Tulisan JJ KUSNI

tentang restoran INDONESIA

 

* * *

RESTORAN INDONESIA PARIS:

20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (1)

 

Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,

Maaf besar baru sekarang saya memenuhi permintaan Kang Saikul dan Kang Luthfi yang dikirimkan pada 7 Oktober 2002. Bukan disebabkan karena lupa atau karena tidak menganggap penting serta tidak menghormati permintaan Kakang berdua, tapi semata dengan pertimbangan akan lebih baik jika sekaligus saya tulis pada kesempatan khusus yaitu ketika koperasi Restoran Indonesia yang oleh Mbak Yuli Mumpuni, Kepala Bidang Penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, disingkat RI -- singkatan yang oleh para pekerja koperasi itupun digunakan, seperti diterakan pada taplak meja RI dari batik buatan Pekalongan.

Karena tentang RI, sebuah usaha berbentuk koperasi, tidak ada sesuatu yang patut dirahasiakan, maka tulisan memenuhi permintaan Kakang berdua tidak saya kirimkan melalui japri tapi saya sampaikan melalui saluran media listrik secara terbuka agar dengan demikian bisa diketahui khalayak lebih luas. Saya akan memulai cerita ini dari awal perjalanan -- mudah-mudahan dengan demikian permasalahan bisa jadi gamblang. Mudah-mudahan pula saya pun mampu menuturkannya dengan baik dan sederhana. (Soal kesederhanaan bentuk tulisan, memang merupakan cara bertutur yang selalu saya usahakan dan gunakan dengan pertimbangan agar gampang dipahami. Sebab saya kira tulisan dibuat untuk dikomunikasikan kepada audiens. Sehingga sekali pikiran yang dikomunikasikan menjadi milik audiens maka pikiran, mimpi, harapan dan lain-lain yang dikomunikasikan itu akan berobah menjadi kekuatan material. Jika hal yang dituturkan itu pelik dan rumit, si penulis selayaknya -- paling tidak inilah sikap saya -- mencoba mengutarakan hal yang pelik dan rumit itu dengan cara sesederhana mungkin sehingga jelas dan gampang dicerna.( Bentuk ndakik-ndakik hanya akan menyulitkan komunikasi dua pihak).

SUAKA POLITIK SETELAH TRAGEDI SEPTEMBER 1965:

Adanya suaka politik Indonesia dalam sejarah Republik Indonesia bukanlah masalah baru yang hanya muncul setelah Tragedi September 1965. Orang-orang yang terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (1958) telah memulai kehidupan sebagai suaka politik di negeri asing. Misalnya Takdir Alisjahbana mengungsi di Eropa Barat, Prof. Sumitro menyingkir ke Malaysia. Sedangkan sesudah Pemberontakan Nasional Nopember 1926, sementara pimpinan PKI ada yang bersuaka di Uni Soviet dan basis perlawanan Partai Komunis Tiongkok di Yen An.

Hanya saja jumlah pencari suaka politik pada periode-periode itu tidak sebanyak jumlah mereka yang mencari suaka politik setelah terjadinya Tragedi September 1965 yang oleh Orde Baru Soeharto dinamakan sebagai Pemberontakan G- 30- S/PKI. Saya sebutkan peristiwa yang berdampak luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat kita sampai hari ini, sebagai Tragedi karena kalau saya melihatnya dengan tenang, kita telah menjadi korban Perang Dingin antara dua kekuatan besar pada waktu itu (Tentang soal ini, saya tidak membicarakannya lebih jauh, karena bukan tema surat ini). Dalam hal ini, saya merundukkan kepala menyatakan hormat kepada kemuliaan dan kebesaran hati Gus Dur yang pada berbagai kesempatan di dalam dan di luar negeri telah meminta maaf kepada orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan non PKI, oleh keterlibatan orang-orang NU dalam masakre 1965.

Setelah Tragedi September 1965, orang-orang PKI dan non PKI yang meminta suaka politik bisa didapatkan di berbagai negeri berbagai benua: Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia. Umumnya mereka ini terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang dikirimkan oleh Pemerintahan Soekarno untuk belajar di luar negeri, kemudian mereka yang dikirim sebagai Delegasi berbagai bidang untuk melakukan kunjungan persahabatan sebelum Tragedi serta mereka yang kemudian setelah 1965 dengan 1001 cara meninggalkan Indonesia melarikan diri dari kejaran Orba. Jumlah besar tanpa preseden, orang Indonesia yang mencari suaka politik di lima benua inilah yang merupakan dasar sosial lahirnya sastra-seni eksil Indonesia yang sejak beberapa waktu lamanya jadi obyek penelitian anggota-anggota Jaringan Kerja Budaya (JKB) Jakarta, terutama Alex Soepartono dan kawan-kawannya.

Ciri umum pencari suaka politik ini adalah tertanda pada sikap anti Orde Baru Soeharto karena itu dengan berbagai cara, seperti lobbie, pembelejedan, menggerakkan unjuk rasa di luar negeri, dan lain-lain... sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim penanggungjawab masakre 1965-'66 dan berbagai masakre lainnya pada periode tersebut.

Di antara para pencari suaka politik ini terdapat sekitar 40-an orang dengan anak-istri mereka yang datang ke Prancis semenjak 1966 yang meningkat jumlahnya ketika partai-partai kiri Prancis naik ke panggung kekuasaan dan F.Mitterrand menjadi Presiden.

Ke-40 an orang yang datang ke Prancis yang menyatakan diri sebagai "Terre d'Asile" (Tanah Suaka) dan "Negeri HAM" (Pays de Droit de l'Homme), terdiri dari mereka yang bekerja di bidang-bidang berbeda. Ada yang dokter bedah, insinyur, wartawan, sastrawan dan lain-lain... Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mempunyai pengalaman bekerja di dunia restorasi. Dunia restoran adalah dunia asing dan tidak mereka kenal sama sekali. Mereka hanya mengenal restoran sebagai pelanggan bukan sebagai pengelola.

MENJUNJUNG HARGA DIRI MENCARI JALAN KELUAR:

Sekalipun Prancis menyatakan diri sebagai "Tanah Suaka" dan "Negeri HAM", tapi mendapatkan status suaka politik bukanlah urusan gampang. Proses panjang diperlukan untuk memperoleh status demikian. Bahkan ada di antara ke-40an orang ini yang sejak bandara sudah hampir dikirim kembali ke negeri dari mana ia datang, ada juga yang hanya diberi waktu 24 jam untuk segera meninggalkan "Tanah Suaka" dan "Negeri HAM" ini. Dari kenyataan ini, saya melihat penamaan diri demikian pun mengandung corak dan sikap politik (Tentang soal ini tidak saya masuki lebih lanjut, karena bukan topik surat). Yang banyak membantu ke-40an orang ini guna mendapatkan status suaka politik adalah imbangan kekuatan politik antara kiri dan kanan di Prancis yang boleh dikatakan imbang. Limapuluh banding limapuluh persen. Perobahan imbangan kekuatan berobah banyak ditentukan oleh pilihan dan praktek politik partai-partai politik tersebut dalam memecahkan soal negeri. Rakyat Prancis sendirilah yang menetapkan keputusan melalui pemilu berikutnya akan memilih partai-partai mana sebagai pengelola negeri. Karena itu pilihan rakyat oleh pers dan politisi sering disebut sebagai "pilihan pengadilan dan hukuman".

Setelah status suaka diperoleh masalah berikutnya yang menyusul adalah bagaimana hidup. Untuk hidup harus ada pekerjaan. Untuk memperoleh pekerjaan bukanlah masalah sederhana. Persaingan cukup ketat dan lagi pula Prancis akan lebih mendahulukan orang-orang Prancis dan yang berkulit putih. Tanpa pekerjaan jangan diharapkan bisa memperoleh tempat tinggal, dan tanpa mempunyai alamat serta tempat tinggal akan mengalami kesulitan memperpanjang izin tinggal (KTP).

Prancis memang termasuk negeri yang disebut "negara kesejahteraan". Karena itu ada bantuan sosial yang dinamakan Revenue Minimale d'Insertation (RMI). Tapi dengan RMI, orang tidak akan cukup menyewa apartemen. RMI tidak lebih cuma memadai untuk makan. Dengan latarberlakang ini maka Prancis mengenal masalah orang yang tanpa tempat tinggal (Sans Domicile Fixe -- SDF) yang menjadi perhatian pemerintah dan berbagai LSM, terutama pada musim diungin. Sampai sekarang SDF menjadi salah satu kampanye pemilu di negeri ini.

Kalaupun kita bekerja tapi gajipun pas-pasan tidak tentu kita bisa menyewa sebuah apartemen. Jika karena satu dan lain soal kita di PHK -kan, tunjungan pengangguran yang didapat akan menyusut dari tahun ke tahun sampai akhirnya pada suatu ketika kita tidak akan mendapatkan apa-apa lagi sebagai tunjangan pengangguran, lalu beralih ke tunjangan RMI. Dalam keadaan begini bagaimana mungkin kita bisa memperoleh atap tempat berteduh dan berlindung dari dingin, hujan serta terik matahari pada musimnya? Karena itu pekerjaan yang memberi penghasilan layak dan memadai untuk hidup menjadi soal mendesak setelah memperoleh status legal suaka politik.

Menghadapi permasalahan begini maka ke-40an penerima suaka politik Indonesia yang tadinya datang dari berbagai negeri, berkumpul di sebuah apartemen di Enghien, Montmorency, pinggiran kota Paris, di mana Jean-Jacques Rousseau pernah menulis karyanya "Berjalan-jalan di Hutan", bertemu dan berdiskusi mencari jalan keluar dengan tidak tergantung kepada pemerintah. Keputusan diskusi 20 tahun lalu itu adalah: Menciptakan pekerjaan sendiri! Dengan menciptakan pekerjaan sendiri, kita membela martabat diri dan Indonesia, tidak tergantung pada belas kasihan pemerintah Prancis dan menyelamatkan diri sendiri dengan usaha sendiri.

Saya jadi teringat judul novel Yudhistira Masaardi: "Mencoba Tidak Menyerah" yang menceritakan perjuangan korban-korban masakre September 1965. Kepada teman-teman dekat, saya katakan bahwa kalau saya menjadi Yudhis, situasi para korban dan sikap mereka menghadapi penderitaan serta tekanan seperti tak berujung itu dengan bukan "Mencoba" tapi benar-benar "Tidak Menyerah". Kalau mau hidup dan tetap mencintai kehidupan, orang-orang itu dihadapkan pada pilihan tunggal untuk "tidak menyerah", tidak boleh menyerah, mereka dipaksa untuk terus bertarung dan bertarung. Hal ini terjadi di dalam negeri dan pilihan ini jugalah yang dihadapi oleh ke-40an orang Indonesia yang mencari suaka politik di Prancis. Dalam bertarung dan terus bertarung terdapat jalan keluar. Jalan pertarungan adalah jalan harga diri dan kemartabatan anak manusia. Coba bayangkan, Kang Saikul dan Luthfi, apa yang didapatkan oleh mereka jika tidak bertarung dan sungguh-sungguh mencintai harga diri serta martabat kemanusiaan ketika mereka dilarang menduduki rupa-rupa pekerjaan karena pernah menjadi anggota, menjadi simpatisan PKI dan menyokong Soekarnoisme. Politik anti kiri Orba adalah bentuk masakre model baru karena itu saya sangat tidak memahami lembaga-lembaga tertinggi negara "Republik" yang masih mempertahankan politik tidak manusiawi demikian.

DISKUSI ENGHIEN MONTMORENCY MELAHIRKAN IDE RESTORAN:

"Apa yang harus dikerjakan", merupakan pertanyaan pokok dalam diskusi yang berlangsung di Enghien 20 tahun lalu itu. Ada yang mengusulkan percetakan, tapi segera ditangkal karena cash flow dan jumlah tenaga yang bisa bekerja di percetakan tidak banyak. Belum lagi memecahkan soal pemasaran dan tekhnologi. Yang menyanggah usul membuka percetakan mengajukan usul bahwa yang paling tanggap adalah restoran khas Indonesia. Alasannya: (1). cash flow cepat; (2). bisa memberi lapangan kerja kepada banyak orang dibandingkan dengan percetakan; (3). ketrampilan tekhnis tidak terlalu tinggi dituntut; (4). bisa menjadi tempat bertemu para sahabat dari segala penjuru; (5). mempropagandakan masalah budaya Indonesia secara efektif. Masakan Indonesia adalah salahsatu hasil budaya Indonesia; (5). fungsi sosialnya nyata.

Akhirnya Diskusi Enghien Montmorency menyepakati pendirian sebuah restoran Indonesia sebagai jalan keluar. Yang dimiliki pada waktu itu cuma ide. Tidak lebih dari mimpi jalan keluar. Sedangkan uang untuk mewujudkan mimpi ini sama sekali tidak tersedia. Mimpi adalah modal pertama yang mereka miliki, disamping tekad bertarung dan kecintaan akan hidup serta harga diri. Dari segi ini saya makin memahami kata-kata Martin Luther King: "I have a dream", kata-kata yang kupajangkan di tembok rumah kotrakanku di Palangka Raya. Tanahair dan dunia apakah kelebihan mimpi, Kang?! Kukira justru kekurangan seperti halnya kita kekurangan kasihsayang dan kecintaan akan hidup dan kemanusiaan.

Nah, Kang sementara kuakhiri di sini. Nanti akan kusambung lagi.

Salam hangatku selalu untuk Kakang berdua,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (2)

MENCARI MODAL AWAL:

 

Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik, Setelah mempunyai mimpi, tekad, harapan dan kecintaan demikian, masalah berikutnya yang kami hadapi adalah bagaimana mewujudkan mimpi tersebut dalam keadaan sebagai anak kembara yang serba tiada dari segi material. Pekerjaan pun dibagi antar teman.

Untuk mengatasi ketiadaan material itu, kami menjual mimpi. Usulan proyek disusun dan ditawarkan ke berbagai pihak, termasuk melihat kemungkinan yang dibuka oleh pemerintah Prancis kepada para penganggur yang ingin menciptakan kerja sendiri. Untuk keperluan ini, saya berhenti dari pekerjaan agar jadi penganggur sehingga syarat jumlah minimal penganggur yang mengajukan usulan membuka lapangan kerja sendiri ke Pemerintah tercapai. Majikanku paham dan tetap memberiku pesangaon sebagai tanda simpati.

Dalam menyusun usulan proyek ini, yang draftnya disusun oleh orangtertua di kalangan kami: A.Umar Said, patut dicatat perbaikan-perbaikan dan masukan yang dilakukan dan diberikan oleh teman-teman Prancis. Yang terakhir ini juga aktif membantu kami dalam melakukan lobie-lobie. Dalam hal ini, Danielle Desque dari Boutique de Gestion Paris, teman-teman dari Agence de Liaison pour le Dévéloppement d'Economie Alternative (ALDEA) layak disebut namanya, sebagai pihak-pihak yang sangat berjasa. Karena jasanya di bidang pengelolaan usaha (gestion), Danielle Desque telah dianugerahi oleh pemerintah Prancis bintang jasa "Légion d'honneur".

Usulan proyek ini disampaikan kepada Comité Catholique Contre la Faime et pour le Dévéloppement (CCFD) -- LSM Prancis terbesar, CIMADE Paris dan LSM-LSM di berbagai negeri, terutama Eropa Barat. Di samping itu, surat edaran solidaritas dikirimkan kepada teman-teman di berbagai negeri berbagai benua yang isinya menghimbau solidaritas atau mengharapkan pinjaman dana yang akan dikembalikan kemudian. Dari teman-teman ini berhasil terkumpul F.Fr.150.000,-

Dengan uang yang dikumpulkan melalui cara inilah maka kami bisa memperoleh modal awal untuk mewujudkan mimpi tersebut. Wartawan-wartawan pro Orba pada waktu itu menuding kami seakan-akan mendapat bantuan dari Partai Komunis Prancis (PKP). Padahal dalam kenyataan untuk usaha ini, PKP dan partai-partai politik Prancis lainnya sepeserpun tidak pernah membantu kami. Di samping itu, sementara teman Indonesia mencemoohkan kami sebagai orang-orang yang jatuh ke tangan kapitalisme dan melupakan perjuangan demi Indonesia yang manusiawi. Mereka lupa bahwa untuk berjuang orangpun perlu hidup dan secara ekonomi tidak tergantung kepada siapapun. Lucunya, orang-orang Indonesia yang mencemoohkan kami demikian, kemudian pada suatu hari datang ke Restoran Indonesia minta makan secara gratis untuk rombongan yang tidak kecil usai melakukan unjuk rasa menyokong perjuangan rakyat Timor Timur. Tentu saja Restoran Indonesia tidak bisa memberikannya secara cuma-cuma, karena jika hal demikian dilakukan, lalu bagaimana kami melanjutkan kehidupan usaha. Lagi-lagi pengelola Restoran Indonesia dituding telah berobah menjadi kapitalistis.

Dengan cerita di atas yang ingin kukatakan bahwa dalam melakukan perjuangan kita tidak hanya memerlukan semangat yang berkobar-kobar, patut menghindari sektarianisme yang tidak melihat jauh dan sering terperangkap oleh penyakit kekanak-kanakan, menganggap diri sebagai gantang penakar kebenaran. Lupa bahwa perjuangan berjangka panjang dan penuh lika-liku. Kecuali itu kita patut mempunyai semangat dan syarat untuk mandiri agar tidak didikte oleh siapapun dalam mengambil keputusan strategis ataupun taktis.

Pendek kata, modal dalam mendirikan usaha ekonomi untuk menghidupi diri sendiri di negeri suaka ini adalah modal dengkul dan menjual mimpi serta memobilisasi solidaritas kemanusiaan dan keadilan . Karena itu dalam kegiatan selanjutnya Restoran Indonesia yang sebuah koperasi bisa bebas dalam menetapkan kebijakan di hadapan siapapun.

Artinya usaha ini dibangun mulai dari mimpi yang dilahirkan oleh kondisi sosial di negeri suaka, dengan manusia-manusia pemimpi dan bukan pertama-tama dari uang yang berlimpah. Dengan adanya manusia begini sebagai modal awal, maka manusia pemimpi itu berusaha mencari cara mewujudkan mimpi mereka, dalam hal ini mencari modal uang secara kongkret. Ketika kami memobilisasi solidaritas kemanusiaan dan keadilan di berbagai tempat dan berhasil, maka hasil ini membuktikan bahwa di planet kecil kita ini, manusia itu masih ada, bahwa kemanusiaan dan keadilan itu masih tidak pupus. Demikianpun Kang Saikul dan Luthfie, di tengah suara ledakan bom dan segala kegalauan yang melanda negeri seperti sekarang ini, saya masih percaya benar bahwa manusia di tanahair kita masih ada. Dan manusia ini tidak terkurung oleh batasan-batasan agama, aliran, partai dan pandangan yang beraneka ragam. Mereka justru adalah anak-anak bangsa dan negeri yang memandang keragaman sebagai kekayaan dan rahmat serta karenanya sanggup hidup damai, sanggup berdampingan dalam perbedaan dan keragaman itu. Saya kira, Kakang berdua adalah anak bangsa dan negeri dari jenis demikian.

Pengalaman ini lagi-lagi lebih meyakinkan saya bahwa manusia adalah modal paling berharga dari semua usaha. Karena itu saya kian memahami arti proses penyadaran yang dikatakan oleh pastor Paulo Freire untuk menjadikan rakyat sebagai aktor pemberdayaan dan pembebas diri mereka sendiri. Merekalah juruselamat diri mereka sendiri yang tidak tergantikan.Mereka bukanlah "kampungan", "ndeso" dan sejenisnya .... seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan elite suatu masyarakat ataupun oleh pihak kekuasaan. Saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya merekalah pahlawan sesungguhnya. Demikian pun Restoran Indonesia sebagai sebuah koperasi, bisa berdiri dan bertahan sampai sekarang bukanlah karena jasa individu, tapi terutama karena kerjasama kolektif. Bahwa sumbangan individu satu dan yang lain, ada yang besar ada yang kecil, saya kira sangat wajar sesuai dengan kemampuan masing-masing individu yang berbeda kapanpun dan di manapun. Semuanya patut dicatat, ujar penyair Chairil Anwar. "Bendera kecil, bendera besar punya tempat dan makna" tulis presiden-penyair Ho Chi Minh dari Vietnam. Merendahkan kolektif dan menempatkan individu di atas kolektif sama artinya dengan memelihara paternalisme feodalistik yang tidak tanggap terhadap usaha bersama yang cepat atau lambat akan mengakibatkan kehancuran kebersamaan. Arti penting semangat dan praktek kolektif ini ditekankan oleh Budhisatwati, salah seorang pengelola Restoran Indonesia sekarang, dalam suratnya kepada Tim Wahana di Jakarta: "Saya hanyalah salah satu skrup kecil dari usaha bersama kami".

MENGAPA KOPERASI:

Dipilihnya koperasi sebagai bentuk badan usaha justru karena bertolak dari ide kebersamaan menolak individualisme. Karena itu ide kebersamaaan dalam bentuk koperasi mampu menggugah solidaritas kemanusiaan dan keadilan para sahabat di berbagai negeri. Jika individualisme yang dijajakan, rasanya Restoran Indonesia sebagai sebuah koperasi tidak akan mungkin berdiri. LSM, Pemerintah Prancis dan solidaritas para sahabat pun tidak akan mungkin dimobilisasi. Bentuk koperasi menunjukkan semangat dan usaha bersama suatu kolektif manusia untuk bersama-sama mengatasi persoalan mereka demi kehidupan manusiawi bersama. Mendirikan secara bersama-sama adalah satu soal, mengelola usaha secara bersama-sama kemudian menjadi soal lain. Mendirikan sesuatu secara bersama-sama relatif lebih gampang dari mengelola suatu usaha secara bersama-sama sehingga usaha itu bisa berlangsung terus. Apa yang patut dibanggakan jika didirikan bersama lalu satu dua tahun kemudian mati? Pengelolaan individualistik dan kolektif tentu berbeda. Pengelolaan individualistik berbau diktatur dan paternalistik sedangkan pengelolaan koperatif bersifat transparan dan pembagian kerja serta tanggungjawab dan kontrol anggota. Pandangan dasar yang mengalasi koperasi jadinya adalah massa sebagai pahlawan bukan individu sekalipun individu punya peranan penting dalam kehidupan bersama. Pandangan inilah yang dipakai oleh sistem koperasi Restoran Indonesia dengan adanya Rapat Umum Anggota (Assemblée Générale) tiap tahun dan pengelola pun dipilih saban dua tahun sekali. Artinya tidak selamanya yang itu-itu saja. Semua pekerja Restoran adalah anggota koperasi dan anggota koperasi adalah pemilik restoran dengan sistem "satu orang satu suara".

Bentuk umum usaha restoran di Paris adalah bentuk konvensional yang bersifat individual. Yang mengambil bentuk koperasi hanya ada tiga -- sekarang tinggal dua buah, yaitu Le Temps de Cerises dan Restaurant Indonesia -- restoran dari sekian ribu restoran.

Bentuk usaha koperasi dibandingkan dengan sistem ekonomi dominan yang kapitalistis, nampak seperti menentang arus. Tapi dalam kenyataan , sistem koperatif dengan mengetrapkan hukum-hukum umum ekonomi tetap bisa bertahan dan berkembang dalam berbagai bidang usaha sebagai sistem paralel dengan sistem kapitalistis. Karena sistem yang kapitalistis yang berdominasi maka Prancis tidak bisa disebut sebagai negeri pra sosialis apalagi sosialis sekalipun partai-partai kiri yang memerintah. Berkuasanya partai-partai kiri di pemerintahan tidak menyentuh secara hakiki dominasi sistem kapitalistis. Yang dilakukannya melalui berbagai kebijakan lebih banyak memperkuat perlindungan kepentingan penduduk sebagai ciri dari sistem negara kesejahteraan. Apakah politik begini yang memang lebih realis? Ah, sekedar pertanyaan ilustratif belaka pada tulisan ini! Tapi jika kepentingan-kepentingan dasar, seperti perlindungan kesehatan, perumahan, cuti dengan digaji yang didapat melalui perjuangan berdarah disentuh, maka bisa dipastikan penduduk akan turun ke jalan secara masif. Ini adalah salahsatu cara massa rakyat melakukan kontrol terhadap kekuasaan politik negeri.

Dengan sistem koperasi ini maka ke-40an orang Indonesia pencari suaka di Prancis memperoleh syarat untuk hidup minimal untuk waktu yang panjang sampai ke usia pensiun. Mereka tidak lagi terganggu oleh ancaman PHK atau pun kesulitan dalam memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan apartemen dan perpanjangan izin tinggal. Dengan pekerjaan yang mereka ciptakan sendiri di koperasi, mereka bisa berobat dengan pergantian beaya 100% alias gratis. Sistem koperasi ini membuat kami menjadi tuan atas diri dan nasib kami sendiri. Kami adalah majikan dan buruh usaha kami sendiri.

BERBURU LOKASI:

Sambil mengumpulkan dana untuk mewujudkan mimpi di atas, para pencari suaka politik Indonesia itu siang malam mulai memburu lokasi di mana restoran itu akan dididirikan. Iklan demi iklan koran ditelusuri, tempat demi tempat di amati.

Masalah lokasi disadari benar sangat berperan penting bagi usaha yang mau dibangun itu. Sebelum mempunyai nama maka lokasi mempunyai peran dalam mengundang langganan.

Suatu kali di sebuah jalan buntu di mana Jean-Jaures dibunuh, didapatkan sebuah tempat yang diperkirakan layak sebagai lokasi. Agar tempat itu tidak lepas dari tangan maka ditandatangani perjanjian jual-beli dan kami harus menyerahkan uang F.Fr.30.000,- (tahun 1981) sebagai tanda-jadi-beli kepada pemilik lokasi. Kemudian pada suatu hari Bung A.Umar Said melalui harian Figaro membaca sebuah iklan kecil tentang dijualnya sebuah restoran bernama Restoran Madras kepunyaan sebuah keluarga India dari Guadalup terletak di pusat kota: 12 Rue Vaugirard, 75006 Paris. Tanpa pikir panjang, kami segera mendatangi pemiliknya sambil makan -- berlagak seperti orang berduit. Tanya punya tanya, bicara punya bicara, akhirnya orang Guadalup itu setuju menjual Restoran itu kepada kami walaupun tidak sedikit orang yang rebutan ingin membeli tempat sangat strategis tersebut. "Saya lebih suka menjualnya untuk saudara-saudara", ujar pemilik Restoran Madras itu, seorang ibu tua dan anak lelakinya yang bertubuh tinggi besar. "Ini adalah ujud solidaritas kami kepada kalian", ujar anak lelakinya. Sejak itu sampai sekarang hubungan kami dengan pemilik restoran Madras itu tetap baik dan bersahabat. Jika kami memerlukan saksi dalam soal-soal hukum yang menyangkut restoran, mereka dengan sukarela menjadi saksi. Kamipun sepakat memilih tempat strategis di jalan Vaugirard yang sekarang menjadi lokasi Restoran Indonesia dan dengan rela membiarkan yang F.Fr.30.000,- yang merupakan tanda janji jadi beli di atas hilang begitu saja.

