Kumpulan berita/artikel ke-3

 

Buntut kasus BLBI yang panjang

 

Kompas, 17 Juni 2008

Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata) diperiksa


Jaksa Agung Merasa di Luar Masalah

Jakarta, Kompas - Bagian Pengawasan Kejaksaan Agung, Senin (16/6), mulai menindaklanjuti kasus rekaman pembicaraan antara Artalyta Suryani dan sejumlah pejabat tinggi Kejagung. Sebelas jaksa, yang diduga mengetahui rencana penangkapan atas Artalyta, terdakwa kasus penyuapan kepada jaksa Urip Tri Gunawan, sudah menjalani pemeriksaan di bagian pengawasan itu.


Selasa ini Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) giliran memeriksa Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso. Untung Udji adalah jaksa yang percakapannya dengan Artalyta disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta membeberkan rencana penangkapan terhadap Artalyta setelah Urip ditangkap KPK.


Jamwas MS Rahardjo menuturkan, selain meminta keterangan dari Untung Udji, ia juga akan meminta keterangan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman, dan mantan Direktur Penyidikan M Salim.
Dalam percakapan Artalyta dengan Untung Udji, yang diperdengarkan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, nama Wisnu sempat disebutkan, sedangkan Kemas terungkap pernah berkomunikasi dengan Artalyta pula. Artalyta dan Urip ditangkap KPK pada 2 Maret 2008 karena diduga terlibat penyuapan terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Urip diduga menerima dana 660.000 dollar AS, setara Rp 6,1 miliar, dari Artalyta.


Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung BD Nainggolan, pemeriksaan itu, termasuk pemeriksaan terhadap 11 jaksa, dilakukan memang terkait dengan rekaman pembicaraan Artalyta dengan Untung Udji. Apalagi, dalam rekaman itu dikesankan ada skenario untuk "menyelamatkan" Artalyta alias Ayin.


Rahardjo menambahkan, Pengawasan Kejagung menggunakan rekaman pembicaraan telepon itu sebagai dasar untuk mengungkapkan ada atau tidaknya skenario itu. Kejagung juga telah mengirimkan surat untuk meminta rekaman dan transkrip pembicaraan telepon itu kepada KPK.
Ia juga meminta KPK mengizinkan tim pengawasan dan Komisi Kejaksaan meminta keterangan pada penyidik KPK yang melakukan perekaman. Pemeriksaan idealnya memang dilakukan setelah mendapat dukungan keterangan, baik dari penyidik KPK maupun rekaman telepon.
Tak akan mundur


Secara terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, dia tidak akan mundur dari jabatannya menyusul adanya desakan dari berbagai kalangan agar ia mundur. Ia mengakui, saat ini Kejagung memang sedang dilanda masalah, tetapi ia tidak termasuk dalam masalah itu.
"Saya di luar masalah, masa saya harus mundur. Kalau saya ada dalam masalah, terlibat dalam masalah, ya mundur saja saya," katanya.


Hendarman menegaskan, hasil pemeriksaan Jamwas Kejagung perlu ditunggu sebelum memutuskan melakukan suatu tindakan terhadap orang yang selama ini disebut dalam pembicaraan telepon atau tidak. Karena itu, ia tak dapat mengganti atau memecat bawahannya saat ini. "Kalau saya mengganti, perlu ada pemeriksaan dulu. Lalu tim pemeriksa melakukan penilaian, kesalahannya di mana. Ringan atau berat. Kalau saya langsung pecat, saya salah," ujarnya.
Ia juga membantah tudingan dirinya melindungi tindakan korupsi di kejaksaan.


Pulihkan kepercayaan
Sebaliknya, sejumlah anggota DPR dan DPD meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengganti Hendarman dan jajarannya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Kejagung. "Presiden harus mengganti semua orang di Kejagung. Memang akan ada kekosongan, tetapi perlu hadirnya jaksa dari luar," ucap Wakil Ketua DPD Laode Ida dalam konferensi pers, Senin.
Jaksa Agung yang baru harus diambil dari luar kalangan kejaksaan karena teori menyelesaikan masalah dari dalam terbukti tidak berhasil. Figur yang tepat, kata Laode, salah satunya adalah advokat Bambang Widjojanto.


Marwan Batubara, anggota DPD dari DKI Jakarta, juga meminta Presiden segera membentuk tim khusus untuk membenahi kejaksaan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Aulia Rahman bahkan menyerukan, penggantian Jaksa Agung dilakukan secepatnya. Ia tidak yakin Hendarman tidak tahu persoalan itu. "Jika dilihat sejarah BLBI, saya tak percaya Pak Hendarman tak tahu-menahu," paparnya.
Setiap ekspose kasus yang menjadi perhatian masyarakat, menurut Aulia, pasti dilaporkan kepada Jaksa Agung. "Karena itu, ia harus minta mundur atau mengembalikan kepercayaan kepada Presiden," katanya lagi.


Aulia mengusulkan calon pengganti Hendarman adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, yang juga dari Partai Golkar. "Pak Andi orangnya jujur," katanya.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera Jeffrey Massie, indikasi keterkaitan Artalyta dengan pusat kekuasaan sangat meresahkan proses demokrasi, khususnya di bidang pencapaian pemerintahan yang bersih. "Jangan sampai mencederai citra pemberantasan korupsi yang sedang dibangun susah payah oleh Presiden menjadi mentah lagi," paparnya.
Dari Medan, Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud menilai Hendarman jangan cuma mencopot Untung Udji dan Wisnu. Keduanya harus dimintai pertanggungjawaban hukum. (ANA/SUT/BIL)
Kompas

* * *

Antara, 16 Juni 08

11 Pegawai Kejaksaan Agung Diperiksa


Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 11 pegawai di bawah intel dan pidana khusus (pidsus) Kejaksaan Agung, diperiksa oleh bagian pengawasan terkait rekayasa untuk menangkap Artalyta.

"Pemeriksaan itu berkaitan dengan pemeriksaan rekaman yang terbuka di pengadilan, yang menyatakan ada rekayasa untuk menangkap Artalyta sebagai pengamanan," kata Kapuspenkum Kejakgung, BD Nainggolan, di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan, nama sebelas pegawai kejakgung itu terdapat dalam surat perintah pemeriksaan yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan, Salim.

"Mereka itu dimintai keterangan terkait rekaman pembicaraan," katanya.

Dikatakan, sekarang tengah dicari fakta benar atau tidak rekayasa untuk pengamanan terhadap Artalyta. "Itu yang harus dicari," katanya.

Ketika ditanya mengenai pemeriksaan terhadap Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN, Untung Udji Santoso dan Jaksa Agung Muda Intel (Jamintel), Wisnu Subroto, ia menyatakan sesudah besok diperiksa. "Sesudah besok (diperiksa)," ujarnya.

Ia juga menyatakan bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji sudah menandatangani surat perintah untuk jajaran pengawasan untuk melakukan pemeriksaan atas kasus perbincangan Artalyta dan Jamdatun, Untung Udji Santoso. (*)

 

* * *

Majalah TEMPO, 16 - 22 Juni 2008

Setelah Si Mas Gagal Membantu


SEJUMLAH rekaman telepon muncul dalam persidangan Artalyta pada pekan lalu. Isinya, antara lain, menggambarkan keakraban dia dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung. Rekaman percakapan dengan tersangka jaksa Urip Tri Gunawan juga diputar. Tapi Urip berkukuh menolak bahwa yang diperdengarkan dalam sidang itu suaranya.


”Gimana, Yin.”
”Itu, si Urip. Tapi ini aku sudah pakai nomor telepon lain ini, aman. Ketangkep KPK di rumah.”
”Di mana ketangkep?”
”Kan, mau eksekusi itu kan….”
”Eksekusi apa?”
”Ya, biasa. Tanda terima kasih itu.”
”Terima kasih apa? Perkara apa?”
”Enggak ada sebenarnya? Enggak ada perkara apa-apa. Cuma dia kan baru terima dari Urip... Urip kita. Sekarang telepon dulu Antasari, deh. Bagaimana cara ngamaninnya itu.”
”Sebentar saya telepon dulu si Fery.”
”Fery sudah aku suruh Djoko.”

PERCAKAPAN di atas bukanlah ”halo-halo” antara Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan, yang kini mendekam dalam tahanan gara-gara dituduh menerima suap dari Ayin—sebutan akrab Artalyta. Tapi petikan pembicaraan Artalyta dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso, lewat telepon genggam yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu pekan lalu. Urip ternyata bukan satu-satunya jaksa yang dekat dengan wanita pengusaha asal Lampung itu.


Duduk di samping O.C. Kaligis, pengacaranya, Artalyta beberapa kali menarik napas panjang, saat rekaman pembicaraan dia dengan Untung diputarkan. Sesekali matanya mengarah ke deretan meja hakim dan lelaki bersafari biru yang duduk di depan hakim: Urip Tri Gunawan.


Artalyta tak menyangkal itu suaranya. Ferry dan Djoko yang disebut-sebut dalam dialog itu adalah Ferry Wibisono, Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Djoko Widodo, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Dalam percakapan itu terdengar Untung memberikan solusi. Ia menyatakan akan menghubungi koleganya, Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto. Setelah itu, Artalyta akan ditangkap. ”Saya sudah koordinasi dengan Wisnu. Kowe di rumah saja. Nanti ditangkap,” katanya.


Selain dengan Untung, hakim juga memperdengarkan rekaman pembicaraan Ayin dengan Kemas Yahya Rahman, yang saat itu masih menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Suasana pembicaraan yang terjadi pada Sabtu 1 Maret lalu itu riang gembira. Sesekali terdengar derai tawa Kemas. Komisi menyadap pembicaraan tersebut sehari setelah Kemas mengumumkan Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Dagang Negara Indonesia milik Sjamsul Nursalim. Dalam telepon itu Artalyta memanggil Kemas dengan ”Bang.”


”Sudah dengar pernyataan saya?” ujar Kemas Yahya
”Good, verry good,” suara renyah Artalyta terdengar.
”Jadi, tugas saya sudah selesai kan,” ujar Yahya lagi
”Siap, tinggal...
”Sudah jelas kan, itu gamblang. Sekarang tidak ada permasalahan lagi”
”Bagus itu,” kata Artalyta.

Kepada Tempo, yang menemuinya pada Rabu pekan lalu di rumahnya di Perumahan Banjar Wijaya, Tangerang, Kemas mengaku pernah menelepon Artalyta, mengabarkan pemberhentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas untuk Sjamsul. Kemas mengaku lupa persisnya isi pembicaraan itu. ”Intinya saya memberi tahu,” ujarnya.


Jaksa Agung Hendarman Supandji membantah kejaksaan menciptakan skenario menangkap Artalyta sesaat setelah petinggi kejaksaan mendapat kabar Urip ditangkap. Menurut Hendarman, jika itu kasus suap, Artalyta mesti ditangkap juga—selain Urip. Hanya, ujar Hendarman, ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian membekuk perempuan itu. ”Jadi, kami tidak jadi menangkapnya,” ujar dia.

l l l


Gerak cepat sejumlah jaksa ”mengamankan” Artalyta beberapa menit setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk Urip sudah diketahui para penyelidik Komisi. Menurut seorang penyelidik, sepanjang sore hingga malam pasca-penyergapan Urip pada 2 Maret lalu, mereka menyadap semua telepon yang dipegang Artalyta. Karena itulah, begitu Untung menyatakan akan menghubungi jaksa intelijen, penyelidik Komisi segera bergerak kembali. Beberapa penyelidik yang masih berada di seputar Jalan Terusan Hang Lekir, kediaman Sjamsul, diperintahkan ”menyerbu” rumah Artalyta. ”Prosedurnya, kalau sudah ke intelijen lalu ke perintah penangkapan,” katanya. ”Semua penangkapan dan penggeledahan itu kami rekam dalam video,” sumber itu menambahkan.


Komisi menelusuri ”kasus Urip” cukup lama, tiga bulan sebelum pengumuman penghentian kasus Sjamsul. Mereka mendapatkan rekaman pembicaraan Urip dan Artalyta beberapa jam sebelum jaksa itu menerima uang US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar dari Artalyta. Juga, sejumlah pembicaraan telepon lain. Antara lain, pada 5, 7, 8 Desember 2007 dan 2 Januari 2008. ”Pokoknya amat komplet,” ujar penyelidik lain.


Di ruang sidang pekan lalu itu, rekaman-rekaman itu diperdengarkan. Dalam percakapan pada 8 Desember, misalnya, Artalyta menyebut ada ”barang” yang sudah lama tersimpan di brankasnya. Di situ terdengar suara yang diduga milik Urip, menanyakan kecocokan jumlahnya. ”Ya, sesuailah apa yang kemarin bilang itu kan, enam,” ujar Artalyta.


Berbeda dengan Artalyta yang mengakui itu memang suaranya, Urip menyatakan tak mengenal suara dalam rekaman itu. Berkali-kali dicerca ketua majelis hakim Mansyurdin Chaniago, jaksa 42 tahun itu tetap berkeras menyatakan ”tak tahu”. Jawaban ini membuat Mansyurdin naik pitam. ”Anda jangan berlagak pikun. Kerja kita ini sama,” kata Mansyurdin membentak bekas ketua tim penyelidik kasus Bantuan Likuiditas di Kejaksaan Agung itu. Tapi, Urip tak berubah. Ia tetap berkukuh tak tahu itu suara siapa.


Untung Udji Santoso mengaku ia pernah dihubungi Artalyta. Namun ia membantah merancang skenario ”membebaskan” Artalyta dari ”incaran” Komisi. Ia mengaku saat itu memang menghubungi Wisnu Subroto. ”Saya katakan, ada jaksa ditangkap, coba cek betul atau tidak,” ujarnya. Menurut Untung, Artalyta juga meminta ia menghubungi Antasari. ”Saya bilang, enggak, ini orang sulit, titik sampai di situ,” ujarnya, Kamis pekan lalu.


Di mata pengacara senior yang juga mantan staf ahli Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Kamal Firdaus, isi rekaman yang disadap Komisi terang-benderang menunjukkan dekatnya Ayin dengan para petinggi kejaksaan. ”Yang satu dipanggil Mas, yang satu dipanggil Bang, betapa mesranya,” ujarnya. Rekaman itu, menurut Kamal, membuktikan kecurigaannya sejak awal. Yakni, Urip tidak ”bermain” sendiri. ”Presiden harus memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti segala sesuatu di balik dialog itu,” ujarnya.


Jika pengakuan siapa saja yang terlibat itu diharapkan keluar dari mulut Urip, harapan itu bisa jadi sia-sia. Di depan sidang, Urip menegaskan uang yang diterimanya dari Artalyta adalah tanggung jawabnya pribadi. ”Tidak ada kaitannya dengan Bapak Kemas, Bapak Muhammad Salim (staf ahli Kejaksaan Agung-Red.), atau tim Bantuan Likuiditas Bank Indonesia,” ujarnya.


Seorang sumber Tempo yang pernah menemui Urip di tahanan bercerita, Urip yakin ia lolos dari kasus ini. Kepada sumber yang menengoknya sebulan lalu, Urip menyatakan tuduhan menerima suap terhadap dirinya tidak kuat. ”Kalaupun ada rekaman telepon, itu bukan alat bukti,” kata sumber itu menirukan argumentasi Urip. Di depan kawannya, Urip tetap menyatakan uang itu ia pinjam dari Artalyta untuk bisnis permata. Dan tidak terkait dengan keputusan kejaksaan yang menghentikan penyelidikan terhadap kasus Bantuan Likuiditas Sjamsul.


