Tulisan Samiaji tentang
Restoran INDONESIA
Mengenang 20 Tahun
Restoran Indonesia di Paris (1)
Restoran Indonesia, telah menjadi bagian yang penting dalam perjalanan hidupku di Paris. Pada saat-saat yang sulit, dari restoran inilah aku mendapatkan bantuan hidup yang paling hakiki. Aku pernah tinggal dan makan di sini, aku pernah bekerja di dapur, di bar, dan sebagai pelayan di sini. Dan, ... di sini pulalah, aku memperoleh sahabat-sahabat karib, berkenalan dengan pelanggan, yang kemudian memberikan pekerjaan tetap rumahsakitnya sampai sekarang, -- pada hari ulang tahun restoran yang ke duapuluh ini !
***
Ketika lewat internet kubaca catatan Pak Umar Said tentang " Ulang Tahun ke 20 Restoran Indonesia di Paris", saya sungguh terhenyak ... Ternyata Restoran Indonesia telah tegak berdiri sejak dua puluh tahun yang lalu. Di tahun 80-an, ketika saya datang di negeri ini dan kawan-kawan lain dari berbagai negeri yang menolak kekuasaan rezim Orde-Baru, -- Restoran Indonesia itu belum ada ... dan sekarang sedang memasuki tahun yang ke 21....
Mengapa aku terhenyak oleh kabar ulang tahun yang ke 20 itu ? Angka 20 seperti memberikan perasaan yang mengagumkan ! Aku seperti diingatkan kembali, bahwa aku ternyata telah datang di negeri ini lebih 20 tahun yang lalu. Ketika itu orang Indonesia yang sudah tinggal di Paris, --Bekas Duta-Besar Republik Indonesia untuk Cuba, Bapak Anak Marhaen Hanafi, dan Pak Umar Said, wartawan senior pimpinan harian Ekonomi Nasional yang juga pimpinan Persatuan Wartawan Asia-Afrika, bekerja sebagai pegawai di Kementerian Pertanian Prancis, dan ada beberapa lagi.....
Di awal tahun 80-an itulah kemudian berdatangan kawan-kawan dari berbagai negeri yang mencari suaka politik di Paris, termasuk saya sendiri. Pak Umar Said, sebagai cikal-bakal yang telah " mapan " di Paris, rumahnya serentak menjadi semacam " asrama " bagi mereka yang telah dikeluarkan dari tempat penampungan, sudah diterima statusnya sebagai political-refugees, tapi belum bisa dapat pekerjaan dan menyewa rumah......
Kawan-kawan kita ini, sekalipun sebagian besar mantan anggota Partai dari
Klas Proletar, - tapi pada umumnya adalah orang-orang yang disebut borjuis-kecil,
bahkan mungkin ada yang didalam tubuhnya mengalir beberapa tetes darah priyayi,
dan semuanya kaum kaum terpelajar atau intelek ! Pada saat ini, timbullah
problem yang paling mendesak :-- lalu apa yang bisa dikerjakan bagi kaum intelek
ini di Paris ? Prancis sedang kebanjiran kaum pencari suaka dengan jutaan
pengangguran, baik yang memiliki " ijazah bergengsi " sampai yang
hanya punya " otot ". Di sini, perjuangan untuk survival merupakan
tantangan konkrit di depan mata ! Orang hidup harus makan, dan untuk makan
harus bekerja !
* * *
Lahirnya Restoran Indonesia di Paris ini, -- barangkali satu keajaiban !
Orang-orang " pelarian politik " yang oleh Gus Dur disebut "
Orang-orang klayaban " ini, -- ada wartawan seniornya, ada mantan profesornya,
ada tokoh-tokoh kebudayaan, penulis dan penyair, bahkan tokoh-tokoh gerakan
pelajar dan pemuda tingkat pusat, ada sarjana-sarjana dan mantan mahasiswa,..
pokoknya, -" orang-orang klayaban " ini adalah " kaum intelektual
". Tapi, demi untuk kelanjutan hidup, untuk sandang-pangan dan tempat
tinggal, mereka semua harus siap " tahan banting ", siap kerja macam
apapun, walaupun tak sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajarinya. Mereka
tak mungkin terus menerus berjubel di rumah Pak Umar yang tiga kamar itu tanpa
kerja, yang konon pernah tinggal di situ sampai 22 orang. Semua kamar sampai
ke lantai-lantainya di dapur tak ada yang kosong. Berjubel ! Pak Umar sebagai
sesepuh kami, merasa dihadapi tantangan berat, dan dengan beberapa kawan senior
lainnya mulai berpikir keras mencari solusi.
Saya, yang baru datang, yang tak tahu sepatah katapun bahasa Prancis, hanya
menonton saja dengan penuh keprihatinan. Kulihat Pak Umar sangat sibuk, dengan
beberapa kawan berunding dan pergi lagi, dan berunding lagi dan pergi lagi
....Tiba-tiba, saya diberitahu, munculnya ide ajaib, --" Bikin Restoran
! Ya, kami akan mendirikan restoran spesialis masakan Indonesia ! " kata
Pak Umar meyakinkan.
--" Bukankah di Paris belum ada restoran yang menyajikan masakan khas
Indonesia ! ? Ini akan merupakan satu-satunya barang aneh di Paris dan ini
pasti akan laris ! Dan kita akan bekerja di sana dan hidup daripadanya ! "
Aku dengar ide itu, dimulai dengan perasaan ngeri ! Ini benar-benar " mission impossable " !. Benar, di Paris belum ada Restoran yang menyajikan masakan spesialis Indonesia, dan benar bisa dibayangkan akan laris dan adan menjadi tali-nyawa bagi kami semua ! Tapi .... bukankah ide yang genial itu harus ditopang dangan syarat-syaratnya yang obyektif ! ? Dapatkah kami, --" orang-orang klayaban " ini mendirikan sebuah restoran spesialis dengan tangan kosong ? Dengan modal dengkul ? Dan .... apakah kami kaum intelek ini, yang dulunya biasa nongkrong di warung sebagai pembeli, kini bisa dibanting jadi tukang masak dan melayani orang makan ? Dan kami-kami kaum intelek, yang barangkali paling banter masak sederhana buat sendiri, hanya merebus mi-cor atau menggoreng telur saja, mau menghidangkan masakan spesialis Indonesia yang begitu banyak ragam dan kerumitannya ? Dan .... ini mungkin masih ada yang dilupakan : -- lalu, dari mana modal untuk semuanya itu hendak dipungut ? Semua pertanyaanku dikepala ini berakhir dengan perasaan ngeri ! Apakah ini bukan " mission impossible " ...keluhku?
