PERATURAN GILA SEMACAM INI
HARUS SEGERA DICABUT !!!!!
Oleh A. Umar Said*)
Pertama-tama, mohon ma'af terlebih dulu atas pemberian judul tulisan ini dengan kalimat yang mungkin terasa kasar atau terdengar kelewatan "emosional", dan juga karena memakai tanda seru lima kali. Tetapi, percayalah hendaknya, bahwa apa yang dikemukakan berikut ini adalah berdasarkan kepala dingin, dan nalar yang wajar-wajar saja. Namun, harap dimengertilah kiranya, bahwa karena persoalan yang diungkap berikut ini adalah sesuatu yang sudah sangat keterlaluan, maka tidak bisa tercegah lagi bahwa di sana-sini muncul luapan kemarahan dan ledakan-ledakan emosi, bahkan juga cacian atau umpatan. Semoga saja, dengan dengan fikiran yang jernih, dan hati nurani yang bersih, para pembaca mungkin akan bisa ikut menghayati gejala yang gila dan aneh seperti yang disajikan di bawah ini.
Singkat-padatnya adalah begini : sejumlah besar mantan tapol yang tinggal
di Yogyakarta, yang pada umumnya sudah lanjut usia, SAMPAI SEKARANG masih
diharuskan untuk memenuhi peraturan Santiaji tiap 2 bulan sekali. Kita tidak
tahu, berapa jumlah mantan Tapol yang diharuskan mengikutinya, dan juga apa
bentuk dan caranya. Apakah sekedar melaporkan diri, atau mendengar petuah,
atau wejangan, atau penataran, atau kursus singkat, atau petunjuk, seperti
yang sudah biasa dilakukan dalam masa-masa Orde Baru? Kita tidak tahu juga
dengan persis lagi, sekarang, apakah Santiaji (apa pula barang aneh ini ???)
ini diberikan oleh kepolisian, atau oleh petugas militer yang berpangkat kopral,
sersan atau letnan atau mayor.
Dan, mungkin seperti Anda juga, kita semua bisa mempertanyakan apakah gerangan
isi Santiaji ini ? Apakah masih seperti "penataran Pancasila" yang
dipaksakan selama rezim militernya Suharto dkk dulu itu? Kalau masih itu-itu
juga, maka patut-patutlah sajalah kiranya kalau Anda ikut berteriak "bedebah"
(atau makian lainnya, yang lebih kasar dan bahkan lebih kotor lagi). Sebab,
bukan saja bahwa Santiaji yang dipaksakan puluhan tahun itu munafik, palsu,
kosong,dan intinya adalah "gombal" belaka, melainkan lebih dari
itu. Karenanya, pada umumnya, para pendukung rezim Orde Baru tidaklah berhak
sama sekali untuk mengajari bagaimana seseorang harus menjaga moral, atau
memelihara persatuan bangsa dan patriotisme. Pendukung rezim militer juga
sama sekali tidak pantas untuk berkhotbah tentang kesetiaan kepada negara
dan rakyat, tentang kejujuran dalam mengabdi kepada bangsa. Rezim ini bukan
saja telah memelintir dan membengkok-bengkokkan itu semuanya, bahkan sudah
merusaknya dan membuangnya!
Yang perlu sama-sama kita renungkan secara tenang dan fikiran jernih adalah
yang berikut : para mantan tapol di Jogyakarta itu (dan mungkin juga di daerah-daerah
lainnya di Indonesia) TIDAK BERSALAH APAPUN terhadap undang-undang, atau tidak
berdosa SAMA SEKALI terhadap negara dan rakyat. Mereka itu, sudah mengalami
ketidak-adilan dan pelanggaran berat di bidang Hak Asasai Manusia yang dilakukan
oleh rezim militer Orde Baru (beserta pendukung-pendukung setianya di kalangan
militer, dan di kalangan Golkar, atau juga di kalangan berbagai golongan dalam
masyarakat, baik yang Islam maupun yang bukan). Perlakuan tidak adil dan pelanggaran
berat HAM ini bukan saja berbentuk penahanan atau pemenjaraan terhadap mereka
dalam jangka lama sekali (harap ingat : tanpa pengadilan !!!). Mereka itu,
sesudah keluar dari pemenjaraan yang sewenang-wenang pun masih terus disiksa
selama puluhan tahun.
