadi akrab dan tidak
formal. "Apa yang kami sajikan di sini tidak lebih dari kata pengantar
dalam buku tebal Indonesia. Tapi yang pasti isi rinciannya tidak akan kalian
dapatkan di Hilton, Sheraton, Hyat dan lain-lain .... karena di sini kami
menjajikan makanan masyarakat lapisan bawah negeri kami", demikian sering
kujelaskan kepada para pelanggan dan dijawab: "Justru inilah kami cari
bukan sesuatu yang asing di Indonesia atas nama modernisasi". Begitulah
warna dialog di restoran "orang gila" dan terusir dari kampungnya
ini, Kang.
Nah, sementara ini dulu ceritaku.Sampai surat mendatang dengan kisah lain
lagi.
Salam hangat,
JJ. Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (16)
BELAJAR MENDISPLIN DIRI
Kang Syaikul dan Kang Luthfi yang baik,
Dua puluh tahun bekerja bersama bisa dikatakan sebagai sebuah kaca besar yang
terletak di hadapan kami. Kami dipaksa untuk berdiri di hadapan kaca besar
itu dan menatap wajah kami sendiri di dalamnya. Dipaksa karena usaha produktif
ini merupakan sandaran kemandirian serta kelangsungan hidup kami. Pada usaha
ini juga tersimpan kecintaan kepada tanahair Indonesia -- negeri di mana tangis
pertama diteriakkan -- dan juga terletak harga diri serta idealisme.
Aku sendiri melihat wajah kolektif dan diri kami yang jika mau jujur pernah
demikian bopeng di dalam kaca besar tersebut. Tapi itulah wajah kami. Suka
atau tidak suka, wajah-wajah itu adalah wajah kami dan bagaimana mungkin kita
membuang wajah kita sendiri? Masalahnya jika bopeng mengapa ia bopeng? Apakah
dihinggapi puru atau cacar ataukah karena alergi? Dengan berani melihat wajah
sendiri kukira baru kami tahu bagaimana mengobati puru, cacar atau alergi
tersebut. Aku tidak tahu apakah usaha yang dilakukan oleh Kang Ulil yang menimbulkan
"geger", bukannya keinginan Kakang kita itu untuk bercermin, untuk
melihat muka sendiri dengan tujuan yang baik?
Seperti kukatakan dalam surat sebelumnya kami yang rata-rata lepasan dari
suatu tingkat pendidikan yang cukup tinggi di beberapa negeri di luar tanahair,
menyandang rupa-rupa gelar, atau ditambah lagi oleh sekedar kuantitas pengalaman
tertentu, merasa diri masing-masing hebat dan "pintar". Yang satu
merasa tidak kalah dari yang lain sehingga keadaan ini melahirkan psikhologi
sejenis "anarkhisme" atau paling tidak sulit diatur. Dengan kata
lain gampang bertindak seenaknya sendiri, yang jika dilihat dari segi disiplin
serta tanggungjawab kolektif agak kurang. Lemah. Hanya kalau ngomong di rapat,
akan tampil serba hebat, tapi belum lima menit rapat selesai, bisa saja segala
yang dibicarakan dan diputuskan di rapat jadi abu yang melayang entah ke mana
arahnya di udara. Ciri lain, selain keangkuhan intelektual demikian adalah
"mencuri kerja yang ringan". Hal ini selain disebabkan karena usia
yang uzur juga boleh jadi karena memang tidak biasa kerja badan keras seperti
para kuli. Sehingga bisa terjadi dalam sistem koperasi di mana kebersamaan
begini, pekerjaan yang berat akan tertumpuk pada pundak satu dua orang. Sebab
dengan gaji yang sama, bekerja baik atau tidak baik, bertanggungjawab atau
tidak , pendapatan akhir bulanpun akan sama. Jadi untuk apa mati-matian bekerja?
