Kumpulan berita/artikel ke-1

 

Pengusutan anak dan kroni Suharto

 



Jawapos 10 Agustus 2008

Komnas HAM Usut Tommy Soeharto

Dugaan Serobot Tanah di Bali

JAKARTA - Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto kembali tersandung masalah hukum. Kali ini bukan kasus korupsi atau perdata, tetapi dugaan pelanggaran HAM dalam megaproyek perumahan Bali Pecatu Graha (BPG) di Bali.

PT BPG milik putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu dilaporkan menyerobot tanah warga dalam pembebasan lahan seluas 950 hektare.

Komnas HAM telah lama menyelidiki kasus tersebut. Tapi, tim penyelidik kesulitan mengumpulkan data dari pihak PT BPG. ''Kami belum bertemu pihak perusahaan. Kami juga belum bertemu (pejabat) pemprov karena masa transisi ke gubernur baru,'' ujar Nur Kholis, komisioner Komnas HAM, kemarin (9/8).

Menurut Nur Kholis, timnya kini fokus pada upaya meminta keterangan dari PT BPG. Saat meninjau lokasi perumahan di kawasan Pecatu awal Agustus lalu, Komnas tidak mendapat keterangan. Padahal, Komnas jauh-jauh hari mengagendakan pertemuan tersebut.

''Mereka beralasan belum ada izin dari pusat. Pekan ini kami upayakan mereka hadir di Komnas," papar anggota subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM itu.

Meski demikian, dari temuan lapangan, Komnas mencatat tiga poin yang mengarahkan PT BPG melanggar HAM. Pertama, peralihan hak kepemilikan tanah dari warga ke perusahaan. Temuan Komnas menunjukkan adanya warga yang belum menerima ganti rugi.

Kedua, terdapat proses kriminalisasi yang mengiringi peralihan itu. Misalnya, warga yang mau bertahan diadili dan dipaksa merasakan sel tahanan. Ketiga, adanya keterlibatan aparat dalam proses peralihan itu. "Intimidasi kepada warga merupakan cara yang lazim digunakan rezim Orde Baru untuk memaksakan kehendak," terang Nur Kholis.

Menurut Nur Kholis, pelanggaran itu disertai dugaan keterlibatan aparat keamanan dari Korem 163/Wirasatya, Polda Bali, dan Polsek Kuta Selatan.

Selain itu, lanjut Nur Kholis, hasil temuan sementara menunjukkan perusahaan Tommy tersebut diduga telah menyalahgunakan izin prinsip pembangunan kawasan perumahan mewah. Itu didasarkan pengubahan secara tiba-tiba nama perumahan mewah dari semula Bali Pecatu Graha (BPG) menjadi Pecatu Indah Resort (PIR).

Nur Kholis mengharapkan tim penyelidik secepatnya memperoleh keterangan dari PT BPG. Selain itu, Komnas meminta ada kerja sama dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali terkait informasi status kepemilikan tanah. "Kami harap gubernur baru (I Made Mangku Pastika, Red) bisa jadi mediator," harapnya.

Secara terpisah, Elza Syarief, kuasa hukum Tommy, membantah adanya persoalan pembayaran ganti rugi yang belum kelar dalam megaproyek Pecatu. Kliennya, kata Elza, justru dirugikan dengan adanya pembayaran dua kali. "Justru kami yang dianiaya karena membayar dua kali," katanya ketika dihubungi tadi malam.

Menurut Elza, pembebasan tanah tersebut telah diselesaikan dengan baik. Warga juga sudah menerima ganti rugi. Namun, ketika Soeharto lengser dari kursi presiden, menurut Elza, warga justru menjarah kembali tanahnya. "Jadi, kami bayar dua kali. Sudah keenakan mereka, kami yang teraniaya," terangnya. (fal/agm)

* * *

Koran Tempo, 9 Mei 2008

Uang Tommy di Guernsey Dijadikan Sita Jaminan

JAKARTA -- Kejaksaan akan mengajukan status sita jaminan terhadap uang Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto di BNP Paribas sebesar 36 juta euro atau Rp 420 miliar. "Kami akan mengajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso di Kejaksaan Agung kemarin.


Untung menjelaskan, sita jaminan dilakukan untuk menutupi kekurangan apabila ada kekurangan jika Tommy bersedia atau pengadilan menyatakan dia harus membayar kerugian negara sebesar Rp 4 triliun. "Jadi Guernsey itu dijadikan jaminan terhadap utangnya untuk bayar full," kata Untung. "Yang Rp 4 triliun, kalau kurang, kita kejar yang BNP Paribas itu."