Yang kusaksikan, sejak munculnya ide itu, Pak Umar jadi super sibuk, dengan mengempit tasnya pergi pagi-pagi, dan pulang petang, bahkan terkadang jauh malam. Ada beberapa kawan yang diajak ikut, dengan misi " cari modal pinjaman " ..... Pokoknya, -- dengan usaha yang pantang menyerah, dana itu bisa terkumpul. Dari modal ini dibelinya Restoran bobrok yang nyaris bangkrut, kalau tak salah milik orang dari Guadaloupe (jajahan Prancis) , namanya Restoran Madras. Nah... mulailah kami kerjakan beramai-ramai memperbaikinya. Kerjabakti luar biasa! Dan restoran bobrok itu berhasil kami "sulap " menjadi restoran yang sumringah bergaya Indonesia, dindingnya dipenuhi dengan berbagai dekorasi, berbagai hiasan tipikal Indonesia, dan diringi alunan musik (kaset) lagu-lagu Indonesia... Pokoknya, orang yang masuk kesitu, sudah bisa merasakan adanya suasana yang Indonesia .....
Di sini aku menyadari, apa yang kukira " impossible " itu, dengan keuletan « mengasah linggis menjadi jarum », bisa diubah menjadi " possible ", bahkan berhasil gemilang ! Sekarang ... keajaiban itu berjalan terus : Mula-mula " menyewa tukang masak ahli ", lalu dibantu beberapa istri kawan-kawan yang juga memiliki pengetahuan masak-memasak seadanya. Tapi dengan belajar terus dari pengalaman dilapangan, akhirnya Restoran Indonesia bisa berdikari sepenuhnya ! Jiwa restoran yang terpenting, -- cita-rasa masakan di dapur, --telah terpecahkan, dan telah mengikat begitu banyak lidah pelanggan. Beberapa intelek-intelek insan politik yang semula kikuk bekerja di dapur, sebagai pelayan atau kerja kasar lainnya, makin lama menjadi biasa..... singkatnya, semua lalu berjalan wajar saja, mula-mula ketika baru lahir merangkak-rangkak, kemudian jalan sempoyongan dengan berbagai sandungan, kemudian, kini dalam usianya yang ke 20, Restoran Indonesia telah menjadi dewasa, dengan langkah yang tegap !
Aku ikut aktif di restoran ini hanya sekitar 2 - 3 tahun saja sejak berdirinya, dan sudah 17 tahun kutinggalkan. Tapi sampai hari ini, kalau seminggu saja tak nongol kesana, aku merasa gelisah dan begitu kangen untuk ketemu teman-teman yang bekerja di sana serta menikmati masakan spesialis-indonesianya. Tempatnya masih tetap di bekas Restoran Madras itu, tapi wajahnya sekarang sudah berubah samasekali, lebih indah dan lebih cantik bahkan rada genit, dengan daya tarik yang mempesona. Para pekerjanya, yang ikut aktif sejak berdirinya, tinggal 4-5 orang saja, sudah banyak wajah-wajah baru yang lebih muda dengan tenaga yang lebih segar. Restoran Indonesia dalam usianya yang 20 tahun ini sedang dalam proses alih generasi.
***
Untuk melengkapi kenanganku ini, dibawah nanti akan saya kutipkan kesan-kesan yang ditulis oleh para tamu Restoran Indonesia pada saat-saat awal berdirinya. Di sana akan kelihatan bagaimana udara politik pada saat itu, dan bagaimana reaksi kebencian oleh kekuasaan Orba dengan terbentuknya restoran ini, yang justru didirikan oleh orang-orang yang menolak kekuasaan Orde-Baru. Restoran ini pernah mendapat cap sebagai " Restoran Gestapu " yang hendak " dilibas " oleh pemerintah Orba dengan cara mendirikan Restoran Indonesia tandingan di Paris. Dubes Indonesia di Prancis dengan resmi mengeluarkan larangan kepada para diplomatnya, untuk tidak hadir dan makan di Restoran Indonesdia ! Bahkan, seorang wakil Gubernur (Bengkulu) di skors gara-gara di Paris mampir di " Restoran PKI ". Tapi juga terdapat kesan-kesan yang bersahabat : --Bahwa Indonesia akan lebih dikenal lewat Restoran Indonesia daripada KBRI-nya ...... (bersambung)
* * *
Mengenang 20 Tahun
Restoran Indonesia di Paris (2)
Belum lagi satu tahun sejak berdirinya, Restoran Indonesia menerima tamu istimewa
dari Indonesia yang namanya tak asing lagi, Dr. Arief Budiman. Setelah melakukan
pertemuan ramah tamah dengan pekerja di restoran, sekembalinya di tanahair
dia menuliskan kesan-kesannya di Harian Kompas (16/11-83). Saya kutip :
Restoran Indonesia di Paris dan Politik.
(Oleh Arief Budiman)
Di Paris ada kasus yang menarik. Di sana ada orang Indonesia, yang karena persoalan politik tidak dapat (tidak diperkenankan) kembali ke Indonesia. Misalnya mereka yang punya hubungan dengan PKI atau orang-orang yang setia kepada ajaran Bung Karno. Pendeknya orang-orang yang tahun 1966 menolak lahirnya pemerintah Orde Baru. Mereka sebenarnya terdiri dari macam-macam orang. Ada yang memang aktif dalam kegiatan politik, ada yang barangkali cuma ikut-ikutan saja, dan sebagainya.
Apapun latar belakang mereka, mereka ridak mau pulang ke Indonesia, karena mereka tidak tahu nasib apa yang akan dihadapi kalau mereka pulang. Karena itu, meskipun kehidupan mereka kebanyakan cukup sulit, mereka tetap bertahan di luar-negeri. Misalnya ada banyak sarjana diantara mereka, yang terpaksa bekerja sebagai pelayan di restoran, atau sebagai penjaga malam, atau sebagai pengantar pos. Pendapatan mereka hanya cukup sekadar untuk hidup.
Kira-kira hampir satu tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Desember 1982, beberpa di antara mereka mengambil prakarsa untuk mendirikan sebuah Restoran Indonesia. Dengan bantuan teman-teman orangPrancis, mereka berhasil mendirikan restoran tersebut, dalam bentk usaha koperasi. Pengurusnya terdiri dari empat orang Prancis, empat orang Indonesia, dan satu orang Malaysia.