Untuk apa bekerja dengan tanggungjawab?Kalau bisa mencuri waktu, maka mengapa
tidak? Ini adalah puru-puru yang menurunkan tampang wajah kami yang mungkin
tadinya ganteng apalagi ditopang oleh gelar yang disebut kesarjanaan. Hanya
saja sikap begini tentu tidak tanggap situasi dan mengancam kehidupan kami
sendiri, mula-mula melalui melemahnya usaha kolektif: koperasi.
Seorang teman yang lama bekerja di Angola, Afrika, pernah menceritakan bahwa sistem samarata ini juga pernah melemahkan sistem koperasi di negeri tersebut. Boleh jadi adanya pandangan sama rata begini bermula dari kekurangtepatan dalam memahami arti dan praktek koperasi atau kebersamaan.
Untuk mengobati borok-borok pada muka kami sendiri ini, kami segera melakukan
reorganisasi melalui pembedahan diri berbentuk kritik dan otokritik yang keras
sehingga tersusun sebuah Tim Penanggungjawab Kolektif yang baru. Berdasarkan
pengalaman masa lalu, maka Tim Penanggungjawab yang terdiri dari tiga orang
ini (untuk periode dua tahun dan bisa dipilih kembali!) menciptakan sistem
baru berbentuk tata administratif agar semua kami mematuhi suatu disiplin
kerja yang paling minim. Pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa hanya anjuran
dan keputusan rapat tanpa disertai dengan sistem administratif yang pasti
untuk mewujudkan keputusan-keputusan, anjuran dan keputusan akan menjadikan
kata-kata tidak lebih dari angin yang segera berlalu begitu saja seiring dengan
bubarnya rapat.
Salah satu cara untuk mendisplinkan diri kami oleh Tim Penanggung-jawab dibuatkan
sebuah daftar absen kerja yang diisi oleh masing-masing saban usai kerja kemudian
dikontrol oleh penanggungjawab. Mengikuti sistem absensi ini, dalam pengaturan
tenaga kerja disesuaikan dengan perkiraan situasi pelanggan yang bakal datang.
Perkiraan ini dibuat berdasarkan statistik dari bulan ke bulan lalu statistik
tahunan. Apabila ternyata keadaan kongkret berbeda dengan perkiraan maka teman-teman
yang sudah diberi isyarat agar siap-siap datang, dipanggil datang membantu.
Demikian juga apabila ternyata hari itu, pelanggan yang datang sedikit dibandingkan
dengan jumlah tenaga kerja yang hadir, maka penanggungjawab meminta salah
seorang pulang atau biasanya sukarela pulang. Dengan demikian kami bisa menghemat
pengeluaran. Pedoman yang kami coba terapkan sebenarnya tidak lain dari sistem
"administrasi sederhana dan bermutu". Andaikan kami yang bekerja
di sini tidak berusia uzur, tentu kuantitas dan kualitas kerja kami bisa lebih
tinggi dibandingkan dengan yang sekarang. Bisa kalian bayangkan dengan tenaga
yang sudah digerowoti usia yang tak kenal belas kasihan ini, kami harus mengangkat
berkilo-kilo daging dari mobil, menurunkan dari lantai dasar ke dalam gudang
di bawah tanah, botol-botol anggur yang berkotak-kotak. Dari pengalaman ini
aku tahu tekhnik mengangkat barang-barang berat demikian, termasuk menangkat
karung-karung beras serta gula. Karena itu ketika berada di Palangka Raya,
sekalipun dengan mengenakan dasi, pulang mengajar di universitas, aku sering
membantu para pedagang kaki lima atau pemilik warung yang kukenal untuk mengangkut
serta menata barang-barang yang tiba. Pada mulanya terheran-heran darimana
aku mendapat tenaga dan kebisaan melakukan pekerjaan demikian. Aku bahkan
bisa menjelaskan tekhnik mengangkat barang-barang berat agar tulang punggung
tidak rusak. Kujelaskan terus-terang kepada mereka sepilah pengalamanku mulai
dari menggembala kambing di padang-padang, bertani, jadi sopir truk, mengangkut
pupuk kotoran manusia atau babi dan apa saja yang merupakan kerja badan yang
oleh klas menengah dipandang sebagai pekerjaan hina dan kuli. Pekerjaan-pekerjaan
seperti ini mengobah pandanganku terhadap kerjabadan. Tapi justru melalui
kerjabadan di kalangan lapisan bawah ini, aku menjalin hubungan sangat akrab
dengan siapapun di lapisan orang-orang sederhana ini. Pengalaman-pengalaman
sederhana beginilah yang membuatku sadar bahwa kerja membentuk manusia dan
mengobah manusia.