Dalam berburu lokasi inipun juga dilakukan secara bersama-sama. Dengan memilih lokasi di jalan Vaugirard ini, mimpi makin mendekati ujudnya, menjadi setapak lagi lebih maju.

Sementara kisah ini saya akhiri di sini, Kang Saikul dan Luthfi. Besok akan kusambung lagi.

Salam hangat,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (3)

"BUMI DUKA DI JUBAH BUNGA"

 

Kang Saikul dan Luthfi yang baik,

Semua teman sepakat bahwa lokasi yang terletak di 12 Rue Vaugirard yang sampai sekarang menjadi lokasi usaha Restoran, memang sangat strategis sebagai tempat usaha restoran yang dirancangkan. Janji jual-beli pun ditandatangani. Pembayaran dimulai. Karena jumlah modal yang dipunyai tidak mencukupi maka sisanya akan dibayar belakangan dalam batas waktu yang telah disepakati bersama. Pekerjaan pembersihan dan penataan ulang ruangan dimulai dengan mengerahkan semua tenaga yang ada termasuk teman-teman Prancis baik lelaki maupun perempuan yang sejak lama memang telah bersama-sama melakukan berbagai kegiatan seperti Malam Indonesia, ikut serta dalam Fête (pesta) ini atau itu, dan lain-lain.... Tiap hari, dari pagi sampai malam kami bekerja di sini. Hingga sekarang masih terbayang di mata ingatanku betapa kotornya tembok-tembok dan betapa wajah putih Gisèlle dan Lydie -- dua perempuan muda Prancis yang dengan sepenuh hati membantu -- termasuk pakaian mereka jadi hitam legam tercoreng arang ketika mereka menggosok tembok-tembok dapur. Keadaan wajah mereka dan semua teman lain yang kotor oleh debu dan arang jadi bahan sendagurau menawar kelelahan. Melalui kerja bersama ini rasa persahabatan dan solidaritas di antara kami terbina makin kuat dalam diri masing-masing. Indonesia akhirnya mendapat tempat tersendiri di relung hati teman-teman Prancis ini. Dengan menyisihkan sebagian dari gaji bulanan mereka, kemudian tidak sedikit dari mereka yang mengunjungi pulau-pulau tanahair yang mereka kenal ceritanya melalui pergaulan dan kerja bersama.

Merenungi hubungan persahabatan dan solidaritas yang kental begini, dalam hati, saya mengagumi arti perdamaian dan kasihsayang antar anak manusia serta menanyai diri: "Apa gerangan arti bangsa dan tanahair bagi kemanusiaan? Apa gerangan arti negara, perbatasan serta kedaulatan? Apa makna ras dan perbedaan agama?", pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin segera kujawab tapi kubawa serta dalam perjalanan waktu dan kembara bacaan ataupun pengamatan. Pertanyaan-pertanyaan ini membawa ingatanku kepada keadaan tanahair yang mandi darah oleh masakre terbesar di abad kekinian, membuat hampir satu dari seluruh penduduk negeri dilukai dan jadi kehilangan rupa-rupa termasuk yang paling esensil, keadaan yang kudapatkan pelukisannya dalam sebuah haiku Jepang karya Issa: "bumi duka/di jubah bunga".

Duka bumi ini seakan-akan tidak kunjung habisnya mencoba kecintaan pada bunga-bunga kehidupan. Sampai ia pun datang mengunjungi kami yang sedang sibuk membersihkan dan menata ruangan untuk restoran yang segera akan dibuka.

Hari itu ketika kami seperti hari-hari sebelumnya sedang sibuk dengan kerja masing-masing, tiba-tiba tiga orang lelaki bulé berpakaian sipil masuk sambil menunjukkan kartu polisi mereka serta surat perintah dari atasan mereka. "Ada apa?" tanya seorang dari kami yang segera saja mengerumuni tiga orang polisi Prancis itu. Salah seorang dari polisi itu menjawab bahwa KBRI Paris melaporkan kepada kami bahwa kalian sedang menyiapkan rapat guna melancarkan unjuk rasa menentang pemerintah Indonesia. Mendengar ucapan itu, kami semua tidak bisa menawan bahak. Sedangkan teman-teman Prancis yang bersama kami jadi sangat marah, berucap: "Kegilaan yang keterlaluan". Gisèlle dengan gaya khasnya berkomentar: "Rapat apa? Kalian lihat saja apa nampaknya kami sedang rapat atau sedang bekerja?". Polisi yang merasa tersinggung oleh sikap dan kata-kata Gisèlle menjawab: "Kami hanya melaksanakan perintah. Nanti kami laporkan ke atasan kami apa sebenarnya yang disebut rapat persiapan demo oleh KBRI itu. Sekarang kami minta diri dan maaf. Tapi kami akan datang kembali lagi kelak sebagai langganan restoran kalian". Teman-teman Prancis masih saja bersungut-sungut ketika polisi itu sudah pergi. Dan memang benar, ketika restoran sudah mulai dibuka tiga polisi itu datang berkali-kali untuk makan. Mereka tertawa geli ketika diingatkan akan peristiwa "rapat persiapan unjuk rasa anti Indonesia". Berbagai peristiwa yang mengenai restoran membuat hubungan dengan mereka tambah sering. Apakah tambah akrab? Entahlah! Sebab aku sendiri tetap saja selalu mencadangkan kepercayaan pada polisi sebagai pihak yang memegang bedil. Bedil erat hubungannya dengan kekuasaan dan kekuasaan seperti alkohol keras, gampang memabukkan. Penyalahgunaan terhadap bedil dan kekuasaan jugalah kukira yang membuat bumi sering dilanda duka dan basah darah, kehilangan demi kehilangan tak terperikan berulang kali terjadi.


"PUSAT KEBUDAYAAN" DAN PROMOSI INDONESIA

Dalam mimpi kami, Restoran Indonesia yang kami bangun ini selain menjadi sumber hidup kami, ia sekaligus diharapkan sebagai tempat kegiatan kebudayaan dan alat mempromosi Indonesia.. Untuk ini pada tahun-tahun pertama, di restoran kami selenggarakan pameran lukisan, pameran batik, pameran foto, kursus bahasa Indonesia, pertunjukan slide dan filem dari negeri-negeri yang dulu dikategorikan sebagai Dunia Ketiga, perunjukan tari berbagai daerah:Jawa, Bali, Sunda dan Dayak. Tapi karena kekurangan tenaga maka dalam perjalanan selanjutnya, kegiatan yang teratur diselenggarakan adalah pementasan tari dan pameran. Sedangkan pertunjukan slide dan filem serta kursus bahasa Indonesia dihentikan sekalipun pesertanya pernah tercatat sampai 40 orang.

Hal lain, kami maui atau tidak, banyak orang-orang Prancis yang sebelum ke Indonesia menelepon dan atau datang ke restoran menanyai soal Indonesia. Sehingga restoran Indonesia yang pada waktu itu merupakan satu-satunya restoran Indonesia di Paris, juga berfungsi sebagai biro informasi tidak resmi. Sering juga terjadi bahwa sebelum menempuh ujian, mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Indonesia datang ke restoran untuk menanyakan soal-soal pelajaran mereka. Tidak jarang pula bahwa orang-orang Prancis yang sedang pacaran dengan orang Indonesia, datang ke restoran meminta tolong menterjemahkan surat-surat cinta mereka. Orang-orang ini bahkan melangsungkan pesta perkawinan dan ulangtahun perkawinan mereka di restoran. Mereka akhirnya menjadi langganan setia restoran ini.

Kang Saikul dan Luthfi yang baik,
Bisakah keadaan di atas disebut sebagai bunga-bunga kehidupan yang marak di bumi luka dan duka seperti yang dilukiskan oleh penyair Issa? Tapi dari secuil pengalaman restoran ini saja yang jelas kusaksikan bahwa duka dan suka telah menjadi asamgaram kehidupan di bumi yang tak terelakkan. Bumi duka hanyalah satu warna saja dari perwajahannya yang utuh.

Sampai suratku yang mendatang.
Salam hangat,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (4)

SIAPA YANG AKAN MENJADI JURUMASAK?

 

Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,

Ketika pembersihan dan penataan ruangan yang terdiri dari dua tingkat mendekati akhirnya masalah baru yang patut dipecahkan adalah masalah jurumasak dan menu yang bakal dihidangkan. Ketika menyusun studi kelayakan menu kongkret yang disebutkan hanya makanan yang akan dijual adalah masakan spesialitas Indonesia yang belum umum dikenal di negeri ini. Berdasarkan studi kelayakan atas dasar harga pada tahun 1981/'82, restoran akan berjalan baik jika tiap hari dikunjungi oleh sekitar 60 orang langganan. Jumlah ini memang adalah kapasitas maksimal ruangan yang telah kami beli hak usahanya. Jumlah langganan akan bertambah jika pergantian arus kedatangan tamu (shift) berganda. Diperkirakan oleh studi kelayakan 1981 itu bahwa untuk mencapai angka 60 orang langganan dengan dua kali buka sehari (siang dan malam), tidaklah akan terlalu sulit. Apalagi pada tahun tersebut tidak ada satupun restoran Indonesia yang terdapat di Paris sehingga restoran ini relatif memegang posisi monopoli dalam hal masakan Indonesia.

Membuat studi kelayakan yang baik memang merupakan satu soal tersendiri tapi tidaklah terlalu asing bagi kami yang oleh Mas Samiaji sebagai orang-orang tergolong "intelektuil" (lihat: Samiaji Mengenang 20 Tahun Restoran Indonesia -- Milis Cari, 11 Desember 2002). Bagi kami, kemampuan rata-rata dalam soal masak-memasak terbatas pada taraf masakan untuk diri sendiri, bukan mutu yang untuk dijual oleh sebuah restoran secara profesional. Bung Umar Said misalnya hanya lihai dalam membuat ceplok telor untuk diri sendiri. Saya sendiri suka pada membuka kaleng sardin atau membuat balado ikan. Mas Budiman almarhum tergantung pada masakan isterinya. Tinggal Bung Sobron yang paling suka masak, mungkin, didorong oleh kesukaannya akan makan. Tapi suka dan enak, antara suka dan mutu, antara suka masak dan layak jual adalah hal yang berbeda. Masalah baru menggoda kami dalam membuka restoran yang kelak jadi sandaran hidup kami. Di hadapan soal siapa yang akan menjadi jurumasak restoran -- masalah pokok bagi penyelenggaraan restoran --- semua kami sepakat dalam sikap bahwa "tidak ada rotan akarpun berguna", menyelesaikan soal ini dalam proses bekerja. Restoran harus dibuka dan dijalankan.

Sebelum menggunakan "akar" yang ada di kalangan kami di Paris, kami menghitung dan membaca kemungkinan-kemungkinan kemampuan yang tersedia di kalangan sahabat-sahabat Indonesia yang tinggal di negeri-negeri lain di Eropa Barat. Dengan cara ini kami mencoba memecahkan masalah penting tersebut. Dari pembacaan peta kemampuan dan kemungkinan ini kami mendapatkan dua nama, yaitu Parmin -- yang memang jurumasak profesional di sebuah hotel berbintang di Negeri Belanda, dan Else, istri mantan dutabesar Indonesia di Mali pada zaman pemerintahan Soekarno. Sekalipun bukan jurumasak profesional, tapi di kalangan kami, rasa hasil masakan Else memang sudah terkenal lezat. Yang paling ideal sebagai jurumasak dari kedua nama ini adalah Parmin memang. Tapi kami tidak mempunyai dana memadai untuk memenuhi keperluan Parmin sebagai jurumasak profesional di sebuah hotel berbintang, apalagi ia akan segera menikah. Sedangkan Else untuk menjadi jurumasak permanen juga tidak bisa karena tidak gampang meninggalkan keluarganya di Negeri Belanda ditambah lagi untuk menjadi tenaga kunci di dapur sebuah restoran diperlukan kemampuan fisik tertentu.

Akhirnya kami tetapkan juga bahwa sebagai pemecahan sementara, kami meminta solidaritas kedua teman tersebut secara bergiliran. Dan keduanya menyatakan persetujuan mereka. Lagi-lagi di sini patut dicatat jasa Bung Umar Said yang dengan sukarela menyediakan apartemennya sebagai "asrama". Di antara kami memang hanya beliaulah yang mempunyai apartemen yang layak dan mampu menampung banyak teman.

Dari sini Kakang berdua bisa melihat bahwa setiakawan dan kebersamaan merupakan kekuatan utama kami dalam mensukseskan berbagai usaha termasuk restoran Indonesia. Masihkah rasa setiakawan dan semangat kebersamaan ini tersisa dalam masyarakat kita? Ataukah di tengah mentalitas yang terkontaminasi oleh ide "uang sebagai raja", semangat yang tadinya mengakar di masyarakat kita jadi terpinggirkan dan menyusut menjadi hal yang bersifat potensial saja sekarang? Kami bukanlah manusia supranya Nietzche. Kami adalah manusia biasa, mahluk sosial biasa seperti anak manusia manapun. Dari praktek ini juga aku melihat saling hubungan antara individu dan kolektif serta makna mahluk sosial itu. Praktek ini juga memberitahukan kepadaku siapakah sang messias dan pahlawan itu sesungguhnya!

KERJA ITU MULIA:

Ketika bekerja di Indonesia sampai awal tahun ini, aku melihat bahwa di tanahair ada pemisahan tajam antara kerja badan dan kerja otak. Umumnya kerja badan dipandang dengan sebelah mata karena dilihat sebagai kerja "kuli". Berangkat dari pandangan ini maka di Kalimantan Tengah kusaksikan bahwa jabatan sebagai pegawai negeri sekalipun hanya sebagai pengantar surat dan kerja harian dipandang sebagai "pekerjaan idola". Tanpa mengeluarkan banyak tenaga tapi tiap bulan atau saban hari pasti mendapatkan sesuatu. Pandangan dan sikap ini, kecuali ada latarbelakang dengan jabatan sebagai pegawai negeri bisa mengeduk "sabetan" besar melalui KKN, iapun kukira menunjukkan betapa di negeri kita, kehidupan itu diancam oleh ketidakpastian.

Bagaimana sikap kami yang sekali lagi tergolong orang-orang berpendidikan tertentu dalam menghadapi soal kerja badan? Kami pun sesungguhnya tidak berbeda dari umumnya sikap orang Indonesia lainnya yang masih kulihat sampai sekarang dalam memandang kerja "kuli" atau kerja badan, apalagi jika orang itu berasal dari etnik Jawa -- daerah di mana feodalisme paling merasuk. Situasi harus hidup, harus mau mengerjakan apa saja yang syah untuk bisa makan di negeri suaka, memaksa kami melakukan kerja badan saban hari. Siapa yang akan memberikan kami makan jika bukan diri sendiri, jika bukan melalui kerja dan jerihpayah sendiri?! Karena itu dalam membersihkan dan menata ruang restoran, semuanya kami lakukan sendiri. Karena itu kami melakukan pekerjaan pelayanan di restoran tanpa kompleks, dengan kesadaran dan penuh harga diri. Apalagi kami tahu benar arti dan peranan restoran yang menyandang nama Indonesia.

Melakukan kerja badan dari tahun ke tahun sampai sekarang, membuat kami sadar bahwa kerja badan itu mulia, bahwa kerja itu merobah manusia, baik secara fisik maupun secara pikiran. Didien yang tadinya berjari-jari halus dan lembut, sekarang jari-jarinya menjadi kokoh. Kami yang tadinya meremehkan kerja badan sekarang tahu benar bahwa kerja badan itu mulia dan mendorong perkembangan masyarakat. Adakah masyarakat yang berkembang tanpa merupakan hasil dari kerja? Kebudayaan tidakkah merupakan hasil kerja termasuk kerja badan? Dari pengalaman ini aku kira selayaknya pekerja otak mampu melakukan kerja badan dan sebaliknya pekerja badan selayaknya berkemampuan juga menangani pekerjaan otak. Dalam hal ini aku jadi teringat akan ungkapan pada zaman pemerintahan Soekarno: "Merah dan Ahli". "Merah" menunjuk kepada keberpihakan kepada mayoritas penduduk atau rakyat (aku tidak memasuki uraian soal ini!), sedangkan "Ahli", menunjuk kepada kemampuan ketrampilan (skill know-how). Dalam ungkapan "merah dan ahli" sebagai orientasi pendidikan, tercakup penghargaan setara terhadap kerja badan dan kerja otak serta peranan kerja bagi perkembangan masyarakat dan manusia.

Pekerjaan membangun restoran dan bekerja di restoran Indonesia, kembali mengingatkan aku akan orientasi tersebut dan kembali mengajar dan mendidik diriku terus-menerus bukan hanya tentang kerja badan dan otak tapi juga mengenal watak manusia melalui pelayanan terhadap para langganan dan kolega sepekerjaan. Dengan latarbelakang ini maka kepada Deddy, seorang anak muda yang bersekolah di Paris, dan tinggal bersamaku, kutawarkan ia untuk bekerja di restoran. "Kau akan belajar banyak dengan bekerja sambil sekolah", ujarku. Dan ia setuju. Ketika menemuinya kembali di Jakarta, ia mengatakan kepadaku: "Di sini aku seperti ET (mahluk luar angkasa).Sepi dan merasa sendiri!". "Tapi Indonesia negerimu, kampunghalamanmu, Ded", jawabku. "Tidak gampang menjadi Indonesia dan mencintai", jawabku. Anak muda itu diam dan kutahu ia memikirkan apa yang kuucapkan. Kutahu ia bukan tipe anak muda dan anakbangsa yang malas berpikir. Karena berpikir inilah ia merasa sepi dan sendiri. Kembali aku teringat pada André Gide, sastrawan Prancis yang pernah menerima Nobel sastra, yang menasehatkan bahwa sesudah berpikir dituntut keberanian berpihak dan bertindak.

PERLENGKAPAN LAMA:

Biasanya pemilik baru, memulai usahanya dengan perlengkapan-perlengkapan baru. Piring, mangkuk, sendok, garpu, gelas baru. Pendeknya dengan perlengkapan-perlengkapan baru. Tapi ketiadaan modal menyebabkan kami berada di luar kebiasaa ini. Kami bekerja dengan perlengkapan-perlengkapan lama pemberian pemilik Restoran Madras yang telah kami beli. Kami bekerja dengan alat-alat seadanya. Kursi dan meja pun, kursi dan meja lama. Begitu juga dengan taplak meja, taplak meja peninggalan Madras dengan warna belang bonteng terpaksa kami gunakan. Bahkan kap lampu berwarna kuning masih kami pakai sampai sekarang. Yang baru adalah tata ruang dan sejumlah dekorasi sehingga memberikan ciri Indonesia. Termasuk baru juga tentu saja: papan nama Restaurant Indonesia yang terpajang di beranda luar, tulisan tangan Soejoso, salah seorang teman kami yang terbaik tulisan tangannya. Melihat nama Indonesia di antara sekian papan nama di kilometer nol, pusat kota Paris, terasa padaku ada kebanggaan tersendiri. Papan nama yang seperti mengatakan bahwa "di sini Indonesiaku hadir", dihadirkan oleh putera-puterinya yang terusir dan diusir. Melalui papan nama itu, terasa padaku yang mungkin hanya perasaanku sendiri, bahwa cinta kami kepada Indonesia dan rakyatnya tidak pernah dan tidak bisa diusir serta dienyahkan. Ia selalu ada dan hadir.

Sampai di sini dulu, Kang. Sampai surat dan cerita mendatang. Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (5)

RIJST TAFEL: LAHIRNYA SEBUAH KOSAKATA

 

Kang Saikul dan Luthfi yang baik,

Mudah-mudahan Kakang berdua tidak bosan jika cerita ini kulanjutkan. Kebungkaman alias tiadanya reaksi dari Kakang berdualah yang menumbuhkan pertanyaan demikian dalam hatiku. Tapi baiklah, aku tidak mau bertindak tangung-tanggung. Yang sudah kumulai akan kulanjutkan hingga ujung.

Setelah persoalan jurumasak sementara dipecahkan, masalah baru muncul: Bagaimana formula makanan yang akan dijual? Bagaimana menampilkannya. Kepada teman-teman sering kukatakan bahwa "di sini kita mewakili dan membawa nama Indonesia sebagai suatu bangsa". Melalui kata-kata ini yang ingin kukatakan bahwa dengan membawa nama Indonesia, pada diri kami teremban kemestian kewajiban menjaga martabat dan nama baik bangsa dan rakyat negeri tersebut sekalipun kami tidak beda seperti anak enggang yang terhalau dari rimba sarangnya, bagai kijang terusir dari padangnya. "Untuk itu selayaknya kita tampil maksimal, jangan asal-asalan" , ini adalah sikapku. Dengan sikap ini, dalam hati aku ingin memperlihatkan kepada para langganan yang datang, secara tidak diucapkan dengan kata bahwa ada Indonesia lain di samping Indonesianya Orde Baru yang berlumuran darah dan mempunyai citra sangat buruk di luar negeri.

Tentu Kakang berdua masih ingat dan pernah membaca sendiri berita yang melukiskan buruknya citra negeri kita di luar. Ketika itu, aku lupa tahunnya, di Tanzania, dilangsungkan Pertemuan Negara-negara Non Blok di mana Indonesia di bawah Presiden Soekarno turut membangun gerakan ini. Ketika Delegasi Indonesia datang di negeri tersebut, para wartawan Afrika, dengan gaya khas mereka menari-nari mengelilingi para Delegasi sambil secara berirama mengucapkan: "Indonesia, US puppet! Indonesia, US puppet!". Kejadian lain yang tidak menyenangkan yang kami alami yaitu ketika Dilli dibumi-hanguskan oleh milisia pro Indonesia. Salah seorang dari kami menerima telpon dari orang tidak dikenal hanya untuk melampiaskan kemarahan dengan mengucapkan kata-kata: "Indonesia, pembunuh!" atau datang ke restoran hanya untuk mengucapkan kata-kata serupa lalu pergi dengan membanting pintu. Keterbatasan pengetahuan mereka tentang diri kami menyebabkan mereka memandang secara pukul rata. Hanya saja teman kami yang menerima telepon dan tamu tersebut jadi "muring-muring" sendiri sambil menyumpah tanpa sasaran: "Kurangajar!". Tapi diri kejadian ini nampak pula bahwa kami pun sesungguhnya tidak bisa menghilangkan keindonesiaan kami dan tanggungjawab keindonesiaan kami.

Untuk menjawab pertanyaan formula makanan yang bagaimana yang akan kami tawarkan kepada para pelanggan, akhirnya Bung Umar Said pergi ke Belanda guna secara khusus mengeduk pengalaman restoran-restoran Indonesia yang mendominasi dunia perestoranan di negeri tersebut. Sebelumnya kami juga memasuki berbagai restoran di Paris untuk secara diam-diam mengamati cara kerja serta bagaimana mereka menampilkan makanan yang disaji. Bahkan ada teman yang sebelum bekerja, secara khusus magang di restoran Tionghoa untuk belajar.

Sepulang dari Negeri Belanda, Bung Umar kami yang gesit, datang dengan sederetan keterangan serta pengalaman berharga dan daftar menu sebuah restoran di Belanda yang beliau "curi". Sungguh mati, aku mengagumi "pencurian" ini. Semua kami mendengar keterangan Bung Umar dengan antusias dan kemudian sepakat bahwa formula yang kami terapkan adalah formula "rijstafel" yang kami terjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa Prancis menjadi "table du riz"(sampai sekarang aku tak tahu apa bagaimana mengindonesiakan formula ini).

Dengan formula ini segala macam makanan berasal dari manapun bisa dimasukkan sesuai keinginan dan sesuai dengan harga yang kita tetapkan sehingga menjadi sangat elastis, mulai dari makanan pembukaan sampai kepada makanan penutup. Semuanya menjadi satu paket lengkap, karena itu kami namakan "table du riz complet". Celakanya, sementara pelanggan yang tidak mengenal formula itu mengira bahwa "riz complet" adalah sejenis nasi yang berwarna kemerah-merahan. Berdasarkan pengalaman ini kemudian kata "complet"nya kami hilangkan sehingga formulanya hanya bernama "table du riz". Dengan ini maka bahasa Prancis mulai diperkaya oleh satu kosakata baru: "table du riz".

Kosakata lain yang dikenal melalui Restoran Indonesia yang mungkin kelak jadi kosakata Prancis juga adalah "rokok kretek" yang oleh restoran mulai diperkenalkan kepada para pelanggan. Sekarang di Prancis peminat rokok kretek ini kian bertambah jika dilihat bahwa pernah ia dijual di kedai-kedai rokok umum serta jumlah pelanggan yang terus meningkat menanyakan kretek.

Melalui rupa-rupa pengalaman ini, aku memahami benar catatan di buku tamu restoran yang ditulis oleh antropolog Prancis Christian PELRAS yang ahli soal Bugis, bahwa "makanan dan masakan merupakan masalah kebudayaan. Sedangkan restoran merupakan salahsatu sarana untuk tukar-menukar kebudayaan antar bangsa".

Table du riz, sesuai kuantitas dan harganya kami berikan macam-macam nama seperti Pelangi, Widuri, Vegetariane. Yang pernah menimbulkan ketawa di antara kami, ketika seorang pelanggan memprotes kami mengapa ketika di Indonesia ia tidak menemukan "table du riz Pelangi, ataupun Widuri". Bagaimana mungkin ada kalau nama-nama itu adalah kreasi kami sendiri.

Sedangkan untuk formula makan siang di mana para pelanggan memerlukan makanan yang jumlahnya tidak terlalu besar, kami berikan nama pulau dan daerah-daerah Indonesia seperti: Sumatra, Jawa, Bali.

Menghadapi kemungkinan adanya pertanyaan-pertanyaan dari pelanggan tentang nama-nama itu maka di setiap tembok ruangan kami tempelkan peta-peta batik Indonesia. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, setelah para pelanggan selesai dengan makanan pokok, dengan sebatang tongkat khusus yang kusediakan sendiri di bar, aku menjelaskan soal-soal geografi, demografi, sejarah, dan lain-lain soal lagi ..... serta tentu saja tidak lupa kuceritakan tentang etnikku: Dayak yang selalu membangkitkan senda-gurau di kalangan kami dan pelanggan. Ketika menjelaskan tentang Kalimantan, aku selalu membuka keterangan dengan kata-kata: "Aku berasal dari pulau terbesar ketiga di planet kecil kita ini". Mendengar pendahuluan demikian, para pelanggan makin terpikat dan penuh mereka-reka keterangan berikutnya. Kemudian kulanjutkan:"Pulau terbesar pertama adalah Pulau Hijau milik Denmark; yang kedua: Australia yang menolak jadi republik merdeka dan pulau terbesar ketiga di dunia itu adalah pulau asalku: Kalimantan". Para pelanggan biasanya tertawa dan berkata: "Jadi kau seorang Dayak" dan kujawab tanpa kompleks:"Ya, akulah satu-satunya Dayak di Paris" yang senantiasa disambut dengan derai tawa dan sendagurau. "Jadi kau seorang pemotong kepala", ujar mereka. "Tapi aku tidak akan memotong kepala Anda", jawabanku yang membuat suasana kian akrab di antara para pelanggan di seluruh ruangan. Kesempatan begini juga aku gunakan sekaligus untuk menjelaskan masalah-masalah etnologis. Biasanya kalau Bung Umar ada di sampingku ketika aku menjelaskan hal-hal demikian, Bung Umar akan meningkahi selalu: "Dan aku seorang Madura, tapi kami sejak lama bekerja bersama dan hubungan kami hubungan seperti saudara. Ia pun tidak akan memenggal kepalaku". Menyimpulkan dialog ini sering kukatakan kepada pelanggan bahwa agaknya etnik dan nasion hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan. Mereka dilahirkan sejarah, ruang dan waktu sesuai kepentingan ruang dan waktu tertentu.