Salah satu contohnya adalah petisi/surat mantan tapol Jogyakarta kepada Gubernur
Kepala Daerah Istimewa Jogyakarta, seperti yang bisa dibaca lebih lanjut di
bawah ini. Marilah sama-sama kita renungkan dari lubuk hati yang dalam dan
sama-sama kita bayangkan, betapa pedihnya hati bagi mereka : sesudah keluar
dari tahanan/pemenjaraan, mereka setiap 2 bulan sekali harus melapor untuk
mendapatkan "Santiaji", dan itu pun sudah selama 24 tahun. Artinya,
orang-orang yang tidak bersalah apa-apa ini, selama puluhan ini harus datang,
sebagai pesakitan atau penjahat, untuk melapor dan mendapat pendidikan dari
petugas-petugas Orde Baru. Seolah-olah mereka itu adalah orang-orang yang
sesat fikiran dan jahat kelakuannya, atau orang-orang yang melakukan kesalahan
dan karenanya perlu mendapat "ajaran" atau "pendidikan".
Du'ilah, sungguh-sungguh edan!
Sebab, sekarang setiap hari kita dapat membaca dalam pers, dan juga melihat
dalam televisi, bahwa justru yang harus mendapat _penataran_, atau _pendidikan_,
atau _penghayatan Pancasiila_ adalah mereka para pendukung setia Orde Baru,
baik yang terdiri para pembesar militer, pimpinan Golkar, atau partai PPP
dan PDI dan konglomerat, maupun tokoh-tokoh di berbagai kalangan (para hakim
agung maupun yang tidak agung sama sekali, para anggota DPR dan MPR, para
pemuka agama dan intelektual). Mereka inilah yang, sambil membunuh demokrasi
dan merusak secara besar-besaran dan serius sendi-sendi Republik Indonesia
selama puluhan tahun, telah juga sekaligus menjarah kekayaan negara, merampok
bank-bank, menyembunyikan hasil korupsi di luarnegeri, atau mendirikan rumah-rumah
mewah dan menumpuk kekayaan dengan cara-cara haram dan dengan jalan kriminal.
Mereka itu pulalah, yang merupakan kekuatan-kekuatan gelap sisa-sisa Orde
Baru, dan yang dewasa ini sedang beramai-ramai mengadakan aksi-aksi subversif
dan berbagai kekacauan, untuk menggagalkan jalannya reformasi di berbagai
bidang!
Untuk memberikan gambaran yag lebih jelas, maka di bawah ini disajikan surat
mengenai mantan tapol Yogyakarta tersebut :
Kepada Yth:
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
Kantor Gubernur/Kepatihan
Yogyakarta.
Dengan hormat,
Menunjuk surat Bp. Saderi Joko Susanto (70 th) dan Dirdjo Kandar (80 th) mantan
tapol yang tinggal di Yogyakarta kepada Walikota Yogyakarta tertanggal 22
Juni 2000 tentang masalah tuntutan penghentian Santiaji di Kodya Yogyakarta
untuk golongan A, B, C yang sudah berlangsung 24 th yaitu sejak tahun 1976
- hingga kini yang termuat dalam harian Jawa Pos tanggal 22 dan 24-6-2000,
maka mengingat bahwa:
1. Sekarang ini rakyat Indonesia tidak berada lagi dalam jaman Orde Baru -
Suharto, tetapi sudah dalam era reformasi dan sudah adanya pemerintahan konstitusionil
demokratis dengan Presidennya Gus Dur.
2. Peristiwa Oktober 1965 sebenarnya adalah peristiwa usaha dan kup Suharto
bukan kup PKI.
3. Sebagian terbesar yang ditangkap, dibunuh, ditahan, dan dimatikan perdatanya
bukanlah anggota PKI, tetapi di G30 S PKI-kan Suharto.
4. Lembaga inkonstitusi Kopkamtib yang diubah menjadi Bokorstanas dan Bakorstanasda
dan Litsus sudah dibubarkan bahkan sekarang sedang diusahakan Kodam, Kodim,
Korem, Koramil, Babinsa akan dihapus.
5. Adanya Permendagri no.19/1988 tentang penghapusan KTP dengan tanda ET/OT
dan KTP sudah seumur hidup.