Rata-rata kami yang mendirikan restoran ini tidak asing dari kerjabadan demikian. Ini juga yang membantu kami dalam melihat wajah diri di kaca besar waktu, yang membuat kami tidak segan menertawai wajah diri yang bopeng jika memang bopeng kemudian mencari cara memaksa diri untuk disiplin mencampakkan borok-borok keangkuhan intelektual yang sering terasa sangat mengganggu.
Melihat keadaan demikian, anak-anak muda yang bekerja bersama kami pun akhirnya nampak terbebaskan secara pikiran, nampak tahu apa arti kerjabadan dan kerja otak, tahu arti harga diri dan menjadi Indonesia, paham sedikit demi sedikit arti kerja bersama dan sulitnya kerja bersama serta solidaritas. Akibatnya kalau siapapun dari kami -- tanpa perduli tua atau muda -- yang kebetulan lewat restoran pada saat dia tidak dalam giliran bekerja, tanpa diminta dan disuruh akan segera turun tangan melakukan apa yang bisa dilakukan. Karena itu orang seperti Prof. Dr.Jomo K. Sundram atau teman-temannya Prof.Dr. Husein Ali dari Malaysia,atau aktivis-aktivis LSM Indonesia, ketika mereka mampir ke restoran atau bahkan tidur di kursi-kursi restoran tidak segan melakukan pekerjaan apa saja : menusuk sate, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring, dan lain-lain....
Ide, organisasi, program (perencanaan), ketrampilan (skill know-how), dipadukan dengan administrasi sederhana dan bermutu, sistem kontrol yang partisipatif, penyimpulan pengalaman yang periodik akan melahirkan suatu kesatuan yang kuat dari mana muncul kesadaran kritis dan wajah spiritual baru, orang-orang yang tahu memadukan kerjabadan dan kerjaotak.Disiplin dan tanggungjawab kerja muncul dari perpaduan hal-hal tersebut. Disiplin dan tanggungjawab tidak akan lahir dengan sendirinya. Demikian pula budaya kritis dan solidaritas. Praktek dan kesalahan telah menjadi ibukandung pengasuh kami yang keras tapi sangat pengasih. Baik tenaga baru yang muda-muda ataupun yang lama telah menyatu sebagai satu kesatuan keluarga. Marko,salah seorang anak muda yang menyebut diri tanpa kompleks sebagai preman Bringharjo, Yogyakarta, ketika ditawarkan oleh Prancis -- yang keluarga istrinya yang Prancis -- untuk bekerja bersama mereka menjawab: "Tidak, terimakasih. Saya lebih senang dan lebih baik bekerja bersama sanaksaudara saya di Restoran Indonesia". "Orang-orang di Restoran Indonesia itu adalah sanaksaudara saya!", ujar Marko polos. Marko bekerja di restoran ini belum sampai setahun dan ia sudah merasakan bagian dari kolektif ini.