Soal rekaman suara bukan sebagai alat bukti dibenarkan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indrianto Senoadji. Menurut Indrianto, rekaman hanya bisa dipakai sebagai petunjuk. ”Karena bisa direkayasa dengan kemajuan teknologi,” ujarnya. ”Jadi, harus dibenarkan dengan alat bukti tertulis atau ahli.”


Tapi, berbeda dengan Indrianto, Kepala Biro Hukum Komisi Antikorupsi Khaidir Ramli menegaskan, rekaman merupakan alat bukti. ”Menurut Undang-Undang Antikorupsi, rekaman merupakan alat bukti sah,” ujarnya. Karena itu, menurut Khaidir, sidang kasus Artalyta ini akan berlangsung cepat karena selain ada bukti rekaman, Artalyta sudah mengakui itu suaranya.


Toh suara dan nama yang muncul dalam sidang Artalyta tidak serta-merta membuat para petinggi kejaksaan dapat segera diseret. Untuk sementara, mereka masih aman. Kecil kemungkinan mereka dipanggil Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Untung, misalnya, menurut Khaidir tidak perlu dihadirkan karena tidak ada relevansinya dengan kasus penyuapan Artalyta. ”Dalam kondisi terjepit, wajar orang seperti Artalyta meminta tolong seseorang.”


Jaksa Agung Hendarman Supandji juga belum berencana memeriksa Untung Udji Santoso dan Wisnu Subroto. Menurut Hendarman, ia masih menunggu keputusan pengadilan atas Artalyta dan Urip. ”Supaya kami bisa lebih tahu menyeluruh, lebih komprehensif,” ujarnya. Hendarman tidak menampik jika kasus Urip dan ”rentetannya” merupakan ”pukulan” terhadap agenda pembenahan kejaksaan yang ia canangkan. ”Sejak awal saya sudah di pukul sana-sini. Jab sana, jab sini. Sekarang tinggal menunggu TKO,” katanya.

 

* * *

Majalah Tempo, 16 - 22 Juni 2008

Yang Masuk Pusaran Kasus Artalyta

MEREKA menempati posisi sangat penting di Kejaksaan Agung. Tapi,
tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan, kemudian terungkapnya rekaman
dialog Artalyta dengan beberapa di antara mereka, membuat para jaksa
itu jadi sorotan publik. Jaksa Agung Hendarman Supandji berjanji tak
akan melindungi anak buahnya yang bersalah. Inilah profil para
"selebritas" itu.

Kemas Yahya Rahman
Bekas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

KASUS Urip mengimbas ke Kemas Yahya Rahman. Ia dimutasikan dari
jabatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menjadi anggota staf
ahli Jaksa Agung. Artalyta pun mengakui sempat bertemu dengan Kemas
Yahya selama penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank
Dagang Negara Indonesia milik Sjamsul Nursalim.

Dalam persidangan Artalyta, Rabu pekan lalu, terungkap sehari setelah
Kejaksaan Agung mengumumkan tidak adanya tindak pidana dalam kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim, Kemas menghubungi
Artalyta. Saat itu Artalyta memuji mantan Kepala Pusat Penerangan dan
Hukum Kejaksaan Agung ini.

Dalam percakapan itu disebut-sebut istilah "Joker". Belakangan, jaksa
kelahiran Palembang, 15 Februari 1949, itu mengatakan yang dimaksud
adalah Djoko Tjandra, pemilik Bank Bali. Dalam telepon itu, Artalyta
ingin membicarakan perkara Djoko Tjandra yang diproses di Mahkamah
Agung. Namun Kemas menolak. "Itu gampang, nanti saja," kata Kemas,
seperti terungkap dalam transkrip rekaman di persidangan.

Untung Udji Santoso
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara

MANTAN Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ini
mengaku mengenal Artalyta ketika menjabat Direktur Penyidikan Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Saat itu ia sedang menangani kasus
dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim.

Dari posisi direktur ia kemudian ditunjuk menjadi Kepala Kejaksaan
Tinggi Jakarta. Saat itu, kata Untung, semua berkas Sjamsul yang
ditanganinya sudah selesai. Untung menjabat Jaksa Agung Muda Perdata
dan Tata Usaha Negara sejak 22 Januari lalu.

Beberapa saat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Urip Tri
Gunawan, Artalyta menelepon Untung. Dalam rekaman telepon yang disadap
Komisi, Artalyta meminta Untung membantu membereskan masalah tersebut,
termasuk meminta menghubungi Ketua Komisi Antasari Azhar.

Untung saat itu meminta Artalyta tidak menyinggung masalah Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia dan menyarankan agar mengakui pemberian
tersebut tak ada kaitannya dengan gratifikasi, tapi uang untuk usaha
dagang.

Untung menolak jika disebut membuat skenario menyelamatkan Artalyta
dari penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Saya sedang apes,"
katanya. Ia menolak disebut akrab dengan Artalyta. "Karena itu, saya
bilang, kok tumben dia menelepon saya."

Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin menilai substansi percakapan Artalyta
dengan Untung tidak signifikan dalam kaitannya dengan kasus dugaan
suap itu. "Lagi pula dia tidak pernah diperiksa Komisi Pemberantasan
Korupsi," kata Muchtar.

Wisnu Subroto
Jaksa Agung Muda Intelijen

DALAM rekaman pembicaraan antara Untung Udji Santoso dan Artalyta
terungkap Untung mengaku telah berkoordinasi dengan Wisnu Subroto,
Jaksa Agung Muda Intelijen. Mereka akan membuat "skenario" menangkap
Artalyta. Namun upaya penangkapan batal karena Komisi Pemberantasan
Korupsi lebih cepat membekuk perempuan itu.

Wisnu membantah adanya skenario penangkapan Artalyta. Meski menyangkal
dekat dengan Artalyta, Wisnu menyatakan ia memang pernah berkenalan
dengan perempuan itu ketika menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung
pada 2003. Perkenalannya dengan Artalyta, katanya, sama seperti
perkenalannya dengan pengusaha lain di Lampung. "Sekadar tahu saja,
tapi tak pernah berhubungan apa pun."

Muhammad Salim
Bekas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

NASIBNYA sama seperti atasannya, Kemas Yahya Rahman. Selain sempat
diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, ia dimutasikan dari jabatannya
sebagai direktur penyidikan menjadi anggota staf ahli Jaksa Agung
setelah kasus Urip.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki bukti Muhammad Salim pernah
berhubungan dengan Artalyta. Setidaknya pada 5 Desember 2007, melalui
Urip Tri Gunawan, Artalyta bertemu dengan Salim di kantornya.Komisi
memang memiliki bukti rekaman video kedatangan Artalyta di Gedung
Bundar. Dalam rekaman itu terlihat Artalyta, yang menggunakan baju
berwarna biru, bersiap meninggalkan Kejaksaan Agung dengan mobil hitam
bernomor polisi B-1368-WO.

Salim diketahui sempat membuat surat penangkapan untuk Artalyta
beberapa saat setelah Komisi menangkap Urip. Penangkapan itu batal
karena Kejaksaan Agung kalah gesit oleh Komisi.

Djoko Widodo
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur

MANTAN Kepala Subdirektorat Pidana Khusus Kejaksaan Agung ini juga
sempat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Muda
Pengawasan lantaran "kasus Urip". Sebelum menjadi kepala kejaksaan
negeri, Joko bertugas di Gedung Bundar, ikut menangani kasus dana
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diduga diselewengkan Bank
Dagang Negara milik Sjamsul.

Dalam rekaman percakapan antara Untung Udji Santoso dan Artalyta yang
disadap Komisi, terungkap Artalyta sempat meminta bantuan Djoko menghu-
bungi Ferry Wibisono, Direktur Penuntutan Komisi, yang sebelumnya
pernah bertugas di Kejaksaan Agung.

Menurut Holius Husen, Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan, dari
hasil pemeriksaan, Djoko memang beberapa kali pernah tilpun-tilpunan
dengan Artalyta. Joko juga sempat berperan sebagai pemandu jalan tim
kejaksaan mendatangi rumah Artalyta. Ketika itu kejaksaan akan
"menangkap" Artalyta setelah Komisi menangkap Urip.

Di depan rumah Artalyta di Simprug, Djoko mengontak Artalyta. Tapi
Artalyta menjawab ia saat itu sedang dikerubungi sejumlah petugas
Komisi. Tim kejaksaan ini pun balik kanan.

 

* * *

Kompas, , 16 Juni 2008 B

Presiden Panggil Jaksa Agung Emerson dan Ismet:

Rombak Kejaksaan

Bontang, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memanggil
dan menginstruksikan Jaksa Agung Hendarman Supandji segera mengambil
langkah penting dan tepat untuk memulihkan rasa kepercayaan masyarakat
terhadap Kejaksaan Agung selaku pilar penegakan hukum di Indonesia.

Instruksi Presiden Yudhoyono itu disampaikan kepada Hendarman baru-
baru ini setelah melihat perkembangan kasus rekaman pembicaraan
Artalyta dengan pejabat tinggi dan jaksa Urip Tri Gunawan maupun
dengan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus.

Demikian disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng
menjawab pertanyaan pers seusai mendampingi Presiden Yudhoyono di
Bontang, Kalimantan Timur, Minggu (15/6).

Namun, saat ditanya langkah penting dan tepat seperti apa yang
diinstruksikan Presiden Yudhoyono kepada Hendarman, Andi Mallarangeng
mempersilakan pers bertanya langsung kepada Jaksa Agung. "Teknisnya,
tanya saja kepada Jaksa Agung," kata Andi.

Menurut Andi, Presiden Yudhoyono menginstruksikan agar langkah penting
dan tepat itu sesegera mungkin dilakukan. "Yang jelas Presiden ingin
langkah Jaksa Agung itu cepat agar kepercayaan masyarakat kembali
pulih. Kejaksaan Agung harus bisa segera berfungsi kembali dan menjadi
kepercayaan publik," kata Andi.

Ditanya mengenai usul dari Koordinator Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch (ICW) Teten Masduki agar Presiden Yudhoyono membentuk
Komisi Kepresidenan untuk segera membenahi Jaksa Agung, Andi mengaku
belum mendengar usul tersebut.

Rombak seluruhnya

Kemarin, Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismet Hasan Putro dan
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Juntho
mengimbau Presiden Yudhoyono untuk merombak seluruh jajaran pemimpin
Kejaksaan Agung, termasuk di antaranya Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Ini penting dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan
pulihnya kewibawaan institusi penegak hukum ini.

Menurut Emerson, pembenahan internal kejaksaan saja bukan solusi
tepat. Sebab, kata dia, ada problem solidaritas sesama jaksa dan ewuh
pakewuh sehingga pembenahan potensial dilakukan secara tidak obyektif.
Selain itu, sanksi yang dijatuhkan kemungkinan hanya bersifat
administratif, yang tidak akan memberikan efek jera.

Sementara itu, Ismet mengatakan, terungkapnya fakta adanya konspirasi
pejabat Kejagung untuk membebaskan Artalyta dari penangkapan Komisi
Pemberantasan Korupsi membuktikan moralitas dan kredibilitas pejabat
Kejagung sudah runtuh. Pemberian uang itu juga membuktikan adanya
budaya komisi terselubung. Hal ini menunjukkan adanya manipulasi data
dan fakta hukum sehingga mengakibatkan proses peradilan bias.

Terkait dengan hal tersebut, Presiden diminta memberantas budaya buruk
tersebut dengan mengganti seluruh jajaran pemimpin Kejaksaan Agung.
(ANA/HAR)

* * *

Koran Tempo, 16 Juni 2008

Dua Petinggi Kejaksaan Harus Dicopot

Kejaksaan Agung lakukan pemeriksaan internal.

JAKARTA -- Pengamat pembaruan hukum Mas Achmad Santosa mengatakan
Jaksa Agung Hendarman Supandji bisa mengusulkan kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk mencopot Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata
Usaha Negara Untung Udji Santoso dan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu
Subroto dari jabatannya. "Jaksa Agung harus tegas, tak ada kompromi,
dalam memberikan sanksi," kata Achmad kepada Tempo kemarin.

Usulan itu dilontarkan sebagai respons atas diputarnya rekaman
pembicaraan lewat telepon Artalyta Suryani dengan Untung Udji Santosa
dalam sidang lanjutan kasus suap Artalyta kepada jaksa Urip Tri
Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pekan lalu.
Dalam pembicaraan itu, Untung menawarkan skenario penangkapan Artalyta
oleh jaksa. Selain itu, dalam rekaman itu disebut-sebut pula nama
jaksa Wisnu.

Anggota Komisi III (Hukum) Dewan Perwakilan Rakyat, Gayus Lumbuun,
mendesak Jaksa Agung Hendarman Supandji segera menonaktifkan Jaksa
Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso dan Jaksa
Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto. "Ini untuk memberi ruang yang luas
bagi proses di pengadilan," kata dia kepada Tempo lewat sambungan
telepon kemarin.

Gayus lalu membandingkan soal ini dengan saat Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dinonaktifkan dari jabatannya,
pertengahan Maret lalu. Langkah itu diambil karena Kemas dinilai
bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya, jaksa Urip Tri Gunawan,
yang tertangkap tangan menerima uang US$ 660 ribu dari Artalyta
Suryani.

Menurut Gayus, tindakan pejabat kejaksaan menawarkan skenario kepada
Artalyta itu tidak patut dan melanggar etika penyidik. Hakim harus
memanggil Untung dan Wisnu untuk dimintai keterangan. "Hak mereka
untuk mengklarifikasi hasil sadapan itu," kata Gayus.

Hal senada disampaikan Trimedya Panjaitan, Ketua Komisi Hukum DPR, dan
Hakim Saifuddin, kolega Gayus di Komisi Hukum. "Ini langkah hakim
untuk membongkarnya," ujar Saifuddin.

Menurut rencana, Kejaksaan Agung akan melakukan pemeriksaan internal
hari ini. Jaksa Agung Muda Pengawasan M.S. Rahardjo mengatakan
pemeriksaan ini merupakan tindak lanjut perintah Jaksa Agung Hendarman
Supandji. "Senin (hari ini), kami mulai action," kata Rahardjo
kemarin.

Langkah pertama yang akan dilakukan kejaksaan, kata Rahardjo, adalah
berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memperoleh
rekaman percakapan Artalyta secara utuh. Setelah itu, barulah para
jaksa yang terkait di dalamnya akan diperiksa. "Ya, semuanya."

Wisnu dan Untung menyambut baik rencana pemeriksaan itu. "Tidak apa-
apa," kata Wisnu kepada Tempo semalam. "Justru saya senang," kata
Untung. "Supaya jelas semuanya."

Koordinator Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch
Emerson Juntho menilai pemeriksaan internal itu tak akan efektif
karena alasan struktural dan solidaritas korps. Alasan struktural,
karena jaksa yang diperiksa dan yang memeriksa sama tingkatannya.
Selain itu, ia yakin masih ada semangat untuk melindungi korps. DWI
WIYANA | RINI KUSTIANI | ANTON SEPTIAN | EKO ARI | SUTARTO

Sama-sama Sekedar Tahu

Nama Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji
Santoso dan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto mendapat sorotan
media sejak 2 Juni. Di Persidangan Tindak Pidana Korupsi, jaksa
penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi memutar rekaman pembicaraan Udji
dengan Artalyta Suryani.

Rekaman berisi skenario penangkapan yang ditawarkan kepada Artalyta.