Di luar dugaan, restoran ini ternyata menjadi sangat berhasil. Restoran yang dapat menampung kira-kira lima-puluh tamu setiap hari penuh, bahkan mereka terpaksa menolak orang yang mau makan di sana karena tidak ada tempat. Perlahan-lahan nama restoran ini, satu-satunya restoran Indonesia di Paris (mungkin juga di seluruh Prancis ?) menjadi tambah terkenal. Yang datang makan di sana bukan saja orang " biasa ", tapi juga misalnya anggota Parlemen Prancis, duta-duta besar dari macam-macam negara, tokoh Pemerintahan Perancis dan sebagainya. Nama-nama yang saya catat : misalnya Pierre Joree (Ketua Kelompok Partai Sosialis Perancis di Parlemen, Yves Regis (Ketua Dewan Koperasi Perancis), Roby Bois (Sekretaris Jendral Organisasi-organisasi Kristen Perancis), Hostensia Allende (bekas istri almarhum Presiden Chille Salvador Allende) dan sebagainya.
Restoran ini tidak dimaksudkan untuk kegiatan mencari uang saja. Restoran ini dimaksudkan untukmenjadi kancah kegiatan kebudayaan, untuk memperkenalkan Indonesia khususnya, Dunia Ketiga umumnya. Karena itu, mereka juga mengadakan kegiatan Kebudayaan (dan untuk ini mereka berhasil mendapatkan subsidi dari Pemerintah Prancis sebagai pusat kebudayaan). Kegiatan mereka antara lain mengadakan kursus Bahasa Indonesia satu kali seminggu (ada 25 orang peserta). Kursus Bahasa Prancis untuk orang asing (ada 15 peserta), pemutaran film dari Dunia Ketiga (pada bulan Januari yang lalu, film sutradara terkenal dari Afrika, Sembene Ousman ; bulan April film tentang imigran gelap dari Afrika ; Agustus 1983, film tentang Pariwisata di Indonesia), pementasan lagu-lagu Indonesia, Pameran foto karya Thierry Divo tentang para pekerja di Indonesia, dan sebagainya lagi.
Pandeknya, restoran ini benar-benar sukses. Ketika saya datang ke sana, saya menyksikan sendiri betapa penuh restoran tersebut. Pada dinding ada potret-potret berwarna tentang Indonesia, disamping hiasan-hiasan wayang. Pekerja-pekerjanya banyak mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tinggal di Prancis, maupun yang datang dari luar Prancis, yang kebetulan sedang libur dan mencari tambahan uang saku. Memang letak restoran ini cukup strategis, di pusat kota Paris, yakni di Rue de Vaugirard no.12, dekat obyek turis Teater Odeon, Jardin de Luxemburg, dan Boulevard St Michel yang terknal ramai dengan para mahasiswa.
***
PERMASALAHAN timbul di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris. Bagi Kedutaan tampaknya sukar menentukan sikap terhadap restoran yang menurut istilah mereka dikelola oleh " orang-orang Amnesty International ". Semakin restoran ini dikenal tampaknya makin pelik persoalan yang dihadapi pejabat-pejabat di Kedutaan kita.
Menurut kabar, beberapa kali orang di KBRI Paris menerima telepon dari orang-orang Prancis menanyakan alamat restoran Indonesia tersebut. Mereka menjadi serba salah, dan akhirnya mereka menjawab " tidak tahu ". Tentu saja dapat dibayangkan bahwa orang Prancis yang bertanya itu menjadi bingung bagaimana sebuah kedutaanb tidak mengetahui kegiatan yang ada hubungannya dengan negara yang diwakilinya. Entah sampai kapan kebijaksanaan " tidak tahu " ini mau diteruskan.
Menurut kabar lagi, katanya KBRI berusaha menghalangi dibukanya restoran ini dengan cara mencoba mempengaruhi semacam KADIN Prancis untuk tidak memberi rekomendasi bagi restoran ini. Tapi tampaknya usaha ini tidak berhasil.
Sikap KBRI ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan kepada KBRI saja. Sikap ini adalah akibat dari tidak adanya kebijaksanaan yang jelas tentang bagaimana memperlakukan orang Indonesia yang tidak bisa pulang ini. Apakah mereka harus diperlakukan sebagai musuh secara terus menerus ? Atau ada kebijaksanaan untuk mencoba merangkul mereka, mengembalikannya ke tanahairnya kembali. Bagaimanapun juga mereka adalah orang Indonesia. Kalau tahanan G30S yang dari Pulau Buru saja sudah dikembalikan ke masyarakat, mengapa orang-orang ini dibiarkan terus tanpa pembinaan ? Mereka diperlakukan sebagai wabah yang harus dihindari. Begitulah kenyataannya.
Sikap yang tidak jelas ini embuat pejabat kita KBRI mengambil jalan selamat. Kita sudah cukup tahu mentalitas para birokrat Indonesia. Berusaha untuk tidak membuat kesalahan sampai akhir jenjang kariernya. Cara untuk tidak membuat kesalahan adalah dengan (kalau dapat) tidak membuat prakarsa apa-apa, kecuali kalau sudah ada instruksi yang jelas. Karena prakarsa berarti tanggung-jawab, dan tanggung-jawablah yang memang dihindari oleh para birokat kita.
Persoalan ini menjadi lebih majemuk karena seperti juga kedutaan-kedutaan kita di negara lain, pada umumnya kurang bekerja secara efektif. Apa yang dilakukan oleh Restoran Indonesia di Rue Vaugirard ini membuat kelemahan KBRI di Paris jadi tampak lebih menyolok. Saya tidak akan terkejut kalau pada suatu waktu orang lebih mengenal Indonesia dari Restoran ini daripada dari KBRI.
