Ajakan renungan A. Umar Said
WARISAN POLITIK BIADAB ORDE BARU
HARUS SEGERA KITA HABISI
Adalah sangat perlu bagi kita semua untuk selalu ingat kepada satu hal yang
sangat penting, yaitu bahwa pengalaman puluhan juta orang korban 65 adalah
kekayaan seluruh bangsa yang sangat berharga sekali (!!!). Bukan hanya untuk
generasi yang sekarang saja, melainkan juga untuk banyak generasi yang akan
datang. Paling tidak, 7 turunan (!) sesudah generasi kita sekarang ini perlu
tahu bahwa bangsa dan negara kita pernah mengalami masa gelap yang penuh kejahatan
terhadap peradaban dan pelanggaran serius terhadap perikemanusiaan yang dilakukan
oleh apa yang menamakan diri Orde Baru.
Sebab, kalau sama-sama kita telaah dalam-dalam, dan dengan hati nurani yang
bening pula, maka nyatalah DENGAN AMAT JELAS bahwa berbagai kejahatan yang
sudah dilakukan oleh Orde Baru selama 32 tahun (dengan memperalat secara licin
dan licik atau menyalahgunakan kalangan agama, terutama kalangan agama Islam)
terhadap sebagian besar rakyat Indonesia, dan khususnya kejahatan serius terhadap
golongan kiri pendukung politik Bung Karno dan PKI, adalah betul-betul merupakan
dosa besar yang harus dicatat dengan huruf-huruf tebal sekali dalam sejarah
bangsa. Barangkali, dalam sejarah bangsa Indonesia, sampai turun-temurun yang
lama sekali di kemudian hari, periode kekuasaan Orde Baru adalah masa yang
termasuk paling busuk dan paling biadab.
Permohonan ma’af saya sampaikan kepada siapa saja yang kiranya merasa
tersinggung perasaannya karena saya gunakan perkataan “biadab”
yang ditujukan kepada Orde Baru. Sebab, tentulah ada saja orang-orang atau
kalangan yang tidak senang atau tidak terima, atau marah, atau menganggap
“keterlaluan” mendengar kalimat bahwa masa Orde Baru adalah masa
yang paling busuk dan PALING BIADAB dalam sejarah bangsa. Apa boleh buat!
Tidak bisa lain. Sebab, memang sudah sepatutnya -- bahkan, seharusnya !!!
– bangsa kita memandang Orde Baru itu biadab, mengingat banyaknya berbagai
kejahatan besar yang sudah dilakukan oleh para pendirinya (dan para pendukung
setianya).
APAKAH INI SEMUA NAMANYA BUKAN KEBIADABAN ?
Jelasnya begini. Apakah namanya bukan kebiadaban ketika 3 juta orang tidak
bersalah apa-apa sama sekali dibunuhi secara kejam dan sewenang-wenang, dan
sering di depan mata keluarga atau sanak-saudaranya? Jumlah itu besar sekali.
Jadi, masalahnya adalah amat serius. Di mana pun di dunia, membunuh secara
sadis dan sewenang-wenang SATU ORANG saja yang tidak bersalah sudah bisa dikatakan
biadab. Apalagi 3 juta orang! Sungguh, sangat keterlaluan.
Dan, apakah namanya bukan kebiadaban ketika ratusan ribu orang -- yang, juga,
sedikit pun tidak bersalah apa-apa (!!!) -- dipenjarakan dan dibiarkan mengalami
berbagai penderitaaan pedih dalam jangka waktu lama (ada yang sampai puluhan
tahun) pula? Di banyak negeri di dunia seorang yang ditahan secara sewenang-wenang
oleh aparat negara, walaupun SEHARI saja, bisa mengajukan protes atau menggugat
minta ganti kerugian. Di Indonesia, rejim militer Orde Baru sudah dengan seenaknya
saja -- tanpa proses pengadilan ! -- menahan ratusan ribu orang tidak bersalah,
dan dalam jangka waktu tahunan pula.
Masih ada lagi! Apakah namanya bukan kebiadaban ketika sekitar sepersepuluh
penduduk Indonesia, yaitu 20 juta orang keluarga dan sanak-saudara (dekat
dan jauh) para korban pembunuhan peristiwa 65 dan keluarga eks-tapol telah
dibikin terus-menerus menderita selama 40 tahun (!!!!!, lima tanda seru) dengan
adanya sekitar 30 macam peraturan dan perundang-undangan, yang membatasi hak-hak
mereka sebagai warganegara normal?
Dan lagi, apakah namanya bukan kebiadaban ketika jutaan orang korban peristiwa
65 sudah jelas-jelas terbukti tidak bersalah apa-apa itu sampai sekarang (
sekali lagi, selama hampir 40 tahun) masih belum dipulihkan nama baiknya dan
dipulihkan hak-hak mereka sepenuhnya sebagai warganegara RI?