"Halo Yin, Jadi gini, kita sudah koordinasi dengan Wisnu. You di rumah
saja, nanti you ditangkap kejaksaan. Mau diskenario seperti itu," ujar
Untung Udji dalam rekaman itu.

"Ya, itu benar suara (pecakapan dengan)saya, tapi saya tak ingat kapan
terjadinya," ujar Artalyta kepada majelis hakim.

Udji dan Wisnu menyangkal soal skenario penangkapan. Tetapi, keduanya
sama-sama mengaku tak asing dengan Artalyta.

Jaksa Bisa Dipecat Bila:

1. Dipidana karena melakukan kejahatan, berdasarkan putusan
pengadilan.
2. Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas.
3. Merangkap jabatan sebagai pengusaha, pengurus, atau karyawan
badan usaha milik negara atau badan usaha swasta, atau menjadi
advokat.
4. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
5. Melakukan perbuatan tercela, baik saat bertugas maupun tidak
bertugas, yang merendahkan martabat jaksa atau kejaksaan.

* * *

Gatra, 12 Juni 2008

Untung Udji Santoso:

Saya Ini Ketiban Apes

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso, membahana di ruang sidang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta
Selatan. Namun ia tidak sedang menjadi jaksa penuntut umum. Selain
itu, hanya rekaman suaranya yang diperdengarkan, Senin pekan lalu itu.

Celakanya, ia sedang menjawab telepon Artalyta Suryani, terdakwa kasus
penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan. Percakapan telepon itu terjadi
beberapa jam setelah Urip ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di
depan rumah Sjamsul Nursalim, 2 Maret lalu. Adakah keterlibatan Udji
dalam kasus tersebut?

Kamis pekan lalu, wartawan Gatra Anthony menemui mantan Direktur
Penyidikan Kejaksaan Agung itu di ruang kerjanya, Jalan Hasanuddin,
Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancaranya:

Benarkah itu suara Anda?
Iya, saya mengakui itu suara saya. Tetapi kapasitas saya apa? Saya
tidak menangani perkara itu. Bukan saya ingin mencampuri urusan itu.
Mungkin karena dia kenal dan nomor HP saya masih tersimpan. Jadi, dia
menghubungi saya.

Kapan Anda menerima telepon itu?
Sekitar pukul 16.30. Saya baru bangun tidur ketika menerima telepon.
Saya tidak tahu nomor telepon itu dari Artalyta. Dia sempat
memperkenalkan diri lebih dulu. Karena sudah lama tidak berhubungan
lagi, saya bertanya, "Tumben nelepon, ada apa?"

Pada saat itu, saya tidak tahu Artalyta terkait kasus Urip. Jadi, saya
ini ketiban apes. Saya tidak tahu ada masalah seperti itu. Dalam
rekaman telepon itu, saya kan lebih banyak bertanya karena memang saya
tidak tahu ada apa.

Mungkin pada saat itu Artalyta dalam posisi panik, sehingga berusaha
menghubungi orang yang dikenalnya di Kejaksaan Agung, termasuk saya.
Kebetulan mungkin di HP-nya masih ada nama saya. Jadi, dia hubungi
saya. Maka, pada saat menghubungi itu, saya menjelaskan apa adanya.

Dalam pembicaraan itu, saya lebih tidak banyak tahu, "Perkara apa?
Duit apa?" Tentu, sebagai manusia yang mendapat kabar, saya ingin tahu
lebih jauh soal apa. Saya juga tidak begitu mengerti maksud jawaban
dia. Kalau saya tahu dia ditangkap, tentu saya tidak terima
teleponnya. Nah, apakah dengan jawaban-jawaban seperti itu, saya sudah
dianggap terlibat juga?

Dari percakapan telepon itu, tampaknya Anda berdua cukup akrab?
Kayaknya itu ngomong-ngomong biasa aja. Apakah kita tidak boleh
ngomong, silaturahmi dengan orang? Ndak mungkinlah.

Dalam percakapan itu, Anda juga terkesan menawarkan solusi.
Di situ saya juga heran soal uang, karena dia ngomong-nya 600.000.
Saya bilang, mana ada orang ngasih uang 600.000 dolar (termasuk)
gratifikasi. Orang gila itu gratifikasi. Saya pikir Rp 600.000. Itu
tidak masuk gratifikasi. Tapi, begitu saya dengar 600.000 dolar, la
ilaha illallah.

Kapan Anda mengenal Artalyta?
Saya kenal dia tiga tahun lalu. Makanya, ada juga disebutkan di
pembukaan percakapan telepon itu, tumben kamu telepon saya. Saya
mengenal Artalyta ketika masih menjabat sebagai Direktur Penyidikan
Kasus BLBI, pada saat masih menangani penyidikan perkara itu.

Saya katakan pada waktu itu, Sjamsul (Nursalim) bisa ditetapkan
sebagai tersangka dan bisa diajukan ke penuntutan karena berkasnya
sudah lengkap. Eh, kemudian saya dipindahkan. Kalau memang saya
terlibat dalam perkara penyuapan itu, kenapa tidak dari dulu
"bermain". Dihentikan saja perkara itu. Saya malah meminta itu
diajukan ke penuntutan. Boleh dicek berkas perkara itu. Saya malah
minta dilimpahkan ke pengadilan. Sayangnya, saya keburu dipindahkan.

 


* * *

Jawapos, 9 Mei 2008,

Sinivasan Serahkan Diri ke Polri

Setelah Buron 2 Tahun, Kejaksaan Siap Hentikan Kasus

JAKARTA - Berakhir sudah pelarian mantan bos Texmaco Marimutu Sinivasan. Buron kasus dugaan kredit macet Bank Muamalat yang namanya sempat dimasukkan daftar pencarian orang serta red notice Interpol itu menyerah dan secara sukarela datang ke Bareskrim Polri kemarin (8/5) sore.

Selama dalam pencarian, salah satu konglomerat industri tekstil itu sempat pergi ke India dan Singapura. Mabes Polri tak langsung menahan dia. Namun, Sinivasan langsung diboyong ke Kejati DKI karena berkas kasusnya sudah P-21.

Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Pol Wenny Warow saat dihubungi tadi malam membenarkan adanya penyerahan diri Sinivasan tersebut. "Dia datang ke Indonesia karena orang tuanya sakit. Jadi, tidak kami tangkap. Dia menyerah tadi sore (kemarin, Red) dan langsung kami bawa ke Kejati DKI," jelas jenderal berbintang satu itu.

Menurut dia, kasus Sinivasan yang telah P-21 tersebut terkait dengan penipuan terhadap Bank Muamalat Rp 20 miliar. Kasus itu ditangani polisi sejak Agustus 2005. Kasus berawal dari pengajuan kredit oleh Sinivasan sebagai direktur utama PT Multi Karsa Utama ke PT Bank Duta senilai Rp 50 miliar. Bank Duta waktu itu hanya bisa memberikan Rp 30 miliar. Lantas, sisa kredit Rp 20 miliar ditanggung PT Bank Muamalat.

Belakangan, kredit PT Multi Karsa itu macet dan Bank Duta terkena kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bank Duta akhirnya di-take over Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Namun, kredit macet yang ditanggung BPPN hanya Rp 30 miliar dan dana dari Bank Muamalat ke Marimutu tidak ter-cover, sehingga Bank Muamalat merasa dirugikan.

Karena merasa dirugikan, Juli 2005 kuasa hukum Direksi Bank Muamalat melaporkan kasus itu ke Mabes Polri. Saat ditetapkan sebagai tersangka, Sinivasan telanjur terbang ke luar negeri.

Dia mengawali pelariannya dengan pergi ke Singapura pada 15 Maret 2006, sementara surat cekal Kejaksaan Agung baru turun dua hari sesudahnya, yakni pada 17 Maret 2006. Jadi, dua hari sebelum dicekal, dia melarikan diri.

"Makanya, kita juga sulit mengatakan dia itu kabur. Karena saat dicekal, dia memang sudah di luar negeri," tambah Wenny yang segera memasuki masa pensiun itu.


Kasusnya Akan Dihentikan

Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga membenarkan pelimpahan berkas dan tersangka Marimutu Sinivasan ke Kejati DKI. "Ya, tadi siang dilimpahkan. Saya baru saja dapat laporannya," kata Ritonga saat dihubungi koran ini kemarin. Ditanya apakah ditahan atau tidak, Ritonga mengatakan belum mendapat informasi.

Di tempat terpisah, Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Agus Rismanto mengatakan, Sinivasan tidak ditahan dengan banyak pertimbangan. "Selain usianya sudah lanjut, kasusnya lebih mengindikasikan pada keperdataan. Ini kan masalah simpan pinjam saja," kata Agus saat dihubungi koran ini tadi malam (8/5). Kejaksaan, lanjut Agus, juga mendapat janji Sinivasan yang akan bersikap kooperatif selama menjalani proses hukum.

Ditanya apakah kejaksaan akan mengeluarkan penghentian penuntutan alias SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan), Agus enggan memastikan. "Saya perlu ekspos sekali lagi dengan Kejagung," kata mantan kepala Kejari (Kajari) Jogjakarta itu.

Menurut Agus, tim jaksa melanjutkan rekomendasi tim jaksa terdahulu yang pernah menangani kasus Sinivasan. "Saat itu, berkas telah dinyatakan P-21 atau lengkap. Namun, polisi tidak dapat menghadirkan tersangka karena melarikan diri sehingga prosesnya tidak berlanjut," beber Agus.

Selain itu, lanjut Agus, hasil ekspos di Kejagung menyimpulkan bahwa kasus tersebut bersifat keperdataan sehingga layak diusulkan dihentikan melalui SKPP. "Semua itu ada petunjuk tertulisnya," jelasnya.

Baik Lapas Cipinang maupun Rutan Salemba, hingga tadi malam tidak menerima penitipan tahanan Sinivasan. "Sudah dua minggu ini, kami belum terima satu pun titipan tahanan dari kejaksaan," kata Kepala Rutan Salemba Bambang Sumardiono saat dihubungi tadi malam. Kalapas Cipinang Haviluddin juga setali tiga uang.


Bank Muamalat Pilih Diam

Dikonfirmasi mengenai penyerahan diri Sinivasan tersebut, Direktur Utama Bank Muamalat Riawan Amin menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin berkomentar banyak tentang hal itu. Menurut dia, urusan Sinivasan yang sempat mendapat kucuran dana dari Bank Muamalat Rp 20 miliar sudah diselesaikan sejak tahun lalu. "No comment karena urusan itu sudah diselesaikan tahun lalu melalui pengacara yang bersangkutan," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana meragukan bahwa Sinivasan menyerahkan diri secara sukarela. Dia lebih condong menilai bahwa Sinivasan menyerahkan diri karena sudah merasa aman. "Mungkin sudah ada yang mengamankan di Mabes Polri sehingga dia yakin kasusnya akan dimenangkan," ungkapnya.

Menurut Denny, kasus yang melibatkan salah seorang obligor BLBI tersebut harus diserahkan ke KPK karena posisinya sangat rawan dan strategis. Jika diserahkan ke lembaga peradilan seperti kejaksaan, pihaknya khawatir kasusnya akan ditutup. Itu bisa saja terjadi karena mafia peradilan masih marak di Indonesia. "Jangan sampai seperti kasus cukong kayu asal Medan (Adelin Lis) terulang. Awalnya dia juga menyerahkan diri karena ada yang mengamankan," tuturnya.


Usut Kasus BLBI

Di tempat terpisah, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki menyesalkan rencana penghentian penuntutan kasus Sinivasan. "Kejaksaan seharusnya tetap mengusut, apalagi Sinivasan masih punya tunggakan perkara lain. Ini momentum untuk memproses kasus hukum yang terkait Texmaco," kata Teten kepada koran ini kemarin (8/5).

Menurut dia, kejaksaan seharusnya justru menahan mantan bos Texmaco tersebut. Itu dimaksudkan untuk memudahkan penyidikan kasus korupsi lain, khususnya kasus BLBI Bank Putera Multikarsa senilai Rp 1,3 triliun. Kasus BLBI tersebut kini ditangani kejaksaan dan Depkeu. "Dia (Sinivasan) juga punya kasus lain yang telah di-SP3 kejaksaan," ujar Teten. Kasus tersebut adalah dugaan penyimpangan penggunaan fasilitas kredit modal kerja melalui mekanisme rediskonto wesel ekspor pre-shipment di BNI senilai Rp 9,8 triliun.

Teten maupun aktivis ICW lainnya tahu detail kasus Sinivasan karena ICW pernah mengajukan praperadilan kasus pre-shipment tersebut meski belakangan dikandaskan PN Jakarta Selatan.

Menurut Teten, kejaksaan harus berani membuka kasus pre-shipment dan BLBI Bank Putera Multi Karsa. "Uang negara harus dikembalikan," ujar Teten.

Soal kasus pre-shipment, Teten menjelaskan, Sinivasan punya andil besar. Sebab, Sinivasan melalui holding-nya, Grup Texmaco, menjaminkan aset bodong untuk mendapatkan kredit triliunan rupiah dari BNI. "Ironisnya, saat hendak dijual, aset tersebut tidak laku," ujar Teten.

Dari catatan koran ini, 25 Agustus 2003, aktivis ICW Iskandar Sonhadji dan Bambang Widjojanto mendaftarkan gugatan praperadilan kasus pre-shipment. Kasus pre-shipment dihentikan setelah keluarnya SP3 di era Jaksa Agung Marzuki Darusman, 2001, karena tidak ditemukan kerugian negara. Kasus pre-shipment dilaporkan ICW dan Laksamana Sukardi.

Berdasar hasil investigasi ICW, ada sejumlah bukti yang menunjukkan adanya unsur melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, serta merugikan perekonomian negara dalam penggunaan fasilitas diskonto pre-shipment (pengapalan). Fasilitas yang semula untuk kepentingan ekspor itu ternyata disalahgunakan untuk membayar utang dan membiayai kepentingan usaha Grup Texmaco.(naz/agm/wir/tof)

* * *

Jawapos, 25 April 2008,

Artalyta Segera Sidang, Jaksa Urip Menyusul

JAKARTA - Fakta terbaru yang mengungkap Urip Tri Gunawan juga memeras mantan Kepala BPPN Glenn M.S. Yusuf tak lantas menambah status jaksa itu menjadi tersangka kasus baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, status Urip tetap sebagai tersangka penerima suap Rp 6 miliar dari pengusaha Artalyta Suryani."Itu adalah pengembangan dari kasus yang suap (Rp 6 miliar). Tersangkanya juga tetap dua orang, UTG (Urip Tri Gunawan) dan AS (Artalyta Suryani)," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, tadi malam.

Menurut Johan, temuan pemerasan terbaru tersebut harus lebih dulu diproses oleh penyidik. "Tidak langsung (diterima). Itu kan dari keterangan salah satu saksi," imbuhnya.Seperti diberitakan Jawa Pos kemarin (24/4), dalam rekonstruksi yang dilakukan di depan Delta Spa, Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, terungkap jika Urip menerima uang Rp 890 juta dari Reno Iskandarsyah, seorang saksi. Menurut pengakuan Reno, uang tersebut berdasarkan permintaan dari Urip sendiri.Meski tidak secara tegas uang itu adalah bentuk pemerasan terhadap Glenn, Reno mengakui dirinya saat itu kuasa hukum Glenn. Hubungan itu masih berlangsung hingga saaat ini.