6. Santiaji selama 24 tahun sudah merupakan hukuman tambahan yang merupakan
beban berat bagi mantan tapol/napol Kodya Yogyakarta yang tidak manusiawi
dan tidak adil, sedangkan di daerah lain sudah ditiadakan..
7. Tuntutan penghentian Santiaji tersebut hal yang wajar, masuk akal, adil
dan menusiawi.
Maka kami Forum Pemulihan Hak Sipil Politik Mantan Tapol - Napol Jawa Tengah
ikut memperkuat tuntutan Mantan Tapol - Napol Kodya Yogyakarta agar Santiaji
untuk golongan A, B, C dihapuskan sekarang juga karena tidak lagi mempunyai
dasar hukum, politik, tidak manusiawi dan melanggar HAM PBB.
Atas segala perhatian Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta kami ucapkan
terima kasih.
Semarang, 5 Juli 2000.
Hormat kami,
Ketua (Warsono)
Sekretaris (Sardjono)
* * *
Kasus para mantan tapol di Jogya adalah hanya sebagian kecil saja dari masalah
para mantan tapol yang jumlahnya begitu besar di seluruh Indonesia. Seperti
yang sudah diungkapkan dalam tulisan terdahulu "Rehabilitasi hak sipil
dan politik bagi para ex-tapol", jutaan orang ex-tapol beserta keluarga
(dan sanak-saudara terdekat mereka) SAMPAI SEKARANG masih mendapat perlakuan
yang tidak sewajarnya sebagai manusia dan sebagai warganegara republik kita.
Rehabilitasi hak sipil bagi mereka adalah sesuatu yang HARUS dilakukan oleh
kita semua, kalau kita mau betul-betul menegakkan hukum dan keadilan. Ini
bukan semata-mata masalah kemurahan hati, atau sesuatu yang sekedar untuk
menunjukkan sikap mau rujuk-rujukan saja. Rehabilitasi hak sipil dan politik
mereka berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar perikemanusiaan dan ketetanegaraan
republik kita. (Harap, sudilah kiranya membaca kembali tulisan tersebut).
Mengingat reaksi dari berbagai pembaca terhadap tulisan tersebut, maka di
bawah ini disajikan bahan tambahan tentang petisi Forum Pemulihan Hak Sipil
dan politik mantan Tapol-Napol Jawa Tengah itu, yang selengkapnya berbunyi
sebagai berikut :
Kepada Yth
Menteri Negara Koordinator
Bidang Politik dan Keamanan
Republik Indonesia
di
Jakarta
Menunjuk surat Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia No. 139/Ses/As 1/5/2000 tertanggal 8 Mei 2000, perihal permohonan silaturrahmi, perkenankanlah kami delegasi Forum yang terdiri dari 11 orang mewakili berbagai Cabang Forum menghadap Menko Polkam untuk menyampaikan hal-hal berkenaan dengan perlakuan yang melanggar hak-hak kami sebagai warga negara dan sebagai manusia - Hak azasi manusia.
Namun sebelum menyampaikan hal-hal ini lebih lanjut ijinkanlah kami menjelaskan
serba singkat tentang Forum tersebut diatas dan kegiatannya. Forum tersebut
kami bentuk pada tanggal 16 Januari 2000 dengan maksud dan tujuan untuk memperjuangkan
kepentingan mantan tapol/napol korban orde baru beserta keluarganya. Sampai
kini Forum telah mempunyai 25 cabang di Kabupaten dan Kotamadya Jawa Tengah,
sedangkan yang tergabung didalam meliputi unsur mantan TNI AD, Laut dan Udara;
mantan pegawai negeri sipil, BUMN, buruh, tani, pamong desa, pengusaha, dan
lain-lainnya.
Jumlah mantan tapol/napol Jawa Tengah; golongan A sekitar 131 orang; B sekitar
6.384 orang, C sekitar 216.595 orang dan wajib lapor (mantan) sekitar 31.587
orang. Ini belum terhitung yang dibunuh dan hilang serta keluarga mereka semua.