KEBIADABAN YANG JARANG TANDINGANNYA DI DUNIA
Setiap fikiran waras dan setiap hati nurani yang bersih atau setiap iman yang
benar akan mengakui bahwa bangsa kita tidak bisa dan tidak pantas sama sekali
menamakan diri sebagai bangsa yang beradab, selama belum bisa menghilangkan
berbagai aib dan dosa yang begitu monumental besarnya itu. Karena, banyak
sekali orang di Indonesia dan juga di mancanegara yang menganggap bahwa apa
yang sudah dilakukan oleh rejim militer Orde Bau di bawah pimpinan Suharto
(dan didukung oleh sebagian besar pimpinan TNI-AD dan Golkar waktu itu ),
selama puluhan tahun itu, adalah betul-betul merupakan kejahatan perikemanusiaan
yang jarang tandingannya di dunia. Dan lagi, berbagai kejahatan besar terhadap
perikemanusiaan inilah yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah
pemerintahan rejim militer sampai sekarang, termasuk oleh pemerintahan di
bawah presiden SBY.
Setiap orang Indonesia yang mempunyai nalar yang sehat dan beradab, walaupun
ia tidak menyetujui politik Bung Karno dan tidak suka kepada PKI, pastilah
akan menentang kejahatan perikemanusiaan yang sudah sangat keterlaluan kebiadabannya
ini. Hanya orang-orang yang keblinger imannya, atau buta-tuli hati nuraninya
–jelasnya atau kasarnya : orang-orang biadab ! – yang masih mau
terus-menerus membikin berbagai penderitaan kepada begitu banyak para korban
peristiwa 65 beserta anak-cucu mereka. Seperti kebanyakan orang tua mereka,
anak-cucu para korban ini juga sama sekali tidak tidak mempunyai kesalahan
apa-apa. Namun, mereka toh harus menderita berkepanjangan, disebabkan adanya
berbagai perlakuan rejim militer Orde Baru.
Karena itu, adalah kebiadaban namanya, kalau masih ada orang-orang atau golongan
yang senang atau menyetujui berlangsungnya terus berbagai kejahatan besar
terhadap perikemanusiaan ini. Tidak peduli apakah ia pembesar atau pejabat
negara, dan tidak peduli juga apakah ia tokoh partai politik atau tokoh agama
atau “orang-orang terkemuka” lainnya, kalau ia tidak ikut aktif
melawan ketidakmanusiawian yang sudah berlangsung puluhan tahun ini, maka
ia bisa dianggap sekongkol dengan kejahatan yang biadab ini. Dalam menghadapi
masalah yang begini serius ini, sikap “cuwek” saja atau “masa
bodoh” saja, adalah sikap yang tidak bermoral sama sekali.
TIDAK BERHAK LAGI GEMBAR-GEMBOR TENTANG PANCASILA
Barangkali, sedikit sekali orang yang bisa membantah bahwa sebagian besar
“pemimpin” bangsa kita tidak lagi berhak gembar-gembor setinggi
langit menyatakan diri sebagai penjunjung Pancasila, kalau kebiadaban terhadap
puluhan juta orang (yang sudah dilakukan selama 40 tahun itu) dibiarkan terus
berlangsung. Kalau masih ada tokoh atau “pemimpin” (harap perhatikan
bahwa kata pemimpin diberi tanda kutip) yang mengatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang beradab dan menjunjung tinggi-tiggi Pancasila, maka jelaslah
bahwa mereka bohong besar dan penipu yang tanpa malu sedikit pun.
Yang lebih-lebih menyedihkan sekali yalah bahwa pola berfikir biadab yang
sudah berlangsung puluhan tahun ini sudah mempengaruhi banyak sekali orang.
Kampanye anti-komunis dan anti Bung Karno serta penyebaran momok “bahaya
laten PKI” yang terus-menerus dilancarkan rejim militer Orde Baru (dengan
dukungan sebagian golongan agama Islam) adalah salah satu cara untuk melanggengkan
kebiadaban ini. Dengan dalih untuk melawan “kebiadaban” PKI mereka
justru malahan menjalankan kebiadaban yang jutaan kali jauh lebih besar –
dan lebih nyata serta berjangka lama sekali pula! – terhadap puluhan
juta orang tidak bersalah.
Cara-cara berfikir biadab ini bukan hanya banyak ditemukan di kalangan pimpinan
militer dan pejabat tinggi negara saja, tetapi juga di kalangan tokoh-tokoh
agama dan partai politik. Itulah sebabnya maka usaha untuk menuntut rehabilitasi
bagi korban peristiwa 65 mengalami banyak kesulitan atau rintangan, baik dari
kalangan eksekutif, maupun legislatif dan juga judikatif. Padahal, sekarang
sudah bertambah makin jelas bagi siapa pun yang berhati jujur dan bersih,
(berkat adanya banyak sekali bukti-bukti dan saksi-saksi hidup), bahwa para
korban peristiwa 65 yang jumlahnya jutaan itu sama sekali tidak bersalah apa-apa.