MENDORONG MAJU SAUDARA-SAUDARA MUDA KAMI
Kami yang tua-tua baik dalam arti usia ataupun masa kerja di sini, selalu
mendorong yang muda-muda agar tidak hanya bekerja dan bekerja. Kami meminta
mereka untuk belajar dengan menggunakan sisa waktu yang tersedia. Kami tekankan
bahwa restoran ini hanyalah pangkalan terpercaya untuk merebut hasil-hasil
dan kemajuan baru sehingga nanti jika pulang ke Indonesia, pulang tidak lagi
dengan tangan kosong tapi bisa membawa sesuatu yang tidak lekang dalam waktu
dan cuaca yaitu kepintaran di bidang apa saja atau kalau mau mencari kerja
lain selain di restoran tersedia syarat-syarat layak untuk melakukan pekerjaan
tersebut. "Untuk memperoleh kemajuan tidak ada batas usia", demikian
kami selalu mendorong saudara-saudara muda kami. Entah berapa sudah anak-anak
muda dari berbagai negeri yang sudah menyelesaikan pendidikan mereka sambil
bekerja di restoran ini. Dan mereka saban ada kesempatan selalu berkunjung
serta otomatis melakukan pekerjaan ini dan itu tanpa diminta atau disuruh.
Kalau tak berkesempatan mereka menelpon memberitahukan kehadiran mereka di
Paris dan keadaan mereka. Kami tidak segan-segan memarahi mereka jika mereka
tidak melakukan hal ini. "Kita bekerja keras mencari uang meningkat diri.
Jangan kalian diperbudak oleh uang. Kitalah yang mengatur uang", demikian
selalu ditekankan oleh para senior atau sesama mereka yang muda saling mendorong
mengingatkan. Sambil bekerja, selalu saja yang tua-tua bercerita tentang sejarah
Indonesia, adat-istiadat berbagai pulau, sejarah dunia, situasi politik, tukar-menukar
kliping berita, dan sebagainya sehingga ruang dapur atau ruang pelayanan tamu
kami jadikan semacam ruang belajar sekaligus.
Demikianlah Kang ceritaku kali ini yang mempertontonkan borok-borok yang pernah mengotori wajah kami. Melalui cerita ini boleh jadi Kakang berdua mengerti maksudku bahwa menjadi manusia itu adalah suatu proses. Kita lahir memang sebagai mahluk manusia tapi tidak otomatis menjadi manusia! Manusia dengan kualitas kemanusiaannya kukira adalah suatu proses menjadi!
Sampai surat mendatang. Teriring salam hangat dan harapan terbaikku kepada
Kakang berdua saat memasuki Tahun Baru 2003.
JJ.Kusni
Perjalanan 2002.
* * *
RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (17)
MENJAMU MADAME MITTERRAND, FRANCE LIBERTE DAN ORANG-ORANG SEKITARNYA
Kang Syaikul dan Kang Luthfi yang baik,
Masih aku datang kembali dengan tema kisah sekitar Restoran Indonesia Paris (ada yang mengkisruhkannya dengan restoran-restoran Indonesia di Paris karena orang ini tidak paham bahwa Restoran Indonesia adalah nama sebuah koperasi yang menyelenggarakan usaha produktif berbentuk restoran!) karena peringatan ulangtahun ke-20 koperasi sederhana ini memang belum selesai. Rangkaian acara begini jadi terulur panjang, karena perlu menyesuaikan diri dengan acara para sahabat terkait. Ambil contoh, untuk menyelenggarakan silaturahmi khusus dengan pihak KBRI Paris, Restoran Indonesia harus menyesuaikan diri dengan acara Dubes A. Silalahi dan patut mendapatkan kepastian (konfirmasi). Acara dengan KBRI ini kami selenggarakan secara khusus karena ia mempunyai arti penting terutama dari segi politik: meresmikan dan mengkonsolidasi pemulihan hubungan yang selama Orba sangat buruk dan baru ketika Gus Dur menjadi Presiden R.I. situasi baru jadi terbuka dan dikonsolidasi oleh Mbak Mumpuni, Atase Pers KBRI Paris. Ketika Gus Dur sebagai Presiden melakukan kunjungan resmi ke Prancis, kami mencoba mencari peluang agar Gus Dur bisa datang kembali mengunjungi kami. Tapi padatnya acara serta ketentuan protokeler (mungkin) keinginan ini tidak bisa terujud. Dan aku dengar, Gus Dur memang sempat mengeluh mengapa ketika menjadi Presiden, ia tidak lagi bisa leluasa mengunjungi sahabat-sahabat lamanya. Kami dari Restoran Indonesia, demikian juga teman-teman Prancis tertawa paham keluhan Gus Dur, sekaligus menafsirkan keluhannya sebagai isyarat bahwa kedudukan tinggi setinggi apapun dia tidak melupakan para sahabatnya. Kamilah kemudian yang dengan melalui saluran berbagai organisasi yang menjumpai Gus Dur dan rombongannya di mana para sahabat lama kami ikut serta sebagai pejabat tinggi negara. Dahulu, sebelum menjadi presiden, saat berkunjung ke Restoran ini pulalah Gus Dur secara terbuka melakukan otokritik NU atas terlibatnya pemuda-pemuda NU dalam pembunuhan massal yang terjadi pada Tragedi Nasional September 1965. Sebelum menjadi Presiden, saban ke Paris boleh dikatakan Gus Dur tidak pernah lupa untuk memanfaatkan waktunya guna mengunjungi Restoran Indonesia. Demikian pula halnya dengan tokoh-tokoh LSM Indonesia.