Dialog-dialog dengan para pelanggan menyebabkan para pelanggan merasa di rumah atau berada di kalangan para sahabat sendiri.

Setelah masalah-masalah di atas kami selesaikan satu persatu, maka D day pembukaan restoran kamipun sudah hampir tiba. Tanpa diucapkan dengan terus-terang, tapi dari celetukan-celetukan kuketahui bahwa ruang benak masing-masing teman dipenuhi oleh pertanyaan tunggal: Apa bagaimana kelak yang akan terjadi dengan usaha ini, usaha yang dikelola oleh sekelompok "cendekiawan" terhalau dari kampung halamannya yang sedang memasuki dunia asing: dunia perestoranan. Aku menghibur diri dengan lirik lagu Dorisday: "Que sera, que sera" dan bait penyair Longefellow: "face the future with courage!".

Kang Saikul dan Kang Luthfi, Sementara kisah kuakhiri dan akan kulanjutkan besok malam. Salam hangatku selalu,

JJ.Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (6)

MENGANGKAT INDONESIA MELALUI RESTORAN


Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Kembali aku meminta maaf karena tidak bisa memenuhi janji melanjutkan cerita malam kemarin. Aku sangat lelah dan pulang sudah terlalu larut malam. Sekalipun semangat tidak melelah tapi kekuatan fisik patut diperhitungkan dan mempunyai batas.

Sebelum memasuki cerita tentang D day, aku kira ada baiknya aku ceritakan tentang nama Restoran Indonesia. Mengapa dinamakan Restoran Indonesia. Mengapa tidak nama lain yang diambil seperti misalnya Jakarta-Bali, Surabaya atau Palangka Raya.

Restoran Indonesia adalah nama yang diusulkan oleh seorang anak muda yang bernama Iwan. Aku tidak tahu mengapa Iwan mengusulkan nama itu. Tapi semua teman yang menyiapkan pembangunan Restoran ini bersetuju akan nama tersebut.

Shakespeare, sastrawan beken Inggris memang mempunyai sebuah kalimat yang banyak disitat yaitu: "Apalah arti nama. Mawar tetap mawar", kalimat yang dari segi tertentu tidak pernah terlalu kusepakati. Bagiku nama mempunyai makna dan bagaimana mungkin makna ini dikatakan tidak punya arti. Nama merupakan lambang dan coba kita camkan sejenak tidakkah dalam masalah lambang ini di negeri kita terjadi suatu pergulatan untuk memenangkan sesuatu tujuan serta bahkan untuk mempertahankan suatu kekuasaan. Tidakkah dalam masalah lambang ini terjadi pergulatan berdarah bahkan penindasan yang merenggut nyawa manusia tak terbilang jumlahnya?!

Ketika usul Iwan ini diajukan kepada kami yang mendirikan usaha koperatif ini, aku langsung menyetujuinya dengan pertimbangan bahwa ketika itu tidak ada satupun restoran Indonesia di Paris. Dengan menggunakan nama Restoran Indonesia, maka sekaligus usaha koperatif ini menunjukkan posisi khasnya yang bisa memikat semua atau banyak orang sehingga dari segi komersial nama itu menjadi iklan sangat memikat sekaligus.. Pertimbangan lain bahwa dengan menggunakan nama Restoran Indonesia, orang-orang "klayaban di luar negeri" , jika menggunakan istilah Gus Dur atau orang-orang "terdampar" apabila menggunakan istilah penulis satirik Guritno Pamulang, kami bisa memperkenalkan Indonesia saban hari dan terus-menerus kepada masyarakat Prancis serta para para wisatawan yang datang ke Prancis dari segenap penjuru mata angin. Kalau kami bekerja baik, maka pekerjaan kami bisa mengangkat nama Indonesia juga. Dengan pertimbangan inilah maka dari diriku sendiri, aku selalu mencoba memberikan yang maksimal untuk restoran yang membawa nama Indonesia. Aku merasa restoran ini mempunyai misi "kedutaan" atau perwakilan Indonesia di negeri di mana kami berada. Aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana sikap pihak kekuasaan kepada kami, juga tidak menghiraukan apakah kami anak bangsa yang dihalau dan terusir atau tidak. Sebab kupikir keindonesaiaan anak negeri dan bangsa Indonesia tidaklah menjadi monopoli pemegang kekuasaan politik pada suatu saat. Bukan monopoli Orde Baru dan seluruh perangkatnya. Indonesia adalah milik bersama dan tanahair semua putra-putri Indonesia. Anak-anak negeri dan bangsa boleh bersaing memperlihatkan keindonesiaan dan kecintaan mereka kepada bangsa dan tanahair, bukan bersaing untuk saling menghujat, membenci, mengusir dan membunuh atau merebut monopoli menguasai Indonesia. Inilah yang kusebut konsep Indonesianisme dan bukan Indonesianisasi.

Boleh jadi Kakang berdua merasa ada ironisme di sini. Di satu pihak kami jadi anak bangsa dan negeri yang terhalau sehingga terpaksa "klayaban" atau "terdampar", tapi di pihak lain tetap berusaha mengangkat dan memperkenalkan Indonesia.

Ironisme bukanlah dasar perangaiku, para Kakang tercinta. Tapi kenyataan dan kehidupan memang sering menyindir kita dengan sangat tajam tanpa belas kasihan seperti halnya sekarang.

Kebanggaan menjadi Indonesia masih belum hilang dariku. Sekarang pun tidak! Jika Indonesia sekarang ada persoalan dan berada di ujung tanduk, masalahnya kukira bukan karena menjadi Indonesia dan berusaha menjadi Indonesia, tapi terutama terletak pada pilihan dan praktek politik pemegang kekuasaan negeri.
Pada masa pemerintahan Soekarno dulu, betapa kebanggaan menjadi Indonesia dengan keragamannya sangat kurasakan dan dirasakan juga oleh anak-anak bangsa lain. Kebanggaan ini kami ungkapkan misalnya melalui memanggil seorang teman dari Aceh dengan nama sukunya sedangkan aku sering dipanggil dengan Dayak -- asal etnikku. Melalui panggilan demikian masing-masing kami memperlihatkan kebanggaan akan keragaman negeri dan bangsa. Berbeda dengan sekarang yang jika menyebut nama Jawa terasa menyimpan kebencian.

Pergeseran perasaan dan makna ini kiranya bukanlah kebetulan, seperti halnya bukan kebetulan pula jika kami bersepakat menamakan usaha koperatif kami dengan Restoran Indonesia. Orde Baru agaknya memang banyak sekali melakukan pergeseran negatif yang luar biasa dalam berbagai bidang bahkan melakukan penyesatan berbahaya. Bahkan aku melihatnya, Orde Baru telah melakukan tindak pemandulan kreatifitas anak negeri dan bangsa. Padahal anak negeri dan bangsa ini sesungguhnya sama cerdik dan pintar dengan anak negeri dan bangsa manapun.

Dengan semangat ini maka ketika pulang ke tanahair, sebagai oleh-oleh bagi Restoran Indonesia, di Pejompongan, aku belikan sebuah bendera Merah Putih dan kemudian oleh Soejoso -- penanggungjawab RI (Restoran Indonesia) di pasang di tembok ruang pertama -- sehingga begitu masuk, para pelanggan akan segera melihat bendera tersebut yang jika ada kesempatan kujelaskan maknanya kepada para pelanggan dengan semangat "liberté, egalité et fraternité" semboyan Revolusi Prancis yang kuanggap punya nilai universal.
Nilai Revolusi Prancis yang universal ini pulalah yang kami angkat dalam nama koperasi yang mengelola Restoran Indonesia: Koperasi Fraternité" (SCOP Fratenité). Lalu bagaimana kita bisa ikut Shakespeare mengatakan bahwa "apalah artinya nama"? Apa artinya kata?

Jika mengingat semangat dan praktek di atas, maka kepada para mereka yang menyebut diri pemegang kekuasaan dan wakil rakyat, aku ingin menanyakan "mengapa anak-anak negeri dan bangsa ini tidak dipulihkan hak-hak mereka sebagai anak negeri dan bangsa". "Harus melalui prosedur?!". Bukankah prosedur itu ada dalam kekuasaan para Anda Yang "Mulia"?! Bisakah kita bicara tentang "kerukunan nasional" jika hak wajar anak negeri dan bangsa yang sebenarnya sangat sederhana ini, tapi melambangkan anutan terhadap suatu nilai agung, tidak diselesaikan?

Nama Indonesia yang dibawakan oleh Restoran Indonesia pada hakekatnya mengandung dan membawakan suatu nilai patriotik jika kita bisa melihatnya dengan tenang tanpa muatan emosional.

Dua puluh tahun hari ini, 14 Desember, usia Restoran Indonesia (RI), berarti 20 tahun anak-anak bangsa dan negeri yang terusir sehingga menjadi "klayaban" telah dan terus-menerus secara sadar menjunjung nama bangsa dan negeri. Katakan mereka komunis! Katakan mereka Soekarnois! Katakan mereka Islam, Katolik, Protestan Kiri! Tapi apa salahnya mereka berpaham Komunis, Soekarnois, Katolik, Islam, atau Protestan Kiri dan lain-lain..... jika negeri ini memang demokratis dan tahu arti toleransi serta bhineka tunggal ika? Indonesia bukan monopoli suatu aliran, partai atau kelompok manapun! Aku lagi-lagi jadi teringat akan nasehat ayahku almarhum: "Belajarlah jadi dewasa, nak!". Agaknya Indonesia sulit dan belum jadi dewasa. Padahal Indonesia adalah suatu konsep agung dan mengandung nilai universal dilihat dari usaha bersatu dalam keragaman yang juga tercermin dalam keragaman anggota-anggota Koperasi Restoran Indonesia (RI), jika menggunakan istilah Mbak Yuli Mumpuni, Atase Pers KBRI di Paris yang sekarang (dan dengan rendah hati selalu merasa dirinya tidak "mumpuni"). Untuk meresapi konsep Idnoneisa ini ditutut suatu kedewasaan berpikir dan bertindak.

KOPERASI (SCOP) DAN PELUANG LAIN:

Dengan menggunakan bentuk SCOP (koperasi) sebagai bentuk badan usaha, selain ingin menunjukkan bahwa ada alternatif lain dari kapitalisme buas yang di negeri-negeri Masyarakat Eropa dikritik keras, dengan bentuk ini kami bisa memobilisasi solidaritas keadilan masyarakat setempat. Kecuali itu dengan bentuk badan usaha badan usaha begini bagi kami terbuka peluang membuka usaha lain tanpa usah meminta izin khusus baru dari pemerintah. Jika usaha restoran ini berkembang baik sehingga bisa melampaui batas hanya menghidupi anggota-anggotanya dengan syarat minimal yang layak sebagai seorang manusia, bukan tidak mungkin SCOP Fraternité mengembangkan kerjasama dengan koperasi-koperasi di Indonesia.

Hanya saja ketika bekerja dan berusaha mengembangkan koperasi di pedesaan di Indonesia, aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa rusaknya nama koperasi di negeri kita, betapa sulitnya mengembangkan koperasi. Penduduk di lapisan bawah sudah begitu tidak percaya kepada yang namanya koperasi. Selalu diperlukan ketekunan dan waktu untuk memulihkan kepercayaan terhadap koperasi. Lagi-lagi di sini diperlukan proses pencerahan atau proses pembebasan, untuk penataan kembali pola pikir dan mentalitas, yang selalu diingatkan oleh Paulo Freire, pastur dari Brasilia itu. Praktek juga yang meyakinkan aku bahwa kemungkinan dan harapan tidak tertutup untuk mengembangkannya walaupun dari pihak pemrakarsa dituntut banyak pengorbanan dan kesabaran.

Merlalui pengalamanku yang serba sedikit di lapangan di Indonesia, aku sering bertanya-tanya (dan pernah kuungkapkan secara terbuka di depan seminar Gereja Kalimantan Evangelis) mengapa tidak lembaga-lembaga agama menggunakan kemungkinan organisatoris atau kelembagaan yang mereka miliki untuk usaha pemberdayaan tanpa jatuh kepada sektarisme? Indonesianisme dan pemanusiawian manusia, aku kira akan membebaskan kita dari sektarianisme yang masih saja merupakan penyakit di negeri kita.

SEMANGAT JERUK PURUT:

Ketika kami sedang bekerja badan, belepotan arang dapur dan debu membersihkan ruangan serta menata kembali ruangan, beberapa kali orang dari KBRI di masa Dubes Barli Halim, datang menyaksiakan kami bekerja menyiapkan restoran. Kami menerima orang dari KBRI itu dengan penuh rasa persahabatan dan tanpa curiga. Masih kuingat orang yang diutus oleh KBRI itu menawarkan macam-macam kerja sama jika nanti restoran sudah beroerasi. Dengan kepolosan tawaran tersebut kami sambut. Antara lain ditawarkan utusan tersebut bahwa ia (baca:KBRI) akan menyuplai jeruk purut dan lain-lain bahan dari Indonesia. Pada diriku -- yang mungkin sangat naif -- berkembang suatu bayangan: Akankah melalui usaha produktif non politik ini kelak berlangsung suatu kerjasama keindonesiaan yang membuka suasana baru? Dengan bayangan ini maka tawaran jeruk purut itu aku sebut sebagai semangat jeruk purut. Bisakah di masa Orde Baru semangat jeruk purut ini berkembang dan diujudkan?

Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Surat ini sementara kuakhiri di sini dan akan kulanjutkan lagi pada surat mendatang.

Salam hangatku selalu untuk Kakang berdua,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (7)


D- DAY: 14 DESEMBER 1982


Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,


Apakah persiapan tekhnis kami sudah siap untuk pembukaan usaha yang terutama bermaksud menciptakan kerja untuk diri sendiri dan menjunjung harga diri sendiri ini?

Secara tekhnis persiapan ruangan memang kami sudah siap. Tapi dari segi tekhnis pengetahuan, seperti pengenalan terhadap anggur (wine), bagaimana menyimpan anggiur, nama-nama kopi, teh, membuat aperitif (minuman perangsang hasrat makan), dijestif (minuman usai makan), menampilkan makanan, cara menyajikan makanan di meja secara profesional, dan tekhnis kerestoranan yang lain, kami sama sekali masih buta dan masih buta sama sekali. Yang kami ketahui benar tidak lain bahwa kami harus hidup tanpa tergantung siapapun, menjunjung harga diri dan nama Indonesia serta untuk itu restoran harus hidup. Dari kenyataan ini, saya ingin menanyakan tanggungjawab orang yang mengatakan (jika ada!) bahwa Restoran Indonesia ini bobot politik anti Soeharto-nya lebih menonjol daripada masalah "survival" dengan menjunjung harga diri dan nama Indonesia.

Tanggungjawab kata-kata ini (jika ada) aku tuntut benar karena jika ada tuduhan demikian aku anggap sebagai ketidak pahaman akan masalah orang terusir dan ketidak hati-hatian dalam menggunakan bahasa ibu. Jika ada kata-kata demikian diucapkan, aku ingin tanyakan siapakah yang mau menangani masalah kehidupan kami jika bukan kami sendiri?! Jika juga ada kata-kata demikian telah ditulis atau diucapkan maka aku ingin tanyakan kepada orang itu, apakah kami harus hidup menurut keinginan sipengucap kata-kata yang dalam kenyataan tidak berbuat apa-apa untuk kami? Apakah dengan mengucapkan kata-kata tersebut kami hanya boleh mati dan tidak boleh hidup serta mencintai Indonesia dan menjadi Indonesia seperti pihak yang tidak juga menyelesaikan sampai sekarang masalah orang "klayaban" atau yang masih mendapat banyak kesulitan karena eks tapol? Keindonesiaan dan nasib Indonesia , aku kira mungkin bisa relatif gampang (aku gunakan istilah "relatif" karena aku tidak percaya adanya "kesempurnaan" dan atau "kemutlakan") diselesaikan kalau kita meninggalkan sektarianisme (entah di bawah selubung apapun) dalam ujud apapun dan betul-betul menjadi penganut Indonesianisme.Boleh jadi ada yang ingin bergurau, tapi bergurau pun dalam kehidupan punya muatan tertentu. Tapi gurauan pun sesungguhnya secara langsung menunjukkan apa siapa kita dan apa yang mau kita ucapkan dengan cara mencoba menggunakan dalih. Patut dibedakan antara usaha produktif dan sikap politik seseorang. Tanpa bisa membedakan dua hal ini, usaha produktif dan sipenulis atau sipengucap kata-kata tidak bisa memilah-milahkan masalah. Dari segi usaha produktif profesional, usaha itu akan gagal.

Kami sesungguhnya adalah orang-orang yang sudah dihukum mati oleh kekuasaan, dan di hadapan "hukuman mati" itu kami menjawabnya: "kami ingin hidup" (We want to live!"). Kami ingin hidup dan menuntut hak hidup kami tanpa minta belas kasihan karena hidup dan menjadi Indonesia adalah hak kami sebagai manusia, sebagai anak bangsa dan negeri yang bukan monopoli siapapun! Tidak juga monopoli partai yang memerintah. Karena hak adalah hak! Jangan katakan Indonesia negeri demokratik dan memegang teguh "bhinneka tunggal ika" jika soal hak menjadi Indonesia ini saja tidak bisa diselesaikan.

Pada D Day, 14 Desember 1982, semua tim pendiri dan teman-teman dekat berkumpul di 12, Rue Vaugirard, 75006 Paris , tempat restoran yang telah kami pilih. Diliputi oleh rasa keindonesiaan Bung Umar dan aku memasang pengeras suara di luar dengan maksud melalui pengeras suara itu orang-orang lewat bisa mendengar bahwa di sini, di pusat Paris ini, Indonesia hadir dan ada! Hanya kemudian sikap berkelebihan membuat kita bisa buta, kurang pertimbangan. Karena keesokannya kami ditegur tetangga yang secara sopan berkata: "Wah, kalau senantiasa terbuai oleh lagu-lagu indah demikian, kami akan lupa kerja". Bung Umar, saudara tuaku, dan aku jadi terkekeh-kekeh sendiri sambil segera memindahkan pengeras suara itu ke dalam.

D. Day kami langsungkan tanpa upacara dan pidato kecuali pemberitahuan kepada teman-teman di jaringan LSM Prancis dan jaringan-jaringan lain. Pada hari itu Bung Umar yang tulisan tangannya relatif lebih indah dari tulisan tanganku membuat pengumuman bahwa pada hari pembukaan restoran kami adakan promosi dan harga khusus.Tentu saja dalam bahasa Prancis.

Semua kami dalam keadaan gelisah memikirkan apakah restoran ini akan laku dan akan berjalan baik serta bisa menghidupi kami. Kalau tidak jalan bagaimana kelak kami membayar kembali hutang kami kepada teman-teman yang juga hidupnya tidak berkelebihan tapi rela meminjamkan uang untuk membantu kami?

Jam 19.00 Restoran Indonesia kami dibuka tanpa upacara kecuali beranda dipenuhi pengumuman.Yang paling gelisah dan tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya adalah saudara tua kami Bung Umar. Ia mondar-mandir sambil mengusap muka -- suatu cara khususnya mengungkapkan kegelisahan dan kelelahan serta jarinya tak pernah lepas dari rokok sekalipun tak dihisap kemudian diletakkan di mana saja. Aku yang pernah tinggal bersamanya dan mengenal cukup baik memang sangat memahami saudara tuaku ini.Bagaimana ia dan kami tidak gelisah? Kalau usaha ini tidak jalan, betapa akan pahit jadinya kehidupan kami? Gaji bekerja bersama orang lain tidak akan seberapa dan tidak akan mungkin membayar semua pinjaman. Lalu kawan-kawan yang sudah tua akan hidup dari apa? Kegelisahan Bung Umar adalah kegelisahan solidaritas dan keresahan manusiawi. Kalau beliau hanya mementingkan diri sendiri, tentu ia tidak akan gelisah karena ia sudah mempunyai pekerjaan setara dengan pegawai negeri.

Pekerjaan inipun ia tinggalkan demi kepentingan bersama dan melalui usaha bersama ini, ia ingin menunjukkan cintanyanya kepada Indonesia dan keindonesiaan dirinya sekalipun mungkin secara tidak sadar. Tapi justru kalau dilakukan secara tidak sadar maka ia mempunyai watak keindonesiaan Bung Umar menjadi tulen! Tentu soal begini, soal keindonesiaan seorang anak bangsa begini tidak masuk perhitungan penguasa politik --terbukti sampai sekarang kami masih jadi orang "klayaban". Dari kenyataan ini bisa dipertanyakan kemanusiaan dan keindonesiaan pemegang kekuasaan politik dewasa ini! Mengingat keadaan kami sekarang ini pada batinku aku bertanya: Apa gerangan yang ada di nurani pemegang kekuasaan tentang arti kekuasaan, kemanuasiaan dan keindonesiaan? Apa gerangan arti Republik bagi mereka?

Aku masih ingat benar di hari 14 Desember 1980 petang itu. Kami semuanya berada di dapur bertiraikan kain batik. Tamu mulai datang dan kami semua berseru gembira: "Wah, ada tamu!". Lalu Bung Umar yang gelisah segera keluar menyambut mereka dengan segala keramahan. Ketegangan belum juga menyisih dari kami dan kami tutupi dengan sendagurau. Begitu tamu masuk, masing-masing kawan menempati pos masing-masing. Tamu makin banyak masuk dan semakin bertambah banyak masuk. Kegelisahan melenyap oleh pemusatan perhatian pada pekerjaan pertama kami sebagai awak restoran, pekerjaan baru kami. Dunia baru kami.

Menyadari tenaga fisiknya yang tidak sepadan dengan diriku, jauh-jauh hari sidah kukatakan kepada Bung Umar agar ia memusatkan perhatian kepada pekerjaan mengajak tamu bicara. Tapi yang namanya Bung Umar, ia tidak segan melakukan pekerjaan apa saja dalam batas kemampuannya.

Di luar dugaan, hari pertama pembukaan, restoran kami yang berkapasitas 60 kursi itu penuh dan memberikan kami pengalaman pertama yang melegakan serta memungkinkan kami menertawai diri kami sendiri. Tentu saja dalam pekerjaan ini kami didampingi oleh Jean-Pierre, kawan Prancis dari resotran koperasi Le Temps de Ceries.

Kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan telah mengantar kami melalui hari pertama kehidupan sebagai restoratur dengan senyum lega di bawah alunan musik-musik Indonesia dari berbagai pulau. Bisakah senyum ini kami pelihara? Berapa lama gerangan kami akan bisa tersenyum sebagai putra-putri negeri yang "klayaban"? Kami ingin hidup untuk suatu nilai, untuk mencintai Indonesia dan kemanusiaan. "Sekali berarti sudah itu mati!" seperti kata penyair Chairil Anwar walaupun pada diriku sendiri aku ingin suatu kehidupan tanpa mati bukan hanya untuk hidup "seribu tahun lagi".

Pertanyaan ini muncul di benakku karena hidup adalah ruang dan waktu penuh dadakan seperti kata penyair Longfellow: "Life is not easy. There is time to be happy but there is time to be unhappy too". Hidup yang tak ramah ini adalah kesatuan utuh dari "happy" dan "unhappy". Ketika hari pertama ini berlalu, malamnya aku teringat pada Thomas Edison yang berkata: "Di mana ada kemauan di situ ada jalan". Hari pertama berlalu, apakah benar kami sudah meruntuhkan mitos bahwa "uang adalah raja?!". Paling tidak hari pertama yang berakhir dengan senyum ini meyakinkan aku bahwa modal paling berharga adalah manusia! Dengan manusia kita bisa menciptakan yang tidak ada menjadi ada, yang kecil menjadi besar.

Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,
Sementara kisah kuakhiri di sini. Sampai surat mendatang. Mudah-mudahan Kakang berdua tidak bosan mendengar atau membacanya.

Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (8)

"TAK ADA YANG PERLU KITA TAKUTKAN BILA KITA BERSIMBAH AIRMATA"

Kang Saikul dan Kang Luthfie yang baik,

Ketidaktahuan kami tentang dunia baru restorasi sama sekali tidak menakutkan kami untuk untuk memulai usaha bersama untuk "survival" ini. Kami samasekali tidak punya pilihan kecuali bertarung. Pemegang kekuasaan politik Indonesia sudah menjatuhkan keputusan secara tak semena-mena terhadap kami untuk tak mungkin kembali dan sampai sekarang belum berusaha merobah keputusan tersebut. Bahkan pers tulis di tanahair pun ketika kami difitnah, juga tidak memberikan kami kemungkinan kepada kami untuk memperoleh hak jawab. Sebagai contoh: Harian Republika Jakarta memuat tulisan yang menyerang Lekra dan Joebaar Ajoeb almarhum mengirim jawaban tapi segera ditolak oleh harian tersebut dengan kata pengantar bahwa tulisan itu sudah difotokopie sebagai dokumen tapi tidak bisa dimuat. Bukan hanya Republika yang bertindak demikian. Bahkan semua tulisan dari Paris yang mencoba menjawab semua tulisan yang sudah diterbitkan di penerbitan Indonesia, otomatis tidak bakal dimuat sehingga suara yang terdengar hanyalah suara dari satu jurusan mata angin. Suara orang-orang di atas mata angin. Keadaan ini pernah kukatakan kepada Mas Willy (Rendra) dan sebelum meninggalkan Eropa,Mas Willy menelponku: "Kau terus saja menulis Kus, jangan perduli dimuat atau tidak!". "Tapi menyakitkan benar -- seperti Mas Willy katakan di Yogya dulu apabila kita tidak bisa bersuara". Dan Mas Willy menjwab:"Percuma saja kau berani melawan jika kau menangis!". Aku jadi teringat akan kata-kata penyair Prancis Baudelaire:"Tak ada yang perlu kita takutkan bila kita bersimbah air mata". Teringat akan kata-kata penyair ini yang sejalan dengan kata-kata Chairil Anwar yang menolak segala tabu dan berani menerjang hutan-hutan terlarang, pada diriku ketidaktahuan kami akan dunia baru restorasi sama sekali tidak membuat diri gentar tapi sebaliknya merangsang tekad. Tidak tahu bukanlah kesalahan asal kita tahu bahwa kita tidak tahu dan mau tahu.Demikian pula bodoh bukanlah kesalahan asal kita tahu kita bodoh dan ingin belajar. Kesalahan pun adalah hak jika kita mau memperbaikinya. Coba, adakah dan siapakah di dunia ini yang ketika lahir serta-merta menyandang gelar profesor doktor dan berjabatan presiden atau menteri. Siapakah yang begitu lahir tahu segala dan dalam perjalanan hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan?