Adapun kegiatan Forum selama ini sudah pernah menghadap DPRD Tingkat I pada
tanggal 20 Januari 2000, diulangi tanggal 15 Maret 2000; menghadap Gubernur
Jawa Tengah yang diterima Kepala Sospol Propinsi Jawa Tengah pada tanggal
21 Maret 2000 dan ke Kodam Diponegoro Jawa Tengah pada tanggal 7 Maret 2000.
Dalam silaturrahmi tersebut, kami sampaikan masalah hak-hak kami yang pernah
dilanggar dan dirugikan oleh pemerintahan orde baru.
Sangat disayangkan bahwa semua pihak menjawab bahwa persoalan kami akan disampaikan
ke pemerintah pusat, karena hal-hal tersebut menjadi wewenang Pemerintahan
Pusat untuk diselesaikan.
Karena itu pada hari ini kami menghadap Bapak untuk menjumpai hal-hal yang
menyangkut perlakuan yang menimpa diri kami pribadi dan seluruh keluarga yang
berlangsung sejak dari akhir tahun 1965 yang hingga kini sisa-sisanya masih
dirasakan.
Wujud perlakuan tersebut seperti:
1. Penangkapan yang sewenang-wenang oleh aparat negara dan anggota organisasi
tertentu.
2. Perlakuan yang tidak berperikemanusiaan selama ditahan.
3. Perlakuan petugas pemeriksa waktu memeriksa sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan,
baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
4. Perampasan hak milik tapol/napol dan keluarganya secara melawan hukum oleh
pejabat, petugas atau anggota ormas tertentu.
5. Perampasan terhadap istri dari sementara orang yang ditahan.
6. Penyiksaan dan pembunuhan yang sangat biadab.
7. Pemecatan dari pekerjaan tanpa prosedur hukum dan sewenang-wenang.
8. Pemutusan hak pensiun dan pensiun bagi mereka yang sudah berhak dan menerima
pensiun.
9. Pengucilan keluarga dari kehidupan bermasyarakat.
10. Anak dan keluarga dua keturunan tidak boleh menjadi pegawai negeri, tentara,
polisi, dan bekerja di perusahaan vital.
11. Sementara tahanan baik di LP Tangerang, Nusakambangan, Pulau Buru, Plantungan
Kendal dan lainnya di Jawa dan Luar Jawa dikerjapaksakan tanpa dibayar, dan
hasilnya diambil pejabat.
12. Kepada keluarga mereka yang ditahan kalau masih dapat bekerja tidak diberi
hak naik pangkat atau gaji.
13. Setelah kami dibebaskan juga mendapatkan perlakuan yang tidak adil, termasuk
keluarga kami seperti di KTP ditulis ex tapol/napol, wajib lapor dan sebagainya.
14. Kepada yang dibebaskan dengan keterangan tidak terdapat indikasi atau
dikategorikan golongan C (1+2) juga tidak bisa diterima kembali bekerja.
15. Sampai hari ini kami masih menjadi sasaran isu politik dari sementara
golongan tentang _bahaya komunis_ dsb-nya.
16. Masih ada pengawasan dari Rt, Rw, Kelurahan dan aparat pemerintahan seperti
dinyatakan dalam surat dari instansi pemerintahan.
Karena itu demi ditegakkannya keadilan, hak warga negara dan hak azasi manusia
kami mengajukan tuntutan:
1. Dihapuskan dengan segera seluruh stigmasi terhadap mantan tapol/napol korban
orde baru dan seluruh anggota keluarganya.
2. Diadakan rehabilitasi dan kompensasi.
3. Segera dilaksanakan rekonsiliasi nasional dengan diadakan UU Pengadilan
Pelanggaran HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
4. Dipulihkan kembali hak azasi manusia bagi mantan tapol/napol, keluarganya
serta semua korban orde baru.
5. Disosialisasikan semua peraturan pemerintah tentang pencabutan pembatasan
terhadap mantan tapol/napol dan seluruh korban orde baru ke seluruh instansi
pemerintahan sampai tingkat yang paling bawah.
6. Dikembalikannya seluruh hak milik yang pernah disita dengan melawan hukum
oleh aparat dan lainnya.
7. Pemerintah memberi kompensasi terhadap kerugian materiel dan nonmateriel
yang dialami mantan tapol/napol korban orde baru dan keluarganya.
8. Agar pemerintah bersama LSM prodemokrasi dan kemanusiaan segera membentuk
komisi khusus untuk meneliti korban peristiwa 1965-1966.