Jika Gus Dur tidak melupakan para sahabatnya di manapun, kami pun tidak punya
kebiasaan melupakan para sahabat kami di manapun.Apalagi jika para sahabat
itu pernah secara nyata membantu kami pada saat terpepet untuk keluar dari
keadaan terpojok. Nilai sahabat tidak bisa ditakar dengan uang atau hal-hal
kebendaan apapun. Kalau para sahabat dinilai sebagai public relation officer,
aku kira penilaian begini sejajar dengan ketidakpahaman akan arti hubungan
persahabatan antar anak manusia yang sangat berharga. Akan sungguh menggelikan
lagi jika yang mengucapkan kata-kata demikian mengaku diri sebagai "revolusioner",
"progresif" dan "manusiawi". Menjadi manusiawi dan menjadi
manusia agaknya memang perlu usaha keras luarbiasa karena tidak otomatis..
Pernyataan-pernyataan demikian juga menunjukkan kepadaku bahwa kata-kata adalah
kaca jiwa, rasa, pikiran, pola pikir dan mentalitas seseorang.
Salah seorang dari sahabat Restoran Indonesia Paris yang demikian adalah Madame
Danièlle Mitterand, istri mantan almarhum Presiden Prancis François
MITTERRAND yang sebelum suaminya menjadi Presiden Prancis selama dua kali
berturut-turut sejak 1981 merupakan aktivis LSM dan Komite Solidaritas dengan
negeri-negeri Amerika Latin. Melalui kegiatan di LSM dan Komite Solidaritas
inilah kami berkenalan secara pribadi dengan Madame Danièlle Mitterrand,
Perdana- Menteri-Perdana-Menteri dan menteri-menteri dari berbagai pemerintah
ketika Partai Sosialis Prancis memegang kekuasaan.
Adalah menjadi tradisi semua presiden Prancis saban mengakhiri masa jabatannya, isteri mereka membentuk sebuah lembaga. Demikian pula Madame Danièlle Mitterrand yang juga seperti suaminya adalah seorang penulis, mendirikan Lembaga yang bernama France Liberté dan sudah pula secara nyata membantu rakyat Indonesia serta Timor Lorosae dalam bentuk pembangunan sebuah rumahsakit. France Liberté bahkan pengumuman berdirinya dilakukan di Restoran Indonesia Paris ini yang kami anggap mempunyai arti penting dan salahsatu bentuk sokongan moril terhadap kami. Ketika Restoran Indonesia ini dicoba dibakar oleh ekstrim kanan Prancis dan berada dalam ancaman kelompok yang menyebut diri "Komando Jihad" pada zaman Orba dan gencarnya gerakan penembakan misterius (Petrus) di Indonesia, pihak Kementerian Luar Negeri Prancis menempatkan Restoran Indonesia ini berada dalam lindungan langsungnya. Aku tidak tahu bagaimana kongkretnya lindungan ini dilaksanakan tapi sejak kami melaporkan keadaan kami, dering telepon mengancam itu tidak pernah lagi terdengar. Kebetulan selalu akulah yang menerima telepon-telepon ancaman tersebut. Karena itulah acara khusus dengan KBRI kami anggap sangat penting dan sekarang antara KBRI dan Restoran Indonesia telah terjalin hubungan akrab. Bahkan bulletin resmi KBRI, dalam sebuah box khusus menyiarkan ucapan selamat terhadap ulangtahun ke-20 Restoran. Terimakasih kepada KBRI Paris, terimakasih khusus kepada Mbak Mumpuni yang mengasuhnya.