Selain terhadap uang di Paribas, kejaksaan mengajukan sita jaminan terhadap pabrik Timor di Cikampek, Jawa Barat. "Itu untuk menutupi kalau nilai sita asetnya kurang," katanya. "Supaya tercapai nilai Rp 4 triliun itu."
Permohonan sita jaminan tersebut, kata Untung, akan diajukan setelah sidang gugatan perdata yang diajukan pemerintah melalui pengadilan. "Nanti diajukan di persidangan," ujarnya.


Seperti diberitakan, Senin lalu pemerintah menggugat Tommy, Humpuss, Vista Bella Pratama, Manggala Buana Bakti, dan Timor Putra Nasional karena diduga memiliki hubungan dalam jual-beli aset Timor di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tommy digugat untuk membayar kerugian negara sekitar Rp 4 triliun.
Menurut Untung, masih ada kesempatan untuk berdamai bagi kedua pihak. “Jika dalam mediasi para tergugat bersedia memenuhi gugatan pemerintah, maka selesai,” katanya. RINI KUSTIANI


 

* * *

Koran Tempo , 29 Maret 2008

Tak Kuat Bayar, Yayasan Supersemar Banding


JAKARTA -- Yayasan Supersemar mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menghukumnya supaya membayar ganti rugi sebesar 25 persen dari nilai gugatan pemerintah. Selain keberatan terhadap vonis itu, menurut juru bicara Yayasan Supersemar Herno Sasongko, nilai aset milik yayasan juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang ditentukan hakim.
"Makanya, kami ikuti arahan kuasa hukum untuk banding," kata Herno kepada Tempo di Jakarta kemarin. Tapi ia tak menyebutkan besarnya aset yang dimiliki Yayasan saat ini. "Yayasan tak punya uang sebesar itu. Nggak cukuplah untuk bayar," kata Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Yayasan Supersemar, yang dihubungi terpisah.


Dengan pertimbangan berbeda, Kejaksaan Agung juga mengajukan banding atas putusan hakim. "(Kami) nggak kalah. Kalau memang belum sesuai dengan gugatan, kami mengajukan banding," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji di kantor Presiden kemarin.
Dalam sidang Kamis lalu, majelis hakim PN Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan negara terhadap mantan presiden Soeharto dalam kasus dugaan penyelewengan dana Yayasan Supersemar. Soeharto dinyatakan tak terbukti bersalah, tapi penyaluran dana Yayasan untuk pinjaman atau penyertaan modal diakui sebagai pelanggaran. Karena itu, Yayasan diwajibkan mengganti kerugian sebesar 25 persen dari tuntutan ganti rugi yang diajukan negara sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar. Total ganti rugi yang mesti dibayar sekitar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar atau sekitar Rp 1 triliun.


Menurut Herno, bagi Yayasan, putusan hakim itu membingungkan, terutama soal penyaluran dana yang dinilai melanggar aturan. "Itu sudah sesuai dengan anggaran dasar dan rumah tangga Yayasan," ujarnya.
Adapun pernyataan majelis hakim agar yayasan menagih dana ke sejumlah perusahaan yang telah menikmati dana yayasan, menurut Juan, bukanlah putusan majelis. "Itu cuma konsiderans," katanya. Dengan begitu, menurut dia, yayasan tak bisa menagih ke perusahaan-perusahaan itu. Perusahaan-perusahaan yang disebut majelis, antara lain, adalah Sempati Air, Bank Duta, Kiani Lestari dan Kiani Sakti, serta kelompok usaha Kosgoro.


Sementara itu, selain akan mengajukan banding terhadap putusan kasus Yayasan Supersemar, Kejaksaan Agung juga tengah menyiapkan gugatan perdata untuk sejumlah yayasan yang dipimpin Soeharto. "Gugatan untuk yayasan (Soeharto) yang lain menyusul," kata Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin seusai salat Jumat di Kejaksaan Agung kemarin.