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar mengatakan, temuan baru dalam rekonstruksi tersebut merupakan bukti tambahan yang cukup berarti. Apakah itu berarti akan meneruskan pengembangan penyidikan hingga ke atasan Urip? Haryono menjawab diplomatis. "Itu merupakan bukti tambahan yang sangat besar. Akan terus kita kembangkan," katanya di gedung KPK, kemarin.Haryono enggan mendahului dugaan bahwa Glenn yang melakukan suap dan bukan pemerasan oleh Urip yang tercatat sebagai jaksa kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dengan obligor Sjamsul Nursalim itu. "Kalau menurut keterangan, itu kan pemerasan. Ada pasalnya sendiri," jelasnya.

Dia menegaskan KPK masih mendalami temuan baru tersebut. Bagaimana dengan kemungkinan ada hal yang ditutupi dari kesaksian Glenn soal BLBI. "Kita belum ke sana," jawabnya.Di tempat terpisah, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin menegaskan, kejaksaan mempersilakan KPK mengusut tuntas dugaan pemerasan Urip terhadap Glenn selaku saksi kasus BLBI. "KPK kan yang menangani masalah itu. Nah, penyidik di sana (KPK) akan mencari alat bukti, silakan saja," kata Muchtar seusai melantik Kapusdiklat Darmono di Gedung Kejagung, kemarin.Soal keterlibatan sejumlah atasan Urip dalam kasus pemerasan tersebut, Muchtar enggan menjawab. "Saya baru baca di koran. Sejauh ini, saya tidak tahu," ujar Muchtar.

Sedang JAM Pengawasan M.S. Rahardjo menambahkan, kejaksaan menunggu hasil persidangan terkait kasus pemerasan Glenn. Tim pengawas internal terus memantau perkembangan penyidikan KPK. "Itu kan hasil pemeriksaan KPK di luar persidangan dan sejauh ini belum terbukti," kata Rahardjo.Menurut Rahardjo, tim terus mengevaluasi seluruh fakta yang terungkap, sehingga diambil kesimpulan dalam menjatuhkan hukuman disiplin.

Termasuk kemungkinan mengusut pihak lain di luar Urip dalam kasus pemerasan tersebut. "Sesuai ketentuan, kami berwenang dalam mengusut pelanggaran disiplin," kata mantan kepala Kejati Jawa Timur ini.Sementara itu, proses penyidikan terhadap tersangka pelaku suap Artalyta Suryani alias Ayin telah berakhir kemarin. Berkas Ayin segera dinaikkan statusnya menjadi penuntutan dan dilimpahkan ke pengadilan. "Insya Allah segera disidangkan," kata Artalyta usai menjalani pemeriksaan di KPK, kemarin.

Pengusaha asal Lampung yang punya hubungan dekat dengan Sjamsul Nursalim itu diperiksa sejak pukul 11.00 WIB hingga 16.30 WIB.Ayin mengaku telah menandatangani BAP (berita acara pemeriksaan). Dia juga siap menghadapi proses pengadilan. "Saya yakin tidak bersalah. Doakan saya ya," kata Ayin yang kemarin berbalut baju putih bermotif bunga-bunga.Juru Bicara KPK Johan Budi mengakui, proses penyidikan terhadap Artalyta sudah rampung. Dalam waktu dekat, tersangka si penerima suap, Urip, juga diselesaikan. "Mungkin awal Mei," katanya. (fal/agm/el)

* * *

Jawapos, 24 Apr 20

Jaksa Urip Juga Peras Glenn

Tuduhan Baru KPK Terkait Kasus BLBI


JAKARTA - Jaksa Urip Tri Gunawan ternyata mempunyai track record sangat buruk. Jaksa yang kini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak hanya diduga menerima suap Rp 6 miliar dari Artalyta Suryani alias Ayin dalam kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Kini, Urip menghadapi tuduhan lain. Yakni, dugaan memeras mantan Kepala BPPN Glenn M.S. Yusuf.

Glenn yang juga diperiksa dalam kasus BLBI akhirnya "termakan" jebakan Urip. Lewat pengacaranya, Reno Iskandarsyah, dia menyerahkan uang Rp 890 juta.

Rangkaian pemerasan tersebut terungkap dalam rekonstruksi kemarin (23/4). Penyerahan uang kepada Urip dilakukan di depan Delta Spa, Jalan Wijaya II, Jakarta Selatan.

Rekonstruksi tersebut tidak diikuti Urip. Mantan Kasubdit Tindak Pidana Ekonomi Khusus itu bersikukuh reka ulang tidak ada relevansinya dengan kasusnya (dugaan suap Rp 6 miliar).

Dalam rekonstruksi selama sejam tersebut, Reno Iskandarsyah, pengacara Glenn, terlibat langsung. Dia berkalung tag name bertulisan Saksi II. Dua saksi lainnya mengenakan topeng ala ninja.

Ada 14 adegan dalam rekonstruksi itu. Berawal saat Urip yang diperankan staf KPK memarkir Toyota Kijang silver DK 1832 CJ dalam kompleks Perkantoran Wijaya Blok G 7-8. Tepatnya di depan kantor biro perjalanan Wahana yang berjarak sekitar 200 meter dari Delta Spa. Setelah memarkir mobil, Urip masuk ke Delta Spa.

Saksi II, Reno, memarkir Suzuki Grand Vitara hitam B 1935 IY di samping kanan Delta Spa. Dia lantas memasuki pusat kebugaran tersebut.

Beberapa menit kemudian, Reno dan Urip bergegas menuju Suzuki Grand Vitara itu. Reno lantas membuka bagasi belakang mobil. Dia terlihat mengambil tas kerja hitam yang kemudian dipindahkan ke bangku tengah. Setelah menutup bagasi, Reno masuk mobil. Urip menyusul masuk Grand Vitara. Keduanya duduk di depan. Reno lantas menyetir mobilnya mendekati mobil Urip yang berjarak 200 meter.

Sejurus kemudian, Urip keluar mobil Reno dengan menenteng tas berisi uang Rp 890 juta. Dia lantas menuju mobilnya.

Reno langsung meninggalkan Perkantoran Wijaya. Urip juga ngacir menggunakan Kijang silver-nya. Kijang tersebut merupakan mobil saat Urip ditangkap KPK di rumah Sjamsul di kawasan Simprug, Kebayoran Lama.

Ratusan warga, baik pemilik maupun pelanggan di sekitar ruko itu, ikut menonton jalannya rekonstruksi. Reka ulang tersebut menyita perhatian. Mereka beramai-ramai menonton dari kejauhan. Satu per satu adegan tampak jelas. Maklum, petugas KPK melalui pengeras suara menjelaskan satu per satu adegan. Namun, itu hanya terjadi di luar Delta Spa.

Beberapa wartawan berupaya mendekati Reno. Dia pun bersedia menjawab beberapa pertanyaan wartawan. Reno mengakui, Urip pernah meminta uang hingga Rp 890 juta. "Ya, begitulah," ujar Reno saat ditanya apakah motif permintaan uang adalah pemerasan. Dia juga memastikan, uang tersebut dimasukkan ke tas yang belakangan dibawa Urip.

Namun, Reno enggan menjawab apakah penyerahan duit itu berdasarkan instruksi kliennya, Glenn. Dia juga menolak menjelaskan bahwa uang tersebut terkait kasus apa dan kapan pemberiannya.

Lantas, kapan transkasi itu? "Kalau tanggalnya, saya lupa. Tanya saja KPK," elaknya. Semua petugas KPK bungkam.

Rekonstruksi berakhir pukul 12.25. Proses rekonstruksi berlanjut ke kantor Reno di Menara Karya, Jalan Rasuna Said. Rekonstruksi berlangsung di lantai VI. Namun, tidak ada keterangan dari penyidik yang ditemui wartawan ketika keluar dari lift. Ketika wartawan mengecek ke lantai VI, petugas yang berada di lantai tersebut mengatakan tidak ada rekonstruksi atau penggeledahan. Lantai VI adalah kantor dari NC Securities.

Lantas, siapa yang berinisiatif dalam transaksi Rp 890 juta itu? "Itu permintaan dia lah. Ngapain kami ngasih uang segitu," kata Reno ketika dihubungi wartawan dari gedung KPK kemarin (23/4). Dia mengaku sebagai kuasa hukum Glenn. Hubungan itu masih berlangsung hingga kini.

Apakah uang tersebut sebagai bentuk pemerasan yang ditujukan kepada Glennn? Reno tidak menjawab tegas. Dia lantas berkomentar, "Ya, itu nanti saja di pengadilan. Saya belum bisa ngomong."

Pengacara itu juga mengelak ketika ditanya motif Urip meminta sejumlah uang tersebut. "Itu nanti saja, deh. Nanti di persidangan kami buka semua," kilahnya

Lantas, apa hubungannya dengan NC Securities yang berkantor di lantai VI Menara Karya? Reno menyebutkan bahwa itu merupakan kantor kliennya. Dia mengatakan, tim penyidik KPK ingin mengetahui bagaimana dirinya setelah kembali dari bertemu dengan Urip di Delta Spa. "Saya nggak bisa ngomong," katanya.

Informasi yang berkembang, rekonstruksi yang digelar kemarin memang tidak berkaitan dengan dugaan suap Artalyta Suryani alias Ayin yang diterima jaksa Urip. Namun, itu terkait kasus pemerasan yang dilakukan Urip. "Kami mengembangkan hasil penyidikan," kata seorang sumber.

Kebenaran informasi bahwa rekonstruksi tidak berkaitan dengan kasus gratifikasi dari Artalyta terlihat dari penolakan Urip melakukan rekonstruksi. Kuasa hukum Urip, Albab J. Setiawan, mengatakan bahwa kliennya menolak rekonstruksi karena dipandang tidak relevan dengan perkara yang sedang dihadapi. "Dia (Urip) kan disidik dalam dugaan gratifikasi dari Artalyta," kata Albab kepada koran ini tadi malam.

Bukankah itu hasil pengembangan penyidikan? Albab mengakui, itu sebagai hak yang dimiliki KPK. "Tapi, orang diperiksa harus jelas (perkaranya)," tegasnya. Dia beranggapan perkara tidak bisa digabungkan dengan perkara yang lain. "Nanti malah membingungkan," sambungnya. (fal/agm/tof)

* * *

Kompas, 23 April 2008

Jaksa Urip Peras Glen Yusuf Rp 890 Juta

JAKARTA, RABU - Pengacara mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Yusuf, Reno Iskandarsyah, mengungkapkan, Jaksa Urip Tri Gunawan pernah melakukan pemerasan terhadap kliennya. Namun, ia tidak bersedia menjelaskan lebih lanjut mengenai pemerasan tersebut.

"Ya...itu permintaan dialah (Urip). Ngapain kita ngasih uang segitu. Meras dia. Alasannya nanti saja deh," ujarnya ketika dihubungi wartawan yang biasa berjaga di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (23/4). Reno juga mengaku saksi 2 pada rekonstruksi yang digelar KPK hari ini di Delta Spa, Jl Wijaya, Jakarta Selatan, adalah dirinya.

Pada rekonstruksi itu terungkap bahwa Reno yang menyerahkan uang kepada Urip. Uang itu diserahkan di dalam mobil Grand Vitara. Jumlahnya, menurut Reno, sekitar Rp 890 juta. Namun, ia tidak ingat kapan persisnya kejadian itu. "Nanti saja ya di persidangan kita buka semuanya," tandasnya.

* * *

Tempo, 17 April 2008

Pembahasan STAR di Tempat Tersembunyi

TEMPO Interaktif, Jakarta:Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan Prakarsa Pengembalian Aset (Stolen Asset Recovery Initiative) sedang dibahas di sebuah tempat tersembunyi.

"Di suatu tempat di luar Jakarta," kata Hendarman usai membuka acara sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Kejaksaan Agung, Kamis (17/4).

Saat ditanya materi pokok pembahasan StAR, ia menolak menyebutkan. "Pokoknya nantilah," katanya. "Rahasia itu."

StAR adalah program pengembalian aset bekerja sama dengan Badan Penanganan Kriminal dan Narkoba (UNODC) dan Bank Dunia.

Sebelumnya, Hendarman mengatakan ada enam kasus yang akan dibawa ke StAR, yakni enam kasus BLBI, satu kasus pembalakan liar dan satu kasus perbankan.

Pembahasan StAR, lanjut Hendarman, dilakukan kejaksaan, kepolisian, Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Saat ditanya kapan pembahasan itu akan selesai, Hendarman menjawab, "pokoknya secepatnya3.


* * *

Koran Tempo , 7 April 2008

Interpol Diminta Buru Pengutang BLBI


JAKARTA -- Pemerintah akan meminta jaringan polisi internasional (Interpol) untuk memburu empat dari tujuh pengutang kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Keempat pengutang kakap itu adalah Agus Anwar (pemilik Bank Pelita dan Bank Istimarat), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa), dan Lidya Mochtar (Bank Tamara). "Bantuan Interpol diperlukan untuk menghadirkan obligor yang diduga berada di luar negeri," kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan Hadiyanto kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.


Departemen Keuangan akan bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri untuk meminta bantuan polisi internasional itu. Di sisi lain, Departemen Keuangan, kata dia, telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian untuk meminta pengembalian utang-utang tujuh obligor ke negara. Departemen Keuangan juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyiapkan "penginapan khusus" bagi para obligor yang tertangkap.


BLBI merupakan bantuan dana yang diberikan pemerintah kepada sejumlah bank yang terancam kolaps akibat krisis ekonomi 1998. Para pemilik itu wajib mengembalikan utangnya kepada negara. Akibat kurang tegasnya pemerintah, penyelesaian kasus tujuh obligor BLBI senilai Rp 2,297 triliun itu terkatung-katung hingga sekarang.


Menurut Hadiyanto, pemerintah mengalami kesulitan menindaklanjuti proses penagihan piutang BLBI karena umumnya para obligor kurang kooperatif. Kini pemerintah bertindak keras kepada para pengutang bandel yang tidak merampungkan urusannya. "Kami telah menetapkan upaya gijzeling (paksa badan) bagi para obligor nakal."


Sejauh ini ancaman paksa badan membuahkan hasil. Tiga obligor mulai kooperatif, namun Agus, Lidya, Marimutu, dan Atang dinilai masih belum kooperatif. Pemerintah sudah memblokir aset keempat obligor itu senilai Rp 556 miliar dari total utang keempatnya Rp 1,54 triliun. "Tapi itu masih sangat kurang," kata Hadiyanto.
O.C. Kaligis, kuasa hukum Marimutu Sinivasan, mengatakan, pemerintah tak adil kepada Sinivasan karena dipaksa meneken perjanjian pengembalian BLBI dengan bunga 150 persen. "Bunuh diri (kalau) dia teken itu," ujarnya di Jakarta kemarin.


Adapun Sugeng Teguh Santoso, kuasa hukum Atang Latief, mengatakan, Departemen Keuangan tak punya dasar hukum meminta bantuan Interpol. "Itu masalah ranah hukum privat, tidak ada tindakan pidana, minta bantuan Interpol itu berlebihan," ujarnya kemarin. Atang juga tidak berniat menghindar dari kewajibannya. "Penyelesaian kewajibannya masih dalam proses oleh keluarganya," ujar Sugeng.
Hingga tadi malam, Koran Tempo belum berhasil menghubungi kuasa hukum Lidya Mochtar dan Agus Anwar.PADJAR ISWARA | AGUS SUPRIYANTO | RIEKA | SUTARTO

* * *

Kompas , 2 April 2008

Presiden Akan Paksa Badan 4 Obligor BLBI


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat akan menerapkan paksa badan (gijzeling) para obligor Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang tidak menyelesaikan kewajiban.