Sadar akan ketidaktahuan dan kebodohan di bidang baru ini, aku berusaha belajar maksimal dari Jean-Pierre Tupin dan Chapsal yang ahli anggur (wine) yang membantu kami dengan sukarela. Aku belajar mengurus anggur, belajar membuat aperitif dan tekhnik menyuguhkan dijesif. Menanyakan fungsi dijestif dan aperitif bagi kesehatan secara nalar. Segala seluk-beluk wine kupelajari secara rinci dari Monsieur Chapsal yang jika datang ke restoran pasti berbincang-bincang lama sampai menuturkan kisah pribadi bagaimana ia bertemu dengan istrinya di suatu pesta dansa terbuka di kampungnya dan pacaran. Ke manapun ia berpergian, Chapsal selalu saja mengirimku selembar dua kartupos tanda persahabatan. Masalah anggur menjadikan kami bersahabat dekat tanpa perduli perbedaan pandangan kami tentang sementara soal di berbagai bidang. Chapsal mengajarku bagaimana bersahabat dalam perbedaan. Chapsal berkulit putih dan aku kuning, tapi perbedaan warna kulit ini justru menjadikan kami menjadi dua sahabat akrab. Pertemuan dengan Monsieur (Tuan) Chapsal ini mengajarku juga bahwa sesungguhnya manusia itu ada di mana-mana. Prasangka dan melihat sesuatu secara sama rata akan menyulitkan kita menemukan manusia. Pengalaman lebih lanjut dengan orang-orang Prancis dari berbagai tingkat, membawaku pada kesimpulan: "Mengapa tidak kita mengeksplorasi dan mempelajari segala kekayaan budaya dan intelektualitas Prancis yang sangat kaya untuk kepentingan Indonesia?". Sampai sekarang masih tertancap kuat di benakkku ingatan saban mengenang ucapan Prof. Dr. Denys LOMBARD almarhum yang adalah sahabat dan guruku sekaligus: "Saya menyayangkan bahwa kebanyakan mahasiswa Indonesia yang belajar di Prancis tidak memanfaatkan kesempatan di Prancis untuk belajar dari dan mengenal Prancis secara maksimal. Mereka hanya mengejar gelar dan itupun sering dengan auto-sensor".

Berdasarkan ajaran Chapsal dan Jean-Pierre Tupin maka kemudian kepada kawan-kawan di restoran aku secara bergurau tanpa menunjukkan bahwa aku bergurau, sebuah aperitif yang kunamakan "Palangka Raya". Sayangnya Arief Budiman yang adalah salah seorang pendukung kuat restoran, ketika datang ke Paris, lupa kutawari aperitif Palangka Raya ini. Mendengar nama aperitif ini, teman-teman senasibsepenanggungan di restoran pada melongo menatapku. "Coba deh, Bung buatkan, aku!", ujar Soejoso. "Baik, tapi Bung tak usah lihat campurannya. Bung hanya boleh mengatakan bagaimana rasanya". Ketika gelas aperitif itu kutawarkan kepadanya, Bung Joso tertawa sambil berkata:"Boleh juga, Bung". "Nah, itulah aperitif Palangka Raya", ujarku. Kemudian dalam perjalanan restoran, Bung Joso termasuk salahserorang yang paling kreatif menciptakan aperitif sampai sekarang. Praktek membuat Joso dari tidak tahu menjadi tahu. Dari bodoh menjadi pandai.

TELEGRAM DARI JORIS YVENS:

Aku jadikan telegram dari Joris Yvens ini sebagai anak judul, Kang, karena jika Kakang berdua ingat, Joris adalah sahabat dekat rakyat kita sampai akhir khayatnya pada 29 Juni 1989. Dengan menjadikan telegramnya sebagai anak judul, aku ingin dengan cara ini memberi penghargaan dan mengenang rasa persahabatan dan kesetiaannya pada persahabatan itu. Kakang berdua tentu tahu bahwa Joris adalah seorang Belanda, seperti halnya dengan Pitojo dan Haji Princen almarhum, ketika rakyat kita berjuang merebut kemerdekaan menghalau kolonialisme Belanda yang adalah negeri dan bangsa asal mereka, Joris, Pitojo dan Princen justru berpihak kepada rakyat Indonesia. Joris mengabadikan solidaritas kemanusiaannya melalui filem dokumenter "Indonesian Calling" sebuah filem tentang pemogokan buruh Australia yang memboikot kapal-kapal Belanda yang mengangkut senjata untuk menindas perlawanan rakyat kita. Sikap buruh Australia dan, Joris ini membawa ingatanku pada kata-kata Julia Kristeva, seorang filosof dan psikolog Prancis tentang "nasion tanpa nasionalisme". Sikap mereka ini pulalah yang membawaku pada pertanyaan: Tidakkah etnik dan bangsa itu hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan kendatipun ia dilahirkan dan diperlukan sejarah pada ruang dan waktu tertentu. Artinya mereka bersifat tidak mutlak dan terus berkembang sementara kemanusiaan adalah ruang raya seperti muara tempat semua sungai bertemu.

Isi telegram Joris yang dengan sangat menyesal tidak bisa hadir karena berada di luar Paris pada saat pembukaan restoran, sebagai dokumentasi ada baiknya kusalin lengkap di sini:

"Felicitation pour l'ouverture de votre Restaurant. Regrette impossibile venir ce soir mais certainement bientôt.Amicalement". Joris Yvens

( Selamat atas pembukaan Restoran kalian. Menyesal tidak bisa datang malam ini tapi pasti dalam waktu dekat". Salam persahabatan". Tertanda Joris Yvens.

Sayangnya, sampai beliau meninggal pada 29 Juni 1989, Joris tidak sempat melaksanakan keinginannya. Yang datang berkali-kali hanyalah istrinya yang Prancis, Madeleine. Sebelum meninggal Joris sempat menyelesaikan sebuah filem besar dokumenter tentang Tiongkok berjudul "Kakek Pandir Memindahkan Gunung".

Karena pemihakannya terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia, Joris berpuluh-puluh tahun tidak bisa kembali ke kampunghalamannya Negeri Belanda. Baru kemudian setelah sikon berkembang, ia kembali dan pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada Joris, entah berapa ribu gulden. Dari pengalaman Joris inipun, aku melihat Kang betapa beratnya mencintai dan berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Mencintai dan berpihak pada keadilan serta kemanusiaan diperlukan kesanggupan menggadaikan kepala. Aku kira pengalaman Joris inipun dialami oleh alm. Haji Princen ketika almarhum kembali ke Negeri Belanda yang memandangnya tetap sebagai disertir..

Ketika Joris meninggal, Restoran kami telah mengirimkan karangan bunga khusus atas nama Restoran dan Indonesia. Hanya dari kamilah tentu saja ada karangan bunga belangsungkawa yang bertandakan Indonesia kepada seorang sahabat besar dan setia rakyat Indonesia ketika ia meninggal. Sedangkan hubungan kami dengan isterinya sampai sekarang tetap berlangsung baik. Joris meninggal dengan kecintaan dan kesetiaan pada para sahabat Indonesianya seperti yang terungkapkan melalui telegramnya di atas dan yang ia abadikan dalam "Indonesian Calling". Cinta dan kesetiaan yang tanpa pamrih. Cinta, kesetiaan, persahabatan dan solidaritas inilah juga yang memungkinkan kami putra-putri "klayaban" membangun Restoran Indonesia di Paris.

POURBOIR (TIP) RIBUAN FRANCS:

Secara agama, aku adalah seorang Kristen Protestan dan Kakang berdua adalah Islam. Tapi apakah perbedaan agama ini bisa menghalang persahabatan kita? Apakah Kristen dan Islam menjadikan kita tidak bisa hidup bersama di negeri bernama Indonesia? Apakah perbedaan agama ini bisa menghalang diri kita untuk menjadi satu bangsa? Melalui surat-surat listrik pribadi Kakang berdua, aku bisa menjawabnya: Tidak! Apalagi jika aku melihat kehidupan kita, bahkan sampai sekarang di kampungku, sekalipun agama telah dipolitisir sedemikian rupa, penganut berbagai agama masih hidup rukun dan menyebut diri mereka Dayak. Agama di kampungku adalah pilihan pribadi masing-masing sedangkan hubungan manusiawi tidak terganggu oleh pilihan pribadi ini. Tidak sedikit yang Islam kawin dengan yang Kristen atau Kaharingan dan agama-agama lain. Hubungan manusiawi adalah hubungan alami. Bening seperti air telaga.

Kebeningan hubungan manusiawi ini juga aku saksikan di negeri di mana kami berlindung dan dilindungi ketika penguasa negeri menghalau kami bagaikan kami ini bukan putra-putri Indonesia.

Pada D Day 14 Desember 1982 tidak sedikit teman-teman Prancis yang datang. Mereka memesan makanan yang paling mahal dan sebagai setiakawan, usai makan mereka meninggalkan tip (pourboir) sampai ribuan francs Prancis yang waktu itu tentu sangat tinggi nilainya. Salah seorang yang aku ingat benar yang telah meninggalkan tip demikian adalah seorang pastur bernama Jean-Quilvaut. Sikap Jean-Quilvaut diikuti oleh pelanggan-pelanggan lain dan para sahabat lainnya. Merenungi adanya solidaritas tanpa diminta begini, aku kira keadilan dan kemanusiaan betapapun mungkin pada tahap awal dan dalam perjalanannya harus menempuh lika-liku penuh onak dan duri tapi ia, cepat atau lambat, akan kuasa menghimpun barisan manusia ke pihaknya. Artinya manusia itu tetap hidup dan tetap ada di planet kecil kita ini. Adanya manusia di bumi inilah yang membuat harapan dan mimpi mungkin terwujud. Benarkah? Jika demikian mengapa kita terpenjara oleh sektarianisme yang menghaki kebenaran mutlak pada diri sendiri tanpa mencadangkan tempat bagi kebenaran pihak lain? Hal-hal di atas tentu saja sangat mendorong kami untuk mensukseskan perjalanan di dunia baru:Restorasi!

Sementara cerita kuakhiri di sini, Kang. Sampai surat mendatang.
Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (9)

BELAJAR ADALAH KEGIATAN SEUMUR HIDUP

 

Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,

Pelanggan yang mengalir terus-menerus memang menggembirakan hati kami sekalipun kami tidak memasang iklan di manapun oleh karena ketiadaan dana. Kalau boleh digolongkan kepada kegiatan memasang iklan maka satu-satunya yang kami lakukan adalah memasang tulisan berhuruf-huruf besar di triplek atau karton di beranda restoran sehingga terbaca oleh orang-orang yang lalu di jalan Vaugirard -- jalan terpanjang di Paris. Jalan Vuagirard terletak dekat Universitas Sorbonne, tidak jauh dari gedung Senat, Taman Luxembourg, Teater Nasional Odeon, bioskop-bioskop, tokobuku-buku dan toko-toko pakaian di Kartir Latin di mana eksistensialisme dilahirkan. Aku sendiri menganggap mengalirnya pelanggan mengunjungi restoran kami, terutama karena rasa ingin tahu orang Prancis akan makanan Indonesia dan hadirnya Indonesia di pusat ibu kota negeri ini sebagai sesuatu yang eksotis. Eksotisme mengundang pertanyaan yang menandai perangai orang Prancis mulai dari bocah-bocah hingga ke kakek-nenek yang tercermin dalam kalimat umum mereka pakai: "Mengapa?" (pourquoi?) et "C'est quoi? (Apa?), "Karena" (parce que) dan "ya tapi" (oui, mais). Rasa ingin tahu ini bisa nampak dari pertanyaan "Mengapa dan apa, serta jawaban rasionalnya yang dicari, ditunjukkan oleh kata "karena" yang keduanya terangkum dalam kata-kata "ya, tapi!"(oui, mais..!). Kata-kata yang mengungkapkan wajah mental rakyat negeri ini. Melalui kata-kata demikian terlukis pula bahwa sikap tersebut bisa berkembang oleh adanya sistem demokrasi. Demokrasi artinya menentang feodalisme, neo-feodalisme, otoritarianisme, militerisme, paternalisme termasuk guruisme yang menganggap guru sebagai sumber kebenaran mutlak yang tak bisa disanggah serta sedikitpun tidak membuka peluang untuk pertanyaan. Nalar di hadapan isme-isme ini dibunuh. Sedangkan di sini pertanyaan dan nalar itu dikembangkan dan berkembang.

Mengalirnya pelanggan ke restoran di hari-hari awal begini, aku sendiri melihatnya tidak lebih dari gejala dan boleh jadi gejala sementara saja yang akan berhenti atau terus berlangsung jika mereka mendapat jawaban kongkret dari kuriusitas dan pertanyaan eksotis. Gejala bukanlah hakekat.

Kekhawatiran akan nasib restoran yang menjadi sandaran nyata masalah "survival" kami, tetap menjadi masalah menggoda perhatian dan pemikiran. Benarkah ia bisa dijadikan sandaran atau tidakkah kelak ia akan jadi bumerang yang kemudian menjerat kami dengan hutang tak terbayar?

Kekawatiran dan pertanyaan-pertanyaan demikian mendorong kami. Oleh kekawatiran ini maka Bung Umar dan aku tidur di kursi restoran selama hampir setahun ditemani oleh teman dari restoran koperasi Le Temps de Cerries, Jean-Pierre Tupin dan Aziz, seorang teman mahasiswa jurusan perfileman Universitas Paris VIII dari Senegal. Sedangkan teman-teman lain pada jam 23.00 dengan alasan bertempat tinggal di pinggiran kota, meninggalkan seluruh pekerjaan kepada kami. Piring,mangkok, sendok, garpu bertumpukan di dapur. Sedang di ruang depan, meja masih berantakan tak tertata. Padahal menurut ketentuan restoran profesional, pelayanan baru dianggap berakhir jika semuanya sudah tertata rapi kembali. Akulah bersama Aziz, Jean-Pierre yang menyelesaikan semua itu di antara teguran Bung Umar yang tak kuhiraukan agar pekerjaan itu ditunda besok. Mengapa mesti menunda pekerjaan sekarang untuk besok jika bisa dikerjakan sekarang? Demi restoran ini maka kuliah malamku di Paris VIII kubengkalaikan untuk kemudian pindah ke l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l'EHESS), pecahan dari Sorbonne. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bertanya atau menanyakan.

Bung Umar, Jean-Pierre, Aziz dan aku tidur di kursi dan meja restoran hampir setahun lamanya. Lelah? Tentu saja, apalagi bagi usia orang seperti saudara tuaku Bung Umar. Tapi tidak pernah kudengar ia mengeluh kecuali mengulang-ngulang teguran kepadaku: "Besok, dan besok saja kerjakan!".

Selama setahun tidur bersama di kursi dan meja restoran, aku banyak sekali belajar dari Jean-Pierre bagaimana membuat minuman aperitif, disgestif dan segala rupa ketentuan restoran. Walaupun bukan menjadi ahli, tapi melalui proses setahun ini pengetahuanku tentang masalah tekhnis dunia restoran berkembang dari tidak tahu menjadi tahu. Segala rupa pekerjaan kulakukan mulai dari membuat fond de caisse, memesan minuman, daging, belanja kebutuhan mendesak, membuat pembukuan sederhana, mencuci piring, mengepel lantai, membantu persiapan dapur....

Dari pengalaman ini aku simpulkan bahwa hampir tidak ada yang tidak mungkin dicapai dan diketahui kalau kita memang mempunyai kemauan keras dan mau belajar dengan rendah hati. Belajar merupakan syarat untuk berkembang maju dan ia merupakan kegiatan seumur hidup. Hanya bersandar pada insting, kita tidak akan mungkin mengobah situasi ke tingkat perbaikan. Pengalaman semenjak di Yogya ketika bekerja di Remaja Nasional, ruangan khusus Harian Nasional Yogyakarta untuk murid-murid Sekolah Dasar, pelajar SMP dan SMA, aku sudah meragukan arti menentukan dari bakat. Belajar bukanlah pekerjaan sederhana tentu saja. Ia memerlukan ketekunan dan disiplin serta kesadaran. Lagi-lagi melalui pembangunan restoran dan proses perkembangan selanjutnya, aku kian mengenal sulitnya berkolektif dan berkoperasi. Koperasi tidak gampang memecat anggota-anggotanya berbeda dengan usaha swasta apalagi yang dipunyai oleh perorangan. Semangat koperasi dilahirkan melalui pendidikan entah dengan kata-kata atau teladan. Oleh karena keadaan ini maka dalam sistem koperasi bisa saja terjadi adanya anggota-anggota yang "mencuri kerja" atau "mencuri malas" -- istilah yang muncul dalam proses kerja di sini -- tapi saban rapat kolektif, orang begini suka omong besar. Jika tim pimpinan kolektif tidak bijak dan tidak tanggap, maka usaha koperasi cepat atau lambat akan hancur bermula dahulu dari terus merugi. Tapi adakah pilihan lain bagi kami dan bagi kita jika ingin maju bersama kecuali belajar hidup berkolektif? Hipokrisi hanya akan menghancurkan kehidupan kolektif. Karena itu hidup berkolektif itu kukira perlu belajar dan memaksa kita untuk terus-menerus belajar, sanggup melihat serta mengkoreksi kesalahan. Meninggalkan sikap dan semangat kolektif kita akan jatuh pada sikap "mbossy", "main perintah" atau merasa diri majikan. Boleh jadi ada di antara teman-temanku yang marah dengan pengungkapan ini, Kang, karena menganggap aku mempertontonkan bopeng muka kolektif kami. Tapi kata-kata ini kutulis juga tanpa mengindahkan bahwa aku akan dicerca dengan maksud dan harapan bahwa pengalaman buruk hidup berkolektif kami tidak dialami oleh kolektif lain dari anak negeri dan bangsa ini. Pada diriku sendiri, tidak ada kompleks jika ada yang dengan berbaik hati menunjukkan bopeng pada wajah perangaiku karena kita memang mahluk sosial dan patut pandai hidup bersama. Hidup bersama pun diperlukan kemampuan belajar.

Beberapa orang yang pernah turut tidur di meja dan kursi di restoran adalah teman-teman seperti Prof. Dr. Jomo K. Sundram dari Malaysia, Jose Ramos Horta -- sekarang menteri luar negeri Timor Lorosae. Aku ingat benar betapa pagi-pagi begitu bangun sambil mengurus makan minum sendiri, Jomo dan Ramos menyapu restoran dan ikut kami mencuci piring para pelanggan. Demikian juga dengan teman-teman lain sahabat Prof. Dr. Husein Ali dari Malaysia -- sekalipun tinggal di hotel sederhana di sebelah restoran, tidak segan membantu kami menyapu, mencuci piring dan melayani pelanggan. Kasihsayang, solidaritas dan kehangatan persahabatan antar anak manusia yang lintas negeri dan bangsa mendorong kami untuk menang dan tidak menyerah. Hal ini tidak bisa dibeli dan tidak dijual, Kang.

GAJI:
Bagaimana kami menggaji diri kami sendiri? Dasar kami menetapkan gaji kami sendiri tidak lain daripada ketentuan pemerintah tentang perupahan minimum. Sampai sekarang kami berpegang pada patokan gaji minimum yang di sini disebut SMIC (salaire minimum interprofessionnel de croissance) sedangkan penerima gaji SMIC ini disebut Smicards. Gaji ini adalah gaji yang dijamin undang-undang untuk kalangan bawah masyarakat.

Dengan gaji ini maka smicards mempunyai jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pengangguran jika di PHK-kan, mempunyai syarat untuk menyewa apartemen sederhana dan jika hemat bisa menabung sedikit saban bulan. SMIC menjamin untuk hidup layak sebagai anak manusia, dan SMIC ini seperti halnya dengan satu bulan cuti dibayar adalah buah pertarungan berdarah rakyat pekerja. SMIC memberi syarat bagi kita untuk hidup hanya pas-pasan. Adalah akan sangat keliru jika ada bayangan bahwa dengan SMIC kami akan bisa pulang ke tanahair atau melancong jarak jauh sampai dua kali setahun, apalagi pulang dengan gaya yang mewah. Bisa pulang ke tanahair sekali setahun saja sudah merupakan upaya yang diperhitungkan benar sejak awal.

Pada awalnya gaji kami di restoran sama rata. Egaliter. Mulai dari penanggungjawab sampai ke pelayan ruangan (garçon). Tip, kami bagi bersama. Baru dalam proses, kami menyadari dan memperbaiki sistem egaliter ini dan membuat perbedaan antara penanggungjawab, pekerja di dapur dan pelayan di luar. Sekalipun demikian, perbedaannya tetap tidak tinggi. Tapi bukankah John Rawl -- filosof dan sosiolog Amerika yang baru saja meninggal, menunjukkan bahwa keadilan (justice) tidak identik dengan egaliter mutlak?! Untuk bisa pulang ke tanahair sambil menengok keluarga di Hong Kong, penanggung jawab kami yang tertinggi gajinya di antara kami pun mesti perlu mendapat bantuan dari keluarga untuk bisa bepergian dengan anak- istri. Jika hanya bersandar pada gaji di restoran, hal demikian tidak bakal mungkin ia lakukan. Gaji di restoran pada pokoknya adalah gaji survival yang tidak memungkinkan diri bermewah-mewah. Apalagi jika disamping membayar beaya mutlak untuk hidup, kita masih patut menyisihkan jumlah untuk koran, majalah dan buku. Koran, majalah dan buku bisa ditiadakan jika kita rajin ke perpustakaan atau berkeputusan meninggalkan sepenuhnya dunia kecendekiawan dari mana umumnya kami berasal dan berketetapan hidup hanya untuk bekerja serta hidup asal hidup. Tapi Paris terlalu menggoda dan menggelitik dunia pemikiran seorang penanya dan pemimpi..

Tidak sekali dua, teman-teman dari berbagai negeri Eropa Barat meminta sokongan finansil atas nama rakyat Indonesia kepada kami dan kami sulit memenuhinya dengan menambah pengeluaran dari kantong sendiri. Teman-teman ini menganggap kami kikir, berobah jadi kapitalistis, tudingan yang terlontar karena tidak memahami keadaan kami sesungguhnya. Sumbangan bisa datang dari kami hanya jika kami mencari jalur lain dan atau membuat kegiatan pengumpulan dana. Yang paling aktif melakukan kegiatan ini sekarang adalah saudara kami Arie.

REPAS & PAGUYUBAN:
Pekerja-pekerja restoran jika makan di restoran saat tidak giliran bekerja, sejak beberapa tahun, berdasarkan keputusan bersama, pun harus membayar tiga euros. Bukan gratis. Ketetapan ini kami tetapkan demi kehidupan restoran, sandaran hidup kami. Makanan yang kami santap di luar jam kerja di restoran ini kami klasifikasikan sebagai "repas". "Repas" dengan harga khusus. Dengan sistem ini kami membela usaha produktif dan diri kami sendiri. Jika kami dalam keadaan sulit, pihak lain paling-paling akan berkata: kasihan dan kata kasihan ini sama sekali bukan jalan keluar.

Apabila kami mengundang makan teman-teman dan anggota koperasi yang mengundang teman-teman itu maka restoran akan memberi reduksi harga. Lagi-lagi tidak gratis. Sebuah restoran Philippina di Roma, pernah bangkrut karena menggunakan sistem gratisan ini. Tentu saja apa yang kukatakan di atas hanyalah prinsip umum dan prinsip bukan suatu ketetapan kaku yang tidak bisa berobah dalam syarat-syarat tertentu.

Lebih jauh lagi, komunitas keluarga Indonesia dan para sahabat yang mencintai Indonesia di Paris, telah membentuk sebuah paguyuban. Jika ada tamu dari Indonesia, Paguyuban inilah yang akan mengurus mereka dan membayar makanan mereka jika makan di Restoran Indonesia dengan harga penuh. Apabila kolektif pimpinan restoran memberi potongan harga, maka hal itu adalah kebijakan kolektif penanggungjawab restoran. Tapi secara prinsip, Paguyuban membayar penuh sesuai harga di menu.

Keuangan Paguyuban didapat dari yuran dan sumbangan tak mengikat dari manapun datangnya. Lahirnya Paguyuban juga berasal dari pengalaman bertahuntahun dalam menerima tamu dari tanahair atau dari mana saja. Artinya ide ini dilahirkan oleh kondisi sosial kami di sini.. Bukan lahir dari jenialitas atau datang dari langit. Dengan begini maka kegiatan restoran dan kegiatan di luar restoran bisa berjalan semuanya tanpa saling menggerowoti. Pengalaman menuntut kami untuk bisa mendisiplin dan mengatur diri.

Untuk meningkatkan jumlah pelanggan, sebelum aku kembali ke tanahair, pernah kudengar adanya ide dari kalangan penanggungjawab dan teman-teman Prancis untuk membentuk semua organisasi yang tadinya direncanakan bernama "Sahabat Restoran Indonesia". Anggota-anggotanya terutama sahabat-sahabat Prancis. Bagaimana kelanjutan ide ini, sampai sekarang tidak pernah kuusut kembali.

Menyimpulkan pengalaman, mengkoreksi kesalahan secara terbuka dalam rapat-rapat kolektif adalah cara kami belajar menjadi profesional. Suatu usaha produktif betapapun kecilnya, kami yakini benar patut dikelola secara profesional pula. Aku jadi teringat akan pepatah Tiongkok: "Kalau ingin tahu rasanya buah persik harus makan buah persik itu". Inti ide pepatah inilah yang menuntun kami mengelola restoran koperasi kami di Paris ini.

Dalam kerangka peningkatan kualitas para pekerja secara profesional, sebagai anggota Federasi Koperasi Seluruh Prancis, rata-rata anggota restoran telah mengikuti berbagai tingkat dan jenis pendidikan profesional yang diselenggarakan oleh Federasi Koperasi tersebut.

Jika bulan ini, Restoran koperasi kami sudah berusia 20 tahun, apakah kehidupan pandak begini juga mengatakan bahwa koperasi masih merupakan jalan alternatif untuk mengelola hidup dan masyarakat yang manusiawi? Di tengah-tengah sistem kapitalisme seperti di Prancis, koperasi tetap dan terus berkembang sementara ketika di Indonesia aku saksikan sistem koperasi ini dihancurkan oleh Orde Baru sehingga berbicara koperasi di daerah pedalaman pertama-tama kita disambut dengan sinisme yang menolak. Apakah penglihatanku keliru dan atau kehancuran demi kehancuran ini memang patut disanjungbanggakan sebagai kejenialan Orde Baru?! Tapi yang pasti kukira kita patut mencari jalan keluar yang tanggap budaya, tanggap lingkungan dan situasi demi -- sekali lagi! -- hidup dan masyarakat yang manusiawi. Perut tidak bisa menunggu dan Indonesia mendesak diselamatkan. Ide, organisasi dan program yang tanggap dengan mengambil rakyat benar-benar sebagai poros agaknya sekarang merupakan keperluan yang mendesak. Karena penderitaan bersifat menyeluruh dan total maka kukira kebangkitanpun patut menyeluruh dan total pula.

