Buntut kasus BLBI yang panjang
Hendarman: Saya Tidak Akan Mundur
Kompas, 16 Juni 2008
JAKARTA, SENIN - Jaksa Agung Hendarman Supandji menolak mengundurkan diri.
Hendarman mengaku tidak terlibat dalam kasus suap antara jaksa (non-aktif)
Urip Tri Gunawan dengan Artalyta Suryani sebesar 660.000 dollar AS. Justru
Hendarman berjanji akan melakukan pembersihan di internal Kejaksaan Agung
sesuai instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Ya tidak ada mundur. Ini kan ada masalah, saya kan belum kelihatan ada
di dalam masalah itu. Kalau saya memang masuk dalam masalah, mundur tak ada
masalah bagi saya," tegas Hendarman di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin
(16/6).
Hendarman mengaku, pantang bagi dirinya untuk lari dari tanggung jawab. "Untuk
menyelesaian masalah itu, filsafat saya kan telah saya katakan, tidak ada
tinggal gelanggang colong playu (lari dari tanggung jawab)," ujarnya.
Menurut Hendarman, pengunduran diri bukanlah langkah tepat dalam menyelesaikan
masalah ini. Justru dengan tetap aktif memimpin Kejaksaan Agung, dirinya dapat
melaksanakan berbagai tindakan hukum pada anak buahnya yang diduga terlibat
konspirasi suap antara Urip dengan Artalyta.
"Kalau saya ada di luar masalah, saya kan mesti selesaikan masalah. Masak
saya harus mundur. Kalau saya ada dalam masalah, terlibat dalam masalah itu,
yang mundur saja saya," tegasnya.
Hendarman juga tidak mau dinilai gagal dalam membersihkan internal Kejaksaan
pasca Urip tertangkap KPK. "Jadi jelas permasalahannya di situ, kalau
saya gagal, lah saya masih melaksanakan. Gagal itu bukan di sini, tapi nanti
di dalam proses nya. Kalau saya tidak bisa menindak lalu tindakan saya lemah,
silahkan dinilai," tegas Hendarman.
Hendarman berjanji akan melakukan pembenahan dan pembersihan secara menyeluruh
di Kejaksaan Agung sesuai instruksi Presiden. Saat ini, program pembaruan
Kejaksaan sudah ia sosialisasikan ke hampir 20 ribu jaksa dan pegawai Kejaksaan
se-Indonesia.
Namun dalam perjalanan ke arah pembaruan muncul masalah Urip. Bagi Hendarman,
hal tersebut akan diselesaikan dengan sistem pembaruan yang telah berlaku
di Kejaksaan. "Ada suatu sistem mengenai masalah pengawasan yang sedang
kami sepakati. Dan itu juga sudah sesuai dengan tim pembaruan dari eksternal.
Jadi internal dan eksternal sedang bicara soal sistem pengawasan kami. Sistem
pengawasan baru ini yang akan kami jalankan," lanjutnya.
Atas terungkapnya rekaman percakapan antara Artalyta dengan Jamdatun Untung
Udji dan Jampidsus (ketika itu) Kemas Yahya Rahman, Hendarman mengatakan sudah
mengeluarkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan. Oleh karena itu,
ia meminta agar masyarakat bersabar.
"Sekarang sedang proses. Sabar saja, apa hasilnya tentu kalau ada tindakan
akan kami sampaikan.Kkalau masih kurang percaya nanti Komisi Kejaksaan juga
akan lakukan," lanjut Hendarman.
Kecewa
Ketika ditanya apakah Hendarman merasa kecewa dengan kasus ini, Jaksa Agung
menjawab, "Kalau kecewa ya kecewa. Sejak kasus Urip itu saya kecewa.
Sekarang kan berkembang ini ada sampingan-sampingannya. Peristiwa Urip dan
Artalyta adalah peristiwa yang sedang disidik oleh KPK. Peristiwa itu saya
juga kecewa berat. Setelah itu berkembang lagi ada peristiwa pembicaraan."
Kendati demikian, Hendarman mengatakan bahwa sampai hari ini belum terlihat
hubungan antara telepon antara Jamdatun-Artalyta dengan suap Urip. Apakah
juga terjadi pelanggaran kode etik atau tidak, menurut Hendarman juga belum
terlihat. "Ini baru kami rumuskan," tegasnya.
Tim pemeriksa nantinya akan melakukan penilaian. Dimana kesalahan para Jaksa
Agung Muda yang diduga terlibat dengan percakapan Artalyta tersebut. "Nanti
dilihat. Kan ada hukuman ringan, sedang, berat atau masuk kategori yang mana.
Kalau saya langsung pecat, saya salah sistem yang salah, kalau memotong sistem
yang ada," tegasnya. (Persda Network/Yuli S)
* * *
Membersihkan Jaksa "Party-line"
Kompas, , 17 Juni 2008
Bayu Wicaksono
Hampir empat tahun lalu, pada tayangan "Debat Calon Presiden" (14/6/2004), TransTV menghadirkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dengan salah satu panelisnya Todung Mulya Lubis.