***
MENIRU Martin Luther King, saya ingin kali ini berkata : " Tadi malam saya bermimpi .... Mimpi saya adalah pada suatu kali terjadi hubungan yang baik antara KBRI dan Restoran Indonesia dalam memperkenalkan kebudayaan bangsa kita yang beraneka ragam, tentang perjuangan bangsa kita melepaskan diri dari segala macam penjajahan dan penghisapan, tentang banyak hal yang lain-lain. Para tamu di Restoran tersebut, disamping menikmati makan sate dengan bumbu kacang dan gulai kambing, dapat juga mendengarkan lagu-lagu dari Tapanuli, Ambon, Minangkabau serta gamelan Bali dan gending Jawa. Semua itu terjadi berkat kerjasama antara Restoran Indonesia dan KBRI. " Tadi malam saya bermimpi .... bahwa bangsa Indonesia telah kembali bersatu, berbeda tapi bersatu ". Mungkinkah mimpi ini menjadi kenyataan ? (kutipan selesai)
***
Oleh tulisan Dr.Arief Budiman di Kompas ini (juga dimuat oleh JAKARTA POST
19/12/83 –Indonesian Exiles Promote Their Motherland), -- Dubes Indonesia
di Paris Barli Halim mengeluarkan larangan " Bagi Diplomat RI di Prancis
Dilarang Makan di Restoran Indonesia Paris ", dimuat dalam Sinar Harapan
(21/12/83) dan UPI, --The Indonesian Embassy in Paris Barret its Staff Members
From Eating in the Only Indonesian Restauran in the Franch Capital, yang juga
dikutip oleh Utusan Malaysia, --Kedutaan larang kakitangan makan di Restoran
Indonesia (23/12/83). Juga Menteri Luar Nageri Muhtar Kusuma Atmaja telah
mengusulkan untuk mengadakan dana khusus buat mendirikan Restoran Indonesia
tandingan di Paris untuk bersaing !
(Bersambung).
* * *
Mengenang 20 Tahun
Restoran Indonesia di Paris (3)
Di bawah ini saya kutipkan (disarikan) petikan reaksi kemarahan Rezim Orba,
yang lewat Dubesnya di Paris mengeluarkan " larangan bagi diplomat Indonesia
makan di Restoran Indonesia di Paris ", dan usulan Menteri Luar-negeri
Mochtarr Kusuma Atmaja agar KADIN membeayai untuk mendirikan Restoran Indonesia
yang lain di Paris buat menyaingi (UPI-21/12).
***
Dubes Barli Halim : - « Saya serba salah ! »
Diplomat RI di Prancis Dilarang Makan Di Restoran Indonesia Paris
Sinar Harapan, -- Paris, 21 Desember.-- Para Diplomat Indonesia yang bekerja di KBRI Prancis untuk sementara tidak diperbolehkan berkunjung atas inisiatif sendiri atau makan di sebuarh restoran Paris yang khusus menghidangkan masakan-masakan indonesia, yang dikelola oleh Umar Said, seorang bekas wartawan angota klik Djawoto di tahun 1950-an.
Tidak disebutkan sejak kapan larangan ini dikeluarkan, tetapi menurut Dubes Barli Halim, tujuan larangan tersebut adalahuntuk mencegah jangan sampai timbul kesimpulan kalau diplomat Indonesia makan di restoran tersebut, berarti antara orang KBRI dengan pengelola Restoran itu mempunyai " hubungan ". Disamping itu juga menjaga konduite para diplomat Indonesia di mata pimpinannya di Jakarta.
--" Saya sudah memberikan pegangan pada rekan-rekan di KBRI, pada umumnya
saya melarang dan tidak memperbolehlakan mereka berkunjung kesana apalagi
atas inisiatif sendiri ", kata Dubes Barli Halim di Paris kepada wartawan
" SH ", Derek Manangka baru- baru ini. Menurut Dubes, staf KBRI
hanya boleh berkunjung atau makan disana jika dalam keadaan terpaksa, misalnya
bila diundang oleh orang Prancis yang ingin mencicipi masakan Indonesia.
Diberlakukannya larangan tersebut karena menurut pengamatan KBRI, dibalik
kegiatan Restoran itu berjalan kegiatan-kegiatan yang mempropagandakan anti
Pemerintah Indonesia. Sebelum restoran itu berdiri, KBRI mendetaksi, pengelola
restoran itu aktif mengkampanyekan hal-hal yang tidak menguntungkan Indonesia
kepada masyarakat Prancis.
Serba-Salah.
--Kita sudah memperhatikan secara khusus perkembangan di belakang restoran
tersebut ", ujar Barli Halim. Diungkapkan dalam berbagai kesempatan ia
dan para staf KBRI sering datang orang-orang asing apakah di Paris ada restoran
khas Indonesia. –" Yah, saya sering serba salah. Mau bilang ada
repot, bilang nggak ada, jangan-jangan mereka cuma mau memancing. Karena itu
saya bilang saja ada, dengan menunjuk kantin Indonesia di KBRI ", - kata
Dubes.
Khusus untuk masyarakat Indonesia non-KBRI, menurut Dubes tidak diberikan
larangan. « Ini di negeri orang, dan saya tidak punya wewenang untuk
melarang mereka », katanya. Disamping itu alamat restoran itu tercantum
dalam " Pariscope ", semacam buku panduan turis untuk Paris, sehingga
setiap orang bisa menemukannya dengan mudah.
Bantuan.
Menjawab pertanyaan lain, Dubes tidak mengesampingkan kalau pengelolaan restoran
itu mendapat bantuan dari Partai Komunis Prancis atau golongan kiri lainnya
yang anti atau tidak simpati kepada Indonesia. –" Mengapa tidak
? Bisa juga itu membiayai sendiri tetapi untuk sebagai pos kerugian. Tapi
dengan dalih restoran maka ia mendapat bantuan dari luar. Namun bukti-bukti
kearah itu memang kita belum tahu. Yang kita ketahui, restoran itu merupakan
usaha orang Indonesia dengan orang Prancis ", kata Dubes Barli Halim.
(kutipan selesai, bagian selanjutnya tidak mengenai restoran Indonesia, --smj)
***
Larangan makan di Restoran Indonesia ini juga diberitakan oleh koran "
UTUSAN MELAYU " (23/12-83) dalam rubrik "
Kabar dari Asia ", dengan tema :
" Kedutaan larang kakitangan makan di ‘restoran Indonesia’
" yang isinya, pada garis besarnya sama dengan yang dimuat
oleh koran " SH ". Juga dibawah ini saya petik sebagian kabar yang
disiarkan oleh UPI, dimana terdapat usulan agar KADIN membeayai pembangunan
Restoran Indonesia yang lain di Paris untuk menyaingi.
Petikan dari UPI. (disarikan-smj) -- Jakarta, Dec 21 (UPI) –The Indonesian Embassy in Paris has barred its staffs members from eating in the only Indonesian Restaurant in the French capital because it is run by political dissidents, news reports said Wednesday.