Sampai surat mendatang, Kang.
Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.


* * *


RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (10)

"IL FAUT SAVOIR ETRE FORT"

(Harus Belajar Menjadi Kuat)

Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,


Pelanggan terus-menerus mengalir mengunjungi restoran. (Benarkah masakan Indonesia memang punya pasar di Prancis sehingga mengalirnya pelanggan bukan hanya suatu gejala?Aku tidak membahas soal ini lebih lanjut, Kang). Apalagi setelah di edisi minggu sebuah harian nasional "Le Figaro" Paris, keluar sebuah artikel panjang mengenai Restoran Indonesia yang adalah satu-satunya sampai hari tersebut di ibukota Prancis dilengkapi foto Bung Sobron berpakaian putih-putih yang menampilkannya sebagai jurumasak, jumlah tamu yang datang membludak.

Tahun 1980-an termasuk tahun-tahun "jaya-jayanya" kekuasaan Jendral Soeharto dan Orbanya. Untuk tampil dengan nama sebenarnya kami sangat enggan apalagi untuk difoto dan disebarluaskan melalui sebuah publikasi. Dalam hal ini aku perlu mengacung jempol atas kesediaan Bung Sobron yang sangat tidak berkeberatan untuk melakukan tersebut baik difoto ataupun memberikan wawancara. Bung Umar sendiri juga sangat enggan dan kalau tampil selalu menggunakan nama samaran serta menolak untuk di foto. Jangankan memberikan wawancara atau di foto, saban ada orang Indonesia yang tidak kami kenal masuk ke Restoran, kami memandangnya dengan mata curiga. Kami memandang Orba itu tidak punya kemanusiaan dan tidak segan melakukan apa saja untuk menghancurkan lawan politiknya.Orba tidak bisa dipercayai. Nyawa manusia sama sekali tidak punya arti bagi Soeharto dan Orba yang oleh sementara orang dipuji sebagai pemimpin dan politisi agung.

Suatu hari pelukis Marah Jibal tiba-tiba datang ke Restoran sebelum jam buka. Ia langsung saja duduk dan mengawasi semua teman-teman yang lalu lalang menyiapkan shift service malam (Restoran mempunyai dua service:siang dan malam. Siang dimulai jam 12.00 sampai jam 14.00, sedangkan malam mulai jam 19.00 sampai 22.30 kecuali akhir pekan sampai jam 23.00). Marah Jibal adalah anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakjat) dan salah seorang pimpinan inti Lembaga Seni Rupa Pusat Lekra (Lesra Lekra). Tapi dalam Tragedi September 1965 dan seterusnya, ia dikenal dan dicurigai sebagai "tukang tunjuk" bahkan sampai menjadi "tukang pukul". Siauw Giok Bie alm. yang turut berjasa dalam pertempuran melawan Inggris di Surabaya, ikut serta juga dalam melawan serbuan fasisme Jepang di Tiongkok, adik kandung tunggal Siauw Giok Tjhan (juga almarhum) -- pimpinan Baperki, mengaku sebagai salah seorang yang pernah digebuk oleh Jibal. Budiman Sudarsono, mantan pimpinan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) Pusat melayani Jibal dengan latar belakang pengetahuan ini. Hebatnya lagi, dalam pembicaraan dengan alm. Mas Budiman, Jibal merasa gagah dengan memperlihatkan bahwa ia tahu benar alamat kami masing-masing. Aku lalu teringat akan pesan Jendral Marinir Ali Sadikin yang mengkritikku karena dalam sebuah penerbitan sederhana: Majalah Kancah, aku mengumumkan alamat benarku. Penerbitan ini pernah membuat wawancara khusus dengan Bang Ali yang kemudian dikutip dan disiarkan oleh berbagai pihak serta diterjemahkan ke bahasa asing . "Sekalipun kau di Paris, tapi petrus (penembak misterius) bisa saja menjadikan kau sasaran", Bang Ali melalui jalurnya memperingatkan aku. Dari pesan ini aku menangkap bahwa Bang Ali ingin aku selalu waspada dan berhati-hati dan Orba seperti Jendral Pinochet dari Cile serta juga terjadi dalam sejarah politik dunia bahwa pihak penguasa represif tidak segan membunuh lawan-lawan poilitiknya di negeri manapun. Orba tidak punya nurani. Dengan rasa terimakasih mendalam atas peringatan Bang Ali ini, aku menasehat diri dengan kata-kata: "Il faut savoir être fort" (harus belajar menjadi kuat), kata-kata yang terdapat di ruang paling bawah kantor pusat Kepolisian Nasional Prancis sekarang ini. Tadinya ruangan ini dijadikan sebagai penjara di mana para pejuang anti fasis di tahan dan disiksia. Sekarang ruangan tersebut dipelihara dan dirawat dengan baik oleh pihak kepolisian. Corat-coret yang terdapat di temboknya juga dibingkai dan dipelihara (Mengapa hal begini tidak kita lakukan di Indonesia?!). Sehubungan dengan ini, akupun teringat akan pesan saudara tuaku: Joesoef Isak dari Hasta Mitra: "Kalau kau ditangkap dan disiksa, Kus, sekali-kali kau jangan ngomong. Kalau kau disiksa, paling-paling kau akan pingsan dan mati. Tapi kalau kau ngomong, penyesalanmu akan terbawa sampai mati dan tidak bakal bisa kau tebus. Karena itu pula kau harus lunak dan memahami teman-teman yang tidak tahan siksa lantas ngomong. Beri mereka pintu keluar!". Terimakasih Bung Ucop. Aku akan ingat selalu pesan Bung.

Courage!" (beranilah!), demikian pesan para pejuang anti fasis Prancis yang tertera di tembok-tembok ruang bawah kantor pusat Kepolisian Nasional Prancis di jalan St. Germain, di tengah kota Paris. Dan bagiku, kata-kata mereka bukanlah kata-kata kosong, tapi terjemahan ide, tekad dan mimpi mereka. Lagi-lagi suatu petunjuk bahwa untuk mencintai tanahair, untuk mempunyai mimpi manusiawi orang harus berani menggadaikan kepala. Lagi-lagi mememperlihatkan apa hakekat kata dan bahasa.Ini adalah masalah keberpihakan kepada kemanusiaan, bukan masalah gelar profesor, doktor atau Ph. D -- simbol keahlian yang juga memang diperlukan oleh tanahair dan bangsa! Tapi apa artinya keahlian kalau kita tidak manusiawi. Tanpa komitment keahlian membuat kita seperti mesin. Komitmen diuji dalam kesulitan mandi darah dan juga di hadapan tumpukan dollar serta rupiah. Pemimpi yang berpihak pada kemanusiaan, meminjam kata-kata sobatku Arief Budiman, adalah orang yang berani menempuh jalan sepi. Jalan kita adalah jalan sepi, ujar Arief (Ingin kucatat di sini secara khusus, bahwa jika di sana-sini terkadang Arief dan aku ada perbedaan pendapat, patut diketahui bahwa perbedaan itu adalah wajar. Perbedaan adalah manusiawi dan alami! Sering aku heran, mengapa banyak para pengkritik Arief yang tidak bisa menghargai keindonesiaan dan rasa kemanusiaan Arief. Aku memprotes ketidakadilan cara mengkritik dan menilai Arief. Protes yang tidak mengatakan bahwa Arief tidak boleh dikritik. Kritik dan cara mengkritik memperlihatkan apakah kita bisa atau tidak membedakan antara musuh, sekutu dan teman. Cara mengkritik pada galibnya memperlihatkan pemahaman kita tentang hakekat juga adanya).

Mengapa perempuan Prancis,wartawan harian Figaro yang di sini termasuk kategori koran kanan, ini datang sukarela dan membuat artikel panjang tentang Restoran Indonesia? Sederhana saja alasannya! Ia telah mengambil anak angkat seorang Indonesia sejak bayi dan karenanya ia merasa bagian dari Indonesia. Adanya Restoran Indonesia di Paris dirasakannya sebagai satu kebanggaan. Lalu apa artinya sikap ini? Bagiku, ia menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah sikap politik yang memihak keadilan dan kebenaran adalah keadilan. Klasifikasi kiri dan kanan sering jatuh ke dalam sektarianisme dan kepentingan yang membutakan serta mengekang.

Kebetulan ketika itu yang "service" siang hanya berdua. Jumlah tamu berjas berdasi (untuk menunjukkan lapisan masyarakat pembaca harian Le Figaro) mencapai 60 orang. Sedangkan pengalaman kami masih sangat terbatas. Jean-Pierre Tupin waktu itu pun sedang berisrahat. Aziz, si Senegal, itu tidak ada. Kami berdua yang service sungguh-sungguh kewalahan. Rasa sedih dan malu menyelinap ke dalam diriku karena terasa aku memalukan bangsa dan tanahair. Pada diriku, diam-diam aku berkata: "Maafkan aku Indonesiaku!" Ya, Indonesia, kata ini selalu memberiku motivasi dan tenaga. Cinta kepada tanahair, kepada mimpi adalah sumber kekuatan. Lalu jika demikian apakah cinta Indonesia adalah suatu monopoli kekuasaan atau orang-orang di atas angin? Mengapa anak Indonesia dilarang mencintai Indonesia? Pertanyaan ini aku alamatkan kepada pihak kekuasaan dan kepada semua yang merasa diri Indonesia dan punya rasa keidonesiaan. Bagiku penindasan, kungkungan dan segala ancaman tidak mengharuskan aku turut menghancurkan tanahair dan bangsa, tapi menjadi tantangan untuk kian mencintai dan membelanya. Sejak lama aku digoda oleh pihak-pihak yang ingin membangun "Borneo Merdeka" dan atau "Dayak Merdeka", tapi aku anggap jalan ini adalah jalan pintas yang bertentangan dengan "Il faut savoir être fort" dan "courage" serta "merdeka atau mati!" -- semboyan yang menghiasi tembok-tembok berbagai kota tanahair ketika melawan kolonialisme Belanda. Jalan pintas adalah jalan gampang-gampangan! Mengapa kukatakan jalan pintas? Kujawab dengan pertanyaan: Di mana salahnya konsep Indonesia?! Dengan semangat dan pikiran ini jugalah dahulu maka pahlawan nasional asal Dayak, Tjilik Riwut menolak ajakan sobatnya Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan untuk membangun Dayak atau Kalteng Merdeka. Apa arti kemerdekaan Dayak sebagai negara dan bangsa sendiri, jika kemudian Dayak dijajah dan ditindas oleh Dayak sendiri? Konsep pemederkaan hakiki, aku kira inilah yang patut diselesaikan dulu. Sedangkan etnik dan bangsa -- memang diperlukan oleh sejarah pada tingkat tertentu tapi ia adalah batasan semu bagi kemanusiaan, keadilan dan kebenaran!

DARI ANCAMAN KE ANCAMAN:

Tahun-tahun pertama, kami mengalami rupa-rupa pengalaman. Beberapa telpon anonim, datang meminta Restoran harus membayar jumlah tertentu kepada pihak penelpon. Pascal LUTZ, direktur sukarela restoran (tanpa dibayar sampai sekarang), yang mengangkat telepon tersebut mengatakan: "Datanglah, kita rundingkan bersama!". Pascal yang aktivis Amensty International Prancis, dan juga direktur beberapa asrama imigran Afrika dengan jawaban demikian bermaksud jika penelpon datang, mereka akan dibawa ke asrama imigran Afrika yang sangat dekat dengan kami juga. Di situ mereka akan ditanyai jaringan mereka dan tentu saja kami tidak akan memenuhi tuntutan pembayaran bulanan mereka. Penelpon gelap tidak juga datang dan tidak lagi pernah menelpon kembali setelah mendapatkan jawaban Pascal.

Usaha pemerasan lain datang dari entah grup mana. Mendengar adanya kaset-kaset Indonesia diputar di Restoran mereka ingin menagih pajak untuk itu. Dan lagi-lagi Pascal Lutz yang menjawab mereka: "Produksi kaset-kaset ini tidak ada urusan dengan Prancis. Sepeserpun kami tidak mengambil uang Prancis untuk memproduksikan kaset lagu-lagu ini. Kalian selayaknya berterimakasih kepada kami yang sedang memperkaya Prancis melalui lagu-lagu ini. Pergilah segera dari sini!", ujar Pascal di mana Aziz yang dari Senegal berdiri di belakang dengan pandang tajam mengarah kepada dua lelaki yang meminta uang pembayaran bulan pembayaran kaset lagu-lagu Indonesia.

Merenungi pengalaman ini aku lagi-lagi merasa pentingnya memberi daya paksa pada kata-kata. Rakyat kitapun jika ingin menyelamatkan bangsa dan tanahair dari kangkangan elite busuk patut memberikan daya paksa pada kata-kata pengungkap konsep adil dan benar serta manusiawi. Memberi daya paksa pada konsep "bhinneka tunggal ika" dan "indonesianisme"!

Setelah ancaman-ancaman telepon ini teratasi dan tak lagi terulangi, suatu malam terjadi usaha pembakaran terhadap restoran. Menurut keterangan polisi, karena akhirnya soal pembakaran (dalam arti harafiah ini) di bawa ke pengadilan dan Bung Soejoso menjadi saksi dari pihak Restoran, dilakukan oleh grup dari Partai Front Nasional, Le Pen, yang berkecendrungan neo-nazi dan sangat anti orang asing..

Karena menggunakan ruang bawah sebagai restoran pun, kami pernah digugat ke pengadilan oleh pemilik tempat ini. Pemilik Restoran Madras dengan sukarela menjadi saksi kami dan si penggugat kalah. Hukum dan kesetaraan di depan hukum memang diusahakan benar dibela di sini. Hukum bukanlah kata-kata dan keinginan penguasa! Sekarang Jacques Chirac sekalipun menjadi presiden Republik Prancis tetap digugat atas dugaan bersalah ketika menjadi walikota Paris.

Ancaman yang kami rasakan paling menekan adalah ancaman ketika Politon menjadi atase militer KBRI di Paris. Pada saat itu kami berkali-kali menerima telpon gelap dari orang yang menyebut diri sebagai "Komando Jihad". Kebetulan yang mengangkat telepon itu adalah aku sendiri. Ancaman ini muncul setelah keluarnya tulisan Arief Budiman di Harian Kompas, Jakarta (Desember 1983) yang memandang Restoran ini sebagai "kedutaan sesungguhnya". Arief menulis artikel tersebut setelah kunjungan keliling Eropanya atas undangan Majalah Kancah, Paris. Artikel Arief ini agaknya menyulut kemarahan pihak KBRI Paris, yang waktu itu di bawah dubes Barli Halim, termasuk menteri luar negeri Mochtar Kusumatmadja. Dubes Barli Halim menduga bahwa Restoran Indonesia sebagai pusat propaganda anti pemerintah" sekalipun terhadap dugaan itu pihak Kedubes "tidak mempunyai bukti-bukti tentang itu" (UPI, 21 Desember 1983). Wartawan Derek Manangka, yang waktu itu berada di Paris, di Harian Sinar Harapan, Jakarta, menulis serangkaian artikel menuding Restoran Indonesia. Untuk berbicara baik-baik dan menjelaskan masalah, Derek Manangka kami undang tapi beliau tidak mau datang. Untuk itu Joko, menulis sebuah artikel berjudul "Mereka Menciptakan Pekerjaan Sendiri. Restoran Indonesia di Paris" (Kompas, Jakarta, 29 Januari 1984) menjelaskan duduk masalahnya dan sepatah katapun sesudah itu Derek Manangka tidak memberi komentar. Dari sikap Derek Manangka ini, aku ingin mempertanyakan jati diri dan harga diri seorang wartawan yang bebas.

Sesudah polemik inilah, maka berkali-kali pihak yang menyebut diri "Komando Jihad" menelpon ke restoran melakukan ancaman akan "mempetruskan kami " terutama Bung Umar dan Bung Sobron sebagai adik kandung D.N. Aidit -- karena adanya kata Aidit pada nama yang dipakai Bung Sobron! -- dan teman-teman lain. Yang menyebut diri sebagai Komando Jihad itu, merincikan langkah mereka: Menembak mati orang-orang itu, lalu membawanya dalam karung ke Indonesia. Agak ke kanak-kanakan memang rincian ini karena apakah sebegitu gampang mereka keluar dari bandara Charles de Gaulle Paris? Tapi ancaman dan kenalaran memang adalah soal lain. Aku mengetahui hal ini karena kebetulan selalu akulah yang menerima telepon ancaman dari yang menyebut diri "Komando Jihad" itu. Bukan hanya melalui telepon: Bahkan ada seseorang Indonesia (tanpa usah kusebut namanya) yang khusus datang ke Restoran merincikan langkah-langkah tersebut dengan berpura-pura berkemauan baik dengan memberi yang disebutnya informasi. Informasi terkadang sulit dibedakan dengan ancaman.

Untuk menghadapi segala kemungkinan maka kami mengambil langkah-langkah kongkret, termasuk memberitahukan kementerian luarnegeri Prancis sehingga Restoran Indonesia langsung berada di bawah pengawasan Kementerian Luar Negeri Prancis.Sedangkan Patrice de Beer, wartawan dari Departemen Asia, harian Le Monde -- harian paling berpengaruh di Prancis -- menanyaiku sebagai teman dekat ketika datang makan di Restoran: "Masihkah ada ancaman terhadap kalian?". "Jika hal itu terus dilakukan saya akan menelanjanginya di Harian Le Monde", ujar Patrice. "Karena itu tolong saya selalu diberitahu", lanjut Patrice sambil memelukku sebelum meninggalkan restoran.

Setelah pengambilan langkah-langkah ini dilakukan maka telepon gelapn yang mengancam dari yang menyebut diri Komando Jihad itupun lenyap serta-merta.

Ketidaknalaran, ketidakmanusiawian, ketidaan jati diri, kesanggupan menjual diri demi uang dan kedudukan, menandai periode waktu itu dari pihak-pihak yang memusuhi kami sedangkan solidaritas manusiawi berbagai pihak memihak kami secara nyata. Arief Budiman termasuk orang yang gigih membela kami di hadapan segala ancaman dan tudingan. Arief dengan gagah berkata bahwa ia bersahabat baik dengan kami ketika ia diinterogasi militer, dan iapun mendesak agar kami diperlakukan setara dengan anak bangsa yang lain. Kami tidak akan melupakan para sahabat. Sahabat yang baik adalah sahabat yang datang pada saat berdua dan dilanda kesulitan. Arief adalah salah seorang dari sahabat demikian yang penilaiannya bahwa Restoran Indonesia adalah juga "kedutaan" Indonesia dalam arti yang lain yang kemudian diakui oleh Atase Pers KBRI sekarang, Yuli Mumpuni (18 Desember 2002). Dua puluh tahun kemudian kata-kata Arief baru diakui dan dibenarkan. Artinya kalau pada suatu kebenaran, keadilan dan kemanusiaan kalah, tidak berarti mereka salah tapi karena imbangan kekuatan tidak memungkinkan ia memperlihatkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaannya. Membaca kata-kata Mbak Yuli Mumpuni ini, dalam hati aku ingin berseru: Hidup kemanusiaan, keadilan, kebenaran, solidaritas serta Indonesianisme! Yuli Mumpuni adalah diplomat jujur dan manusiawi. Sayang Rief (Arief Budiman), kau tidak berkesempatan hadir pada ulangtahun ke-20 tahun koperasi restoran yang selalu kau bela-bela ini sehingga kau tidak bisa menyaksikan suasana akrab antara kami dan orang-orang KBRI Paris. Inikah wajah baru Indonesia, di mana penguasa dan rakyatnya menyatu? Mungkin terlalu jauh penafsiranku karena perjalanan ke sana masih panjang kukira .

RESTORAN INDONESIA MEMANGGIL KENANGAN:
Suatu malam aku mendapat giliran service. Aku melayani sebuah meja yang diduduki oleh dua orang perempuan: yang seorang sudah nenek-nenek dan seorang lagi sudah setengah baya. Ketika datang ke mejanya dengan tangan penuh talam makanan, sang nenek berkata: "Tahukah kau mengapa aku datang ke Restoran Indonesia -- restoran tunggal di Paris sekarang ini?" tanyanya.
Aku memandangnya. Tentu saja tidak, jawabku. "Maukah Anda mengatakan sebabnya?" tanyaku sambil meletakkan makanan satu per satu. "Aku dilahirkan di Indonesia, ketika Prancis menguasai Indonesia!", ujarnya. Kami berdua memandang jauh. Jauh ke masa silam dengan isi kenangan sendiri-sendiri. Aku membayangkan masa sebelum aku lahir dan hanya mengenalnya dari buku-buku, sedang sang nenek membayangkan pengalaman nyatanya."Aku datang ke mari dipanggil oleh nama Indonesia, negeri di mana aku dilahirkan dan tidak lagi pernah kukunjungi. Dengan kemari tanpa tahu sempatkah aku kembali lagi kemari aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak lupa negeri kelahiranku yang selalu bersuara memanggil-manggilku datang". Mendengar keterangannya mataku memandang jauh menembus tembok-tembok ruangan sampai aku kembali tersentak ketika ia menanyai: "Kau dengarkah aku?". "Maaf, ya aku dengar dan sangat mendengar Anda!". Nenek itupun bercerita tentang masa kecilnya dengan kata-kata yang mengalir tanpa henti. Masih banyak lagi orang-orang yang datang seperti nenek Perancis ini, terutama orang Belanda yang tinggal di Prancis -- yang merupakan suatu komunitas tersendiri seperti halnya orang Amerika Serikat. Kepada sang nenek, lalu aku usulkan agar membaca E. du Perron yang di sini berjudul : "Pays d'origin" diterbitkan oleh Gallimard, Paris. "Perron", ujarku adalah sastrawan tiga negeri sekaligus: Indonesia, Belanda dan Prancis. Perron adalah ujud lenyapnya batas bangsa petunjuk semunya nasion di hadapan kemanusiaan. Para pelanggan yang mendengar percakapan kami menjadi pada melirik ke arah kami karena boleh jadi dialog kami bukanlah dialog biasa antara pelayan dan pelanggan.

Kata Indonesia yang digunakan oleh Restoran Indonesia merupakan suatu seruan kepada orang-orang yang mempunyai kenangan tersendiri terhadap negeri kita. Restoran Indonesia dari segi inipun merupakan suatu titik bertemu masa lalu dan hari ini, antara kenangan dan kenyataan yang terus berkembang. Di Restoran Indonesia mereka mendapatkan kembali kenangan dan masa lalu mereka. Menemukan kembali manusia Indonesia. Tidak jarang, orang-orang jenis ini datang membawa kaset sendiri dan minta kaset lagunya diperdengarkan. Ah kemanusiaan di manakah batasmu: agama, etnik, bangsa, warna kulit, pesek dan mancungnya hidung?! Kemanusiaan kulihat sangat menderita sampai hari ini dan tidak betapa gampang menjadi manusia yang sering diganggu oleh sektrarianisme yang egoois. Agaknya kita patut belajar untuk untuk bisa menjadi manusia.

Sementara sekian dulu Kang.. Sampai surat mendatang.
Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.


* * *

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (11)

DI SINI ADA INDONESIA,

TAK ADA POSTER POLITIK, KANG!


Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Berada di bawah tekanan semacam teror verbal dan kongkret demikian, kami segera menyampaikan masalahnya ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Prancis yang waktu itu sudah berada di tangan partai-partai kiri. Aku tidak tahu tindakan dan langkah-langkah apa yang telah diambil oleh Kemlu negeri suaka kami. Yang nyata sejak hal ini kami laporkan, maka telepon-telepon gelap dari yang menamakan diri sebagai "Komando Jihad" dan selalu didahului serta diakhiri oleh seruan Tuhan Yang Maha Besar, tidak lagi berdering membawakan ancaman dan seruan tersebut. Boleh jadi Kemlu Prancis tidak ingin pengalaman pencari dan penerima suaka yang diculik dan dibunuh, terulang terhadap kami. Perlu kujelaskan bahwa pencari suaka dari Korea Selatan yang seorang pelukis pernah diculik dari Paris dan dibawa pulang ke Korea Selatan pada waktu negeri ini dikuasai oleh rezim diktatur militer yang buas seperti Orba. Pencari suaka dari Cile, Maroko (dikenal sebagai Kasus Ben Barka) dan Afrika Selatan (Kasus September) dibunuh justru di apartemen mereka. Berdasarkan pengalaman-pengalaman buruk yang menampar muka pemerintah Prancis begini maka agaknya begitu laporan kami diterima, Kemlu segera mengambil langkah-langkah tertentu. Tidakkah hal ini mencoreng wajah Republik Indonesia? Siapakah yang mencorengnya kalau bukan Republik Indonesia sendiri melalui tindakan-tindakan serta kebijakan-kebijakannya?

Sedangkan di pihak kami, kamipun mengambil langkah-langkah preventif tertentu.

Salah satu tuduhan pemerintah Orba (baca:Kemlu -- melalui suara Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja (lihat berita UPI yang aku kutip dalam surat terdahulu) bahwa Restoran merupakan pusat kegiatan anti pemerintah Orba. Diberitakan bahwa tembok-tembok ruangan restoran dipenuhi oleh poster-poster politik anti Orba.