Pengacara senior itu mengajukan pertanyaan kepada kedua pasangan tentang release and discharge. Dengan kesempatan sama (satu menit 30 detik), saat itu kedua candidate menjawab pertanyaan itu dengan komitmen untuk mengusut kembali para "pengemplang" uang negara itu.
Kedua pasangan candidate itu berjanji akan memperbaiki kinerja lembaga kejaksaan. Bahkan, kedua pasangan menyiratkan tawaran posisi Jaksa Agung kepada panelis. Tawaran di depan publik, entah serius atau tidak, mengandung pertanyaan. Apakah ini tawaran resmi untuk menarik massa, strategi kampanye, atau sekadar mengelak dari pertanyaan.
Ungkapan tersebut memberi tawaran suatu jabatan sejajar menteri. Dan masyarakat akan menilai layak tidaknya figur ini menduduki posisi itu? (Kompas, 22/6/2004)
Terungkapnya rekaman keakraban Artalyta Suryani dengan pejabat tinggi Kejaksaan Agung sungguh memalukan dan menjadi bukti praktik "perdagangan" perkara di Kejagung sudah berlangsung lama (Kompas, 12/2006).
Kode etik profesi
Para pelaku praktik korupsi dan kolusi ini sering berlindung di balik otoritas independensi lembaganya. Sinyalemen praktik kotor di lembaga ini, seiring matinya (dimatikan?) lembaga eksaminasi, suatu kajian yang dikenal dalam lingkup peradilan dan dimulai sejak 1967 dengan tujuan menguji keputusan.
Lembaga kejaksaan memiliki norma kode etik profesi jaksa. Pada kasus party-line antara Artalya Suryani dan para pejabat tinggi di Kejaksaan Agung ini bisa dianggap menyalahi butir (4) yang menyatakan bahwa jaksa harus "Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata, dan bertingkah laku".
Berdasar kode etik itu, tak ada alasan untuk tidak memberhentikan para jaksa yang melakukan pelanggaran etika. Hal ini juga tertuang dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 13, yang menyatakan, jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan: (a) dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (b) terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya; (c) melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; (d) melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau (e) melakukan perbuatan tercela.
Pemberhentian ini lebih karena rasa keadilan masyarakat terusik oleh mudahnya jaksa mengatur perkara. Jika kembali pada komitmen pemerintahan SBY-JK dalam berkampanye, pemberhentian itu mudah dilakukan dengan memberi mandat khusus kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Inilah nilai positif Ketentuan Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan, Jaksa Agung yang diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Artinya, Jaksa Agung harus "loyal" kepada Presiden dan wajib melaksanakan kewajiban yang digariskan Presiden. Hal ini sama dengan ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang dianut AS. Dengan demikian, keberhasilan atas kinerja kejaksaan adalah cermin pemerintahan berkuasa.
Dukungan parpol
Meski demikian, ada sisi negatifnya karena pemimpin negara di Indonesia masih mengutamakan dukungan partai politik, yang dapat menimbulkan dua masalah. Daniel J Meador dalam The Presiden, The Attorney General and The Departemen of Justice menyebutnya sebagai dual oligation.
Karena itu, demi cermin pemerintahan yang bersih sekaligus menagih janji kampanye lalu, tindakan tegas harus diberlakukan kepada jaksa yang tidak profesional, melanggar kode etik dan peraturan. Pemerintah harus memberi mandat khusus kepada Jaksa Agung.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi patut diacungi jempol karena media boleh mengikuti persidangan kasus ini. Apalagi, keterbukaan yang menjadi roh demokrasi jarang dilakukan lembaga lain di Indonesia.
Bayu Wicaksono Dewan Pengawas LBH Pers
* * *
Ironi "Mafia" dalam Kejaksaan Agung
Kompas, , 17 Juni 2008
Laode Ida
Buntut tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kasus BLBI kian menyingkap kebobrokan lingkungan kejaksaan.
Kelakuan dan moralitas bobrok pejabat yang selama ini justru menjadi penegak hukum mulai terungkap. Para penentu tertinggi di jajaran kejaksaan, secara vulgar "menukar kebenaran dengan uang/materi", membela dan membebaskan yang membayar dari jeratan hukum.
Amat mungkin skandal ini merupakan bagian "gunung es" di kejaksaan dan praktik peradilan di Indonesia. Soalnya, "bau tak sedap" itu sudah lama tercium masyarakat, hanya saja terlalu sulit untuk mengungkap dan membuktikan. Namun, hari-hari ini, dengan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan di KPK, hal itu pasti sulit terbantah.
Ironis dan memprihatinkan
Kenyataan itu amat ironis dan memprihatinkan. Mengapa?