Janji itu tertuang dalam jawaban tertulis Presiden yang dibacakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat paripurna DPR, Selasa (1/4). Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.
Lampiran 1 jawaban Presiden menyebutkan, delapan obligor sudah dicekal dan akan dilakukan penyitaan pada tahun 2008. Empat di antaranya juga akan diterapkan paksa badan apabila tidak ada kemajuan.
Obligor yang dicekal itu adalah Agus Anwar (Bank Pelita-Istismarat), Atang Latief (Bira), Marimutu Sinivasan (Putera Multikarsa), Lidia Muchtar (Tamara), Omar Putihrai (Tamara), Adisaputra dan James Januardy (Namura Yasonta), serta Ulung Bursa (Lautan Berlian). Empat obligor yang disebut di depan akan diterapkan paksa badan.


Sementara itu, banyak obligor berdasarkan hasil penyidikan belum dapat dibuktikan indikasi tindak pidananya, yaitu Trijono Gondokusumo (Bank Putra Surya Perkasa), Santoso Sumali (Bahari), Henky Wijaya (Tata), serta I Made Sudiarta dan I Gde Darmawan (Aken).


Banyak juga yang penyidikannya telah dihentikan karena tidak ditemukan perbuatan melawan hukum. Mereka adalah Dewanto Kurniawan, Royanto Kurniawan, Leo Polisa, dan Rasjim Wiraatmadja (Deka), Hindarto Tantular dan Anton Tantular (Central Dagang). Ada juga yang disimpulkan tidak cukup bukti, yaitu Santoso Sumali (Metropolitan),


Obligor yang masih dalam proses berkas perkara adalah Baringin Panggabean dan Joseph Januardy (Namura) dan Fadel Muhammad (Intan). Obligor dalam tahap penyelidikan adalah Andri Tedjadharma, Prasetyo Utomo, Paul Banuara Silalahi (Centris), Kwan Benny Ahadi (Orient), Sjamsul Nursalim (Dewa Rutji), dan Kaharudin Ongko (Arya Panduartha).
Hanya dua yang sudah divonis dalam kasus tipikor BLBI, yaitu David Nusa Wijaya dan Tarunodjojo (Umum Servitia). Sementara yang sudah divonis pidana dan sudah dieksekusi adalah Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono (Aspac).


Sikap DPR
Menanggapi jawaban Presiden ini, kalangan DPR umumnya mengapresiasi karena jauh lebih rinci dari jawaban sebelumnya pada 12 Februari. Dari sisi format laporan pun tidak dipersoalkan lagi karena sudah ditandatangani langsung oleh Presiden Yudhoyono.
Namun, sejumlah pengusul, yaitu Yuddy Chrisnandi (Fraksi Partai Golkar), Abdullah Azwar Anas (Fraksi Kebangkitan Bangsa), dan Dradjad Wibowo (Fraksi Partai Amanat Nasional), masih menilai jawaban Presiden belum tegas dan masih dipenuhi janji- janji belaka. Karena itu, mereka akan tetap mempertimbangkan penggunaan hak pernyataan pendapat hingga penutupan masa sidang DPR 10 April 2008.


Fraksi PDI-P yang biasanya mengambil sikap oposan kali ini justru mendukung pemerintah. Ketua I Fraksi PDI-P Panda Nababan malah meminta Muhaimin agar segera menutup rapat, tidak perlu memberikan kesempatan kepada anggota DPR untuk menanggapi jawaban Presiden.
Syarif Hassan selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat pun merespons positif sikap Fraksi PDI-P itu. ”Kali ini oposisinya konstruktif,” ujarnya tersenyum.


Presiden Yudhoyono dalam jawaban tertulis itu memang menegaskan kembali sikapnya. Pemerintah konsisten melaksanakan dan melanjutkan kebijakan- kebijakan yang telah dilakukan pemerintah-pemerintah sebelumnya demi kepastian hukum. (sut)

 

* * *

Lampungpost, 29 Maret 2008

Tajuk:DPR 'Pelihara' Kasus BLBI

KASUS bantuan likuiditas Bank Indonesia tetap saja dipakai sebagai sandera, terutama oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, sejak Presiden Habibie telah ada keputusan pemerintah tentang itu. Namun, setiap rezim berganti, DPR selalu saja mempersoalkan kembali, seakan-akan semua keputusan pemerintah sebelumnya tidak ada.Partai-partai yang sekarang mempersoalkan kembali BLBI adalah partai-partai yang menjadi motor penyelesaian pada masa lalu. Ketika Habibie mengambil keputusan, Partai Golkar menjadi tiangnya. Di masa Gus Dur, PKB di belakangnya. Pada era Mega, PDI-P penopangnya.

Tetapi sekarang, partai-partai itu berteriak lantang seolah-olah mereka tidak mengerti dan mengetahui kebijakan pada masa lalu.Dan, DPR sekarang tidak memiliki kemauan mengoreksi disiplin berpikir yang keliru itu. Bahwa sebuah pemerintahan atau negara memiliki kewibawaan dan kepastian kalau kebijakan pemerintahan yang lalu dihargai dan diakui pemerintahan berikutnya. Kebijakan pemerintah di masa lalu harus ada yang final dan mengikat.Adalah destruksi konyol bila setiap pemerintahan yang baru mencaci pemerintahan sebelumnya. Dan bersamaan dengan itu menganulir seluruh kebijakan di masa lalu.

Sikap dan pola pikir seperti itulah yang menyebabkan Indonesia berjalan di tempat dalam perlombaan mengejar kemajuan. Sebab, tidak ada masalah yang selesai.Interpelasi terhadap BLBI oleh DPR sekarang adalah contoh terbaru yang memperlihatkan DPR sekarang pun belum melepaskan diri dari nafsu berpikir lama. Mereka ngotot memaksakan interpelasi. Dalam prosesnya, DPR lebih mementingkan kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR untuk menjawab sendiri interpelasi daripada membaca, mendengar, dan memahami jawaban.

Setelah dijawab, DPR menyatakan tidak memuaskan sehingga akan meminta penjelasan lagi. Malah, beberapa anggota Dewan berupaya meningkatkan interpelasi BLBI menjadi angket BLBI.Padahal, bila disimak, jawaban pemerintah terhadap interpelasi sangat jelas. Bahwa pemerintah menghargai keputusan pemerintah yang lalu. Bahwa ada obligor yang telah melunasi kewajibannya. Dan, ada juga obligor yang tidak kooperatif. Tetapi, DPR ingin mementahkan kembali kasus BLBI ini agar semuanya dimulai dari awal.Jadi, dalam kasus BLBI, terlihat DPR-lah yang tetap mempertahankan kasus itu agar selalu menjadi masalah. Yang menjadi pertanyaan, sampai kapan dan ada apa?

Terhadap BLBI, suka tidak suka, harus diterima kebijakan yang telah diambil pemerintahan sebelumnya. Karena kebijakan itu diputuskan bersama dengan DPR pada masa itu. Dan, harus juga diterima kebijakan yang diambil pemerintahan sekarang.Dengan demikian, negara ini dalam perjalanannya menyelesaikan masalah besar satu demi satu. Alangkah lucu bila DPR justru berkepentingan untuk tidak menyelesaikan masalah-masalah krusial.Sikap Dewan seperti itulah yang kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa kasus BLBI memang sengaja dipelihara terus-menerus karena dari sana partai-partai memperoleh "sumber air" yang tidak pernah kering.

Beberapa pengamat menyindir bahwa DPR menjadikan BLBI sebagai ATM.Sebab itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak boleh tunduk pada akal-akalan DPR soal BLBI ini. Masalah BLBI yang tersisa adalah yang menyangkut obligor tidak kooperatif. Yang kooperatif harus dihargai kebijakan yang telah diterima. Pemerintah harus berani menganut politik melupakan masa lalu dan memulai masa depan dari sekarang. Kalau terus menyandera masa lalu, kapan bangsa ini mengurus masa depan?

* * *


Balipost, 31 Maret 2008

Ketika Jaksa Agung Ditantang Mereformasi Kejakgung


Oleh Aji


JAKSA Agung (Jakgung) Hendarman Supandji sedang melakukan ''bersih-bersih'' di jajarannya. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman telah dicopot. Direktur Penyidikan M. Salim juga dilengserkan. Bersih-bersih ala Jaksa Agung Hendarman itu terkait dengan tertangkapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI Urip Tri Gunawan (UTG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa saat setelah UTG menerima 6 ribu dolar AS (Rp 6,2 milyar) dari Artalyta Suryani, kerabat Samsul Nursalim yang tersangkut perkara BLBI.
---------------------
Langkah tegas Hendarman ini patut diacungi jempol. Berbagai kalangan yang selama ini prihatin melihat lambannya arus reformasi di institusi penegak hukum ini, sedikit terhibur dengan sikap Jaksa Agung kali ini. Tindakan itu dinilai sesuai dengan kehendak masyarakat pencari keadilan. Sudah lama sekali masyarakat menantikan adanya upaya pembersihan terhadap para oknum jaksa yang selama ini menodai rasa keadilan masyarakat.


Kasus UTG suatu bukti bahwa reformasi di tubuh Kejaksaan Agung (Kejakgung) masih saja lamban. Dalam reformasi ini mutlak dibutuhkan adanya pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Tetapi harus disadari, pengawasan bukanlah unsur yang berdiri sendiri. Pengawasan adalah salah satu unsur dari berbagai unsur lainnya, seperti faktor-faktor yang menciptakan/mengembangkan kasus. Maka pengawasan itu harus dilihat dalam kaitannya dengan seluruh struktur unsur yang membentuk sistem. Pengawasan kita perlukan sesungguhnya bukan karena kurang kepercayaan dan bukan pula ditujukan untuk mencari-cari kesalahan atau mencari siapa yang salah.

Tetapi untuk memahami apa yang salah demi perbaikan di masa mendatang. Ada sementara anggapan, pengawasan tersebut hanya untuk menakut-nakuti atau membuat orang menjadi gelisah. Akibat kesan dan pendapat yang keliru itu maka muncul semacam asumsi bahwa pengawasan membuat orang bekerja tidak tenang dan mereka yang diawasi adalah orang yang tidak dipercaya. Sesungguhnya pengawasan sangat dibutuhkan agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan tugas, dan bisa segera mengambil jalan keluar dari kemelut yang mungkin terjadi.


Dengan demikian, pengawasan dapat kita terima sebagai hal yang wajar dengan sikap yang tidak mengandung kecurigaan. Namun, dalam melaksanakan pengawasan itu harus memiliki kemampuan teknis dan keberanian moral. Kemampuan teknis diperlukan agar dalam pelaksanaan pengawasan pemeriksaan dan penelitian dapat berlangsung dengan cermat, tepat dan cepat.

Langkah Berikutnya
Namun, sikap dan tindakan tegas Jaksa Agung tersebut kiranya kurang bermakna jika tidak diikuti langkah-langkah berikutnya. Minimal ada tiga langkah signifikan lanjutan yang harus dilakukan dengan keberanian.
Pertama, meninjau kembali penghentian penyelidikan kasus BLBI. Kedua, tuntaskan keterlibatan kedua pejabat tersebut di meja hijau. Ketiga, tindak tegas semua aparat kejaksaan yang selama ini menikmati kue BLBI dengan menjadikan para obligor sebagai "ATM". Pencopotan dua pejabat Kejaksaan Agung itu merupakan isyarat bahwa kasus penyuapan jaksa UTG tidak berdiri sendiri. Pencopotan keduanya terkait erat dengan tertangkapnya jaksa UTG, sehingga dugaan suap terhadap pihak kejaksaan terkait kasus BLBI benar-benr terjadi. Karena itu, Jaksa Agung harus berani membuka kembali penyelidikan kasus BLBI yang sudah dihentikan.a


Keberanian ini akan memperlihatkan kepada publik bahwa Jaksa Agung benar-benar berkomitmen menjadi pemimpin tertinggi di kejaksaan yang tidak berkompromi terhadap pelanggaran bawahannya. Ini sekaligus sebagai pembuktian atas janjinya untuk melakukan pembenahan internal. Jaksa Agung Hendarman telah berjanji akan meneruskan reformasi kejaksaan yang telah dirintis oleh pendahulunya, Abdul Rahman Saleh.
Berbagai produk perundang-undangan yang menyangkut penegakan hukum, termasuk lembaga kejaksaan sendiri, sudah banyak yang diterbitkan oleh lembaga legislatif sebagai representasi rakyat. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang memayungi lembaga kejaksaan pun telah direvisi sesuai perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat. Meskipun demikian, kita masih perlu terus berupaya untuk mendorong agar kinerja lembaga kejaksaan mencapai harapan masyarakat, yaitu menjadi lembaga penegak hukum yang profesional serta terbebas dari lilitan "mafia peradilan".


Pengawasan masyarakat sebagai kontrol sosial juga termasuk faktor penentu berhasil atau tidaknya lembaga penuntutan ini sebagai sebuah institusi yang memperjuangkan kesetaraan hukum dan keadilan bagi masyarakat tanpa pandang bulu. Instrumen perundang-undangan akan tumpul bila tidak ada peran serta masyarakat dalam pengawasan terhadap setiap lembaga penegak hukum. Lebih-lebih setelah disahkannya undang-undang tentang perlindungan saksi. Maka semestinya regulasi tersebut semakin mendorong anggota masyarakat untuk berani tampil sebagai "peniup peluit" dalam memberantas perilaku korupsi.


Begitu juga dengan hadirnya lembaga pengawas kejaksaan yang independen, seperti Komisi Kejaksaan, harus benar-benar berdaya untuk mendorong serta menjadikan lembaga kejaksaan yang bersih dan berwibawa sebagai lembaga penegak hukum. Harapan masyarakat, Komisi Kejaksaan jangan sampai terdistorsi oleh berbagai kepentingan jangka pendek dan politik praktis dari berbagai pihak, termasuk dari internal kejaksaan sendiri. Kemampuan sumber daya manusia (SDM) setiap jaksa juga harus terus-menerus dikembangkan, agar lahir jaksa-jaksa otonom, mandiri dengan standar profesionalitas dalam bekerja, serta memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam menjalankan fungsi dan tugas-tugas lembaga kejaksaan. Kita tidak mau lagi mendengar ada jaksa-jaksa yang tidak memiliki kemampuan menganalisis sebuah perkara, sehingga penyusunan surat dakwaan lemah dari aspek pembuktian yang berakibat tuntutan jaksa dalam sebuah perkara gagal di tingkat pengadilan.

Begitu juga dengan perilaku oknum jaksa-jaksa yang sering "bermain mata" dengan terdakwa, sehingga terjadi "penggelapan pasal-pasal" tuntutan, termasuk di dalamnya "jual-beli" tuntutan dengan "mekanisme rentut (rencana tuntutan)" yang diselewengkan. Itu sebabnya, agenda utama yang harus didorong terhadap lembaga kejaksaan yakni adanya agenda reformasi yang dimulai dari segi mentalitas, sehingga moralitas hukum dengan orientasi bagi kepentingan publik tumbuh di setiap sanubari jaksa di negeri ini.
Penulis, praktisi hukum, berdomisili di Jakarta

* * *

Jawapos, 29 Maret 2008,

Marwan Jadi Sapu Koruptor


Jabat JAM Pidsus, Kemarin Diwejangan Jaksa Agung

JAKARTA - Pos strategis jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) bakal dipegang Marwan Effendy. Ada setitik harapan pemberantasan korupsi akan gencar. Sebab, saat menjabat kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Marwan mempunyai catatan rekor yang positif dalam mengejar para koruptor.