Sebagai pernyataan terimakasih kepada Madame Mitterrand dan France Liberté
serta untuk mengoksolidasi hubungan perkawanan, maka pada 10 Januari 2003
kemarin Restoran Indonesia secara khusus mengundang Madame Mitterrand dan
France Liberté makan malam di Restoran sederhana kecil kami. Sekalipun
kami mengundang mereka, tapi Madame Mitterrand dan France Liberté menolak
untuk kami gratiskan. Mereka menetapkan sendiri harga makanan per orang yang
akan ditanggung oleh France Liberté. Ini adalah salah satu bentuk lagi
solidaritas dari Madame Mitterrand dan France Liberté. Sedangkan orang-orang
yang akan diundang ditetapkan oleh France Liberté.
Rapat Tim Penanggungjawab Restoran, menyerahkan tekhnis penyelenggaraan kepada
Didien -- penanggungjawab dapur. Untuk itu sesuai dengan keputusan kolektif
tiga orang (Joko, Joso dan Didien), Didien membuat makanan khusus yang tidak
pernah disajikan kapanpun kepada para langganan. Bentuk jamuan adalah prasmanan
sesuai dengan kehendak Madame Mitterrand sendiri. Ini merupakan cara kami
menghormati para undangan khusus kami malam tersebut. Kecuali itu kami juga
mempertunjukkan tari Bali dan Jawa yang dibawakan oleh Riski dan Opik.
Semula rombongan Madame Mitterrand terbilang sekitar 35 orang. Sampai pagi 10 Januari yang mengkonfirmasi kehadirannya cuma 15 orang. Dan Ninong, salah seorang tenaga dapur kami ketika datang mengabarkan bahwa jam tiga (10 Januari 2003) Madame Mitterrand harus dibawa ke rumah sakit. Jadi pasti beliau tidak bisa hadir sesuai rencana. Mendengarnya tentu saja kami kecewa dan memutuskan bahwa ruangan atas (restoran ini terdiri dari dua tingkat yang keseluruhannya berkapasitas seluruhnya 60 orang) akan kami gunakan untuk menerima tamu biasa. Persiapan maksimal tidak kami kendorkan sedikitpun.
Dingin dan hujan lembut salju turun di luar. Restoran mestinya dibuka pada jam 19.00 tapi jam 18.00 seorang perempuan setengah baya masuk minta diizinkan berteduh sambil menunggu jam buka. Ia kami persilahkan duduk. Perempuan itu sambil menunggu jam buka membaca buku-buku tamu di mana tercantum kesan-kesan pelanggan dari berbagai penjuru dunia. Teman-teman yang di dapur nggrundel: "Apa sih hebatnya, restoran ini, khok belum buka sudah ada tamu masuk?". Dengan gaya serius aku mencandai mereka: "Itulah hebatnya orang Indonesia menipu bulé sehingga mereka mabok oleh masakan kita!". Padahal dalam hati aku berpikir tidakkah kita, orang Indonesia yang banyak ditipu sampai-sampai mempunyai rasa rendah diri pada bulé?! Asal kulit orang putih dan hidungnya mancung saja sudah bikin kita mabuk. Akibatnya? O, aku punya banyak contoh di sini! Sehingga aku bertanya-tanya pada diri: Begitu sulit agaknya menghargai diri dan bangsa sendiri?