Menurut dia, meskipun hakim menyatakan Soeharto tak bersalah dalam dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Supersemar, gugatan untuk Soeharto dan yayasan lainnya tak akan berhenti. "Itu akan terus bergulir nanti," ujar Muchtar. Sebelumnya, jaksa pengacara negara Yoseph Suardi Sabda menyebutkan yang bakal segera digugat adalah Yayasan Amal Bhakti Pancasila dan Yayasan Dharmais.
Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Dewan Perwakilan Rakyat, menyokong sikap kejaksaan untuk mengajukan gugatan perdata yayasan-yayasan yang pernah dipimpin Soeharto. "Agar ada kepastian hukum bagi yayasan dan keluarga Soeharto," katanya kepada Tempo kemarin.DWI WIYANA | SANDY INDRA | FANNY FEBIANA | ANTON SEPTIAN | RINI KUSTIANI

* * *

Kompas,29 Maret 2008


Kasus Hukum Soeharto

Kejaksaan Akan Gugat Yayasan Lain

Jakarta, Kompas - Kejaksaan Agung menunggu putusan perkara gugatan
negara terhadap mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Beasiswa
Supersemar berkekuatan hukum tetap. Apabila putusan akhirnya negara
yang menang, Kejagung akan menggugat perdata yayasan lain yang dulu
dipimpin Soeharto.

Hal itu ditegaskan Jaksa Agung Hendarman Supandji di Kejagung, Jumat
(28/3) malam. Saat ini jaksa pengacara negara yang bertindak
mewakili pemerintah menyatakan banding atas putusan majelis hakim
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dibacakan hari Kamis
lalu.

Seperti diberitakan, PN Jakarta Selatan memutuskan Soeharto tidak
melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi Yayasan Beasiswa
Supersemar dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena
menyalurkan dana yang diterimanya bukan untuk beasiswa. Yayasan
Supersemar pun dihukum membayar kepada negara senilai 105 juta
dollar Amerika Serikat (AS) dan Rp 46,4 miliar (Kompas, 28/3).

Kejaksaan pernah menangani perkara dugaan korupsi dengan terdakwa
Soeharto berkaitan dengan Yayasan Beasiswa Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dana Gotong Royong Kemanusiaan Siti Hartinah Soeharto, dan Beasiswa
Yatim Piatu Tri Komando Rakyat. Namun, penuntutannya dihentikan pada
1 Mei 2006.

Negara lalu menggugat perdata Soeharto dan Yayasan Beasiswa
Supersemar.

Lambok Gultom dari Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia mengatakan, putusan PN Jakarta Selatan itu bisa
diprediksi. "Pidananya tidak tersentuh, apalagi perdata. Soeharto
secara pidana, kan, tidak pernah terbukti melakukan perbuatan
melawan hukum," katanya.

Kenai yayasan lain

Lambok, yang Juni 2006 ikut menggugat praperadilan surat ketetapan
penghentian penuntutan perkara (SKP3) pidana dengan terdakwa
Soeharto, menyatakan, dengan putusan itu, negara harus berpikir
lebih luas. "Tak hanya Yayasan Supersemar, kan? Ada yayasan lain
yang bisa digugat. Juga pidana yang berhubungan dengan kroni
Soeharto," katanya menambahkan.

Perihal penanganan perkara pidana yang berkaitan dengan keluarga
atau kroni Soeharto, Hendarman mengatakan, itu bisa dilakukan sejauh
alat buktinya memenuhi. "Kita tidak diam. Tetapi, kalau alat bukti
tidak ada, masak kita mau mencari-cari kesalahan orang?" katanya.

Salah satu perkara pidana terkait dengan keluarga Soeharto yang
sedang ditangani Kejagung adalah dugaan korupsi dana Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) oleh pengurus Badan Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh (BPPC). Dalam perkara itu putra Soeharto, Hutomo
Mandala Putra atau Tommy Soeharto, pernah diperiksa sebagai
tersangka pada Agustus 2007.

Pelaksana Harian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus I Ketut
Widiana Sulatra mengatakan, penyidik masih mengevaluasi perkara
dugaan korupsi dana KLBI oleh pengurus BPPC itu. Hal yang dievaluasi
antara lain penggunaan dana KLBI yang dikatakan dialirkan juga ke
koperasi di daerah.

Namun, Kejagung juga belum berencana memeriksa Tommy Soeharto. Pada
27 Februari 2008, Nurdin Halid, mantan Ketua Induk Koperasi Unit
Desa yang kini mendekam di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, diperiksa
sebagai saksi untuk perkara ini.