Bagaimana nyatanya? Sampai sekarang, tidak selembar poster politik kecil sekecil apapun yang terpampang di tembok ruangan restoran. Yang kami pasang adalah peta Indonesia, di kaca beranda terpampang gambar Garuda Indonesia, di ruang dalam terpajang bendera sang saka, topeng-topeng Bali, Jawa dan Sunda. Sebuah gambar besar orang Dayak terpajang di tembok luar yang bisa dilihat oleh semua orang yang lalu lalang di jalan Vaugirard. Suasana Indonesia akan segera dirasakan orang yang masuk ke Restoran Indonesia baik melalui lagu-lagu yang kami perdengarkan, acara-acara budaya yang kami gelarkan secara periodik. Ketika Amnesty International, CCFD, Cimade yang membantu kami dalam pendirian restoran ini sama sekali tidak kami pajangkan. Alasan kami bahwa restoran bukanlah tempat kegiatan politik, tapi usaha produktif untuk menghidupkan diri kami. Jika dikatakan kami sebagai kolektif Restoran Indonesia dikatakan berpolitik maka politik itu adalah bahwa kami ingin hidup sebagai anak manusia yang layak tanpa menyandarkan diri kepada bantuan pemerintah Prancis dan juga tidak mengharapkan belas kasihan dari siapapun. Politik kami adalah kemandirian dan menjaga harga diri serta martabat bangsa Indonesia yang kami jadikan nama restoran ini. Politik itu adalah memperkenal dan mempromosi Indonesia dari segi budaya. Sejak berdirinya sampai sekarang, politik inilah yang kami terapkan. Sebenarnya sejak berdirinya kami ingin agar bisa terjalin kerjasama nyata antara kami dan Kedubes Indonesia untuk melaksanakan politik budaya ini, tapi baru setelah 20 tahun kemudian setelah hadirnya Adrian Silalahi sebagai Dubes Indonesia di Paris dan jasa besar Mbak Yuli Mumpuni yang merambah pelaksanaan keinginan lama ini. Dua puluh tahun, kami menjadi "duta" (menggunakan kata-kata Mbak Yuli Mumpuni, Andreas Sitepu -- bagian protokoler KBRI -- dan yang ditulis oleh Arief Budiman 20 tahun lalu, Indonesia tanpa siapapun yang menunjuk kami, tanpa mengharapkan puja-puji dari siapapun. Dua puluh tahun pula kami sudah mencoba sebagai putra-putri bangsa dan negeri menggalang persahabatan dengan rakyat Prancis dan para pelanggan dari seluruh penjuru bumi yang datang kemari. Rasa persahabatan mereka terekam di dalam hampir 20 buah buku tamu yang terus saja bertambah jumlahnya. Kepada Dubes A. Silalahi dan Mbak Mumpuni -- yang tentu saja dibantu oleh perubahan situasi politik tanahair -- selayaknya kami (atau lebih tepat kukatakan: aku pribadi, karena aku tidak berhak mengatasi namai teman-temanku! ) mengucapkan terimakasih atas segala prakarsa kedua diplomat Indonesia ini. Sambil menulis baris-baris ini pula pada diriku terselip bayangan dan andaian bahwa suatu hari: Mbak Yuli Mumpuni bisa menjadi dubes Indonesia di Paris. Mbak Yuli adalah seorang perempuan yang cekatan, luwes, penuh prakarsa dan berani melakukan terobosan-terobosan dalam batas yang memungkinkannya kendatipun mungkin ia ingin lari mengejar keterceceran oleh masa silam. Melalui prakarsa-prakarsanya, aku melihat Mbak Yuli Mumpuni yang sesungguhnya juga adalah seorang penyair selama di Yogyakar

Dengan kata-kata ini, aku ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya aku selalu mencoba menghindari diri dari cara pandang pukul rata yang kukira berbahaya dan berdampak pengucilan diri semata yang tidak seharusnya.

Jika selama dua puluh tahun di Paris ada dua alur kegiatan paralel untuk Indonesia yaitu dari pihak Kedubes dan yang lain dari pihak restoran Indonesia, sekarang setelah dua puluh tahun berlalu dua alur paralel itu memperlihatkan gejala pertemuan di muara yang bernama kepentingan Indonesia di bawah ide Indonesianisme partisipatif. Dengan baris-baris inipun aku ingin bertanya: Tidakkah dalam usaha membela kemanusiaan dan menjadi manusia, kita layak pula melakukan manuvre-manuvre yang cerdik demi membuka jalan kerukunan. Bertikai dan memulai pertikaian jauh lebih sederhana daripada mencari jalan kerukunan. Lebih gampang dan sangat sederhana mendorong orang menjadi lawan daripada menarik seseorang menjadi sahabat. Aku tidak yakin suatu usaha raksasa bisa dikerjakan hanya oleh satu dua orang manusia supra (yang tidak ada itu) ataupun hanya dikerjakan oleh satu dua kelompok atau partai politik manapun yang mengaku-ngaku sebagai pelopor. Membenci lebih gampang daripada mencintai!


LARANGAN DATANG KE RESTORAN INDONESIA:

Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Dubes A.Silalahi dengan Mbak Yuli Mumpuni sebagai tenaga pembidasnya -- tentu saja tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden -- akan makin terasa nilainya apabila diingat betapa Kedubes Indonesia di Paris selama hampir dua puluh tahun melarang mahasiswa, diplomat dan orang-orang Indonesia datang ke Restoran Indonesia sekalipun untuk makan. Para diplomat diperkenankan datang hanya apabila jika diundang oleh pihak lain tapi terlarang untuk datang secara berprakarsa. Sekalipun demikian, tidak terbilang jumlah mahasiswa dan orang Indonesia yang datang makan ke restoran ini. Salah seorang mahasiswa asal Tapanuli yang sedang belajar di Marseille ketika datang makan ke Restoran Indonesia dengan marah berkata: "Mosok, makan saja di Restoran ini dilarang. Apa hubungan makan dan politik!". Tidak sedikit pula mahasiswa-mahasiswa ini seusai makan nongkrong sambil ngobrol seperti di warung-warung di tanahair. Sedangkan kami membiarkan mereka dan terus melanjutkan pekerjaan. Sambil mengepel lantai atau melakukan segala persiapan service yang lain, mereka sering kucandai: "Makanan yang kalian santap dan air yang kalian reguk di sini akan mengobah kalian jadi PKI", ujarku, "lalu beasiswa kalianpun diputus". "Kami kemari tidak ada urusannya dengan PKI tapi dengan rendang, sate, semur atau balado", jawab mereka geram sambil menghirup seteguk demi seteguk kopi tubruk di hadapannya di antara asap kretek, aroma khas yang menandai restoran di bawah alunan lagu-lagu Batak, Minang, Maluku dan lain-lain...

Pernah terjadi rombongan 30-an orang mahasiswa Malaysia ingin makan di Restoran Indonesia. Tapi setelah berkonsultasi dengan KBRI Paris maka niat ini mereka batalkan karena mereka katakan demi menghormati perasaan KBRI Paris.

Restoran Indonesia adalah sebuah pulau mungil Indonesia dan menawan hati orang di tengah-tengah segala ragam bangsa yang ada di kota kosmopolitan ini. Pada waktu itu, orang-orang bisa datang ke Restoran Indonesia tanpa melapor dan datang ke KBRI Paris. Pulau mungil Indonesia di Paris ini masih bisa bertahan dan berkembang sampai sekarang tanpa terganggu oleh larangan ini dan itu dari pihak kekuasaan Orba, bisa berlanjut sambil menjunjung nama Indonesia.

ANAK-ANAK NEGERI YANG TERSIA DAN TERLUNTA:

Selama 20 tahun berdirinya Restoran ini rupa-rupa pengalaman kami alami antara lain dalam hubungan dengan orang-orang Indonesia yang tersia dan terlunta-terlunta di negeri asing. Akan terlalu banyak jika kututurkan semua. Karenanya akan kupilih satu dua peristiwa saja.

Suatu hari seorang lelaki muda kekar bertubuh jangkung berambut pendek. Ia mencari pekerjaan. Ketika kutanyakan ia dari mana dan bagaimana maka bisa sampai ke Prancis. Jawabnya ia asal Tapanuli dan tadinya pernah ikut Legiun Asing -- batalion khusus Prancis yang terdiri hanya dari orang-orang asing. Semacam tentara sewaan dan terkenal akan daya tempurnya. Ketika datang ke Restoran, ia katakan ia sudah meninggalkan Legiun Asing dan mencari pekerjaan sambil mencari jalan pulang ke tanahair. Karena latarbelakangnya tidak jelas tentu saja kami tidak bisa menerimanya apalagi kami masih berada dalam tekanan dan sorotan mata KBRI Paris. Kami menyarankan agar lelaki muda itu datang ke KBRI meminta bantuan untuk memecahkan masalahnya.

Pengalaman lain kami kedatangan tamu Prancis dari organisasi Anti Perbudakan membawa seorang perempuan muda Indonesia yang lari dari majikan Arabnya yang ketika itu sedang berobat di ibu kota Prancis ini. Tamu Prancis dari organisasi Anti Perbudakan itu meminta bantuan salahseorang dari kami untuk menjadi penterjemah dalam mengurus perempuan TKW dari Arab Saudi ini. Tentu saja kami berusaha sebisa kami menyediakan tenaga itu sampai segala urusan perempuan muda TKW ini selesai.

Ada lagi perempuan Indonesia yang terpaksa cerai dari suami Prancisnya karena sering dipukul. Untuk sementara kami membantu perempuan ini dengan memberikannya pekerjaan "part-time". Sekarang perempuan Indonesia ini sudah memperoleh pekerjaan lain dan boleh dikatakan tidak lagi berada dalam kesulitan.

Politikkah ini? Ya, politik kemanusiaan dan solidaritas manusiawi yang juga pernah kami terima di negeri suaka ini dan di negeri-negeri lain yang pernah kami lalui dalam perjalanan sebagai anak negeri yang terusir dari tanahairnya.
Solidaritas ini juga pernah kami berikan kepada teman-teman dari Muangthai, Senegal, Cile, atau mahasiswa-mahasiswa berbagai negeri yang mencari kerja sambil melanjutkan studi mereka. Nasion jadi kabur batasnya di hadapan kemanusiaan sekalipun demikian nasion Indonesia yang penuh kemelut sekarang memang patut diselamatkan dan juruselamatnya adalah putra-putri Indonesia sendiri. Masihkah Indonesianisme partisipatif itu tersisa pada diri kita?

Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Cerita akan kulanjutkan dalam surat mendatang.
Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (12)

"YO SANAK YO KADANG",

TEGAKKAN NILAI-NILAI REPUBLIKEN!


Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,

Aku tidak akan menceritakan semua apa yang kami alami selama dua puluh tahun menjalankan restoran ini.Terlalu njelimet dan membosankan apalagi kemampuanku bertutur sangat terbatas. Kemampuanku tidak seperti Anton Chekov yang mampu menuturkan hal-hal sederhana menjadi sangat menarik dan serirng membuat kita terkekeh-kekeh, termasuk menertawakan kedunguan diri sendiri. Karena itu aku patut pandai-pandai memilih dari gudang pengalaman 20 tahun itu apa yang kira-kira masih ada gunanya untuk hari ini dan syukur-syukur juga berguna untuk hari-hari lebih jauh. Untuk itu aku tidak ingin melewatkan cerita berikut.

Hari dan tanggalnya tentu tidak penting. Yang jelas Jendral Soeharto masih menguasai negara yang disebut Republik Indonesia pada waktu itu. Sebuah Biro Perjalanan dari Negeri Belanda mengorganisasi kedatangan serombongan kuranglebih 30 orang anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dari berbagai propinsi Indonesia ke Paris. Mayoritas dari mereka adalah anggota-anggota Golkar, partai pemerintah waktu itu.

Untuk makan malam mereka, Biro Perjalanan yang dikelola oleh seorang Indonesia, mengatur mereka makan ke Restoran Indonesia. Tentu saja kami menyambut mereka dengan sangat sekalipun membatasi diri dalam menjawab segala pertanyaan mereka karena Biro Perjalanan tersebut sebelumnya telah memberitahukan kepada kami apa siapa mereka. Kebetulan hari itu, aku turut melayani rombongan istimewa ini.

Melihat kap lampu restoran kami yang berwarna kuning, salah seorang dari mereka berkomentar: "Wah, benar-benar kuning itu ada di mana-mana. Kan demikian, Mas?", katanya. Sambil menyilahkan mereka duduk, aku yang paham maksud lelaki setengah baya ini menanggap harapannya yang memancing ucap: "Secara agama, saya ini seorang Kristen Protestan, Mas. Sebagai orang Protestan, saya mempercayai adanya kelahiran, kehidupan dan kemudian kematian". Mendengar ucapanku itu, pengantar rombongan dari Biro Perjalanan Belanda itu menegurku dengan suara nyaring dalam bahasa Prancis : "S'il te plait! S'il te plait" (Please! Please!) yang mengisyaratkan agar aku tidak melanjutkan komentarku. Sambil menahan ketawa, aku meninggalkan ruangan tanpa sedikitpun menunjukkan perobahan airmuka atau sikap. Aku mengucapkan kalimat itu karena merasa si pengucap pernyataan terdahulu seperti sudah mabuk oleh kekuasaan dan melupakan keberadaan orang lain. Aku merasa si pembuat pernyataan lupa arti negeri, bangsa dan negara bahkan hakekat partai politik itu sendiri.

Ketika berdua saja, sang pengantar rombongan meninju ringan bahuku: "Lho, memang kurangajar. Kau tahu mereka adalah orang-orang Golkar", ujarnya. Aku ketawa dan mengajaknya minum calvados seseloki sebagai digestif seusai makan. "Emangnya kalau sudah Golkar dan jadi partai pemerintah lalu boleh bersikap dan berucap sembarangan", jawabku. "Tapi bisnis jangan dicampuri politik, dong!", ujarnya. "Lho, memang kurang ajar!", katanya lagi. "Ya, kau benar, tapi aku tidak tahan melihat keangkuhan sikap orang di atas angin", balasku lagi.

Setelah KBRI Paris tahu bahwa rombongan tamu anggota DPRD makan di Restoran Indonesia, Biro Perjalanan dari Negeri Belanda itu ditelepon diperingatkan agar tidak mengulangi pengaturan demikian lagi terhadap tamu-tamu Indonesia. Nalarkah kebijakan ini?

Kisah lain: Akupun pernah mengusir tamu yang berjas-berdasi ketika tamu itu mengatakan bahwa makanan yang kami suguhkan seperti makanan anjing. Menjawabnya kukatakan: "Karena tuan menyantap makanan anjing, sebenarnya tuan tidak lebih dari anjing itu sendiri, dan restoran ini terlarang bagi anjing. Maka silahkan tuan keluar sekarang juga. Kami tidak menuntut bayaran dari anjing". Tapi lelaki berjas-berdasi dari Spanyol itu terus saja makan hidangan yang dikatakannya sebagai makanan anjing. Ketika selesai makan, kukatakan lagi: "Anjing tak usah kembali kemari!" dan kulihat wajahnya merah malu.

Belajar dari pengalaman ini semua maka dalam buku tamu kami cantumkan patokan-patokan kesopanan bagi para pelanggan dan juga prinsip-prinsip kami. Benar kami memerlukan uang, tapi bukan karena uang kami sukarela mengorbankan harga diri dan martabat kami. Kami hadir di sini, suka atau tidak suka mewakili sebuah bangsa dan negeri di samping memang bermartabat. anak manusia seperti siapapun. Partai pemerintah atau siapapun, tidak kami izinkan menghina kami walaupun mungkin pada waktu tertentu mereka berada di atas angin.

Karena kami dilihat sebagai pekerja restoran, tidak sedikit orang Indonesia yang memandang rendah kami dan sikap ini hanya kami tertawakan dalam hati. Pikirku, kalau orang-orang ini tahu bahwa dari segi pendidikan, para pekerja restoran ini tidak kurang taraf pendidikan apalagi pengalaman dari mereka sendiri yang tentu saja lebih berada dari kami , apakah mereka tidak akan malu ketika menyadari nilai sesungguhnya diri mereka? Sebab pada suatu saat, tidak sedikit dari pekerja restoran ini yang secara pendidikan berjenjang S1 dan bekerja sambil belajar untuk memperoleh jenjang lebih tinggi. Prinsip belajar sambil bekerja adalah sangat umum di sini. Tidak sedikit tamu-tamu kami tercengang apabila kami melayani para pelanggan dengan bahasa-bahasa ibu para pelanggan itu sendiri seperti: Spanyol, Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, Tionghoa, Albania, Korea, Ceko, Vietnam dan lain-lain tanpa usah kami cantumkan di papan pengumuman khusus seperti yang dilakukan oleh tidak sedikit restoran lainnya.

Apabila ada pelanggan yang meremehkan pekerja restoran, bagiku sendiri, kupandang sebagai sikap orang yang tidak paham arti kerja badan dan arti kerja secara umum bagi perkembangan masyarakat.

Dalam hal ini, bisakah Kakang berdua bayangkan, bagaimana kami bekerja di dapur atau apa yang kami perbincangkan di ruangan sambil menunggu tamu datang? Untuk melukiskannya aku ingin menyitat kata-kata alm. Ali Sugiharjanto -- mantan direktur Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, yang sambil kuliah juga pernah bekerja di restoran ini. Bung Ali yang ketika itu bekerja bersamaku mengatakan : "Aku kira tidak ada restoran di dunia ini di mana para pekerjanya sambil bekerja di dapur atau di mana saja bicara tentang puisi, prosa, politik, filsafat, sosiologi, antropologi, dan lain-lain soal serius". Bayangkan pula bahwa apabila Rendra, Sitor Situmorang atau Radar Pancadahana datang, tidak aneh jika usai makan kami saling membaca puisi. Pekerja restoran membaca puisi sendiri! Di ruangan depan restoran sampai sekarang masih terpajang tanda mata Rendra kepada restoran berupa petai tiruan. Sedangkan kawan-kawan Papua meninggalkan lukisan rakyat Papua. Orang-orang Suriname dan Kaledonia Baru turunan Jawa pun berbuat demikian. Orang-orang ini -- berapa turunan pun mereka di rantau tetap merindukan Indonesia -- dan di Restoran Indonesia mereka menemukan Indonesia serta kerinduan mereka yang terpendam. Sayangnya, Orba sangat banyak membuat putra-putrinya, sangat banyak menterluntakan putra-putrinya sedangkan sampai sekarang pemerintah Indonesia sangat tidak memperhatikan nasib mereka yang terlunta tapi cinta Indonesia mereka tetap menyala ini. Aku menggugat ketidakadilan ini, Kang!

Kami memang pekerja kasar. Kami memang kuli! Kuli dari diri kami sendiri! Tapi kami menjunjung harga diri dan martabat bangsa dan tanahair di tengah segala kesulitan yang kami hadapi. Ditempa oleh segala kesulitan dan menghadapi bersama-sama segala kesulitan ini kami menjadi seperti satu keluarga -- boleh jadi hubungan kami lebih dekat dari saudara kandung sendiri. Tapi justru hubungan begini pula yang menyebabkan kami sering bertengkar sangat sengit. Hanya saja setelah bertengkar sengit seperti tidak terdamaikan, dalam beberapa menit atau jam kemudian, kamipun rukun kembali seperti tidak terjadi apa-apa .Meminjam istilah orang Batak: "pohon bagesek karena dekat!" . "Bagesek", tidakkah masalah ini manusiawi? Merenungi kedekatan hubungan kami -- baik dengan pekerja lama ataupun baru dari berbagai generasi serta asal etnik -- pertanyaanku: Mengapa kami bisa begitu dekat dan merasa sesaudara padahal tidak ada hubungan darah apapun atau sedikitpun? Apakah arti hubungan manusiawi dan berbangsa? Umar Said yang Madura dan aku yang Dayak, mengapa kami bisa menjadi saudara? Hubungan kami bukanlah "dudu sanak dudu kadang" tapi sudah menjadi "yo sanak yo kadang". Dari sini aku kira hubungan orang sebangsa pun bisa menjadi begini, hubungan manusia sejagad pun bisa begini asal menggunakan hubungan kesetaraan manusiawi, asal sama-sama menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keluar dari sektarisme yang selalu cupet itu sekalipun menggunakan nama Tuhan. Bukankah atas nama Tuhan sering dilakukan pembantaian kalap? Bukankah atas nama Tuhan juga di sini kami pernah diancam dan diteror -- sekalipun secara verbal?! Dan bukankah karena jusutru sikap keterbukaan manusiawi anti kecupetan maka kami bisa menjalin hubungan akrab dengan Gus Dur, termasuk dengan Mbak Yuli Mumpuni yang atase Pers KBRI Paris dan lain-lain?

Yo sanak yo kadang, aku kira perumusan Jawa yang memberi arah bagi hubungan antar anak manusia, bukan hanya terbatas pada anak negeri dan bangsa bernama Indonesia. Nah, tentang kemelut negeri sekarang, tidak mungkinkah dengan semangat yo sanak yo kadang yang sejalan dengan nilai-nilai republiken bisa kita tanggulangi? Etnisisme ataupun separatisme, juga sektarianisme, kukira akan merasa diri malu berada di hadapan semangat ini. Prasangka politis apalagi! Tapi semangat yo sanak yo kadang ini tidak berarti menutup kebenaran justru sanggup mengatakan benar terhadap yang benar dan salah pada yang salah. Dari sini kukira bisa diharapkan kerukunan nasional. Maka dengan semangat dan ide yo sanak yo kadang mengapa tidak kita
ungkapkan kebenaran dan tegakkan nilai-nilai republiken!? Di Restoran Indonesia, selama dua puluh tahun semangat dan ide yo sanak dan yo kadang ini tumbuh dan berkembang. Keindonesiaan kami menemukan dan mematangkan dirinya.Sekalipun demikian aku tahu bahwa perjalanan masih panjang dan sangat panjang menuju batas malam serta "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" yang sangat panjang itu pula.

Sampai surat mendatang Kang.
Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

 

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (13)


WILAYAH BUMI KEMANUSIAAN ITU

SELUAS CAKRAWALA


Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,

Kepada seorang pelanggan kami berkulit hitam yang datang dengan istrinya juga berkulit hitam -- karena mereka memang berasal dari Pantai Gading, Afrika, negeri utama penghasil coklat dunia -- kutanyai dari mana mereka mengetahui dan mengenal Restoran Indonesia. "Dari Antenne 2", ujarnya. Antenne 2 adalah salah satu dari enam atau tujuh terusan TV Prancis. "Saya melihat laporan panjang tentang Restoran Anda dari situ dan sejak itu saya niatkan benar jika ke Paris, akan ke mari.. Sekarang keinginan tersebut sudah saya ujudkan", lanjut lelaki hitam tersebut. "Mudah-mudahan kami tidak mengecewakan Anda karena sering terjadi bahwa bayangan nampak lebih besar dari pohon", ujarku. "Anda boleh percaya bahwa istri saya dan saya menyukai makanan Indonesia. Laukpauk bersantan dan pedasnya cabai, rasa umum dalam masakan Afrika kami dapatkan pada masakan Indonesia. Pada masakan Indonesia kami rasakan bau matahari Afrika, harum tetumbuhan benua kami", ujar lelaki hitam itu lagi. "Apakah ini petunjuk bahwa rakyat Afrika dan Indonesia itu memang bersaudara?", lanjutnya sambil memegang tanganku dengan lembut. "Fosil manusia tertua memang terdapat di benua Afrika, dan saya kira fosil tertua itu membenarkan Anda bahwa manusia pada dasarnya memang bersaudara", jawabku. Kamipun melanjutkan saling tukar cerita sekalipun sering terpotong-potong oleh pekerjaanku melayani tamu-tamu lain. Sedangkan tamu-tamu di meja tetangga lelaki Afrika itu sesekali meningkahi dialog kami. Bermula dari dialog-dialog begini tidak sedikit aku mendapatkan tamu-tamu yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi sahabat akrab sampai sekarang.

Restoran jadinya seperti jembatan yang mengantar anak-anak manusia dari berbagai benua dan negeri untuk saling bertemu, berkenalan dan menjadi sahabat. Oleh rasa persahabatan mendalam inilah misalnya maka secara periodik Sini Cedercreutz dan Michael yang direktur perusahaan kertas Finlandia di Prancis, menyuplai kami dengan rupa-rupa kertas keperluan restoran berkualitas sangat tinggi. Sini dan Michael yang direktur itu mengantar dan mengangkat sendiri kertas-kertas tersebut untuk kami. Aku namakan kertas hadiah ini sebagai kertas persahabatan dan rasa kemanusiaan dari Finland. Persahabatan kami dengan Sini dan Michael berkembang sangat dalam sampai-sampai satu dari kunci rumah mereka, mereka tinggalkan pada kami. Kapanpun kami bisa datang dan tinggal di rumah mereka. Sedangkan Didien salah seorang anggota tim penanggungjawab restoran sering membuat nasi uduk, masakan ikan ala Dayak kesukaan Michael. Tidak hanya itu, dalam menghadapi soal-soal sangat pribadipun kami selalu saling bantu. Kami akhirnya berkenalan dengan seluruh keluarga Sini dan Michael di Finlandia. Saban Sini datang dari Finlandia, ibunya selalu mengirimkan kami sesuatu.

Lagi-lagi dari hubungan ini, aku melihat bahwa kemanusiaan itu sebenarnya berwilayah jauh melampaui pagar-pagar perbatasan negeri dan bangsa, apalagi etnik yang kemudian nampak jadi sangat cupet. Bahwa kemanusiaan dan kasihsayang itu luas seperti cakrawala, seperti samudera di mana sekian banyak sungai bermuara. Kemanusiaan itu bagaikan samudera yang untuk mencapainya patut melintasi lika-liku tanjung dan rantau sungai.

Ada sahabat setia kami yang lain lagi. Jean-Claude namanya. Seorang lelaki 60an tahun, berasal dari Prancis Selatan sehingga kalau ia bicara aksen selatannya sangat menonjol yang membuat kami geli dan iapun jadi tertawa menyaksikan kegelian kami. Ia adalah pensiunan direktur sebuah kantor pos cabang di Paris. Jean-Claude kami kenal melalui restoran dan sejak berdirinya restoran 1982. Mula-mula ia datang sendiri di hari-hari pertama restoran buka. Sejak itu Jean-Claude terkadang hampir saban hari datang, paling tidak dua kali seminggu. Begitu datang ia selalu masuk ke dapur dan berbincang sebentar dengan teman-teman di dapur setelah menyapa semua orang di luar. Sikap Jean-Claude yang langsung masuk dapur ini menjadi perhatian langganan lain dan meninggalkan dampak istimewa yang positif kepada para pelanggan. Sikap Jean-Claude merupakan bahasa isyarat tersendiri dalam dialog bisu dengan para pelanggan yang datang.. Teman-teman di dapur selalu menyuguhkan sesuatu yang istimewa untuk Jean-Claude berbeda dari yang seharusnya. Demikian juga teman-teman yang bekerja di luar dapur. Kepada Jean-Claude selalu disediakan sajian khusus berupa digestif kesukaannya yaitu arak dan sesuai ketentuan bersama kepada Jean-Claude selalu ada reduksi harga. Hubunganku pribadi dengan Jean-Claude pun berkembang sehingga ia sering kuundang makan ke apartmenku, apalagi tadinya kami memang tinggal di kartir yang sama: Paris XVIII. Ketika aku berada di Palangka Raya, Jean-Claude sering menelponku sekedar menanyakan kabar. Sedangkan seorang teman dari Bali tanpa malu-malu karena sudah merasa demikian dekat mengusulkan secara serius kepada Jean-Claude yang membujang sampai sekarang agar kawin dengan saudara perempuannya! Pada acara-acara khusus serta terbatas yang diselenggarakan oleh restoran, Jean-Claude selalu diikutsertakan sebagai "orang dalam" kami bahkan sering ia kami minta bicara atau pidato di hadapan para pelanggan untuk menambah kata pengantar yang kami berikan.

Lelaki lain yang juga bujangan yang menjadi sahabat sangat dekat kami adalah Serge Senez, berlatarbelakang pendidikan kimia, seorang Prancis kelahiran Marseille, turunan pejuang anti Franco, fasis Spanyol itu.. Orangtua Serge mengungsi ke Prancis seperti halnya dengan ribuan kaum republiken Spanyol lainnya ketika mereka dikalahkan oleh serdadu Franco yang disokong Hitler, dan kemudian meninggal di Prancis Utara. Saban bermobil dalam perjalanan ke Negeri Belanda atau Belgia, Serge dan aku selalu singgah ke makam ayahnya. Teman-teman dekatku dari Jepang, Indonesia atau negeri-negeri lain sering menginap di rumah Serge karena apartemenku terlalu kecil untuk menampung teman-teman.