Penunjukan Marwan sebagai pengendali Gedung Bundar itu berdasar hasil rapat Tim Penilai Akhir (TPA). Marwan baru memulai tugasnya tersebut setelah pelantikan yang dilakukan pekan depan.

Pemerintah belum mengumumkan secara resmi pejabat baru JAM Pidsus. Namun, sumber kuat di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Istana Negara memastikan bahwa jaksa senior yang kini menjabat kepala Pusdiklat Kejagung itulah yang terpilih.

Marwan tadi malam (28/3) dipergoki keluar dari ruang kerja Jaksa Agung Hendarman Supandji di lantai II Gedung Utama Kejagung. Hendarman perlu memanggil Marwan untuk membicarakan berbagai urusan.

Selain acara seminar hukum acara pidana (KUHAP) di Pusdiklat, Hendarman menyinggung harapan kepada Marwan untuk ikut mengembalikan kredibilitas Gedung Bundar pasca penangkapan jaksa BLBI Urip Tri Gunawan yang menerima suap Rp 6 miliar.

Kasus suap itu memang sangat mengguncang Kejagung. Imbasnya, Kemas Yahya Rahman dicopot dari JAM Pidsus. Bukan hanya itu, Direktur Penyidikan M. Salim diganti dan sejumlah jaksa yang bertugas mengusut korupsi dipinggirkan.

Tentang jabatan barunya sebagai panglima pengusutan korupsi Kejagung, Marwan memilih menutup mulut. "Saya hanya mengambil buku," katanya sambil menunjukkan buku bersampul putih kepada wartawan ketika ditanya tentang pertemuannya dengan Hendarman.

Dia enggan berkomentar lebih jauh dan memilih memasuki kabin mobil dinasnya, Innova hitam berpelat B 7688 BS.

Meski demikian, sumber koran ini menyatakan, dalam pertemuan itu, Hendarman memberitahukan putusan Presiden SBY yang memilihnya sebagai JAM Pidsus. "Dia juga diberi banyak wejangan oleh jaksa agung," ungkap sumber tepercaya di kejaksaan.

Jaksa agung, kata dia, juga menyinggung rencana pelantikan Marwan sepulang kunjungan dinas Hendarman dari Azerbaijan, 8 April mendatang.

Sumber lain mengaku, staf kepresidenan sudah menghubungi Marwan atas penunjukannya sebagai JAM Pidsus. "Dia tidak menghadap ke Cikeas, tapi sudah dihubungi. Saat ini tinggal menunggu keppresnya," ujarnya.

Marwan menolak membenarkan informasi tersebut. Kapusdiklat Kejagung itu juga enggan berandai-andai. "Keppresnya kan belum keluar. Tunggu saja beberapa hari ini," tegas Marwan.

Menurut dia, siapa pun yang akan menjabat JAM Pidsus harus membenahi Gedung Bundar. Di antaranya, menyiapkan terapi kejut pada bulan pertama untuk membangkitkan kembali kredibilitas "jantung" kejaksaan tersebut. Hal yang juga penting, kata dia, harus ada keberanian menahan pelaku korupsi. Juga, pengusutan tak hanya dilakukan di pusat, tapi juga harus di daerah.

Saat menjabat kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Marwan dikenal tak pandang bulu dalam menahan para tersangka korupsi. Selama 2007, dia menyidangkan 18 kasus korupsi dengan tersangka lebih dari 50 orang. Padahal, target Kejagung hanya lima kasus dalam setahun.

Untuk diketahui, Kejagung memberikan target bagi jajaran di bawahnya dalam penanganan kasus korupsi. Dalam setahun, setiap kejati ditarget menyelesaikan lima kasus dan kejari tiga kasus. Di tangan Marwan, pengusutan melampaui target, yakni 360 persen.

Dia juga dikenal sebagai Kajati pemberani yang sering menahan tersangka. Dia sampai pernah dijuluki Dasamuka. Sejumlah pejabat dan mantan pejabat seperti mantan Bupati Jember Syamsul Hadi Siswoyo serta mantan Bupati Banyuwangi Syamsul Hadi dijebloskan ke penjara.


Ismudjoko Percaya Marwan

Ditemui sebelum pulang dinas, Hendarman hanya menjawab dengan senyum ketika ditanya soal kedatangan Marwan terkait dengan jabatan JAM Pidsus. "Itu (jabatan JAM Pidsus) menjadi hak prerogatif presiden," ujar Hendarman.

Menurut dia, hasil TPA tidak bisa diumumkan karena bersifat rahasia. "Tulisannya sangat rahasia," tegas pejabat kelahiran Klaten tersebut.

Hendarman mengaku hanya mengikuti proses rapat TPA, tanpa mengetahui hasilnya. "Kalau sudah ada keppresnya, nanti ketahuan. Saya akan melantiknya," ungkapnya.

Dia menjelaskan, kedatangan Marwan tersebut adalah untuk melaporkan rencana dan persiapan seminar hukum acara yang diadakan di Pusdiklat pekan depan. Rencananya, Hendarman didaulat membuka seminar. "Saya nggak bisa membuka karena besok (29/3) berangkat ke Azerbaijan," jelasnya.

Di Azerbaijan, Hendarman bakal menghadiri pertemuan internasional yang dihadiri jaksa agung sedunia.

Berdasar informasi koran ini, awalnya Marwan diminta menghadap Hendarman kemarin pagi. Tapi, pertemuan dilakukan sorenya karena paginya jaksa agung mengikuti rapat kabinet di Istana Kepresidenan.

Marwan tiba di Gedung Utama pukul 15.00. Dia tak langsung menghadap jaksa agung. Pria kelahiran Lubuk Linggau tersebut harus menunggu setengah jam. Sebab, pada saat bersamaan, jaksa agung menerima kunjungan sejumlah tamu. Di antaranya, beberapa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan pejabat kejaksaan yang terhimpun dalam Keluarga Besar Pensiunan Adhyaksa (KBPA) -yang dulu bernama Pernaja (Persatuan Purnawirawan Jaksa).

Para pengurus KBPA yang terlihat, antara lain, Basrief Arief (ketua/mantan wakil jaksa agung), Ismudjoko (mantan Plh jaksa agung), Muljohardjo (mantan Ses-JAM Pembinaan), Lukman Bachmid (mantan Ses-JAM Pengawasan), serta Manaf Djubaidi (mantan Karo kepegawaian).

Ismudjoko mengungkapkan, kedatangan pengurus Pernaja adalah untuk memberikan masukan mengenai cara mengembalikan kredibilitas Gedung Bundar pasca penangkapan Urip. "Saya sangat berharap kepada sosok Marwan. Dia sosok ideal sebagai JAM Pidsus," kata Ismudjoko kepada wartawan.

Bagi dia, sosok Marwan tidak asing lagi. Dia mengaku pernah menjadi atasan Marwan semasa bertugas sebagai kepala Kejati Lampung. Marwan saat itu, 1996, menjabat kepala Kejari Liwa, Lampung. "Saya ngetes dia. Kalau mampu menyelesaikan cepat kasus-kasus korupsi, nanti saya usulkan promosi ke Jawa. Dia ternyata mampu. Dia selesaikan 19 perkara selama tujuh bulan," ungkap Ismudjoko.

Janji tersebut terbukti. Marwan pun dinaikkan pangkat sekaligus menjabat kepala Kejari Bandung. (agm/may/eko/tof)

 

* * *

Lampungpost, 29 Maret 2008

Tajuk:DPR 'Pelihara' Kasus BLBI


KASUS bantuan likuiditas Bank Indonesia tetap saja dipakai sebagai sandera, terutama oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, sejak Presiden Habibie telah ada keputusan pemerintah tentang itu. Namun, setiap rezim berganti, DPR selalu saja mempersoalkan kembali, seakan-akan semua keputusan pemerintah sebelumnya tidak ada.Partai-partai yang sekarang mempersoalkan kembali BLBI adalah partai-partai yang menjadi motor penyelesaian pada masa lalu. Ketika Habibie mengambil keputusan, Partai Golkar menjadi tiangnya. Di masa Gus Dur, PKB di belakangnya. Pada era Mega, PDI-P penopangnya.

Tetapi sekarang, partai-partai itu berteriak lantang seolah-olah mereka tidak mengerti dan mengetahui kebijakan pada masa lalu.Dan, DPR sekarang tidak memiliki kemauan mengoreksi disiplin berpikir yang keliru itu. Bahwa sebuah pemerintahan atau negara memiliki kewibawaan dan kepastian kalau kebijakan pemerintahan yang lalu dihargai dan diakui pemerintahan berikutnya. Kebijakan pemerintah di masa lalu harus ada yang final dan mengikat.Adalah destruksi konyol bila setiap pemerintahan yang baru mencaci pemerintahan sebelumnya. Dan bersamaan dengan itu menganulir seluruh kebijakan di masa lalu. Sikap dan pola pikir seperti itulah yang menyebabkan Indonesia berjalan di tempat dalam perlombaan mengejar kemajuan.

Sebab, tidak ada masalah yang selesai.Interpelasi terhadap BLBI oleh DPR sekarang adalah contoh terbaru yang memperlihatkan DPR sekarang pun belum melepaskan diri dari nafsu berpikir lama. Mereka ngotot memaksakan interpelasi. Dalam prosesnya, DPR lebih mementingkan kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR untuk menjawab sendiri interpelasi daripada membaca, mendengar, dan memahami jawaban.Setelah dijawab, DPR menyatakan tidak memuaskan sehingga akan meminta penjelasan lagi. Malah, beberapa anggota Dewan berupaya meningkatkan interpelasi BLBI menjadi angket BLBI.Padahal, bila disimak, jawaban pemerintah terhadap interpelasi sangat jelas.

Bahwa pemerintah menghargai keputusan pemerintah yang lalu. Bahwa ada obligor yang telah melunasi kewajibannya. Dan, ada juga obligor yang tidak kooperatif. Tetapi, DPR ingin mementahkan kembali kasus BLBI ini agar semuanya dimulai dari awal.Jadi, dalam kasus BLBI, terlihat DPR-lah yang tetap mempertahankan kasus itu agar selalu menjadi masalah. Yang menjadi pertanyaan, sampai kapan dan ada apa?Terhadap BLBI, suka tidak suka, harus diterima kebijakan yang telah diambil pemerintahan sebelumnya. Karena kebijakan itu diputuskan bersama dengan DPR pada masa itu. Dan, harus juga diterima kebijakan yang diambil pemerintahan sekarang.

Dengan demikian, negara ini dalam perjalanannya menyelesaikan masalah besar satu demi satu. Alangkah lucu bila DPR justru berkepentingan untuk tidak menyelesaikan masalah-masalah krusial.Sikap Dewan seperti itulah yang kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa kasus BLBI memang sengaja dipelihara terus-menerus karena dari sana partai-partai memperoleh "sumber air" yang tidak pernah kering. Beberapa pengamat menyindir bahwa DPR menjadikan BLBI sebagai ATM.Sebab itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak boleh tunduk pada akal-akalan DPR soal BLBI ini. Masalah BLBI yang tersisa adalah yang menyangkut obligor tidak kooperatif. Yang kooperatif harus dihargai kebijakan yang telah diterima. Pemerintah harus berani menganut politik melupakan masa lalu dan memulai masa depan dari sekarang. Kalau terus menyandera masa lalu, kapan bangsa ini mengurus masa depan?

* * *

Bali Post, 27 Maret 2008

Lagi, Kejaksaan Diterpa Kasus Suap

Citra kejaksaan terus terpuruk. Setelah
dipermalukan jaksa Urip Tri Gunawan, seorang oknum jaksa yang
bertugas di Kejati Riau membuat ulah serupa. Jaksa bernama S. Weruru
itu diduga menerima suap Rp 445 juta dari seorang terdakwa kasus
dugaan korupsi dana bantuan banjir yang merugikan negara Rp 9,3
milyar.

Laporan perbuatan tercela itu telah masuk
Kejaksaan Agung. Bahkan, Jaksa Agung Hendarman Supandji telah
memerintahkan Kajati Riau Zainuddin Nare untuk menanganinya hingga
tuntas. Dia diberikan wewenang penuh untuk mengambil tindakan yang
dianggap perlu bagi anak buahnya tersebut. Demikian dikatakan
Kapuspenkum Kejaksaan Agung BD Nainggolan ketika diminta
konfirmasinya di Jakarta, Rabu (26/3) kemarin.

''Kejati telah membentuk tim untuk melakukan
pemeriksaan. Kalau memang terbukti, kasus pidananya akan dilanjutkan
ke pengadilan. Selain itu, sanksi disiplin juga akan dijatuhkan
sesuai PP Nomor 30 Tahun 1980,'' imbuh Nainggolan. Berdasarkan
laporan yang diterima, lanjutnya, jaksa S. Weruru dituding menerima
suap Rp 445 juta. Uang itu sebagai pelicin dalam kasus korupsi dana
bantuan banjir yang merugikan negara sekitar Rp 9,3 milyar. Terdakwa
dalam kasus tersebut yakni mantan Kepala dan Bendahara Bantuan
Kesejahteraaan Sosial (BKS) Riau Wandarlis dan Ibrahim.

Kasus ini sendiri terungkap dalam persidangan di
PN Pekanbaru. Terdakwa Ibrahim menyebutkan saat kasus ini masih
dalam penyidikan, sempat diminta jaksa Weruru yang saat itu sebagai
penyidik untuk menyerahkan Rp 445 juta. Uang itu untuk mempermulus
masalah, tetapi ternyata kasusnya itu tetap dilanjutkan ke
pengadilan. Uang itu diserahkannya bertahap melalui transfer ke
sebuah rekening di BCA.


Periksa BPPN

Di tempat terpisah, tim penyidik KPK melakukan
pemeriksaan terhadap mantan Kepala BPPN Glenn MS Yusuf. Ia diperiksa
sebagai saksi terkait kasus dugaan suap Rp 6 milyar dengan tersangka
Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani alias Ayin. Pemeriksaan
terhadapnya berlangsung lebih dari lima jam.

Pemeriksaan itu pengembangan dari kasus suap jaksa
Urip. Pemeriksaan terhadap Glenn Yusuf itu, terkait dengannya yang
pernah dimintai keterangan tim jaksa pemeriksa kasus BLBI II. Pada
Desember 2007 lalu, Glenn sempat diperiksa Kejaksaan Agung dalam
kasus BLBI ini. Saat itu Kepala BPPN peroide 1998-2000 tersebut
dimintai keterangan mengenai penyerahan aset para obligor BLBI.

Tetapi sayangnya, Kepala Humas KPK Johan Budi
tidak mau menjelaskan adanya kemungkinan pemeriksaan Glenn itu
terkait kasus suap jaksa Urip ini dengan obligor BLBI Syamsul
Nursalim. ''Saya tidak mau komentar. Tanya langsung kepada yang
bersangkutan,'' ujarnya.

Dalam kesempatan itu, jubir KPK ini juga menampik
kemungkinan dibukanya kembali kasus BLBI. Kata dia, itu kebijakan
kejaksaan. KPK tidak punya wewenang menangani kasus korupsi yang
berlangsung sebelum KPK terbentuk. KPK hanya menangani kasus pidana
dugaan suapnya. ''Kasus BLBI tergantung sepenuhnya pada kebijakan
kejaksaan,'' tandas Johan.