Kejaksaan harus banding

Secara terpisah, Jumat, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
DPR Lukman Hakim Saifuddin menilai Kejagung mesti mengajukan banding
atas putusan PN Jakarta Selatan itu agar benar-benar memiliki
kekuatan hukum tetap. Upaya banding itu dilakukan semata-mata atas
nama kepentingan negara dan demi kepastian hukum.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional DPR M Yasin Kara sebaliknya
menilai ketidaksungguhan gugatan terlihat sejak awal ketika Soeharto
digugat dengan kasus yayasan sosial. Ujungnya, pengadilan memutuskan
sesuatu yang bernilai baik atau tidak baik, bukan bersalah atau
tidak bersalah, yang sesungguhnya menjadi kewenangan
pengadilan. "Artinya, pengadilan lebih memerhatikan aspek politis
dalam mengambil keputusan," ujarnya.

Menurut Yasin, sulit membuktikan ada-tidaknya penyimpangan oleh
yayasan dalam praktik kenegaraan saat kekuasaan membuat undang-
undang ada di tangan Presiden. Itulah sebabnya, upaya penegakan
hukum terhadap Soeharto dengan menjadikan yayasan sosial sebagai
obyek adalah "sasaran hampa".

Hendarman di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, menegaskan, putusan PN
Jakarta Selatan itu bukan berarti kekalahan bagi kejaksaan.
(IDR/INU/DIK)


· * *
·

Sinar Harapan, 28 Maret 2008

RI Makin Sulit Buru Uang Soeharto

Oleh
Natalia Santi/Rafael Sebayang/Sihar Ramses Simatupang

Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Departemen Luar Negeri
(Deplu) menyayangkan sikap Badan Urusan Logistik (Bulog) yang
mengadakan perdamaian sepihak dengan pihak Goro Batara Sakti dan
Hutomo Mandala Putra, anak mantan Presiden Soeharto.

Namun, kedua lembaga negara ini tak sependapat soal optimisme bisa
mendapatkan kembali uang yang diklaim Tommy di Guernsey, London.
Kejagung berkeyakinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
terhadap kasus Supersemar dan Soeharto tak berpengaruh kepada upaya
memulangkan uang negara dalam kasus tersebut. Sebaliknya, Deplu
berkeyakinan berbeda.


"Itu (putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus
Supersemar dan Soeharto-red) sama sekali tidak ada pengaruhnya
dengan upaya kita mengejar uang negara yang dikuasai Tommy di BNP
Paribas. Itu kan belum putusan final. Kita sendiri memutuskan
banding," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
(Jamdatun) Kejaksaan Agung (Kejagung) Untung Uji Santoso kepada SH,
Jumat (28/3) pagi.

Lebih jauh diungkapkan Untung, dalam upayanya menggugat Tommy
(sebelum putusan) ternyata Bulog secara diam-diam telah menempuh
jalan damai dengan pihak Tommy tanpa sepengetahuan kejaksaan.
Menurut Untung, adalah suatu keharusan bagi Bulog melibatkan
kejaksaan dalam perdamaian tersebut. Pasalnya, kejaksaanlah yang
diberi kuasa sebagai Pengacara Negara menggugat Goro.
"Coba kamu tanyakan ke Bulog apa isi dari perdamaian itu. Sampai
sekarang kami juga tidak diberitahu apa isinya," kata Untung Udji.
Dengan putusan PN Jaksel yang membebaskan Soeharto dalam kasus
Yayasan Supersemar dan kekalahan Bulog atas Tommy Soeharto, sejumlah
pihak menyangsikan pemerintah akan berhasil dalam upaya
mengembalikan uang negara yang dikuasai Tommy sebesar Rp 90 miliar
di BNP Paribas cabang London.

Rasa pesimistis itu diungkapkan Direktur Perjanjian Politik,
Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri RI, Arif Havas
Oegroseno, yang mengatakan, penyelesaian damai (settlement) antara
Perum Bulog terhadap PT Goro Batara Sakti jelas bisa mempengaruhi
pengadilan banding Guernsey.

Mempertanyakan Bulog
Havas yang akan bertolak ke Inggris menghadiri persidangan tersebut
1 April mendatang mempertanyakan mengapa penyelesaian damai itu
dilakukan seminggu menjelang pengadilan banding di Guernsey.
Pasalnya, pengadilan di Inggris tersebut juga mengamati kemajuan
proses hukum yang melibatkan Tommy dan keluarga Cendana di Tanah Air.
"Mengapa upaya damai dilakukan satu minggu menjelang pengadilan
banding di Guernsey," kata Havas di Jakarta, Kamis (27/3) petang.
Pada persidangan sebelumnya, salah satu faktor pembekuan aset di
Guernsey adalah hasil peradilan di Indonesia. Sebaliknya dalam amar
gugatan Bulog kepada Goro, untuk menjamin agar harta kekayaan tidak
pindah tangan, juga diminta untuk sita jaminan terhadap aset para
penggugat di antaranya milik Garnet Investment Ltd yang disimpan di
Bank BNP Paribas di Guernsey.