Pertama, jajaran kejaksaan diharapkan menjadi ujung tombak reformasi, utamanya terkait pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lain. Ia menjadi instrumen pemerintah. Jadi, ketika para pejabat di Jakarta terbukti menjadi jaringan mafia peradilan, jangan pernah membayangkan jajaran operasional di daerah akan bersih. Bahkan, jika daerah dijadikan bagian lahan garapan atau eksploitasi, pejabat di Kejaksaan Agung menempatkan para kepala kejaksaan sebagai kepanjangan tangannya.
Kedua, sebagai lembaga negara (instrumen pemerintah dalam kapasitas sebagai penuntut umum), Kejaksaan Agung memiliki nilai "tinggi dan mulia". Maka, para pejabat Kejaksaan Agung seharusnya tidak saja terdiri dari orang yang memiliki kapasitas dan latar belakang sebagai "ahli di bidang hukum", tetapi memiliki fondasi moralitas yang agung. Soalnya, mereka menentukan nasib tegaknya kebenaran/kesalahan, baik dan buruk yang terukur. Namun, dengan kasus ini, Kejaksaan Agung mencoreng muka sendiri. Para pejabat Kejaksaan Agung tak mampu menjaga martabat lembaganya sendiri.
Ketiga, di era SBY-JK, Kejaksaan Agung dipimpin dua figur yang masing-masing dicitrakan sebagai "bersih' (Mr Clean). Mereka adalah Abdurrahman Saleh pada paruh pertama, lalu digantikan Hendarman Supanjdi. Figur terakhir yang sebelumnya menjadi Jampidsus dan Ketua Timtas Tipikor ini dicitrakan sebagai berani dan tegas (brave and tough). Dengan latar belakang dan pencitraan itu, masyarakat berharap, sebagai insider, ia dapat melakukan pembaruan dari dalam, terimplementasi dalam agenda reformasi untuk pemberantasan korupsi.
Apa yang harus dilakukan?
Namun, pencitraan itu rupanya sulit dipertahankan sebab kasus Urip Tri Gunawan-Artalyta Suryani yang melibatkan sejumlah pejabat teras kejaksaan agung itu membuktikan, oknum-oknum pejabat yang menjadi mafia perkara terus mendapat tempat strategis pada era kepemimpinannya. Kemungkinan besar para pejabat itu memanfaatkan dan membungkus diri dalam pencitraan "bersih dan tegas" Jaksa Agung. Jika ini terjadi, perilaku bobrok dalam jajaran kejaksaan merupakan kelemahan mendasar kepemimpinan Supandji. Atau, kemungkinan lain, para pejabat jaringan mafia itu sudah "tahu sama tahu" dengan Jaksa Agung.
Dengan kondisi internal Kejaksaan Agung seperti itu, lalu apa yang harus dilakukan? Sulit mencari sulosinya. Mengapa?
Pertama, tampaknya aparat kejaksaan telanjur terjebak orientasi materi. Situasi ini dimanfaatkan pihak luar yang berurusan dengan mereka, utamanya yang banyak uang, dengan prinsip saling menguntungkan (reprocical). Atau, oknum pejabat yang berwenang menjadikan perkaranya orang-orang berduit sebagai proyek basah.
Kedua, para pengacara dan atau perantara yang memiliki hubungan personal dengan "orang dalam" kejaksaan berperan besar dalam proses terpeliharanya budaya korup dan orientasi materi itu. Bukan rahasia lagi jika proses hukum lebih banyak ditentukan di luar ruang sidang (pengadilan), di mana para pengacara atau perantara menegosiasikan kepentingan dua pihak atau lebih yang terkait masalah. Melalui proses di luar pengadilan itulah terjadi transaksi, bayar-membayar perkara, sekaligus mengarahkan keputusan resmi dari kejaksaan.
Ketiga, perekrutan jaksa (termasuk Jaksa Agung) memastikan aparat dari dalam (jaksa karier) yang menjadi pesertanya. Padahal, umumnya mereka sudah jauh terkontaminasi oleh kebiasaan dan orientasi materi dengan jaringan (mafia) luar (pengacara/perantara) yang sudah mapan. Dengan sendirinya, pasti akan sulit menemukan jaksa, termasuk Jaksa Agung, yang benar-benar memiliki integritas seperti diharapkan pada era reformasi ini.
Revolusi
Berbagai kesulitan itu membuat banyak orang bersikap skeptis terhadap upaya menciptakan pemberantasan korupsi atau penegakan hukum secara berkeadilan di negeri ini. Padahal, program reformasi birokrasi sudah dan sedang berlangsung, termasuk di lingkungan kejaksaan sendiri. Namun, rupanya pengaruh semua itu tak signifikan sehingga mungkin yang diperlukan bukan sekadar "reformasi", melainkan "revolusi" kejaksaan. Para pejabat di dalamnya harus disingkirkan, diganti orang baru yang diseleksi berdasar kriteria superketat.
Kecuali itu, yang mungkin perlu dilakukan juga adalah penempatan spionase di kantor kerja dan lingkungan tempat tinggal serta keluarga para jaksa (termasuk Jaksa Agung), untuk memantau perilaku oknum-oknum pejabat itu dari dekat.
Laode Ida Wakil Ketua DPD
__,_._,___