Rombongan France Liberté mulai berdatangan demikian pula para undangan lainnya. Sebelum turun ke ruangan bawah di mana prasmanan khusus diselenggarakan, mereka terlebih dahulu masuk ke dapur menyalami dan bercengkerama sejenak dengan kami sambil menyampaikan harapan terbaik dalam menjalani Tahun Baru 2003. Demikian pula sebelum pulang mereka kembali masuk dapur meminta diri.
Seluruh rombongan dan undangan ini akhirnya mencapai jumlah 56 orang sehingga ruangan yang berkapasitas maksimal jika duduk cuma 30 orang menjadi penuh sesak. Poulette Geraud, salah seorang pendiri restoran yang Prancis, masuk ke dapur menanyakan apakah makanannya cukup. "Jangan kawatir Poulette", ujar Didien. "Kami siap untuk sampai 100 orang", lanjut Didien. Jumlah 56 orang memang berada di luar dugaan kami. Seorang teman yang baru datang dari Jakarta, dan biasa kami panggil dengan sebutan kesayangan "Bung Pantat" langsung menyingsingkan lengan baju membantu membawa makanan prasmanan. "Biar kau jadi kurus!" ujar Didien. "Pantat lho", ujar Bung Pantat ngakak sambil membawa makanan keluar dapur. Kami jadi ngakak semuanya.
Di antara 56 orang ini antara lain terdapat Sergio Regazzoni dan istri, dari lembaga penelitian Centre Lebret; Sini Cedercreutz (antropolog) dan Michael (Direktur Perusahaan Kertas Finlandia Perwakilan Paris); Réné Barou (dari ASTO, organisasi setiakawan dengan Timor Lorosae); Gustave Massiah (ekonom dan urbanis, pimpinan organisasi Anti Imperialis), Louis Joinet (dari Komisi HAM PBB, mantan penasehat hukum berbagai Perdana Menteri Prancis) yang di tengah segala kesibukannya, khusus menyempatkan diri datang memenuhi undangan, Danièlle Desque (penerima bintang jasa Negara Prancis atas jasanya dalam dunia pengelolaan), teman-teman wakil dari berbagai LSM dan organisasi Prancis serta berbagai negeri... Sehingga prasmanan ini sekaligus merupakan reuni dari sahabat-sahabat lama, penuh persahabatan dan suasana keakraban. Umumnya orang-orang yang datang sudah saling mengenal sekalipun sektor kegiatan mereka tidak sama.
Pascal LUTZ, direktur sukarela tanpa dibayar koperasi selama 20 tahun dalam kata sambutannya sekali lagi dan lagi-lagi menjelaskan komposisi para anggota koperasi: "Mereka ada insinyur, ada yang pengajar universitas, ada yang wartawan, sastrawan bahkan ada yang menyandang gelar Doktor, dokter spesialis, mahasiswa, tapi mereka tak punya keengganan melakukan kerja badan. Kerjabadan dan kerjaotak sama-sama mereka hargai. Mungkin sikap ini satu pelajaran lain yang bisa kita timba dari koperasi restoran ini". Pada ulangtahun ke-20 ini, Pascal menyerahkan tanggungjawabnya kepada kami, khususnya yang termuda di antara kami: Sujoso. Malam khusus Pascal Lutz akan kami selenggarakan guna menghormatinya.