Havas menyesalkan penyelesaian damai yang tidak dikonsultasikan
dulu, padahal pemerintah punya kepentingan yang lebih besar dari
sekadar uang yang dibekukan.
"Ini seharusnya keputusan yang bisa diambil bersama-sama, karena
ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan, Indonesia adalah
Presiden Konferensi Antikorupsi kedua di Bali, jadi Indonesia juga
punya komitmen pada ketentuan keuangan internasional yang
memungkinkan pembekuan uang-uang seperti itu di luar negeri,"
katanya.

Masalah pembekuan uang di Guernsey tidak sekadar jumlahnya, tetapi
juga pengungkapan. Dalam pemulihan aset, ada unsur penelusuran uang.
Hal itu diharapkan mengungkap berbagai kegiatan lain yang mungkin
terkait dengan kasus-kasus seperti Sempati, BPPC, dan lain-lain.
Meski demikian, Havas mengaku siap menghadapi persidangan di
Guernsey mendatang.

Sebaliknya, kuasa hukum Tommy, Juan Felix Tampubolon dan OC Kaligis
serta Elza Syarief, menegaskan pihaknya akan membawa putusan kasus
tersebut ke Guernsey, London. Putusan pengadilan terhadap kasus
Bulog dan Supersemar diyakini menegaskan klaim Tommy atas dana
tersebut.

Soeharto Bebas
Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan
perkara perdata gugatan negara terhadap Yayasan Supersemar dan
Soeharto menghasilkan putusan sebagian gugatan dikabulkan dan
sebagian gugatan ditolak.

Majelis hakim menyatakan tergugat telah melawan perbuatan melawan
hukum sehingga mewajibkan Tergugat mengganti rugi 25 % jumlah
materil sesuai dengan tuntutan jaksa. Putusan itu melepaskan mantan
Presiden Soeharto dari jeratan perbuatan melawan hukum dari Yayasan
Beasiswa Supersemar.
Ketua Majelis Hakim Wahjono dan hakim Aswan Nurcahyo dan Edy
Risdianto, yang hadir di ruang sidang pada pukul 10.40 WIB, Kamis
(27/3) membacakan pertimbangan dan putusan lebih dari satu setengah
jam.

Mereka menilai Soeharto sebagai pendiri dan Ketua Yayasan Beasiswa
Supersemar tak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.
Sebaliknya, Yayasan Supersemar dinilai melakukan perbuatan melawan
hukum. Karena itu, harus membayar ganti rugi kepada penggugat, yakni
Pemerintah RI, sebesar US$ 105 juta dan Rp 46,4 miliar.
Di awal gugatan perdata, Negara melalui tim Jaksa Pengacara Negara
(JPN) menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai
US$ 420 juta dan Rp 185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp
10 triliun.

Soal penghindaran tanggung jawab yang dilakukan Tommy Soeharto pun
tak ditanggapi hakim karena hal itu bertentangan dengan hukum
positif, tak ditandatangani ahli waris tidak menyebabkan gugatan
(perdata terhadap mendiang Soeharto yang diwariskan terhadap putra-
putrinya) jadi tak bisa diteruskan karena gugatan perdata bukan
aturan hukum pilihan, tapi aturan hukum memaksa.
(rikando somba)

· * *
·
Jawapos, 29 Maret 2008,

Kejagung Ajukan Banding

JAKARTA - Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak terima atas putusan
yang membebaskan ahli waris mantan Presiden Soeharto dalam kasus
korupsi Yayasan Supersemar. Dia pun memerintahkan jaksa pengacara
negara (JPN) untuk mengajukan banding atas putusan tersebut ke
Pengadilan Tinggi (PT) DKI.

"Kami mau banding, sampai putusannya berkekuatan hukum tetap," kata
Hendarman di Kantor Presiden kemarin.

Menurut Hendarman, kejaksaan belum mengaku kalah dalam kasus
tersebut karena putusan banding kelak dapat mementahkan putusan PN
Jakarta Selatan. "Enggak lah," ujarnya. Dia hanya menganggap putusan
PN Jakarta Selatan tersebut belum sesuai dengan gugatan yang
diajukan kejaksaan.