Dan karenanya, makin gamblang pulalah bahwa perlakuan kejam terhadap para
korban 65 selama ini adalah cermin dari fikiran biadab. Hanya pola berfikir
yang biadab sajalah yang masih menganggap bahwa perlakuan yang tidak manusiawi
-- dan menimbulkan penderitaan berkepanjangan -- itu masih perlu diteruskan,
entah sampai kapan lagi.
PARA KORBAN PERISTIWA 65 TIDAKLAH BERBAHAYA
Sekarang ini, sebenarnya sudah terbukti dengan lebih meyakinkan bahwa tidak
ada alasan yang masuk akal lagi, atau tidak ada argumentasi yang bisa diterima
oleh setiap orang yang berfikiran waras, untuk membenarkan masih diteruskannya
perlakuan-perlakuan “gila” terhadap para korban peristiwa 65,
yang diwariskan oleh Orde Baru. Sebab, pembesar militer dan sipil yang mana
pun, atau tokoh-tokoh politik dan agama yang macam apa pun, sebenarnya tahu
betul bahwa para korban peristiwa 65 itu sama sekali (sekali lagi : sama sekali
!!!) tidak berbahaya bagi keamanan masyarakat umum atau keselamatan Negara
dan Bangsa.
Bisa didugalah kiranya bahwa sebagian terbesar dari para korban peristiwa
65 adalah bukan anggota atau simpatisan PKI. Paling-paling, kebanyakan dari
mereka adalah pendukung atau pengagum Bung Karno. Kalaupun di antara para
korban itu memang ada anggota atau simpatisan PKI, maka tidak alasan bagi
siapa pun yang bernalar sehat -- dan yang benar-benar beriman -- untuk memperpanjang
lebih lama lagi penyiksaan batin (dan jasmani) yang sudah mereka derita selama
hampir 40 tahun! Juga tidak ada dasarnya sama sekali untuk mengatakan bahwa
mereka perlu terus-menerus diawasi, dan dicurigai, dan dianggap sebagai golongan
yang “berbahaya”, seperti menghadapi musuh saja layaknya.
Para pembesar militer dan sipil, dan tokoh-tokoh partai politik dan tokoh
agama di Indonesia juga tahu betul bahwa PKI telah dihancurkan oleh pimpinan
TNI-AD, sebagai jalan untuk menghancurkan kekuatan politik Bung Karno. Sejarah
sudah membuktikan, dan akan membuktikan lebih jelas lagi di kemudian hari,
bahwa penghancuran PKI oleh pimpinan TNI-AD , dan kemudian disusul oleh pengkhianatan
Suharto terhadap Bung Karno, sama sekali tidak mendatangkan kebaikan bagi
bangsa dan negara Indonesia. Bahkan, sebaliknya. Sekarang, banyak orang melihat
bahwa penghancuran PKI dan penggulingan kekuasaan Bung Karno oleh pimpinan
TNI-AD yang bersekongkol dengan imperialis AS (dan sekutunya, di kalangan
agama) merupakan kerugian yang sangat besar bagi rakyat Indonesia.
TIDAK ADA PERLUNYA MENERUSKAN POLITIK BIADAB ITU
Jadi, jelaslah bahwa sama sekali tidak ada perlunya , atau tidak ada gunanya
sedikit pun, meneruskan politik biadab dan tidak manusiawi yang sudah dipraktekkan
begitu lama oleh Orde Baru. Politik biadab Orde Baru yang dijalankan selama
puluhan tahun sudah mendatangkan kerusakan moral dan pembusukan jiwa secara
sangat parah -- dan secara luas sekali -- di kalangan bangsa, termasuk di
kalangan agama. Paling tidak, atau paling sedikitnya, dua generasi bangsa
(yaitu generasi 45 dan generasi 65) sudah dibikin rusak oleh pola berfikir
biadab rejim militer ini. Kalau pola berfikir biadab yang dipraktekkan terhadap
para korban peristiwa 65 ini masih akan diteruskan juga, maka pengaruh buruknya
atau akibat busuknya akan sangat besar sekali bagi generasi yang akan datang,
anak-cucu kita. Lalu, apakah jadinya bangsa kita ini nantinya? Kerusakan moral
dan pembusukan jiwa anak cucu kita adalah tanggungjawab kita semua juga.
Mengingat itu semuanya, para tokoh bangsa yang mempunyai kedudukan dan peran
penting di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan tokoh-tokoh di bidang
agama dan masyarakat umumnya, perlu sekali merenungkan tentang sudah makin
urgennya untuk menghabisi, setuntas-tuntasnya, sisa-sisa politik biadab Orde
Baru yang telah ditrapkan begitu lama terhadap para korban peristiwa 65.
Ini semua adalah demi kepentingan kita semua, demi peradaban bangsa dan demi
kebaikan hari kemudian anak-cucu kita.
Paris, 4 September 2005