Sedangkan Louis Joinet, penasehat hukum Perdana Menteri Prancis Maurois dan Fabius kemudian menjadi salah seorang tokoh penting di Komisi HAM PBB, saban lewat Kartir Latin di mana restoran kami terletak, selalu singgah, walaupun hanya sebentar, sekedar menyalami semua teman dan seperti Jean-Claude langsung juga masuk ke dapur.

Nama lain yang patut kusebut namanya adalah Paulette Giraud dan Pascal Lutz yang turut mendirikan koperasi ini.

Pascal Lutz selama 20 tahun menjadi direktur koperasi kami -- karena kami sebagai penerima suaka politik pada tahun 1982, secara hukum tidak berhak menjadi menduduki jabatan direktur. Selama 20 tahun Pascal bekerja dengan kami tanpa mau menerima imbalan sepeserpun. Dengan perhitungan realistis, teman-teman mulai mengambil kewarganegaraan Prancis dan sejak itu posisi direktur atau wakil direktur, secara hukum bisa kami pegang sendiri secara resmi. Pascal tadinya adalah aktivis LSM Frères des Hommes dan Amnesti Internasional. Dalam kegiatan bersama di Amnesti inilah kami berkenalan dan menjadi sahabat dekat sampai sekarang. Sedangkan Paulette tadinya aktif di LSM Katolik, INODEP kemudian di lembaga penelitian Centre Lebret -- salah satu kontak Gus Dur di Paris.

Dalam hal pengelolaan, kami dibantu oleh tenaga profesional, Jean-Sandra, yang juga sahabat dekat kami.

Tidak bisa kuderetkan semua nama-nama para sahabat non Indonesia kami yang kami kenal melalui restoran yang tanpa pamrih membantu kami mensukseskan usaha produktif ini dan untuk ini aku minta maaf kepada mereka karena siapapun dari kami tidak bakal melupakan jasa serta rasa persahabatan mereka.

Melalui kegiatan usaha produktif koperatif ini, aku pribadi dididik untuk mengenal lebih dalam lagi arti solidaritas, kebersamaan, dan makna kemanusiaan serta humanisme yang wilayahnya melampaui batas-batas sempit etnik, bangsa, negeri dan negara. Melalui kegiatan usaha produktif koperatif ini pula, aku mempunyai kepercayaan besar bahwa pemanusiawian bumi kehidupan adalah perspektif yang bukan khayali sekalipun memang sangat tidak gampang apalagi perspektif itu berada jauh di balik lautan awan sistem dominan di mana manusia memakan manusia. Perspektif itu adalah matahari yang memang ada dan tetap ada sekalipun terkadang terlindung kegelapan awan hitam yang gampang membuat orang hilang harapan. Demikianpun aku memandang tanahair kampunghalaman. Jika hidup tanpa harapan, mimpi dan kepercayaan diri, apakah kita bisa melangkah terus memberi arti pada setiap helaan nafas? Saban memandang perspektif ini aku merasa adanya kemestian untuk berpacu matahari sebelum senja tumbang menjadi malam hayat. Dan kepada generasi di bawahku ingin kusisipkan pertanyaan di antara baris-baris ini: Siapakah penanggungjawab timbul tenggelamnya negeri ini?! Dalam hal ini aku teringat akan kata-kata seorang pemikir-penyair Asia yang mengatakan bahwa "dunia ini memang milik bersama kita, tapi pada analisa penghabisan dunia ini adalah milik kalian. Kami seperti matahari senja menjelang malam sedangkan kalian seperti matahari jam delapan sembilan pagi". Matahari jam delapan sembilan pagi itu bisakah mengirimkan cahaya ke segala penjuru raya kehidupan serta tanahair jika ia menggantung di sebuah tempurung mungil?

Sedangkan restoran sederhana ini sendiri yang lahir dari mimpi, tidak lain dari anak kandung yang diasuh kebersamaan, solidaritas dan cinta kemanusiaan anak berbagai bangsa yang mencakrawala.

Sekian dulu, Kang.Sampai suratku mendatang.
Salam hangatku selalu,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (14)

INDONESIA DI BERBAGAI TERUSAN TV PRANCIS



Kang Syaikul dan Kang Lutfhi yang baik,

Ketika menulis baris-baris ini, terlintas juga di benakku suatu teguran. Teguran dari diri sendiri: "Ah, Kusni, kau masih saja melanjutkan tuturan tentang Restoran Indonesia, sementara banyak soal besar lainnya terus berlangsung di hadapan mata dan orang sibuk berakhir tahun menyongsong Tahun Baru 2003". Tapi seperti sering kutulis bahwa bukan kebiasaanku melakukan sesuatu secara tanggung-tanggung, demikianpun aku ingin terus menulis tentang Restoran Indonesia ini sampai selesai sambil sekaligus menyampaikan harapan terbaikku kepada Kakang berdua, kepada semua sahabat baik di KMNU, Wanita Muslimah dan di mana saja saat kita bersama-sama menyongsong Tahun Baru 2003 ini. Tahun 2002 segera berlalu artinya usia kita bertambah lanjut seiring dengan perjalanan waktu yang tak pernah perduli pada hasrat kita untuk "hidup seribu tahun lagi" atau lebih seperti keinginanku sendiri, sekalipun pikiran dan hati kita digalaukan oleh kemelut demi kemelut tanpa ujung sebagai konsekwensi wajar saat kita memilih dan mencintai kehidupan serta menolak bunuh diri. Hanya saja akupun sadar tidak otomatis bertambahnya usia membuat kita kian matang dalam berpikir dan bersikap. Bisa saja terjadi kita tambah gila dan kian terkurung oleh kecupetan dan kehilangan kemanusiaan. Kian tak enggan meledakkan bom di mana-mana atas nama Tuhan Yang Maha Besar , mengucilkan orang lain sesama manusia sebagai bukan anak manusia yang setara. Kian membuat batasan ini dan itu sehingga membatasi orang mengungkapkan diri secara leluasa. Mengucapkan harapan kukira di dalamnya mengandung kesiapan sikap menghadap paling tidak dua kemungkinan: yang baik dan buruk. Mana dari keduanya yang akan dominan ditentukan oleh banyak faktor. Sedangkan ketika mengucapkan kata sifat "terbaik" berarti aku menginginkan yang positiflah yang dominan. Untuk bisa terwujud dominasi positif tersebut, tidakkah di sini dari kita masing-masing, baik secara individual maupun secara kolektif diharapkan kemampuan menarik kesimpulan dari pengalaman dan perjalanan waktu yang sudah berlalu sehingga bila perlu akhirnya kita bisa menertawakan ajal, diri sendiri dan memenangi kehidupan? Kalau menurut Louis Dumont (1911-1998) yang nampaknya juga disinggung oleh Habermas dalam karya terbarunya (terbit di Paris tahun 2002), kemampuan individuallah yang paling banyak ditagih untuk hal demikian.

Dalam usaha menarik pengalaman dari waktu yang sudah lewat, kejujuran terhadap diri sendiri sesuai dengan alur pikiran Louis Dumont, sangat diperlukan. Kita perlu berani bahkan menertawakan dan mencemooh diri sendiri.Tentu saja seperti orang Tiongkok (bukan hanya orang di Tiongkok tentu saja) bilang, bahwa segalanya "satu pecah jadi dua" dan kemudian untuk sementara ada gejala "dua menjadi satu" untuk kemudian "pecah" lagi, yang menunjukkan akan abadinya gerak dan perobahan.

Anggaplah tuturanku sekarang sebagai salah satu bagian dari usaha menarik pengalaman sambil memenuhi anjuran guru dan sahabatku almarhum Prof. Dr. Denys LOMBARD, Indonesianis terkemuka Prancis, yang wanti-wanti (apa ya bahasa Indonesianya?) selalu mengingatkan aku supaya pada suatu saat "mengambil jarak" dari lapangan. "Tanpa menarik diri dan mengambil jarak, mengeluarkan diri dari peran partisipan, kau tidak akan bisa melihat sesuatu tanpa emosi", ujar Denys. "Sesudah itu kau terjunilah kembali badai topan kehidupan yang tak berbelas kasihan itu", nasehatnya. Lombard pun tahu benar bagaimana kami membangun usaha produktif restoran koperatif ini. Dan beliau sendiri sering datang untuk makan malam. Beliau sangat menghargai usaha ini apalagi beliau tahu bahwa di sini kami memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Prancis dan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, melalui rupa-rupa kegiatan kebudayaan.Melalui restoran ini, tidak sedikit buku-buku l'Archipel yang telah kujual melalui suatu pameran buku tentang Indonesia yang kami selenggarakan. Beliau juga tahu bahwa pada suatu ketika yang panjang aku tidak bisa kembali ke Indonesia dan ia selalu mendorongku untuk menjaga optmisme. "Waktu bekerja untuk kalian. Sabarlah", ujarnya. Dan suatu ketika saat aku sudah mempunyai segala syarat untuk pulang sekembali dari Australia, sebelum berangkat aku menemuinya. Pamit. Ia diam seribu bahasa. Marah besar terhadap keputusanku. Beliau tidak kukatakan tentang persiapan-persiapan apa yang telah kulakukan untuk mengawal kepulanganku. Begitu kembali ke Paris, ia dan Claudine Salmon, istrinya, kutelepon sambil tertawa. Lombard jengkel dan kembali tak banyak bicara seperti biasanya karena tahu aku sedang mengolok-olokannya. Hanya Claudine yang berkomentar bahwa "Cerita belum berakhir". Pernyataan Claudine ini sampai sekarang masih kurenungkan tanpa bisa menarik suatu kesimpulan karena benar memang "cerita belum berakhir" dan ini dibuktikan oleh pengalamanku ketika bekerja selama tiga tahun di kampung kelahiran: Kalimantan Tengah.Kampungku sendiri! Kalau Gus Dur mengatakan bahwa kemanusiaan di Indonesia hampir hilang atau hilang, tapi aku ingin mengatakan bahwa di Indonesia masih ada manusia, sekalipun manusia di negeri itu berada pada posisi terjepit.

Setelah mengetahui kegiatan kebudayaan periodik yang kami lakukan di restoran, maka harian, majalah dan beberapa televisi Prancis (hampir semua dari tujuh terusan yang ada pada waktu itu) silih berganti datang untuk meng-cover adanya restoran dan kegiatannya. Tim penanganggung jawab restoran setuju dengan syarat bahwa kami yang bekerja tidak difoto dan wajah kami tidak ditunjukkan dalam tayangan, dengan Bung Sobron sebagai kekecualian . Syarat ini disetujui sekalipun dalam kenyataan tidak sepenuhnya ditepati. Bodohnya (akau katakan "bodoh" dan bukan "sayangnya", agar teman-temanku tergerak akan makna dokumentasi), restoran tidak mempunyai dokumentasi tentang semua ini. Kalau kuingat bagaimana di Indonesia kita sanggup membakar dan menghancurkan dokumentasi serta buku-buku --- seperti perpustakaan Pramoedya A. Toer yang dihancurkan oleh Orba di tahun 1965 -- aku berkata pada pada diri sendiri: "Agaknya bangsa ini belum tahu arti dokumentasi dan belum bisa berpikir jauh. Agaknya bangsa ini belum paham arti sejarah untuk kehidupan".

Kang, apakah komentar introspektif ini terlalu mengada-ada atau dicari-cari sehingga jadi berkelebihan? Kalau demikian, mengapa kita begitu gampang menghancurkan dokumentasi sehingga kalau mau melakukan penelitian perpustakaan kita perlu ke luarnegeri antara lain ke Leiden, Negeri Belanda di mana terdapat perpustakaan terbesar tentang Indonesia setelah mereka membeli sebuah mikrofilm dokumentasi dari Amerika. Kakang bayangkan patung-patung dan segalanya tentang Dayak banyak dihimpun di Tropen Museum Amsterdam, sementara orang Dayak sendiri tidak enggan dan dengan ringan menjual segalanya itu dengan harga yang dikira sudah tinggi. Pada suatu saat banyak patung di Borobudur jadi tak berkepala.

Tanpa dokumentasi ini kita jadi asing terhadap diri kita sendiri. Generasi tertentu kita jadi tumbuh tanpa tahu sejarah diri bangsanya (Bukti tentang ini aku tangguhkan karena akan terlalu jauh menyimpang dari tema yang kututurkan sekarang). Aku melihat bahwa kesadaran sejarah kita seperti halnya kesadaran berbahasa kita masih sangat lemah, Kang.

Dengan pertimbangan politik tentu saja tayangan televisi-televisi Prancis tidak terlalu menelanjangi pemerintah Orde Baru (Orba). Yang ditonjolkan adalah semangat kemandirian kami dan apa arti adanya restoran ini bagi hubungan antar rakyat (people to people relationship) dari segi kebudayaan. Ingin kukatakan sekali lagi: Orba menyingkirkan dan menteror kami sebagai anak bangsa dan negeri, kami mengangkat negeri dan bangsa serta menghadirkan bangsa dan negeri dari segi budaya ke masyarakat dunia. Karena itu ingin kutanyakan sekali lagi kepada pemerintah Megawati sekarang, apakah kami akan tetap diperlakukan seperti Orba memperlakukan kami? Prosedur dan prosedur ada di tangan pemerintah sekarang. Aku menanyai keindonesiaan dan kemanusiaan pemerintah sekarang: Mengapa begitu sulitnya anak bangsa dan negeri menjadi Indonesia?! Jika hubungan kami dengan KBRI dan Restoran Indonesia atau hubungan Restoran Indonesia dan KBRI sekarang membaik dan hangat, maka hubungan demikian terbatas pada hubungan yang bersifat "individual" KBRI Paris jika boleh menggunakan pengertian Louis Dumont dan Habermas mengenai hubungan sosial dan hakekatnya. Jika pemerintah Mega terlalu sibuk dengan urusan "kekuasaan" sentrisnya, lalu di mana salahnya apabila daerah-daerah menjadi tidak puas? Ah, aku terlalu meluaskan masalah, Kang. Tapi aku hanya melanjutkan satu alur pikiran dan perasaan yang kurasakan ketika melihat tanahair dan yang kulihat di Kalteng. Masih menggunakan pengertian Louis Dumont ( lihat: Sciences Humaines, Paris, Janvier 2003), daerah jika dalam suatu komunikasi sosial tidak lain adalah "individu" lain yang tidak bisa diabadikan. Indonesia yang sekarang ada karena daerah-daerah. Adalah salah besar menganggap eksistensi Indonesia sekarang hanya berangkat dari egosentris Jakarta. Keindonesiaan adalah satu perangkat nilai yang diterima secara sadar.

Apa-bagaimana kami menyiapkan diri menghadapi kamera-kamera televisi Prancis? Semua kami berbaju batik dan berpeci hitam -- yang pada zaman pemerintahan Soekarno merupakan lambang Indonesia. Ya! Kami memelihara dan mengangkat lambang Indonesia ini. Sementara teman-teman yang melakukan pertunjukan mengenakan pakaian daerah mereka masing-masing. Thomson, penyanyi dari Tapanuli mengenakan pakaian tradisional Tapanuli dengan gitar di tangannya. Sementara crew (awak) televisi mengatakan bahwa pakaian Thomson bukan Indonesia tapi Amerika Latin, aku memprotesnya dengan keras: "Kalau tidak tahu tidak usah omong. Anda lakukan pekerjaan Anda saja sesuai petunjuk. Indonesia terdiri dari ratusan etnik, ribuan sub-etnik. Saudaraku yang penyanyi itu adalah anak gunung yang dingin. Dan secara antropologi serta perpindahan penduduk bumi bisa kujelaskan panjang lebar kepada Anda untuk menjawab komentar Anda, tapi sekarang bukan saatnya".

Dari pernyataan ini aku mendapat bukti bahwa pengetahuan orang Prancis tentang Indonesia sangat-sangat minim. Semestinya tugas KBRI lah menangani soal ini, dan kali ini tugas tersebut kami lakukan sendiri tanpa KBRI. Tanpa diminta , tanpa diperintah, apalagi dibayar, kecuali sesuai nurani dan panggilan jiwa sebagai anak negeri dan bangsa. Jika dipertanyakan lebih jauh: Bisakah KBRI melakukan tugas ini tanpa melibatkan seluruh anak bangsa dan anak negeri di luar negeri? Atau mengapa tidak KBRI melibatkan seluruh anak bangsa dan negeri di luar untuk menunaikan tugas ini? Agaknya Dubes A. Silalahi dan Mbak Yuli Mumpuni yang sekarang Atase Pers, menyadari peranan anak bangsa dan negeri di luarnegeri untuk menunaikan pekerjaan ini. Bayangkan, tidak sedikit orang di sini lebih mengenal Bali dari Indonesia. Dan setiap mereka yang akan berangkat ke Bali kebetulan singgah makan di Restoran, melalui peta yang terpampang di setiap ruangan kami menjelaskan kepada calon wisatawan itu di mana Bali, dan memberikan semua keterangan yang mereka perlukan sampai kepada masalah taksi apa yang sebaiknya mereka ambil di Jakarta, bagaimana menyeberang jalan di mana tanda zebra tidak dihiraukan oleh para pengendara, dan sebagainya....

Hal lain yang mungkin perlu juga kukatakan bahwa, tidak sedikit orang Prancis yang tidak mau mengunjungi Indonesia, jika Soeharto masih berkuasa. Sikap ini diambil oleh mereka yang sadar politik dan tahu politik pemerintah Orba. Sikap ini misalnya diambil oleh direktur sukarela koperasi kami, Pascal Lutz. "Mengapa harus bersikap kaku demikian", tanyaku. "Kalau kau ke Indonesia, berarti kau menyumbang rakyat di sana. Misal kau membeli sesuatu dari seseorang yang menjual barang souvenir di Bali atau di Prambanan, tidakkah dengan demikian kau menyumbang mereka dan bukan menyumbang Soeharto?", tanyaku untuk mendorong mereka mengobah keputusan. "Ya, tapi sumbangan kepada pemerintah Soeharto yang fasis dan pembunuh itu tetap akan lebih besar lagi", ujar mereka bertahan. "Aku kira sekarang ini seperti halnya di mana-mana, termasuk di Prancis, paling tidak ada dua Indonesia. Indonesia yang penindas dan Indonesia yang ditindas! Ada yang baik, ada yang busuk", bantahku. "Ah, kau terlalu politis", jawab mereka. "Tapi tidakkah pembicaraan Anda sendiri sesungguhnya sudah bersifat politik?". Dialog begini sering sekali terjadi antara kami dan para pelanggan. Dan dari tipe dialog begini, Kakang berdua bisa membayangkan corak restoran ini dibandingkan dengan restoran lain di manapun. Dialog begini tidak terhindarkan karena suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, antara pelanggan dan pekerja restoran akan terjadi dialog bukan hanya sekedar menghidangkan makanan. Adanya kontak manusiawi begini sangat disukai oleh pelanggan Prancis yang bisa dikatakan "criwis" dan "santai". Merekapun suka menggoda kami yang melayani mereka. Suatu ketika, aku tidak bekerja di dapur tapi di luar. Seorang perempuan muda nampak sangat senang dengan bumbu sate yang terbuat dari saus kacang. Ia tanya apa mungkin minta tambah. Tentu saja kujawab bahwa sama sekali tidak ada soal. Aku segera ke dapur mengambil saus sate dari kacang itu. Dengan bibir penuh buumbu kacang itu, tiba-tiba perempuan muda itu mengecup pipiku sambil mengucapkan terimakasih. Melihat pipiku bercap saus kacang bumbu sate, semua pelanggan jadi terbahak-bahak tapi perempuan itu tetap tenang melanjutkan makan malamnya seperti tidak terjadi apa-apa. Mendapatkan kecupan demikian, akupun mengucapkan terimakasih sambil menepuk punggung gadis tersebut. "Aku tak akan usap saus kacang di pipi ini agar aku selalu ingat Anda", ujarku. Ruangan jadi penuh derai gelak-bahak pelanggan. Nona itu tetap tenang meneruskan makan malamnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Kontak manusiawi dimungkinkan oleh restoran kami maka tidak jarang banyak yang memperoleh jodoh melalui restoran ini dan melangsungkan perkawinan mereka di restoran ini juga. Adanya kontak manusiawi ini pula memungkinkan kami memperluas jaringan persahabatan dengan orang-orang dari berbagai penjuru bumi.

JUTAAN KARTU NAMA RESTORAN BEREDAR:


Berkali-kali dan berulang-ulang kami mencetak kartu nama Restoran. Berkali-kali dan berulang-ulang pula selama dua puluh tahun ini kartu nama tersebut segera habis. Pencetaknya? Pada suatu ketika adalah juga sahabat kami yang bekerja menangani percetakan sebuah kementerian pemerintah Prancis. Usai dicetak, dia sendirilah yang mengantarnya ke restoran, seperti yang dilakukan oleh Michael yang direktur perusahaan kertas Finlandia.

Pelanggan jadinya merupakan juru iklan utama kami yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan iklan yang hanya kami pasang di Pariscope -- sebuah penerbitan pembimbing para wisatawan yang datang ke Paris.

Kartu-kartu itu ada di hotel-hotel, ada di kantor-kantor LSM bahkan di gedung DPR dan Senat Prancis. Melalui kartu-kartu yang diambil dan dibawa oleh para pelanggan, orang-orang seluruh Prancis saat datang ke Paris datang ke restoran. Melalui kartu-kartu itu nama Indonesia diperkenalkan dan mengundang orang datang ke pulau mungil Indonesia yang memikat yang berada di pusat kota. Pulau mungil memikat karena warna Indonesianya dan nilai junjungannya yang tertuang pada nama SCOP (koperasi) -- satu-satunya restoran Indonesia yang menjunjung nilai tersebut dan hanya ada dua restoran demikian di Paris. Nilai-nilai tersebut bukan hanya diucapan tapi benar-benar dipraktekkan sementara nilai-nilai tersebut di Indonesia sendiri sudah sangat merosot.

Uang untuk hidup memang satu soal, tapi nilai junjungan adalah soal lain. Di sini kami berusaha memadukan keduanya. Hidup hanya mengejar dan mengumpul uang dengan cara apa saja asal dapat uang akan berbeda kadarnya daripada hidup manusiawi dan bernilai manusiawi. Tapi soal ini adalah pilihan masing-masing. Bumi kehidupan terkadang berjarak jauh dari yang ideal sehingga mengharuskan kita bertarung di setiap langkah diayun.Terlanjur lahir dan meresapi nilai Dayak sebagai "anak enggang dan putra-putri naga", aku merasakan pertarungan ini sebagai keindahan tersendiri di samping memang tidak mempunyai pilihan lain. Kemestian bertarung inilah yang membuatku sekaligus jadi pemimpi. Hidup di Paris kami mengangkat Indonesia dan dengan mengangkatnya kami merangkul bumi. Indonesia adalah diri kami. Hidup kami! Dari dan dengan Indonesia kami menjadi anak bumi! Tayangan berbagai terusan televisi, koran-koran dan majalah Prancis tentang restoran ini tidak lain dari pengakuan bahwa: Di sini Indonesia hadir! Mereka yang datang dan bukan kami yang meminta! Kenyataan ini kembali mengingkatkan aku bahwa betapa patutnya kita memberikan daya paksa pada kata-kata agar mimpi tentang keadilan dan kebenaran mengujudkan dirinya di bumi.

Kepada setiap pelanggan yang datang, tidak lupa kukatakan bahwa makanan terutama "pencuci mulut" (desert) seperti rambutan, papaya, nenas, pisang, kolak dan lain... bukanlah yang terbaik. "Kalau mau yang terbaik, Anda-anda patut membayar tiket pesawat", ujarku, keterangan yang sering menimbulkan gelak-bahak para pelanggan dan membuat hubungan kami jadi akrab dan tidak formal. "Apa yang kami sajikan di sini tidak lebih dari kata pengantar dalam buku tebal Indonesia. Tapi yang pasti isi rinciannya tidak akan kalian dapatkan di Hilton, Sheraton, Hyat dan lain-lain .... karena di sini kami menjajikan makanan masyarakat lapisan bawah negeri kami", demikian sering kujelaskan kepada para pelanggan dan dijawab: "Justru inilah kami cari bukan sesuatu yang asing di Indonesia atas nama modernisasi". Begitulah warna dialog di restoran "orang gila" dan terusir dari kampungnya ini, Kang.

Nah, sementara ini dulu ceritaku.Sampai surat mendatang dengan kisah lain lagi.

Salam hangat,

JJ. Kusni

Perjalanan 2002.

* * *


RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (16)

BELAJAR MENDISPLIN DIRI

Kang Syaikul dan Kang Luthfi yang baik,
Dua puluh tahun bekerja bersama bisa dikatakan sebagai sebuah kaca besar yang terletak di hadapan kami. Kami dipaksa untuk berdiri di hadapan kaca besar itu dan menatap wajah kami sendiri di dalamnya. Dipaksa karena usaha produktif ini merupakan sandaran kemandirian serta kelangsungan hidup kami. Pada usaha ini juga tersimpan kecintaan kepada tanahair Indonesia -- negeri di mana tangis pertama diteriakkan -- dan juga terletak harga diri serta idealisme.
Aku sendiri melihat wajah kolektif dan diri kami yang jika mau jujur pernah demikian bopeng di dalam kaca besar tersebut. Tapi itulah wajah kami. Suka atau tidak suka, wajah-wajah itu adalah wajah kami dan bagaimana mungkin kita membuang wajah kita sendiri? Masalahnya jika bopeng mengapa ia bopeng? Apakah dihinggapi puru atau cacar ataukah karena alergi? Dengan berani melihat wajah sendiri kukira baru kami tahu bagaimana mengobati puru, cacar atau alergi tersebut. Aku tidak tahu apakah usaha yang dilakukan oleh Kang Ulil yang menimbulkan "geger", bukannya keinginan Kakang kita itu untuk bercermin, untuk melihat muka sendiri dengan tujuan yang baik?

Seperti kukatakan dalam surat sebelumnya kami yang rata-rata lepasan dari suatu tingkat pendidikan yang cukup tinggi di beberapa negeri di luar tanahair, menyandang rupa-rupa gelar, atau ditambah lagi oleh sekedar kuantitas pengalaman tertentu, merasa diri masing-masing hebat dan "pintar". Yang satu merasa tidak kalah dari yang lain sehingga keadaan ini melahirkan psikhologi sejenis "anarkhisme" atau paling tidak sulit diatur. Dengan kata lain gampang bertindak seenaknya sendiri, yang jika dilihat dari segi disiplin serta tanggungjawab kolektif agak kurang. Lemah. Hanya kalau ngomong di rapat, akan tampil serba hebat, tapi belum lima menit rapat selesai, bisa saja segala yang dibicarakan dan diputuskan di rapat jadi abu yang melayang entah ke mana arahnya di udara. Ciri lain, selain keangkuhan intelektual demikian adalah "mencuri kerja yang ringan". Hal ini selain disebabkan karena usia yang uzur juga boleh jadi karena memang tidak biasa kerja badan keras seperti para kuli. Sehingga bisa terjadi dalam sistem koperasi di mana kebersamaan begini, pekerjaan yang berat akan tertumpuk pada pundak satu dua orang. Sebab dengan gaji yang sama, bekerja baik atau tidak baik, bertanggungjawab atau tidak , pendapatan akhir bulanpun akan sama. Jadi untuk apa mati-matian bekerja? Untuk apa bekerja dengan tanggungjawab?Kalau bisa mencuri waktu, maka mengapa tidak? Ini adalah puru-puru yang menurunkan tampang wajah kami yang mungkin tadinya ganteng apalagi ditopang oleh gelar yang disebut kesarjanaan. Hanya saja sikap begini tentu tidak tanggap situasi dan mengancam kehidupan kami sendiri, mula-mula melalui melemahnya usaha kolektif: koperasi.