For the time being, Indonesian diplomats in Paris are not allowed to eat in the Indonesian Restaurant in Paris, --Indonesian Ambassador to France Barli Halim told to the " Sinar Harapan " newspaper. The restaurant, known as Indonesia, - was founded a year ago by a former journalist, Umar Said, who has lived outside Indonesia since Suharto’s regime crushed the Indonesian Communist Party in the aftermath of an abortive coup in 1965. ....
The Restaurant also sponsors cultural activities and many are not to the
Jakarta Government’s taste, such as a picture exhibition depicting poor
workers in developing parts of Indonesia.
What can I do about it ? -- lamented Halim. –It is not our country.
Why go there anyway ? -- snapped Foreign Minister Mochtar Kusumaatmadja.
One official suggested the Indonesian Chamber of Commerce might finance another
Indonesian Restaurant in Paris to provide some competition.....
(Bersambung).
* * *
Mengenang 20 Tahun
Restoran Indonesia di Paris (4)
Dalam himpitan kerasnya persaingan mendapatkan pekerjaan, kaum " pelarian
politik " Indonesia tidak menyerah karena " tak ada lowongan kerja",
tapi lapangan kerja itu justru diciptakannya sendiri. Berdirinya Restoran
Indonesia di Paris adalah bukti nyata keberhasilan kerja keras mereka dalam
" menciptakan pekerjaan sendiri " itu, -- yang oleh Pemerintah Perancis
dinilai sebagai teladan.
***
RESTORAN INDONESIA DI PARIS, MENCIPTAKAN PEKERJAAN SENDIRI.
Harian Kompas 29 Januari 1984, telah menurunkan artikel tentang hal ini, yang
penulisnya adalah Joko. Saya mencoba mengulas dan menyajikan bagian-bagiannya
yang kukira penting untuk diketahui:
MENURUT angka statistik sementara yang dikeluarkan tanggal 21 Desember 1983, di Brussel, jumlah pengangguran di negara-negara Pasaran Bersama Eropa (PBE) naik rata-rata 1,4% dalam satu bulan. Di Perancis kenaikan itu mencapai 3% (Le Monde, 23 Des.1983) –jumlah penganggur yang sudah tercatat kurang-lebih 2,5 juta. Kambing hitam dalam krisis ekonomi ini dijatuhkan pada kaum imigran.
Dalam situasi demikian, mencari pekerjaan, meskipun kerja kasar, tidaklah sederhana. Tanpa kerja legal dengan buletin-gaji-bulanan, tak mungkin menyewa tempat tinggal. Karena untuk hidup perlu makan dan tempat tinggal, dan untuk itu perlu pekerjaan, maka banyak imigran yang kerja " gelap ". Tapi, dengan kerja gelap, tak ada jaminan pengangguran, jaminan perawatan sakit, jaminan pensiun, juga tak bisa menyewa tempat tinggal. Bahkan, tidak adanya pekerjaan, juga mempunyai pengaruh terhadap ijin tinggal.
Dalam keadaan demikian banyak intelektual Indonesia yang tadinya belajar di Eropa Timur misalnya, dan merasa " tak aman " untuk pulang ke Indonesia, demi untuk kelangsungan hidupnya terpaksa melakukan pekerjaan kasar di luar bidang keahlian yang dipelajarinya. Ada insinyur yang terpaksa jadi tukang roti, atau kerja di pabrik paku, sarjana ekonomi jadi tukang timbang, dokter-bedah jadi pelayan restoran, guru bahasa di perguruan tinggi sebagai tukang masak, juru-rawat sebagai tukang sapu, wartawan sebagai opas kantor. AM Hanafi yang bekas Dubes dan Jendral di Paris pernah menjadi penjaga malam untuk menyambung hidupnya.....
Kesulitan ini mungkin tak terbayangkan oleh sementara orang di tanahair. Dengan latar belakang inilah, sejumlah orang Indonesia yang memperoleh suaka politik di Prancis dan dalam suasana menganggur, lalu bersama-sama dengan sahabat-sahabatnya orang Perancis mendirikan restoran sebagai perusahaan koperasi. Merekalah menciptakan pekerjaannya sendiri ! Restoran ini menjadi anggota koperasi seluruh Perancis. Departemen Urusan Pekerjaan Prancis (Departement du Travail) dalam wawancara dengan seluruh suratkabar penting di Prancis 16 Desember 1983, menyebutkan, usaha kaum " pelarian politik " Indonesia itu sebagai teladan. Badan-badan sosial seperti CIMADE (Protestan), Secours Catholique, CCFD, telah memberikan penilaian tinggi terhadap usaha ini dan secara nyata telah memberikan sumbangan dana yang berarti bagi pembangunannya.
Restoran di Paris didirikan tidak hanya untuk menciptakan pekerjaan bagi anggota koperasi, tapi juga untuk melakukan kegiatan kebudayaan Indonesia. Sampai bulan Deseber 1983 kegiatan kebudayaan ini berjalan terus. Yang paling akhir adalah pameran foto yang kedua kali dengan judul " Parcours Indonesie ". Foto yang dipamerkan oleh Maryse Sourdillat dan Jean Marc adalah foto-foto yang dipilih dari 3.000 foto yang dibuat selama tiga tahun perjalanan ke Indonesia. Pembukaan pemeran ini mendapat perhatian sangat besar. Lebih dari 100 orang dari berbagai lapisan, masyarakat yang datang mengunjungi setiap harinya, yang merangsang pengunjung restoran yang pernah ke Indonesia....
Kegiatan kebudayaan lainnya, yang berupa penyajian nyanyian Indonesia,--lagu-lagu rakyat Tapanuli, Ambon, Minahasa, Jawa, Bali, atau bahkan negara lain ; -- dekorasinya yang benar-benar mencerminkan budaya Indonesia, dengan batik, wayangkulit, wayang golek, topeng-topeng dan lukisann serta foto-foto keindahan tanahair, membikin para pengunjung menjadi terpaku dan terpesona. Sering diantara mereka mengucapkan seruan " Aku cinta Indonesia ! ", " Saya suka negeri ini ! Bahkan ada orang Belanda yang menyatakan : " Saya gila pada negeri ini ! ". Banyak para langganan yang tidak hanya datang untuk makan, tapi juga untuk menyanyi bersama sang penyanyi, yang menambahkan semaraknya keakraban dalam suasana persahabatan.