9. Dipercepatnya ratifikasi konvensi Internasional tentang hak sipil/politik.
Besar harapan kami tuntutan ini dapat dikabulkan oleh pemerintah Presiden
Gus Dur yang telah mendapat legitimasi rakyat melalui MPR.
Atas segala perhatian Menko Polkam dan Presiden RI kami ucapkan terima kasih.
Semarang, 8 Juni 2000
Pengurus Forum Pemulihan Hak Sipil - Politik Mantan Tapol/Napol Jawa Tengah
Ketua
Warsono
Sekretaris
Y. Sarjono
Penasehat
S. Utomo
Tembusan :
1. Presiden RI
2. Wakil Presiden RI
3. Ketua/Wakil Ketua MPR
4. Ketua/Wakil Ketua DPR
5. Panglima TNI
6. Ketua Mahkamah Agung RI
7. Jaksa Agung RI
8. Menteri HAM RI
9. Komnas HAM
10. Ketua Partai-partai Politik.
11. LBHI Jakarta
12. PBHI Jakarta
13. Pers, Radio dan Televisi
(PS. Perlu diketahui bahwa Forum Pemulihan Hak Sipil Politik Jawa Tengah yang:didirikan
pada tanggal 16 Januari 2000 telah mendatangi DPRD Tingkat I Jawa Tengah pada
tanggal 20 Januari dan pada tanggal 4 Maret 2000 untuk menyampaikan Petisi
yang sama dan juga pernah mendatangi Kodam IV Diponegoro dan Gubernur Jawa
Tengah. Forum ini mempunyai 25 Cabang di seluruh Jateng di Tingkat Kabupaten
dan Kotamadya. Forum Cabang Kabupaten Semarang pernah juga mendatangi DPRD
Tingkat II Kab Semarang untuk menyampaikan Petisi. Demikian juga pada tanggal
5 Juli tahun 2000 Forum memberi dukungan pada tuntutan mantan tapol/napol
Kodya Yogyakarta yang sejak th 1976 hingga kini masih diwajibkan mengikuti
Santiaji di Kecamatan-kecamatan tiap 2 bulan sekali).
Kasus-kasus ini perlu kita angkat ramai-ramai. Segala macam cara dan bentuk
patutlah dan perlu kita tempuh, supaya peraturan yang keliru dan praktek buruk
ini segera dihentikan secara RESMI dan TERBUKA. Aksi-aksi, entah dalam bentuk
apapun, perlu digelar terus-menerus, oleh berbagai fihak. Kegiatan serius
harus dilancarkan (umpamanya oleh : LBH, fakultas/universitas, organisasi
non-pemerintah atau LSM, berbagai golongan dalam masyarakat madani, pers dll)
untuk melakukan penelitian dan kemudian juga mempersoalkannya. Para mantan
tapol sendiri juga perlu dihimbau untuk lebih banyak bersuara, dan mengadakan
berbagai kegiatan, untuk mengingatkan terus-menerus semua fihak tentang pelanggaran
HAM yang sudah berlangsung begitu lama itu.
Perlu jelas bagi semua fihak (termasuk kita sendiri) bahwa mempersoalkan nasib
mantan tapol bukanlah bertujuan untuk membalas dendam. Bukan pula untuk mengipasi
permusuhan atau meruncingkan pertentangan, yang selama puluhan tahun ini memang
sudah disebar-luaskan oleh rezim Orde Baru beserta pendukung-pendukung setianya.
Sebaliknya, mempersoalan rehabilitasi mantan tapol adalah salah satu di antara
banyak cara untuk menjadikan bangsa kita bangsa yang beradab. Mengangkat masalah
korban pembunuhan 65/66 adalah sumbangan bagi tegaknya keadilan dan bagi kemenangan
prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di bumi Indonesia. Dan,
kemenangan ini, pada hakekatnya dan pada akhirnya, adalah kemenangan kita
semua, tidak peduli dari kalangan ideologi ataupun golongan SARA yang manapun
juga.
Paris, musim panas, 9 Juli 2000
* * *
Harap baca juga :
Rehabilitasi bagi korban Orba adalah adil
Rehabilitasi hak sipil dan politik bagi ex-Tapol
Rekonstruksi nasional amatlah perlu
Peraturan gila semacam ini harus dicabut
Pemakaman kembali korban 65 digagalkan oleh terror