* * *

Tempo Interaktif, , 26 Mar 2008

Presiden Bersedia Jelaskan Kembali Kasus BLBI

:Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersedia menyampaikan penjelasan penyelesaian kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jawaban akan disampaikan dalam rapat paripurna DPR pada 1 April 2008. Juru bicara Kepresidenan, Andi A. Mallarangeng mengatakan, Presiden Yudhyono akan memberikan jawaban sebaik-baiknya. ”Akan terus menjawab sebaik-baiknya,” ujar Andi di kantor Presiden, Rabu (26/3).

DPR pada rapat paripurna Selasa (25/3) lalu meminta Presiden menjelaskan secara konkret skenario penyelesaian BLBI dan KLBI. Rapat meminta Presiden menjawab dalam rapat Paripurna DPR pada 1 April. Jawaban itu akan disikapi Parlemen dengan menerima atau menolak penjelasan pemerintah itu. Parlemen menilai, penjelasan pemerintah soal BLBI dalam rapat paripurna pada 12 Februari lalu belum menggambarkan penyelesaian kasus tersebut.

Andi mengatakan, penjelasan pemerintah dalam rapat paripurna pada 12 Februari sudah cukup jelas. Pemerintah mencantumkan dengan rinci nama-nama pengemplang BLBI yang tidak kooperatif serta kronologisnya. Pada 1 April nanti, kata Andi, penjelasan yang akan disampaikan juga sama rincinya. Jika DPR masih belum puas, kata Andi, ”Nanti akan dijawab lagi.”

Di tempat terpisah, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie memperkirakan sebagian anggota parlemen akan menerima penjelasan pemerintah pada rapat paripurna 1 April. Namun, sikap itu akan disertai catatan yakni penyelesaian kasus BLBI yang harus dilakukan presiden. Menurut Alvin, pemerintah telah menjelaskan obligor yang dianggap kooperatif dan tidak kooperatif dalam penjelasan pada 12 Februari. ”Hanya saja, penyelesaian hukum kasus itu belum optimal,” ujarnya.

Sedangkan anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa Ali Masykur Musa mengatakan, menunggu penjelasan kedua pemerintah. Fraksinya, kata dia, menganggap pemerintah tidak optimal menyelesaikan kasus BLBI dan KLBI. ”Sejauh ini kami tidak menerima,” ujarnya di gedung MPR/D

* * *

Jawapos, 25 Maret 2008,

5 Bawahan Jaksa Suap Diperiksa

Urip Bungkam, KPK Buru Tersangka Baru


JAKARTA - Tiga minggu sudah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyidik kasus suap jaksa yang menangani korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Hingga kemarin, jumlah tersangkanya tak berubah. Mereka adalah Urip Tri Gunawan (jaksa yang disuap Rp 6 miliar) dan Artalyta Suryani (penyuap).

Menurut sumber di lingkungan KPK, upaya penyidikan untuk menetapkan tersangka baru mengalami kesulitan karena Urip tak banyak membuka mulut. "Tak banyak informasi yang bisa kita peroleh dari pengakuan dia (Urip). Karena itu, kita kesulitan menyeret tersangka baru," kata sumber itu kemarin. Meski demikian, lanjutnya, KPK tidak akan putus asa. Berbagai cara akan dilakukan untuk memburu tersangka baru.

Apakah tersangka baru itu termasuk mantan atasan Urip? "Nanti saja. Tunggu perkembangannya," katanya.

Mantan atasan Urip yang dimaksud adalah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Pidsus M. Salim. Keduanya saat ini sudah dicopot dari jabatannya oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Nama, mereka sempat disebut-sebut terlibat dalam penyuapan itu setelah Urip tertangkap saat menerima uang dari Artalyta di rumah Sjamsul Nursalim. Bahkan, sebelum dicopot dari jabatannya, Kemas dan Salim diperiksa KPK. Saat itu statusnya saksi. Sampai sekarang pun, status keduanya masih saksi.

Ketika dikonfirmasi soal kemungkinan adanya keterkaitan kasus Urip dengan Kemas dan Salim, Jaksa Agung Hendarman Supandji membantah.

Dia menegaskan, sejauh ini belum ada kaitan antara Kemas Yahya dan M. Salim dalam kasus Urip. "Tapi, bisa saja berkembang. Kita ikuti saja penyidikan di KPK," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR kemarin.

Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menegaskan, fokus penyidikan kasus suap itu memang masih kepada Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. "Belum mengarah kepada mereka (Kemas dan Salim). Kita lihat nanti dari perkembangan penyidikan," kata Chandra di gedung KPK kemarin.

Dia juga enggan menyebutkan bukti baru yang telah berhasil dikumpulkan penyidik KPK. "Semua bukti akan disampaikan di persidangan," kilahnya.

Informasi yang berkembang, salah satu bukti yang dimiliki KPK adalah rekaman pembicaraan antara istri Sjamsul, Itjih Nursalim, dan Artalyta. Dalam rekaman yang disadap sebelum penangkapan Urip tersebut, istri Sjamsul disebut-sebut meminta Artalyta untuk "menyelesaikan" kasus BLBI Sjamsul di Kejagung.

Ketika didesak tentang kebenaran hal tersebut, Chandra menjawab diplomatis. "Tentu kita (KPK) tidak bisa menyampaikan bukti apa saja yang dipunyai KPK sekarang. Jadi, harap bersabar," kata pria kelahiran Jakarta itu.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menegaskan, fokus penyidikan KPK adalah pada uang USD 660 ribu (sekitar Rp 6 miliar) yang diterima jaksa Urip. Hal itu menanggapi adanya informasi bahwa uang yang diterima Urip pada Minggu (2/3) di sebuah rumah di Jalan Terusan Hang Lekir II WG 9, Simprug, yang lantas diketahui sebagai rumah Sjamsul Nursalim, salah seorang obligor BLBI, tersebut merupakan bagian terakhir dari sejumlah uang yang diterimanya.

"Yang jelas, sidang Urip dan Artalyta akan kami majukan terlebih dahulu. Semua bisa dilihat di sana," terang Chandra.

Di bagian lain, untuk mengerucutkan penyidikan terhadap kasus suap itu, kemarin (24/3) KPK memeriksa lima jaksa anak buah Urip. Sebenarnya, kelima jaksa tersebut sudah dipanggil dua kali. Pada panggilan pertama, pada 19 Maret, mereka tidak datang. Mereka baru hadir kemarin. Kelima jaksa itu adalah Hendro Dewanto, Amran Lakoni, Adi Prabowo, Eko Hening Wardono, dan Yunita Arifin. Kelimanya datang sendiri-sendiri, mulai pukul 09.00. Hingga pukul 19.00 tadi malam, pemeriksaan masih berlangsung.

Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. mengatakan, sebenarnya KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap enam jaksa. Namun, satu jaksa, yakni Yosep Wisnu Sigit, tidak memenuhi panggilan. "Yosep tidak datang tanpa ada konfirmasi," katanya kepada wartawan melalui sambungan telepon.

Ketika dihubungi, Johan tengah berada di Jogjakarta bersama Ketua KPK Antasari Azhar untuk menghadiri sebuah acara. Menurut rencana, hari ini KPK memeriksa lima jaksa lagi.

Jika kelimanya datang hari ini, berarti ada 10 jaksa yang diperiksa. Mereka merupakan anggota tim yang terdiri atas 35 jaksa yang khusus menyelidiki kasus BLBI. Atasan mereka adalah Urip Tri Gunawan.

"Semoga kami mendapatkan informasi baru dari jaksa-jaksa yang diperiksa itu," kata sumber lain di KPK.

Di tempat terpisah, jaksa agung ketika berada di DPR RI kemarin menyatakan sudah membaca surat perintah penangkapan Urip. "UTG (Urip Tri Gunawan) ditangkap atas dasar empat pasal. Pasal 5 yaitu masalah pungli, pasal 11 terkait suap, pasal 12 b yakni memeras, yang keempat soal gratifikasi," katanya.

Jaksa Urip, menurut dia, akan dituntut secara alternatif, apakah secara primer, subsider, dan lebih subsider. Semuanya menunggu penyelidikan dari KPK. "Apakah dia melakukan pungli atau memeras. Bergantung pembuktian nanti di pengadilan. Jaksa dagang berlian, apa pun alasannya tetap salah," ujarnya.(fal/rdl/kum)

* * *

Tempo Interaktif, 24 Maret 2008

KPK Perlu Ambil Alih Kasus BLBI


Terkait buruknya kinerja kejaksaan dalam kasus korupsi, Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menegaskan, KPK perlu mengambil-alih kasus BLBI.

Direktur PUKAT, Denny Indrayana, menyampaikan hal itu dalam diskusi di kantor PUKAT, Senin (24/3). Menurut Denny, KPK jelas punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas semua kasus korupsi, termasuk kasus korupsi sebelum KPK terbentuk. Dasarnya, lanjut Denny, sesuai dengan pasal 68 Undang-undang KPK. "Jadi, tidak ada dalih lagi bahwa KPK tidak punya wewenang menangani kasus korupsi sebelum KPK terbentuk, termasuk kasus BLBI," tegas Denny.

Lebih lanjut Denny mengatakan, tertangkap-basahnya jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap dalam kasus BLBI, harus dijadikan momentum untuk membersihkan jajaran Kejaksaan Agung dari mafia peradilan. Semua jaksa yang terlibat dalam penyidikan kasus BLBI harus diperiksa, termasuk Jampidsus dan jajaran direkturnya. "Pemeriksaan tidak hanya meliputi aspek pelanggaran disiplin PNS, tapi juga dugaan tindak pidana suap atau korupsi. Sanksi yang diterapkan juga tidak hanya mengacu pada ketentuan disiplin PNS saja, tapi harus masuk pada wilayah hukum pidana," tegasnya.

Memang, Jaksa Agung memang sudah memberhentikan Kamal Yahya dan Mohammad Salim. Namun menurut Denny, hal itu dinilai belum cukup. "Jaksa UTG (Urip Tri Gunawan, red), bisa jadi hanya aktor lapangan yang dikendalikan aktor intelektual, yang hingga saat ini belum terekspos," katanya.

Lebih lanjut kata Denny, pemberhentian dua pejabat teras Kejaksaan Agung terkait tertangkapnya jaksa UTG tidak berarti bahwa jajaran Gedung Bundar telah steril dari mafia peradilan. Karena itu, seluruh jaksa yang terlibat dalam penyidikan kasus BLBI yang jumlahnya 35 orang itu harus diperiksa.

Pemerintah, lanjut Denny, juga dituntut agar lebih serius menangani kasus-kasus BLBI. Karena itu PUKAT mengusulkan, sebagai langkah awal pemerintahan SBY harus berani mencabut Inpres No 8/2002 tentang release and discharge, yang memberi jaminan bahwa, obligor tidak akan dipidanakan. “Pencabutan Inpres No 8/2002 ini akan menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk memeriksa semua pengemplang utang BLBI yang dinilai tidak kooperatif,” kata Denny

Namun, dia meragukan keberanian pemerintahan SBY untuk membatalkan Inpres No 8/2002, yang dikeluarkan di masa pemerintahan Megawati. "Saya nggak yakin SBY berani membatalkan Inpres itu karena SBY sendiri termasuk orang yang mendorong keluarnya Inpres No 8/2002 tersebut, saat dia masih menjadi salah satu menteri kabinet Megawati," katanya.

Untuk mendorong pemerintah berani membatalkan Inpres No 8/2002, Denny menyarankan agar DPR menggunakan hak angket dalam kasus BLBI ini. "DPR harus serius juga memanfaatkan hak angket ini dalam kerangka pemberantasan korupsi. DPR harus konsisten dan tak kenal kompromi, jangan sampai di tengah jalan 'masuk angin' akibat terpaan angina kencang dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk gagalnya pengusutan kasus BLBI ini," tandas Denny.

* * *

Suara Merdeka , 24 Maret 2008-03-24

Jaksa Agung: Urip Dikenai Pasal Berlapis


Jakarta, CyberNews. Jaksa Agung, Hendarman Supandji, mengatakan bahwa jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dapat dikenai pasal berlapis, yakni pasal mengenai suap, pemerasan dan gratifikasi.
"Pada UU Nomor 31 tahun 1999 tentang korupsi, jaksa Urip terkena pasal 5 soal pungli, pasal 11 mengenai suap, pasal 12b soal pemerasan dan 12B soal gratifikasi," katanya, di Jakarta, Senin.


Berbicara pada rapat kerja jajaran Kementerian Polhukam dengan Komisi I DPR, ia mengatakan, Urip dikenakan pasal secara alternatif primer, subsider dan lebih subsider.
"Namun, semua itu apakah yang dilakukan Urip termasuk pungli, suap, atau pemerasan, tergantung pembuktian di Pengadilan Tipikor," kata Hendarman.


Jaksa Agung menambahkan, "Sampai hari ini, pemeriksaan KPK masih belum berkembang apakah UTG (jaksa Urip) berbuat sendiri atau diperintah. Namun dari hasil pemeriksaan pengawasan memang Urip berbuat sendiri. Tapi, kan tidak menutup kemungkinan dia mengatakan dia disuruh waktu persidangan nanti."
Pada kesempatan itu, Hendarman mengemukakan saat ini lima jaksa tengah diperiksa KPK. "Besok empat jaksa lagi yang akan diperiksa," ujarnya.


Hendarman menegaskan, pihaknya mempersilakan KPK untuk memeriksa pihak-pihak di kejaksaaan yang ditengarai terlibat dalam kasus Jaksa Urip.
"Silakan saja, saya tidak melarang. Kalau kemaren ada yang tidak datang karena surat pemanggilannya terlambat diterima," ucapnya menambahkan.
(ANT /CN09)


* * *

Antara, 24 Maret 2008

KPK, Polri dan Kejakgung Akan Gelar Perkara BLBI

Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan Kejaksaan Agung akan mengadakan gelar perkara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk membuka kembali kasus itu.

"Gelar perkara akan dilakukan Kamis (27/3)," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, di sela-sela rapat kerja jajaran Kementerian Polhukam dengan Komisi I DPR, di Jakarta, Senin.

Gelar perkara yang akan dilaksanakan di Kantor KPK itu akan membahas pula kasus-kasus korupsi lainnya termasuk kasus yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang Rp6 miliar.

Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dua kasus BLBI, yaitu kasus BLBI yang melibatkan obligor Bank Central Asia (BCA) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Penyelidikan kedua kasus itu dilakukan oleh tim khusus yang terdiri atas 35 orang jaksa dari seluruh Indonesia.

Kejaksaan Agung tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam kedua kasus tersebut.

Jaksa Urip sebelumnya menjabat Ketua Tim Penyelidik kasus BLBI dengan obligor BDNI, sebuah bank milik Sjamsul Nursalim.(*)

 


* * *

Koran Tempo, 24 Maret 2008

Glenn Yusuf Akan Diperiksa KPK Rabu


JAKARTA -- Komisi Pemberantas Korupsi akan memeriksa mantan Kepala Badan Perencanaan Perbankan Nasional Glenn Mohammad Yusuf. Pemeriksaan ini terkait penyidikan dugaan suap ketua tim jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Urip Tri Gunawan.