Pascal LUTZ pemimpin Restoran Indonesia ketika ditanya menjelaskan ; --Di Restoran ini kita lakukan kegiatan ekonomi, sebagaimama restoran lain. Tapi juga di sini dilakukan kegiatan kebudayaan, guna memperkenalkan kebudayaan Indonesia dan kenal-mengenal dengan kebudayaan negeri-ketiga. Tapi, di sini tak ada propaganda politik. Coba anda lihat, disini tak ada sehelai plakat politikpun yang dipajang ! Tapi, kalau kegiatan kebudayaan ini dianggap kegiatan politik, ya itulah bentuk untuk mewujudkan politik kebudayaan, agar orang-orang Prancis dan pengunjung restoran umumnya mengenal Indonesia dan kebudayaannya. Ini juga membuktikan, bahwa orang-orang Indonesia yang di restoran ini benar-benar mencintai tanahairnya.
Masalah pokok yang kami hadapi sekarang ini ialah, --bagaimana tetap menjaga kelangsungan hidupnya Restoran ini, mempertahankan, kalau bisa mengembangkannya, agar teman-teman kami tidak kehilangan pekerjaan dan kembali menjadi penganggur dalam masyarakat yang sedang dilanda krisis ini. Saya sungguh bangga dengan teman-teman Indonesia ini, yang telah berprakarsa di tengah kesulitan mencari pekerjaan. Apakah tidak semestinya orang Indonesia sendiri juga merasa lebih bangga lagi, bahwa orang-orang sebangsanya telah memberikan teladan baik bagi banyak orang di sini ?
Tentang dikeluarkannya larangan Dubes Indonesia di Paris Barli Halim untuk tidak hadir dan makan di Restoran Indonesia, atas dugaan bahwa Restoran ini, yang didirikan oleh kaum oposan kiri Indonesia di pengasingan, sebagai " pusar propaganda anti-pemerintah ", --Restoran Indonesia menanggapinya dengan santai saja. Restoran Indonesia sekali lagi mengulagi, --bahwa restoran ini didirikan untuk menciptakan kerja, untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia terutama untuk orang Perancis dan dunia-ketiga ... tentang kecurigaan dari KBRI, phak restoran tak berminat untuk menanggapi, apalagi berpolemik...... Juga Dubes Bari Halim sendiri mengakui, bahwa pihak Kedubes " tidak mempunyai bukti tentang itu " (UPI-21 Des-1983).
* * *
Mengenang 20 Tahun
Restoran Indonesia di Paris (5)
Di bawah ini saya kutip berapa bagian dari artikel yang diturunkan Majalah
TEMPO, 24 Maret-1984 : --tentang restoran Indonesia di Paris yang sarat dengan
suasana Indonesia, --tapi juga banyak diributkan sebagai ajang propaganda
" Anti-Pemerintah-Indonesia " (Orba). Sedangkan Menlu Mohtar Kusumaatmadja
berkata : " Kalau ke Paris, saya ingin mencicipi masakan restoran itu
"....
Menlu Mochtar Kusumaatmadja
ingin mencicipi masakan restoran Indonesia di Paris.
SEBUAH RESTORAN DI RUE DE VAUGIRARD, --Quartier Latin, jantung intelektual Kota Paris, 200 meter dari Universitas Sorbonne. Sebuah papan nama kecil :--Restaurant Indinesia, menandai kehadirannya. Suasana Indonesia terasa begitu pengunjung masuk. Suara musik dari Rayuan Pulau Kelapa dan Mak Inang sampai keroncong, gamelan Jawa-Sunda-Bali, lagu Maluku, memenuhi ruangan itu. Dinding restoran yang dihiasi kain batik, ukiran kayu, topeng serta wayang, dan pelayan yang mmakai baju batik menambah warna Indonesia.
Di restoran ini, pengunjung bukan saja bisa menikmati masakan standar Indonesia, seperti nasi goreng dan sate, tapi juga rendang, opor, tumis, sayur asam dan tempe. Inlah restoran yang beberapa bulan yang lalu dikabarkan melakukan propaganda " anti-Indonesia ", sehingga para diplomat di Paris dilarang mengunjunginya. Ketika ditanya kebenarannya, Menlu Mochtar Kusumaatmadja dalam pertemuan pers mengelak menjawab langsung,--" Barangkali mereka tidak datang kesana karena masakannya kurang enak "....Yang mengganjal, tentu bukan enak dan tidaknya masakan di situ, pasalnya restoran ini didirikan oleh beberapa orang bekas anggota Partai Komunis Indonesia yang terlarang itu.
Banyak orang Indonesia yang mengalir ke Prancis, termasuk diantaranya bekas anggota PKI. Salah seorang yang kemudian menetap di Paris, adalah Umar Said, bekas pimpinan koran Ekonomi Nasional, sebuah harian yng satu kelompok dengan Warta Bakti. Tatkala G-30-S/PKI pecah, dia ada di Kairo menghdiri konperensi OISRA (Organisasi Internasional Setiakawan Rakyat Asia-Afrika). Umar Said dan Ibrahim Isa pada tahun 1966 penah muncul di KTT non-blok di Havana, Kuba, dan menyebut dirinya delegasi Indonesia, menyaingi delegasi resmi RI .
Dengan bantuan suatu organisasi kemanusiaan, Umar Said bersama berapa orang bekas PKI pada tahuin 1982 mendirikan sebuah koperasi dengan modal pertama sekitar 500.000 francs (sekitar 60 juta Rupiah). Mereka kemudian membeli restoran yang kurang laku, mengecat dan mendekorasinya kembali, dan jadilah Restoran Indonesia, satu-satunya Restoran Indonesia di Paris.
Para koki dan pelayan pertama adalah mereka sendiri bersama istri dan keluarganya.
Untuk memperkenalkan restoran ini beberapa wartawan diundang. Disediakan juga
buku tamu untuk mengisi kesan-kesan. Usaha ini rupanya berhasil.
--" Baru sebulan setelah dibuka restoran ini sudah mulai penuh, sekarang
kami sering menolak tamu karen kekurangan tempat ", kata Umar Said. –"
Keuntungan mengalir jauh lebih cepat dari waktu yang kami perkirakan ",
kata seorang Prancis yang ikut mendirikan.
Setelah laris, restoran tampaknya dikelola lebih profesional. Juru masaknya
kini benar-benar koki. Para pekerjanya juga bekerja hanya 8 jam tidak 12 jam
seperti pada saat pertama dibuka. Beberapa anggota Parlemen, tokoh politik
dan intelektual sering nampak makan di restoran ini. –" Masakannya
lumayan ", kata Jacques Leclerc, sejarawan Prancis yang sering mengunjungi
Indonesia.