Seorang teman yang lama bekerja di Angola, Afrika, pernah menceritakan bahwa sistem samarata ini juga pernah melemahkan sistem koperasi di negeri tersebut. Boleh jadi adanya pandangan sama rata begini bermula dari kekurangtepatan dalam memahami arti dan praktek koperasi atau kebersamaan.

Untuk mengobati borok-borok pada muka kami sendiri ini, kami segera melakukan reorganisasi melalui pembedahan diri berbentuk kritik dan otokritik yang keras sehingga tersusun sebuah Tim Penanggungjawab Kolektif yang baru. Berdasarkan pengalaman masa lalu, maka Tim Penanggungjawab yang terdiri dari tiga orang ini (untuk periode dua tahun dan bisa dipilih kembali!) menciptakan sistem baru berbentuk tata administratif agar semua kami mematuhi suatu disiplin kerja yang paling minim. Pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa hanya anjuran dan keputusan rapat tanpa disertai dengan sistem administratif yang pasti untuk mewujudkan keputusan-keputusan, anjuran dan keputusan akan menjadikan kata-kata tidak lebih dari angin yang segera berlalu begitu saja seiring dengan bubarnya rapat.

Salah satu cara untuk mendisplinkan diri kami oleh Tim Penanggung-jawab dibuatkan sebuah daftar absen kerja yang diisi oleh masing-masing saban usai kerja kemudian dikontrol oleh penanggungjawab. Mengikuti sistem absensi ini, dalam pengaturan tenaga kerja disesuaikan dengan perkiraan situasi pelanggan yang bakal datang. Perkiraan ini dibuat berdasarkan statistik dari bulan ke bulan lalu statistik tahunan. Apabila ternyata keadaan kongkret berbeda dengan perkiraan maka teman-teman yang sudah diberi isyarat agar siap-siap datang, dipanggil datang membantu. Demikian juga apabila ternyata hari itu, pelanggan yang datang sedikit dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang hadir, maka penanggungjawab meminta salah seorang pulang atau biasanya sukarela pulang. Dengan demikian kami bisa menghemat pengeluaran. Pedoman yang kami coba terapkan sebenarnya tidak lain dari sistem "administrasi sederhana dan bermutu". Andaikan kami yang bekerja di sini tidak berusia uzur, tentu kuantitas dan kualitas kerja kami bisa lebih tinggi dibandingkan dengan yang sekarang. Bisa kalian bayangkan dengan tenaga yang sudah digerowoti usia yang tak kenal belas kasihan ini, kami harus mengangkat berkilo-kilo daging dari mobil, menurunkan dari lantai dasar ke dalam gudang di bawah tanah, botol-botol anggur yang berkotak-kotak. Dari pengalaman ini aku tahu tekhnik mengangkat barang-barang berat demikian, termasuk menangkat karung-karung beras serta gula. Karena itu ketika berada di Palangka Raya, sekalipun dengan mengenakan dasi, pulang mengajar di universitas, aku sering membantu para pedagang kaki lima atau pemilik warung yang kukenal untuk mengangkut serta menata barang-barang yang tiba. Pada mulanya terheran-heran darimana aku mendapat tenaga dan kebisaan melakukan pekerjaan demikian. Aku bahkan bisa menjelaskan tekhnik mengangkat barang-barang berat agar tulang punggung tidak rusak. Kujelaskan terus-terang kepada mereka sepilah pengalamanku mulai dari menggembala kambing di padang-padang, bertani, jadi sopir truk, mengangkut pupuk kotoran manusia atau babi dan apa saja yang merupakan kerja badan yang oleh klas menengah dipandang sebagai pekerjaan hina dan kuli. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini mengobah pandanganku terhadap kerjabadan. Tapi justru melalui kerjabadan di kalangan lapisan bawah ini, aku menjalin hubungan sangat akrab dengan siapapun di lapisan orang-orang sederhana ini. Pengalaman-pengalaman sederhana beginilah yang membuatku sadar bahwa kerja membentuk manusia dan mengobah manusia.

Rata-rata kami yang mendirikan restoran ini tidak asing dari kerjabadan demikian. Ini juga yang membantu kami dalam melihat wajah diri di kaca besar waktu, yang membuat kami tidak segan menertawai wajah diri yang bopeng jika memang bopeng kemudian mencari cara memaksa diri untuk disiplin mencampakkan borok-borok keangkuhan intelektual yang sering terasa sangat mengganggu.

Melihat keadaan demikian, anak-anak muda yang bekerja bersama kami pun akhirnya nampak terbebaskan secara pikiran, nampak tahu apa arti kerjabadan dan kerja otak, tahu arti harga diri dan menjadi Indonesia, paham sedikit demi sedikit arti kerja bersama dan sulitnya kerja bersama serta solidaritas. Akibatnya kalau siapapun dari kami -- tanpa perduli tua atau muda -- yang kebetulan lewat restoran pada saat dia tidak dalam giliran bekerja, tanpa diminta dan disuruh akan segera turun tangan melakukan apa yang bisa dilakukan. Karena itu orang seperti Prof. Dr.Jomo K. Sundram atau teman-temannya Prof.Dr. Husein Ali dari Malaysia,atau aktivis-aktivis LSM Indonesia, ketika mereka mampir ke restoran atau bahkan tidur di kursi-kursi restoran tidak segan melakukan pekerjaan apa saja : menusuk sate, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring, dan lain-lain....

Ide, organisasi, program (perencanaan), ketrampilan (skill know-how), dipadukan dengan administrasi sederhana dan bermutu, sistem kontrol yang partisipatif, penyimpulan pengalaman yang periodik akan melahirkan suatu kesatuan yang kuat dari mana muncul kesadaran kritis dan wajah spiritual baru, orang-orang yang tahu memadukan kerjabadan dan kerjaotak.Disiplin dan tanggungjawab kerja muncul dari perpaduan hal-hal tersebut. Disiplin dan tanggungjawab tidak akan lahir dengan sendirinya. Demikian pula budaya kritis dan solidaritas. Praktek dan kesalahan telah menjadi ibukandung pengasuh kami yang keras tapi sangat pengasih. Baik tenaga baru yang muda-muda ataupun yang lama telah menyatu sebagai satu kesatuan keluarga. Marko,salah seorang anak muda yang menyebut diri tanpa kompleks sebagai preman Bringharjo, Yogyakarta, ketika ditawarkan oleh Prancis -- yang keluarga istrinya yang Prancis -- untuk bekerja bersama mereka menjawab: "Tidak, terimakasih. Saya lebih senang dan lebih baik bekerja bersama sanaksaudara saya di Restoran Indonesia". "Orang-orang di Restoran Indonesia itu adalah sanaksaudara saya!", ujar Marko polos. Marko bekerja di restoran ini belum sampai setahun dan ia sudah merasakan bagian dari kolektif ini.


MENDORONG MAJU SAUDARA-SAUDARA MUDA KAMI

Kami yang tua-tua baik dalam arti usia ataupun masa kerja di sini, selalu mendorong yang muda-muda agar tidak hanya bekerja dan bekerja. Kami meminta mereka untuk belajar dengan menggunakan sisa waktu yang tersedia. Kami tekankan bahwa restoran ini hanyalah pangkalan terpercaya untuk merebut hasil-hasil dan kemajuan baru sehingga nanti jika pulang ke Indonesia, pulang tidak lagi dengan tangan kosong tapi bisa membawa sesuatu yang tidak lekang dalam waktu dan cuaca yaitu kepintaran di bidang apa saja atau kalau mau mencari kerja lain selain di restoran tersedia syarat-syarat layak untuk melakukan pekerjaan tersebut. "Untuk memperoleh kemajuan tidak ada batas usia", demikian kami selalu mendorong saudara-saudara muda kami. Entah berapa sudah anak-anak muda dari berbagai negeri yang sudah menyelesaikan pendidikan mereka sambil bekerja di restoran ini. Dan mereka saban ada kesempatan selalu berkunjung serta otomatis melakukan pekerjaan ini dan itu tanpa diminta atau disuruh. Kalau tak berkesempatan mereka menelpon memberitahukan kehadiran mereka di Paris dan keadaan mereka. Kami tidak segan-segan memarahi mereka jika mereka tidak melakukan hal ini. "Kita bekerja keras mencari uang meningkat diri. Jangan kalian diperbudak oleh uang. Kitalah yang mengatur uang", demikian selalu ditekankan oleh para senior atau sesama mereka yang muda saling mendorong mengingatkan. Sambil bekerja, selalu saja yang tua-tua bercerita tentang sejarah Indonesia, adat-istiadat berbagai pulau, sejarah dunia, situasi politik, tukar-menukar kliping berita, dan sebagainya sehingga ruang dapur atau ruang pelayanan tamu kami jadikan semacam ruang belajar sekaligus.

Demikianlah Kang ceritaku kali ini yang mempertontonkan borok-borok yang pernah mengotori wajah kami. Melalui cerita ini boleh jadi Kakang berdua mengerti maksudku bahwa menjadi manusia itu adalah suatu proses. Kita lahir memang sebagai mahluk manusia tapi tidak otomatis menjadi manusia! Manusia dengan kualitas kemanusiaannya kukira adalah suatu proses menjadi!

Sampai surat mendatang. Teriring salam hangat dan harapan terbaikku kepada Kakang berdua saat memasuki Tahun Baru 2003.

JJ.Kusni

Perjalanan 2002.

* * *

RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (17)

 

MENJAMU MADAME MITTERRAND, FRANCE LIBERTE DAN ORANG-ORANG SEKITARNYA


Kang Syaikul dan Kang Luthfi yang baik,

Masih aku datang kembali dengan tema kisah sekitar Restoran Indonesia Paris (ada yang mengkisruhkannya dengan restoran-restoran Indonesia di Paris karena orang ini tidak paham bahwa Restoran Indonesia adalah nama sebuah koperasi yang menyelenggarakan usaha produktif berbentuk restoran!) karena peringatan ulangtahun ke-20 koperasi sederhana ini memang belum selesai. Rangkaian acara begini jadi terulur panjang, karena perlu menyesuaikan diri dengan acara para sahabat terkait. Ambil contoh, untuk menyelenggarakan silaturahmi khusus dengan pihak KBRI Paris, Restoran Indonesia harus menyesuaikan diri dengan acara Dubes A. Silalahi dan patut mendapatkan kepastian (konfirmasi). Acara dengan KBRI ini kami selenggarakan secara khusus karena ia mempunyai arti penting terutama dari segi politik: meresmikan dan mengkonsolidasi pemulihan hubungan yang selama Orba sangat buruk dan baru ketika Gus Dur menjadi Presiden R.I. situasi baru jadi terbuka dan dikonsolidasi oleh Mbak Mumpuni, Atase Pers KBRI Paris. Ketika Gus Dur sebagai Presiden melakukan kunjungan resmi ke Prancis, kami mencoba mencari peluang agar Gus Dur bisa datang kembali mengunjungi kami. Tapi padatnya acara serta ketentuan protokeler (mungkin) keinginan ini tidak bisa terujud. Dan aku dengar, Gus Dur memang sempat mengeluh mengapa ketika menjadi Presiden, ia tidak lagi bisa leluasa mengunjungi sahabat-sahabat lamanya. Kami dari Restoran Indonesia, demikian juga teman-teman Prancis tertawa paham keluhan Gus Dur, sekaligus menafsirkan keluhannya sebagai isyarat bahwa kedudukan tinggi setinggi apapun dia tidak melupakan para sahabatnya. Kamilah kemudian yang dengan melalui saluran berbagai organisasi yang menjumpai Gus Dur dan rombongannya di mana para sahabat lama kami ikut serta sebagai pejabat tinggi negara. Dahulu, sebelum menjadi presiden, saat berkunjung ke Restoran ini pulalah Gus Dur secara terbuka melakukan otokritik NU atas terlibatnya pemuda-pemuda NU dalam pembunuhan massal yang terjadi pada Tragedi Nasional September 1965. Sebelum menjadi Presiden, saban ke Paris boleh dikatakan Gus Dur tidak pernah lupa untuk memanfaatkan waktunya guna mengunjungi Restoran Indonesia. Demikian pula halnya dengan tokoh-tokoh LSM Indonesia.

Jika Gus Dur tidak melupakan para sahabatnya di manapun, kami pun tidak punya kebiasaan melupakan para sahabat kami di manapun.Apalagi jika para sahabat itu pernah secara nyata membantu kami pada saat terpepet untuk keluar dari keadaan terpojok. Nilai sahabat tidak bisa ditakar dengan uang atau hal-hal kebendaan apapun. Kalau para sahabat dinilai sebagai public relation officer, aku kira penilaian begini sejajar dengan ketidakpahaman akan arti hubungan persahabatan antar anak manusia yang sangat berharga. Akan sungguh menggelikan lagi jika yang mengucapkan kata-kata demikian mengaku diri sebagai "revolusioner", "progresif" dan "manusiawi". Menjadi manusiawi dan menjadi manusia agaknya memang perlu usaha keras luarbiasa karena tidak otomatis.. Pernyataan-pernyataan demikian juga menunjukkan kepadaku bahwa kata-kata adalah kaca jiwa, rasa, pikiran, pola pikir dan mentalitas seseorang.

Salah seorang dari sahabat Restoran Indonesia Paris yang demikian adalah Madame Danièlle Mitterand, istri mantan almarhum Presiden Prancis François MITTERRAND yang sebelum suaminya menjadi Presiden Prancis selama dua kali berturut-turut sejak 1981 merupakan aktivis LSM dan Komite Solidaritas dengan negeri-negeri Amerika Latin. Melalui kegiatan di LSM dan Komite Solidaritas inilah kami berkenalan secara pribadi dengan Madame Danièlle Mitterrand, Perdana- Menteri-Perdana-Menteri dan menteri-menteri dari berbagai pemerintah ketika Partai Sosialis Prancis memegang kekuasaan.

Adalah menjadi tradisi semua presiden Prancis saban mengakhiri masa jabatannya, isteri mereka membentuk sebuah lembaga. Demikian pula Madame Danièlle Mitterrand yang juga seperti suaminya adalah seorang penulis, mendirikan Lembaga yang bernama France Liberté dan sudah pula secara nyata membantu rakyat Indonesia serta Timor Lorosae dalam bentuk pembangunan sebuah rumahsakit. France Liberté bahkan pengumuman berdirinya dilakukan di Restoran Indonesia Paris ini yang kami anggap mempunyai arti penting dan salahsatu bentuk sokongan moril terhadap kami. Ketika Restoran Indonesia ini dicoba dibakar oleh ekstrim kanan Prancis dan berada dalam ancaman kelompok yang menyebut diri "Komando Jihad" pada zaman Orba dan gencarnya gerakan penembakan misterius (Petrus) di Indonesia, pihak Kementerian Luar Negeri Prancis menempatkan Restoran Indonesia ini berada dalam lindungan langsungnya. Aku tidak tahu bagaimana kongkretnya lindungan ini dilaksanakan tapi sejak kami melaporkan keadaan kami, dering telepon mengancam itu tidak pernah lagi terdengar. Kebetulan selalu akulah yang menerima telepon-telepon ancaman tersebut. Karena itulah acara khusus dengan KBRI kami anggap sangat penting dan sekarang antara KBRI dan Restoran Indonesia telah terjalin hubungan akrab. Bahkan bulletin resmi KBRI, dalam sebuah box khusus menyiarkan ucapan selamat terhadap ulangtahun ke-20 Restoran. Terimakasih kepada KBRI Paris, terimakasih khusus kepada Mbak Mumpuni yang mengasuhnya.

Sebagai pernyataan terimakasih kepada Madame Mitterrand dan France Liberté serta untuk mengoksolidasi hubungan perkawanan, maka pada 10 Januari 2003 kemarin Restoran Indonesia secara khusus mengundang Madame Mitterrand dan France Liberté makan malam di Restoran sederhana kecil kami. Sekalipun kami mengundang mereka, tapi Madame Mitterrand dan France Liberté menolak untuk kami gratiskan. Mereka menetapkan sendiri harga makanan per orang yang akan ditanggung oleh France Liberté. Ini adalah salah satu bentuk lagi solidaritas dari Madame Mitterrand dan France Liberté. Sedangkan orang-orang yang akan diundang ditetapkan oleh France Liberté.
Rapat Tim Penanggungjawab Restoran, menyerahkan tekhnis penyelenggaraan kepada Didien -- penanggungjawab dapur. Untuk itu sesuai dengan keputusan kolektif tiga orang (Joko, Joso dan Didien), Didien membuat makanan khusus yang tidak pernah disajikan kapanpun kepada para langganan. Bentuk jamuan adalah prasmanan sesuai dengan kehendak Madame Mitterrand sendiri. Ini merupakan cara kami menghormati para undangan khusus kami malam tersebut. Kecuali itu kami juga mempertunjukkan tari Bali dan Jawa yang dibawakan oleh Riski dan Opik.

Semula rombongan Madame Mitterrand terbilang sekitar 35 orang. Sampai pagi 10 Januari yang mengkonfirmasi kehadirannya cuma 15 orang. Dan Ninong, salah seorang tenaga dapur kami ketika datang mengabarkan bahwa jam tiga (10 Januari 2003) Madame Mitterrand harus dibawa ke rumah sakit. Jadi pasti beliau tidak bisa hadir sesuai rencana. Mendengarnya tentu saja kami kecewa dan memutuskan bahwa ruangan atas (restoran ini terdiri dari dua tingkat yang keseluruhannya berkapasitas seluruhnya 60 orang) akan kami gunakan untuk menerima tamu biasa. Persiapan maksimal tidak kami kendorkan sedikitpun.

Dingin dan hujan lembut salju turun di luar. Restoran mestinya dibuka pada jam 19.00 tapi jam 18.00 seorang perempuan setengah baya masuk minta diizinkan berteduh sambil menunggu jam buka. Ia kami persilahkan duduk. Perempuan itu sambil menunggu jam buka membaca buku-buku tamu di mana tercantum kesan-kesan pelanggan dari berbagai penjuru dunia. Teman-teman yang di dapur nggrundel: "Apa sih hebatnya, restoran ini, khok belum buka sudah ada tamu masuk?". Dengan gaya serius aku mencandai mereka: "Itulah hebatnya orang Indonesia menipu bulé sehingga mereka mabok oleh masakan kita!". Padahal dalam hati aku berpikir tidakkah kita, orang Indonesia yang banyak ditipu sampai-sampai mempunyai rasa rendah diri pada bulé?! Asal kulit orang putih dan hidungnya mancung saja sudah bikin kita mabuk. Akibatnya? O, aku punya banyak contoh di sini! Sehingga aku bertanya-tanya pada diri: Begitu sulit agaknya menghargai diri dan bangsa sendiri?

Rombongan France Liberté mulai berdatangan demikian pula para undangan lainnya. Sebelum turun ke ruangan bawah di mana prasmanan khusus diselenggarakan, mereka terlebih dahulu masuk ke dapur menyalami dan bercengkerama sejenak dengan kami sambil menyampaikan harapan terbaik dalam menjalani Tahun Baru 2003. Demikian pula sebelum pulang mereka kembali masuk dapur meminta diri.

Seluruh rombongan dan undangan ini akhirnya mencapai jumlah 56 orang sehingga ruangan yang berkapasitas maksimal jika duduk cuma 30 orang menjadi penuh sesak. Poulette Geraud, salah seorang pendiri restoran yang Prancis, masuk ke dapur menanyakan apakah makanannya cukup. "Jangan kawatir Poulette", ujar Didien. "Kami siap untuk sampai 100 orang", lanjut Didien. Jumlah 56 orang memang berada di luar dugaan kami. Seorang teman yang baru datang dari Jakarta, dan biasa kami panggil dengan sebutan kesayangan "Bung Pantat" langsung menyingsingkan lengan baju membantu membawa makanan prasmanan. "Biar kau jadi kurus!" ujar Didien. "Pantat lho", ujar Bung Pantat ngakak sambil membawa makanan keluar dapur. Kami jadi ngakak semuanya.

Di antara 56 orang ini antara lain terdapat Sergio Regazzoni dan istri, dari lembaga penelitian Centre Lebret; Sini Cedercreutz (antropolog) dan Michael (Direktur Perusahaan Kertas Finlandia Perwakilan Paris); Réné Barou (dari ASTO, organisasi setiakawan dengan Timor Lorosae); Gustave Massiah (ekonom dan urbanis, pimpinan organisasi Anti Imperialis), Louis Joinet (dari Komisi HAM PBB, mantan penasehat hukum berbagai Perdana Menteri Prancis) yang di tengah segala kesibukannya, khusus menyempatkan diri datang memenuhi undangan, Danièlle Desque (penerima bintang jasa Negara Prancis atas jasanya dalam dunia pengelolaan), teman-teman wakil dari berbagai LSM dan organisasi Prancis serta berbagai negeri... Sehingga prasmanan ini sekaligus merupakan reuni dari sahabat-sahabat lama, penuh persahabatan dan suasana keakraban. Umumnya orang-orang yang datang sudah saling mengenal sekalipun sektor kegiatan mereka tidak sama.

Pascal LUTZ, direktur sukarela tanpa dibayar koperasi selama 20 tahun dalam kata sambutannya sekali lagi dan lagi-lagi menjelaskan komposisi para anggota koperasi: "Mereka ada insinyur, ada yang pengajar universitas, ada yang wartawan, sastrawan bahkan ada yang menyandang gelar Doktor, dokter spesialis, mahasiswa, tapi mereka tak punya keengganan melakukan kerja badan. Kerjabadan dan kerjaotak sama-sama mereka hargai. Mungkin sikap ini satu pelajaran lain yang bisa kita timba dari koperasi restoran ini". Pada ulangtahun ke-20 ini, Pascal menyerahkan tanggungjawabnya kepada kami, khususnya yang termuda di antara kami: Sujoso. Malam khusus Pascal Lutz akan kami selenggarakan guna menghormatinya.

Umar Said, saudara tertua kami, yang keadaan kesehatannya melemah, terutama sejak 01 Januari 2003, nampak sangat terharu. Berkali-kali ia datang memelukku di dapur ketika aku sedang mencuci piring, panci-panci dan periuk-periuk besar yang menumpuk di sampingku. Umar memelukku tanpa mengucapkan sepatah kata, kecuali nampak perasaan tertentu terungkap dari kedua matanya yang mengaca. Ada air tergenang di matanya yang boleh jadi luput dari perhatian siapapun. Aku hanya menjawab ungkapan saudara tuaku ini dalam hati, tak ingin mempengaruhi siapapun. Adakah hubungan darahku dengan Bung Umar Said yang Madura ini? Jawabannya: aku seorang Dayak Indonesia dan Bung Umar seorang Madura Indonesia. Perjalanan panjang jatuh-bangun menautkan hati kami sebagai saudara. Bertengkar, saling caci, tapi juga saling sayang, saling bela dan semuanya berlangsung dalam perasaan sesaudara melebihi rasa saudara sekandung dalam pengertian harafiah. Ketika terjadi konflik berdarah Dayak-Madura di Sampit, Februari 2001, kami sama-sama merasakan kepahitannya tapi sama-sama juga kami tuangkan dalam sendagurau sinis jika ditanya para pelanggan. Didien yang selalu datang kerja membawa tustel numeriknya, tiba-tiba mengusulkan kami berfoto bersama dengan Bung Umar di dapur. Kade, putera Bali, mengambil foto kami berempat: Umar dan Ninong, aku dan Didien, dua kali. Foto bersama di ulangtahun ke-20 koperasi kami. "Foto bersejarah", ujarku, menyembunyikan perasaan karena bukan ini yang kumaksudkan sesungguhnya.


Mungkin para pelanggan biasa dan spontan yang makan malam ini heran melihat para tamu masuk keluar dapur dengan leluasa yang tidak terjadi di restoran lain. Mungkin! Tapi jika mereka tahu sejarah restoran ini, mereka tidak akan heran karena restoran ini adalah milik bersama para sahabat ini, kami hanyalah orang yang dipercayakan mengelolalnya dan pemikul kepercayaan itu. Kepercayaan dan kredibilitas memang sesuatu yang selalu kami jaga. Kepercayaan dan kredibilitas tidak terbeli dan diuji dalam perjalanan kerja yang panjang. Seperti kata pepatah Tiongkok: "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh". Kepercayaan dan kredibilitas itupun seperti seekor kuda demikian juga adanya. Jika ia tersuruk, ia pun kehilangan makna, lebih-lebih jika ia tidak berdaya untuk bangkit kembali.

Para pelanggan yang penuh sesak di ruang atas, di luar rombongan France Liberté dan para undangannya, menyaksikan orang-orang France Liberté dan undangannya memasuki dapur minta diri, nampak keheran-heranan. Bukankah tidak biasa para tamu memasuki langsung dapur restoran? Semua sahabat ini menyatakan kepuasan mereka akan hidangan yang mengagetkan mereka karena sangat baru dan juga atas suasana prasmanan.

Yang ingin kukatakan melalui cerita di atas terutama adalah bahwa persahabatan, persaudaraan, kasihsayang dan setiakawan adalah nafas koperasi restoran ini. Dua puluh tahun kami membangun dan menjalaninya, dua puluh tahun kami jatuh bangun memahami untuk mengkhayati maknanya serta melihat perspektifnya.

Ada yang mengatakan bahwa kisahku kepada Kakang berdua sebagai kisah memuji menyanjung diri. Dari lubuk hati terdalam ingin kukatakan bukan kebiasaanku memuji menyanjung diri yang tiada guna. Jika kuceritakan ham-hal ini, semata-mata berangkat dari hasrat berbagi pengalaman karena aku sadar benar malam hidupku tak terelakkan akan tiba, tapi hidup akan terus berlanjut. Dengan cerita ini aku ingin mengatakan bahwa harapan itu tetap ada seperti secercah cahaya ada di kegelapan sepekat apapun. Melihat cercah cahaya ini sangat penting untuk tidak dimamah pesimisme yang membunuh.Manusia itu tetap ada sekalipun bumi atau tanahair dikuasai gerombolan haus darah. Manusia yang manusiawi dan sadar akan kemanusiaannya tetap merupakan modal paling berharga dari segala usaha. Bukan uang! Cerita inipun merupakan usahakan menjawab permintaan Kakang berdua.

Salam hangatku selalu dan sampai surat mendatang.

JJ. Kusni

Perjalanan 2003.*

* *