"Menurut rencana ia akan diperiksa Rabu ini," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., ketika dihubungi kemarin. Menurut Johan, Glenn akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Urip Tri Gunawan.
Sebelumnya, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Glenn pada Rabu lalu, namun Glenn tidak hadir dan telah membuat jadwal baru.
Dihubungi terpisah, Glenn Yusuf memastikan akan hadir pada Rabu mendatang, namun dia menolak berkomentar soal pemanggilan KPK atas dirinya. "Wah, nanti saja di sana," katanya ketika dihubungi Tempo kemarin. "Saya baru tahu hari Rabu nanti."


KPK tengah menyidik kasus dugaan suap Jaksa Urip dari pengusaha Artalyta Suryani sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Urip tertangkap tangan sesaat setelah menerima uang di sebuah rumah di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Diduga, uang itu diberikan terkait penghentian penyidikan kasus BLBI yang melibatkan obligor Sjamsul Nursalim. Sebab, dua hari sebelum Urip ditangkap, Kejaksaan Agung mengumumkan menghentikan penyidikan kasus BLBI II yang melibatkan Sjamsul.
Tuduhan tersebut sempat dibantah Urip. Dia mengaku uang itu merupakan hasil transaksi bisnis permata yang dirintisnya dengan Artalyta.


Desember lalu, Glenn diperiksa oleh Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI. Ketika itu ia dimintai keterangan mengenai penyitaan aset para obligor BLBI.
Glenn Yusuf menjabat Kepala BPPN pada 1998-2000. Kala menjabat sebagai Kepala BPPN, ia menangani kasus cessie Bank Bali. PURBORINI


 

* * *

Tempo, 23 Maret 2008

Adnan Buyung Akan Kirim Nota Keberatan

Perlakuan itu dinilai bisa mencederai hubungan baik kedua negara.

JAKARTA -- Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution
menegaskan akan mengirimkan nota keberatan terhadap pemerintah
Singapura. Pengacara senior ini menyerahkan kepada Ketua Dewan
Pertimbangan Presiden Ali Alatas untuk membuat nota protes itu dan
dikirimkan pada Senin depan.

"Nota itu untuk menjelaskan betapa mereka tidak profesional, tidak
elegan, dan tidak minta maaf secara resmi," ujar Adnan Buyung
setibanya dari Singapura di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten,
kemarin.

Adnan Buyung dan bekas Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh-akrab disapa
Arman-diinterogasi petugas imigrasi di Bandara Changi, Singapura, pada
Kamis malam lalu. Mereka diinterogasi hampir 2,5 jam dan ditanyai
maksud dan tujuan datang ke Singapura.

Menurut Adnan Buyung, perlakuan pihak imigrasi Singapura tidak sopan.
"Tidak jelas alasannya. Itu yang membuat saya sesak," ujarnya.

Dia mengaku bisa memaklumi pemeriksaan oleh pihak imigrasi. Hanya
saja, katanya, "Kalau orang yang belum pernah ke Singapura dan belum
ada record-nya, wajar. Dalam record mereka lengkap, siapa saya dan
siapa Pak Arman."

Adnan Buyung menjelaskan dia ke Singapura hanya menemani Arman untuk
memeriksakan mata di salah satu dokter di Singapura. "Saya sudah
beberapa kali periksa di Singapura," ujar Arman.

Mereka menegaskan keberangkatan ke Singapura tak ada kaitannya dengan
kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang melibatkan pengusaha
Sjamsul Nursalim. "Masak, saya bawa-bawa Arman," kata Adnan. Sedang
Arman mengatakan, "Yang benar saja. Kalau ngurus perkara kenapa
sekarang? Kenapa tidak waktu dulu saja waktu jadi Jaksa Agung?"

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono menilai perlakuan imigrasi
Singapura itu menunjukkan arogansi yang bisa mencederai hubungan baik
kedua negara. Dia meminta pemerintah Indonesia mengirimkan protes
keras. "Adnan Buyung bukan hanya pengacara atau ahli hukum. Beliau
pejabat resmi Indonesia," ujarnya di Denpasar kemarin. "Kami pun bisa
memperlakukan seperti itu sebagai tindakan balasan."

Sementara itu, Kedutaan Besar RI di Singapura hingga kemarin belum
memperoleh klarifikasi dari pemerintah Singapura perihal insiden
interogasi itu. Sebab, kata Duta Besar Indonesia untuk Singapura
Wardana, Singapura sedang libur. Kedutaan Besar RI baru mengambil
sikap setelah menerima penjelasan resmi dari pemerintah Singapura.
"Kami menunggu dulu," ujarnya saat dihubungi.

Adapun pihak Departemen Luar Negeri Singapura menyatakan interogasi
menjadi standar peningkatan keamanan imigrasi di Singapura. Departemen
Luar Negeri Singapura, seperti dikutip Channel News Asia, menjelaskan
metode itu digunakan beberapa tahun dan terhadap semua pengunjung.
"Interogasi itu bukan untuk menimbulkan penghinaan."

Mereka mengaku petugas imigrasi tak mengetahui identitas Adnan karena
ia tak memakai paspor dinas atau diplomatik. Petugas yang memeriksa
Adnan saat itu juga telah meminta maaf. SUKMA | SUTARTO | ROFIQI H |
TITIS S | DESY P

 

* * *

http://www.rusdimathari.wordpress.com 23 Maret 2008

Setelah Buyung dan Rahman tertahan
di Singapura

Oleh Rusdi Mathari

Kalau Adnan Buyung Nasution dan Abdul Rahman Saleh ditahan akibat
adanya pengambilan sampel secara acak atas warga asing yang datang
untuk diperiksa khusus, pihak Singapura tentu akan tahu siapa Buyung
dan Arman. Buyung mengatakan, jika ada orang yang mengaitkan
kepergiannya ke Singapura dengan Sjamsul Nursalim, pasti adalah orang
yang berprasangka buruk kepadanya.

SINGAPURA kembali menyita perhatian sebagian publik Indonesia. Ini
lantaran pihak imigrasi negara itu disebut-sebut "menahan" dua orang
ternama dari Indonesia: Abdul Rahman Saleh dan Adnan Buyung Nasution
selama 2,5 jam di Bandara Changi, Kamis silam. Petugas imigrasi di
Changi antara lain menanyakan kepada mereka, untuk tujuan apa datang
ke Singapura, menginap di mana, siapa referensi mereka di negara itu,
berapa nomor teleponnya, dan sebagainya. Meskipun keduanya akhirnya
dilepas setelah ada campur tangan mantan Menteri Luar Negeri RI, Ali
Alatas yang menelepon staf di Kedutaaan Besar RI di Singapura,
"pemeriksaan" itu disebut menjengkelkan oleh Arman (panggilan Abdul
Rahman Saleh).

Arman dan Buyung adalah dua orang yang kebetulan "punya nama" di
Indonesia dan pastilah juga di luar negeri (Singapura). Selain pernah
dikenal sebagai aktivis LBH di zaman Soeharto, keduanya kemudian
dikenal sebagai "orang" pemerintah. Arman pernah menjabat sebagai
Jaksa Agung sementara Buyung adalah anggota Dewan Pertimbangan
Presiden, selain dikenal sebagai pengacara tentu saja. Buyung antara
lain (pernah) menjadi pengacara Sjamsul Nursalim (Gajah Tunggal),
konglomerat penerima BLBI.

Beberapa hari sebelum Buyung dan Arman ke Singapura, nama Sjamsul,
kembali menjadi sorotan sehubungan dengan kasus dugaan suap terhadap
jaksa penyidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan yang dilakukan Artalyta
Suryani, perempuan yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan
Sjamsul. Pengusaha yang pernah memiliki Bank Dagang Nasional Indonesia
itu, diketahui tinggal di Singapura.. Menurut Buyung, mereka datang ke
Singapura pada Kamis itu, untuk memeriksa mata Rahman yang mulai rabun
dan karena itu Buyung menolak, kedatangannya bersama Arman ke
Singapura, dihubungkan sebagai keperluan untuk menemui Sjamsul.

Buyung tentu berkepentingan memberikan klarifikasi soal kedatangannya
ke Singapura dan kaitannya dengan Sjamsul, meskipun persoalannya
mungkin tidak sesederhana itu. "Pemeriksaan" oleh pihak imigrasi
Singapura terhadap Buyung dan Arman selama 2,5 jam adalah prosedur
yang tak lazim apalagi terhadap sosok yang "punya nama" seperti Buyung
dan Arman. Meminjam komentar Yusron Ihza Mahendra, kalau hanya karena
mereka ditahan akibat adanya pengambilan sampel secara acak atas warga
asing yang datang untuk diperiksa khusus, pihak Singapura tentu akan
tahu siapa Buyung dan Arman. Lalu mengapa pihak imigrasi melakukannya
terhadap Buyung dan Arman? Singapura belum memberikan penjelasan.
Di dalam negeri, peristiwa itu menjadi pembicaraan beberapa kalangan.


Dari Senayan, Gayus Lumbuun dari Fraksi PDI-P bersuara, sikap
Singapura itu benar-benar semakin menunjukkan arogansi karena
melecehkan orang-orang Indonesia. Apa pun alasannya. Dia juga
menyarankan agar Jakarta tidak hanya mengirim nota protes melainkan
juga bertindak tegas (lihat "Singapura Perlu Diberi Terapi Kejut,"
kompas.com, Minggu 23 Maret 2008). Di zaman Megawati, Sjamsul
termasuk konglomerat penerima BLBI yang mendapat release and discharge
(lunas) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang kala itu
diketuai Safrudin Tumenggung. Pemberian surat lunas itu berdasarkan
InpresNo 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada
Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum
kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang diteken Presiden Megawati
pada 30 Desember 2002.


Singapura adalah negara kecil yang mapan secara ekonomi dibandingkan
seluruh negara tetangga di kawasan regional Asia Tenggara dengan
Produk Domestik Bruto per kapita yang masuk lima besar di dunia. Luas
negaranya tak lebih besar dari Pulau Bangka dan mayoritas etnisnya
adalah Cina (77 persen). Melepaskan diri dari Malaysia sejak 9 Agustus
1965, Singapura merupakan sekutu penting Amerika Serikat dan Inggris
di kawasan. Terbatasnya sumber daya alam negara itu, kemajuan
ekonominya karena itu terutama ditopang ekspor meskipun sesungguhnya
yang lebih tepat disebut sebagai perantara ekspor untuk tidak
mengatakan sebagai negara calo.

Produk-produk ekspor Singapura kebanyakan tidak dibuat di negara itu,
melainkan di negara tetangga, termasuk Indonesia. Produk elektronik
dan teknologi Singapura misalnya, kebanyakan diproduksi di Pulau
Batam. Singapura bahkan bisa menempatkan sektor migas sebagai produk
ekspor nomor tiga di negaranya. Untuk ekspor timah Singapura bahkan
mencapai rata-rata 150 metrik ton per tahun. Timah-timah itu sebagian
besar merupakan hasil selundupan dari kepulauan Bangka dan Belitung.
Untuk memperluas wilayah daratannya, Singapura juga "mendatangkan"
pasir-pasir dari Indonesia yang dikeduk dari pulau-pulau kecil di
Kepulauan Riau.

Selama 30 tahun, dengan berbagai alasan negara itu tak bersedia
meneken perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Pada saat Indonesia
mengalami kesulitan ekonomi akibat anjloknya nilai rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat pada 1997-1998, sebagian besar dari konglomerat
Indonesia yang besar dan dimodali oleh uang negara, melarikan diri dan
tinggal di Singapura bersama kekayaan mereka. Tak adanya perjanjian
ekstradisi telah memungkinkan para konglomerat itu untuk berlindung di
Singapura.

Jones Lang LaSalle adalah perusahaan broker dan riset properti global
yang memiliki kantor antara lain di Singapura dan Hong Kong. Mei tahun
lalu, broker itu memublikasikan hasil risetnya tentang tingkat jual
apartemen di Singapura selama tahun 2006. Hasilnya sebanyak 1.000 unit
apartemen atau kondominium dibeli oleh superkaya asal Indonesia.
Dengan tingkat pembelian yang mencapai 1.000 unit pada tahun 2006,
maka sekitar 21 persen dari seluruh unit apartemen mewah di Singapura
pada tahun itu telah dimiliki oleh para superkaya dari Indonesia.

Jumlah itu melebihi jumlah pembeli dari negara mana pun yang juga
membeli apartemen mewah di Singapura. Data statistik dari Jones Lang
LaSalle menunjukkan, dalam waktu 10 tahun terakhir (sejak krismon
1997), pembeli asal Indonesia sudah mendominasi 30 persen pembelian
seluruh kondominium mewah di Singapura, mengalahkan jumlah pembeli
asal Malaysia, India, Cina, beberapa negara Eropa dan Singapura
sendiri. Sjamsul, Agus Anwar, Benny Sutrisno dan beberapa konglomerat
Indonesia yang lain yang "bermasalah", mudah diduga adalah penghuni
kondominium mewah itu.

Pada 27 April 2007, perjanjian ekstradisi Singapura-Indonesia diteken
di Istana Tapak Siring, Bali. Perjanjian ekstradisi itu mencakup 31
jenis kejahatan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 1 tahun 1979
tentang Ekstradisi. Bentuk kejahatan yang dapat diekstradisikan
meliputi pembunuhan, perkosaan, korupsi, pencucian uang, pembajakan
pesawat, penanganan teroris, suap dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan korupsi. Aturan tersebut berlaku surut 15 tahun dan tersangka
belum berpindah kewarganegaraan. Menurut Presiden SBY, perjanjian
ekstradisi itu sebagai langkah penegakan hukum bagi kedua negara.
Beberapa kalangan di dalam negeri menyebut kesepakatan itu
menguntungkan Singapura karena disertai perjanjian pertahanan termasuk
penggunaan wilayah Indonesia untuk latihan perang tentara Singapura.

Hampir setahun setelah perjanjian itu diteken tapi tak seorang pun
dari konglomerat yang diduga merugikan keuangan negara lewat BLBI dan
kasus korupsi lain yang bermukim di Singapura berhasil dipulangkan ke
Indonesia. Ada banyak alasan tentu saja. Antara lain, misalnya,
keputusan Arman ketika menjabat Jaksa Agung (2003), yang menerbitkan
SP3 alias kasus BLBI Sjamsul. Pada masa Hendarman Supandji, Kejaksaan
Agung memutuskan untuk menutup kasus BLBI Anthony Salim dan Sjamsul
karena tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum pada 29 Februari
2008. Dua hari kemudian, KPK menangkap jaksa Urip yang diduga menerima
suap US$ 660 ribu dari Artalyta, perempuan yang disebut-sebut memiliki
banyak kenalan petinggi negara, termasuk SBY dan Kapolri Jenderal
Sutanto (Lihat "Cerita tentang Si Ratu Lobi," majalah Tempo, Edisi
04/XXXVII/17 - 23 Maret 2008).

Buyung dan Arman sudah tiba kembali di Indonesia, Sabtu kemarin.
Buyung mengatakan, jika ada orang yang mengaitkan kepergiannya ke
Singapura dengan Sjamsul Nursalim, pasti adalah orang yang
berprasangka buruk kepadanya. "Orang yang bertanya begitu, pasti buruk
sangka. Jangan-jangan pertanyaan seperti itu keluar dari hati yang
tidak bersih. Orang yang kenal karakter dan watak Abang, pasti tidak
akan bertanya seperti itu," kata Buyung setelah tiba kembali di
Jakarta (Lihat "Buyung Bantah Temui Sjamsul," kompas.com, Sabtu 22
Maret 2008)

* *