Restoran ini beberapa kali mengadakan pameran, antara lain batik, foto, dan lukisan Indonesia. Juga menyelenggarakan pemutaran film dan slide tentang kegiatan pariwisata Indonesia. Bagi mereka yang berminat belajar bahasa Indonesia disediakan beberapa guru dari kalangan mereka. Setelah hampir dua tahun berdiri, kini restoran ini juga menampung beberapa orang Indonesia yang bukan bekas PKI. Sebuah sumber menduga, ini merupakan usaha menggalang suatu " front nasional ". (tulis Tempo)
Belum jelas, apakah kegiatan ini yang dianggap " anti Indonesia ". Seorang pejabat memang mengakui, para pengelola restoran ini " campur aduk ", termasuk beberapa orang bekas anggota PKI. – Kendatipun demikian, mereka menolak tuduhan melakukan kegiatan anti-indonesia. –" Kini kami mau bekerja untuk mencari makan, dan tidak mau pusing soal politik lagi ", kata seorang karyawan restoran pada wartawan TEMPO Nasir Tamara. Umar Said sendiri menegaskan, --" Kami tidak melalakukan hal yang merugikan Indonesia. Sebetulnya kami semua ingin sekali pulang ke Indonesia ".
Sebuah sumber TEMPO mengungkapkan pemerintah Indonesia tentu saja tidak bisa
mengambil tindakan terhadap mereka, karena itu urusan dalam negeri Prancis.
–" Kita ikuti saja kegiatan mereka ", ujar sumber itu. Apakah
diplomat Indonesia akan tetap dilarang makan di restoran itu ? Sembari tertawa,
Menlu Mochtar Kusumaatmadja akhir pekan lalu berkata kepada TEMPO, --"
Kalau ke Paris, saya ingin juga mencicipi masakan restoran itu " .(kutipan
selesai)....(Bersambung).
***
Mengenang 20 Tahun
Restoran Indonesia di Paris (6)
Saya telah mengulas dan mengutip beberapa kesan-kesan yang ditulis dalam koran dan majalah Indonesia tentang Restoran Indonesia di Paris pada tahun-tahun pertama berdirinya (1983-1984). Dari situ bisa diperoleh gambaran situasi politik pada saat itu, bagaimana pandangan dari pihak yang bersahabat maupun yang memusuhi.
Sekarang saya ingin menutup tulisanku ini, dengan menuturkan dua pengalaman yang " ajaib ", yang sungguh-sungguh tak kuduga.
*** Frederic Van Baar van Slangenburgh.
Mungkin baru seminggu Restoran Indonesia di Paris ini dibuka, di sore hari
malam Minggu, sepasang tamu bule datang. Ketika kupersilahkan duduk, dia bilang,
-- datang lebih awal karena ingin menikmati suasananya dahulu. Tamu itu melihat-lihat
dengan cermat dekorasi restoran bagian ruang atas, lalu kupandu ke bagian
ruang bawah. Dia sering berhenti berlama-lama didepan hiasan itu, dan mengangguk-anggukkan
kepalanya, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Kemudian dia mengajak aku
duduk bersama di ruang bawah yang ketika itu masih sepi.
--" Aku ini ‘orang indonesia’, dan aku sangat merindukannya.
Karena itu, ketika kudengar dibuka restoran Indonesia di Paris, aku segera
datang mencarinya ! ", katanya sambil pandangannya ditebarkan kemukaku
mencari reaksi....
--" Orang Indonesia ? Tuan dan Nyonya orang-orang Indonesia ? ",
tanyaku dalam bahasa Perancis, dan untuk menguji segera kuteruskan dalam bahasa
Indonesia : --" Bagaimana kisahnya Tuan dan Nyonya ada di sini ? ".
Sambil kupandangi warna kulitnya yang bule, dan matanya yang biru, .... –"
Akh, agaknya Tuan hanya berolok-olok saja ", kataku mencibir....
--" No, no.... saya tak tahu bahasa Indonesia samasekali ! Saya, sekarang
orang Perancis, maksudku, aku lahir di Indonesia, di Brastagi Sumatra. Aku
meninggalkan Indonesia ketika umurku masih 9 tahun, dan aku tak pernah kembali
lagi ke tanah kelahiranku itu. Sekarang inilah aku baru melihat kembali "Indonesia
" di restoran ini, setelah lebih setengah abad berpisah .....Sayang pembicaraan
yang amat menarik ini terpaksa putus sampai di sini, karena aku harus bekerja
melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan. Tamu kelahiran Indonesia itu memberikan
kartu namanya, dan meminta agar aku menelpun besok. Di kartu itu tercantum
namanya yang panjang : Frederic Van Baar van Slangenburgh. Ini kan nama Belanda,
dan agaknya keturunan bangsawan.... pikirku di kepala.
Esok harinya, aku menelpun, dan terjadi kesepakatan, agar sore nanti aku
datang makan dirumahnya. Karena rumahnya yang jauh diluar kota, aku akan dijemput
dengan mobilnya.
Di rumahnya yang besar dan luas, meubel dan hiasannya yang indah, menandai
kekayaannya. Sambil menikmati hidangan makan malam khas Perancis yang untuk
pertama kalinya menyentuh lidahku, kisah di restoran semalam itu dia lanjutkan.
Ringkasannya begini : --Frederic ini memang orang Belanda asli, anaknya Tuan
Van Baar van Slangenburgh yang memiliki kebun tembakau di Brastagi pada tahun
1930-an. Ketika meletus perang dunia kedua, Frederic kecil dan Ibunya kembali
ke Belanda, sedang Bapaknya, Tuan Van Baar, ditangkap Belanda dan konon dipenjarakan
di Birma (sekarang Myamar). Sampai di Belanda, tak lama kemudian Ibunya meninggal
oleh derita, begitu mendengar kabar kematian suaminya. Kemudian Frederic kecil
ini tumbuh ikut mBakyunya yang sejak dulu tinggal di Belanda. Tapi, oleh panasnya
perang-dunia itu, satu-satunya saudaranya ini pindah ke Afrika Selatan ikut
suaminya, dan Frederic menolak ikut serta. Frederic jadi " anak jalanan
" dan ketika berumur 17 tahun dia mengembara ke Prancis, sesudah membaca
advertensi ada perusahaan Pemotongan-Daging di Paris yang membutuhkan tenaga
buruh. Di Perusahaan Perancis inilah dia diterima sebagai pekerja kasar. Tapi
oleh kerajinannya bekerja, majikannya tertarik dan menyekolahkan, kemudian
diangkat menjadi juru-tulis. Keberuntungan Frederic terus berlanjut, dengan
putri majikannya saling jatuh cinta, kemudian diambil sebagai menantu, yang
seterusnya mendapatkan kepercayaan untuk mengggantikan kedudukan majikannya,
yang juga mertuanya itu. Kemudian dia menetap di Paris, menjadi warganegara
Prancis, dan dengan istrinya dikaruniai 3 orang anak yang sudah besar-besar
bahkan sudah pada berumah sendiri....