Dari Gedung Bundar Kejagung, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin
menegaskan, kejaksaan bakal mengkaji isi putusan PN Jakarta Selatan
sebagai materi pengajuan banding. "Kami masih punya waktu untuk
melakukan upaya banding atau tidak," jelas Muchtar seusai salat
Jumat di Masjid Baitul 'Adli, Kejagung, kemarin.

Meski dikalahkan pengadilan, itu tak berarti jalan untuk menggugat
lagi tertutup. Muchtar menegaskan, kejaksaan menyiapkan amunisi baru
untuk menggugat posisi Soeharto sebagai ketua yayasan di luar
Supersemar. "Ini akan terus bergulir, (gugatan terhadap yayasan
lain) masih terus bergulir," jelas Muchtar. Ditanya kapan gugatan
didaftarkan, Muchtar belum dapat memastikan. "Itu tergantung
kesiapan jaksanya," jelas mantan JAM intelijen itu.

Di tempat terpisah, JAM Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Untung
Udji Santoso menegaskan, JPN masih mempelajari kemungkinan gugatan
terhadap yayasan lain di luar Supersemar. "Nanti akan dilihat sejauh
mana perkembangannya," jelas Untung seusai salat Jumat kemarin.

Menurut Untung, kejaksaan masih memprioritaskan menyiapkan materi
pengajuan banding atas putusan PN Jakarta Selatan dalam kasus
Supersemar. "Saat ini sedang disiapkan untuk banding," jelas Untung.

Sebelumnya, PN Jakarta Selatan pada Kamis lalu (27/3) menyatakan,
ahli waris Soeharto tidak melakukan perbuatan melawan hukum dalam
kasus Supersemar. Mereka dibebaskan dari segala ganti kerugian
senilai USD 420 juta dan Rp 185 miliar.

Sebaliknya, yayasan yang dikenai hukuman. Itu pun hanya 25 persen
dari total nilai gugatan, yakni USD 105,7 juta dan Rp 46 miliar.
Majelis berpendapat, nilai tersebut setara dengan total uang negara
yang masuk ke yayasan. Sedangkan 75 persen sisanya tidak
dikategorikan uang negara karena perolehannya dari sumber swasta.
(agm/tom/el)

* * *

Koran Tempo, 28 Februari 2008

 

Gugatan Soeharto Tetap Berjalan tanpa Tommy

JAKARTA -- Penolakan Tommy Soeharto dalam meneken surat kuasa ahli waris perkara ayahnya tidak akan berdampak. Sidang gugatan perdata terhadap mantan presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar akan tetap berjalan. "Tidak masalah, yang penting lima lainnya sudah tanda tangan," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji di Jakarta kemarin.

Hendarman menjelaskan hal itu tidak akan jadi masalah karena perkara ini sebentar lagi memasuki pembacaan kesimpulan. Namun, dia belum tahu kesimpulan yang akan dibacakan pengacara negara. "Saya masih menunggu, saya juga belum tahu apa yang menjadi putusan majelis hakim," kata dia.

Hal senada dikatakan oleh ahli hukum perdata Universitas Padjadjaran, Isis Ikhwansyah. Menurut dia, gugatan perdata Soeharto bisa tetap berjalan tanpa kehadiran Tommy. "Kalau dia menolak hadir, itu salah dia pribadi karena tak mau memberikan keterangan," ujar Isis.

Sebab, kata Isis, secara otomatis Tommy dan lima saudaranya menjadi ahli waris kasus perdata pewaris mereka (Soeharto). Menurut dia, dalam kasus ini kejaksaan akan memakai hukum adat sesuai dengan pewaris, yaitu hukum adat Jawa yang bersifat parental.

Isis menjelaskan, saat ini hanya ada dua macam hukum waris yang ada di Indonesia, selain hukum waris adat ada pula hukum waris secara Islam. Namun, kasus perdata Soeharto tidak dapat menggunakan hukum Islam karena persidangan dilakukan di kejaksaan negeri, bukan di pengadilan agama.

Dalam persidangan, semua ahli waris diwajibkan hadir, kecuali jika semuanya telah diwakilkan oleh kuasa hukum.

Pemerintah menggugat Soeharto sekitar Rp 11,5 triliun terkait dengan dugaan penyimpangan penyaluran dana Yayasan Supersemar. NININ DAMAYANTI | REH ATEMALEM SUSANTI