Umar Said, saudara tertua kami, yang keadaan kesehatannya melemah, terutama sejak 01 Januari 2003, nampak sangat terharu. Berkali-kali ia datang memelukku di dapur ketika aku sedang mencuci piring, panci-panci dan periuk-periuk besar yang menumpuk di sampingku. Umar memelukku tanpa mengucapkan sepatah kata, kecuali nampak perasaan tertentu terungkap dari kedua matanya yang mengaca. Ada air tergenang di matanya yang boleh jadi luput dari perhatian siapapun. Aku hanya menjawab ungkapan saudara tuaku ini dalam hati, tak ingin mempengaruhi siapapun. Adakah hubungan darahku dengan Bung Umar Said yang Madura ini? Jawabannya: aku seorang Dayak Indonesia dan Bung Umar seorang Madura Indonesia. Perjalanan panjang jatuh-bangun menautkan hati kami sebagai saudara. Bertengkar, saling caci, tapi juga saling sayang, saling bela dan semuanya berlangsung dalam perasaan sesaudara melebihi rasa saudara sekandung dalam pengertian harafiah. Ketika terjadi konflik berdarah Dayak-Madura di Sampit, Februari 2001, kami sama-sama merasakan kepahitannya tapi sama-sama juga kami tuangkan dalam sendagurau sinis jika ditanya para pelanggan. Didien yang selalu datang kerja membawa tustel numeriknya, tiba-tiba mengusulkan kami berfoto bersama dengan Bung Umar di dapur. Kade, putera Bali, mengambil foto kami berempat: Umar dan Ninong, aku dan Didien, dua kali. Foto bersama di ulangtahun ke-20 koperasi kami. "Foto bersejarah", ujarku, menyembunyikan perasaan karena bukan ini yang kumaksudkan sesungguhnya.
Mungkin para pelanggan biasa dan spontan yang makan malam ini heran melihat
para tamu masuk keluar dapur dengan leluasa yang tidak terjadi di restoran
lain. Mungkin! Tapi jika mereka tahu sejarah restoran ini, mereka tidak akan
heran karena restoran ini adalah milik bersama para sahabat ini, kami hanyalah
orang yang dipercayakan mengelolalnya dan pemikul kepercayaan itu. Kepercayaan
dan kredibilitas memang sesuatu yang selalu kami jaga. Kepercayaan dan kredibilitas
tidak terbeli dan diuji dalam perjalanan kerja yang panjang. Seperti kata
pepatah Tiongkok: "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh".
Kepercayaan dan kredibilitas itupun seperti seekor kuda demikian juga adanya.
Jika ia tersuruk, ia pun kehilangan makna, lebih-lebih jika ia tidak berdaya
untuk bangkit kembali.
Para pelanggan yang penuh sesak di ruang atas, di luar rombongan France Liberté dan para undangannya, menyaksikan orang-orang France Liberté dan undangannya memasuki dapur minta diri, nampak keheran-heranan. Bukankah tidak biasa para tamu memasuki langsung dapur restoran? Semua sahabat ini menyatakan kepuasan mereka akan hidangan yang mengagetkan mereka karena sangat baru dan juga atas suasana prasmanan.
Yang ingin kukatakan melalui cerita di atas terutama adalah bahwa persahabatan, persaudaraan, kasihsayang dan setiakawan adalah nafas koperasi restoran ini. Dua puluh tahun kami membangun dan menjalaninya, dua puluh tahun kami jatuh bangun memahami untuk mengkhayati maknanya serta melihat perspektifnya.
Ada yang mengatakan bahwa kisahku kepada Kakang berdua sebagai kisah memuji menyanjung diri. Dari lubuk hati terdalam ingin kukatakan bukan kebiasaanku memuji menyanjung diri yang tiada guna. Jika kuceritakan ham-hal ini, semata-mata berangkat dari hasrat berbagi pengalaman karena aku sadar benar malam hidupku tak terelakkan akan tiba, tapi hidup akan terus berlanjut. Dengan cerita ini aku ingin mengatakan bahwa harapan itu tetap ada seperti secercah cahaya ada di kegelapan sepekat apapun. Melihat cercah cahaya ini sangat penting untuk tidak dimamah pesimisme yang membunuh.Manusia itu tetap ada sekalipun bumi atau tanahair dikuasai gerombolan haus darah. Manusia yang manusiawi dan sadar akan kemanusiaannya tetap merupakan modal paling berharga dari segala usaha. Bukan uang! Cerita inipun merupakan usahakan menjawab permintaan Kakang berdua.
Salam hangatku selalu dan sampai surat mendatang.
JJ. Kusni
Perjalanan 2003.*
* *