Itulah kisah " anak jalanan " Frederic yang menjadi Direktur Perusahaan
Pabrik Daging, yang sungguh seperti dalam dongeng ! Dan dia, sampai di hari
tuanya, masih merasa rindu terhadap Indonesia, tanah kelahirannya, yang ketika
itu bernama Hindia-Belanda.
--" Nah, sekarang ganti kisah perjalanan hidupmu, bagaimana kau bisa
ada di sini dan jadi pelayan di restoran itu ? -- Pertanyaan itu kujawab dengan
singkat, -- kisah sedu-sedan pengembaraanku yang berliku-liku, sampai terbentuknya
restoran Indonesia.
--" Sekarang aku bekerja dan juga tinggal di restoran itu ! ", kataku
menegaskan. Dia tampak terharu mendengr kisahku itu. Dan spontan menawarkan
agar aku tinggal saja dirumahnya, dan menjadi keluarga sendiri.
--" Lihatlah ! " dia berdiri dari duduknya, dan jarinya menuding
:--" Kamar ini, ini, ini, kosong ! Semua anak-anakku sudah berumah-tangga
dan tinggal di kota. Pilihklah salah satu kamarnya, dan tinggalah di situ
".
Aku pindah dari restoran dan benar-benar tinggal di rumahnya, dan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di tahun 1987, ketika aku masih belum punya kemungkinan pulang ke tanah-tumpah-darahku, Frederic dan istrinya pergi ke Indonesia, menjadi "duta keluarga", menemui Bapak- Ibuku yang tinggal di kampung, dan bertemu dengan hampir semua sanak kadangku ...
*** Monsieur Pierre Petersell.
– Pak Umar Said, selalu aktif bicara dengan para tamu-tamu restoran,
dan setiap dari kami muncul melayani tamu, dia selalu memperkenalkannya :--Pernah
ketika saya muncul membawa baki dengan hidangan, dia perkenalkan pada tamunya,
sambil menepuk punggungku, --"Dia ini sebenarnya seorang dokter. Tapi,
sementara sulit mencari pekerjaan, - ya jadi pelayan di sini ".. Tamunya
tampak terkejut oleh perkenalan itu. Dan selesai makan, dia memberikan kartu
namanya dengan pesan agar aku menelpun barang dua hari lagi.
Dua hari kemudian, aku menelpun, dan diberi petunjuk, agar datang ke sebuah rumahsakit-bedah yang bernama Clinique Remy de Gourmont, dan menemui Directurnya yang bernama Pierre Petersell. Aku diberi alamat dan nomor telpunnya, dan dipesan agar segera menghubungi. Setelah kutelpun dan terdapat kesepakatan waktu untuk bertemu, saya datang dengan membawa ijazah-ijazah dan terjemahannya serta riwayat hidup (curriculum vitae). Saya diterima di ruang kerjanya, dan setelah bicara sedikit basa-basi, kusodorkan satu map yang berisi dokumen-dokumen itu.
Ketika dia mulai meneliti isi map itu, aku merasai suatu keanehan. Dia tak
membaca dokumen terjemahannya yang bahasa Prancis, tapi membaca yang aslinya,
yang berbahasa Rusia. Dia baca dengan lancar. Serta merta aku bertanya : --"
Bagaimana Tuan bisa berbahasa Rusia dengan lancar begitu? ! ".
--" Anda belajar bahasa Rusia di sekolah ! Aku belajar bahasa Rusia di
penjara ! ". Aku masih bengong mendengar jawaban aneh itu, dia meneruskan
: --" Dalam Perang-dunia kedua, aku ditangkap tentara Fasis, dan dijebloskan
di Penjara Polandia. Saya dalam satu sel yang sebagian besar Tantara Merah
Rusia ! Di situlah aku belajar bahasa Rusia ", katanya dengan bangga.
Setelah penjelasan ini, aku yang kebetulan masih bego berbahasa Prancis, maka pembicaraan selanjutnya dengan bahasa Rusia. Dan mungkin oleh persamaan bahasa, mungkin memang karena kebaikan hatinya, kemudian seperti terbentuk rasa " setia kawan ". Saya disodori kertas blangko, agar mengisi nama dan alamat. Tapi kubilang, aku tak punya alamat. Aku bekerja dan tinggal di alamat restoran.
Tuan Petersell kemudian memanggil bawahannya, agar menyiapkan satu kamar untuk tempat tinggalku. Juga aku diberi hak untuk makan dari dapur klinik itu. Di hari kerja pertamanya, oleh Tuan Petersell aku diperkenalkan kepada dokter-dokter di situ. Malam hari aku bekerja di bagian opname, dan siang hari kadang-kadang mendapat sambilan menjadi asisten di blok operasi ! Di klinik ini, aku tinggal, makan dan bekerja ......
Masih banyak pengalaman-pengalaman " ajaib " yang benar-benar tak terduga muncul dari Restoran Indonesia ini. Banyak para langganan yang kemudian benar-benar menjadi sahabat yang karib. Dua kejadian yang kukisahkan di atas inilah yang paling berkesan mendalam, datangnya uluran tangan di saat-saat awal kehidupanku di Paris.
Sekarang, Restoran ini sedang memperingati Ulang Tahunnya yang ke-20. Dalam kesempatan ini, aku menyampaikan " SELAMAT ULANG TAHUN ", dengan harapan-harapan yang terbaik, dan kepadamu, Restoran Indonesia di Paris, kusampaikan rasa kedalaman terimakasihku yang setulus-tulusnya. Restoran Indonesia telah mengambil tempat yang begitu penting dalam perjalanan hidupku. Aku telah banyak belajar kehidupan dari sini, dan aku telah memperoleh banyak hikmahnya. Aku tak kan melupakanmu untuk selama-lamanya....
Paris, 19 Desember 2002,
* * *