REKONSILIASI NASIONAL AMATLAH PERLU
(Oleh A. Umar Said)
Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia
Kata pengantar : "Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia" ini tidaklah berpretensi sebagai makalah ilmiah ataupun sesuatu yang bersifat "study" khusus mengenai HAM dan demokrasi di Indonesia. Tulisan ini lebih menyerupai ungkapan berbentuk pamflet (tulisan yang bernuansa ejekan atau sindiran dan mengandung gugatan) mengenai berbagai soal aktual yang sedang dihadapi oleh negara dan rakyat Indonesia, yang diutarakan dari sudut pandang pribadi penulis atas dasar pemahamannya tentang prinsip-prinsip HAM dan demokrasi.
Akhir-akhir ini makin sering kita dengar atau kita baca kata-kata Rekonsiliasi Nasional. Akan datanglah saatnya, entah kapan, bahwa masalah rekonsiliasi nasional ini akan menjadi topik perbincangan yang besar di negeri kita. Apa iya, begitu tanya Anda? Memang, sulitlah kiranya untuk menyatakan dengan pasti. (Dukun-dukun yang paling saktipun mungkin akan ragu untuk berani memastikan ya atau tidaknya, walaupun akan menggunakan segala mantra dan doa. Pen).
Tetapi, apapun yang akan terjadi, dan bagaimanapun sejarah akan diputar olehNya,
kita semua yang yang mendambakan demokrasi, penegakan HAM, keadilan dan dihormatinya
hukum, perlulah bersama-sama, sejak sekarang dan dengan berbagai cara, merenungkan
masalah rekonsiliasi nasional yang amat penting bagi kehidupan bangsa kita
ini. Soalnya, adalah suatu kesalahan besar dan juga dosa yang tidak terampuni
lagi kalau kita membiarkan bangsa kita masih terus berkubang dalam kotoran
dendam dan berbagai racun pertentangan yang telah merusak generasi sekarang,
dan lebih-lebih lagi kalau juga akan terus merusak generasi yang akan datang.
REKONSILIASI ANTARA FIHAK YANG MANA ?
Sebelum bersama-sama menelaah rekonsiliasi nasional antara siapa dan siapa
atau fihak yang mana dengan yang mana, ada baiknya untuk sama-sama kita samakan
--- setidak-tidaknya, kita dekatkan dulu penafsiran kita bersama tentang kata
rekonsiliasi. Untuk tidak tenggelam dalam polemik bertele-tele yang berkonotasi
akademis atau bertafsirkan hukum yang njlimet, kita longok sajalah berbagai
kamus umum yang bisa kita temukan masing-masing. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia keluaran Balai Pustaka (Dep. P&K) edisi kedua. Di situ disebutkan
bahwa rekonsiliasi berarti : perbuatan memulihkan pada keadaan semula, atau
perbuatan memperbarui seperti semula. Kalau direntangpanjangkan, memang penjelasan
itu bisa saja kita anggap sudah mencakup berbagai masalah yang sama-sama akan
kita coba membahasnya.
Tetapi, karena yang ingin kita telaah adalah sesuatu yang ada kaitannya dengan
politik, atau sikap hidup dalam kemasyarakatan, atau antar-hubungan dalam
kehidupan berbangsa, maka baik juga kita simak berbagai kamus atau buku (asing
maupun bukan) yang lain. Maka, kita akan jumpai di situ berbagai penjelasan
yang kiranya lebih cocok untuk kita pakai dalam menafsirkan, bersama-sama,
arti rekonsiliasi ini. Antara lain, yang menyebutkan bahwa kata rekonsiliasi
mengandung pengertian : merujukkan fihak-fihak yang bertentangan, atau mencari
perdamaian di antara fihak-fihak yang berselisih pendapat atau kepentingan,
atau mengusahakan pendekatan antara fihak-fihak yang bermusuhan. Nah, dalam
rangka pengertian itu dululah kita coba sama-sama memasuki persoalannya.
Dalam menghadapi situasi negara dan bangsa yang awut-awutan seperti yang kita
saksikan dewasa ini, maka bisa saja di antara kita yang menjadi bingung. Mengapa
keadaan bisa menjadi begini? Apa-apa saja sebabnya? Apakah keadaan semacam
ini akan berlangsung masih lama lagi? Bagaimana perspektif penyelesaiannya?
Memang, perlulah kiranya kita akui dengan jujur bahwa tidak mudah untuk menjawab
semua pertanyaan itu. Persoalan yang ruwet sudah terlalu banyak (sudah berjibun,
kata orang), dan sebab-sebabnyapun sudah tumpang-tindih tidak karuan lagi.
Ini kita lihat dalam masalah pertentangan antar suku, agama, ras (contoh sekedarnya
: peristiwa saling bantai di Maluku, pembakaran gereja di berbagai tempat
di Jawa dan luar Jawa, pembakaran toko-toko). Juga dapat kita lihat dalam
persoalan politik dan ekonomi (sekelumit contohnya : masalah Aceh, Irian Jaya,
tuntutan otonomi dll). Atau kita lihat juga dalam pertentangan antara kekuatan-kekuatan
pro-reformasi dan kekuatan status-quo (baik yang tertutup maupun yang tersembunyi).
Masih ada lagi -- yang cukup serius juga --, yaitu antara para pelanggar HAM
dan korban-korbannya (contoh yang menyolok adalah kasus eks-tapol, kasus Tg
Priok, kasus peristiwa 27 Juli dll).
Jadi, jelas, cukup rumit! Lalu, kalau sudah demikian, bisa saja ada orang
yang bertanya-tanya dari mana dimulai rekonsiliasi nasional dan bagaimana
caranya, dan lagi pula, apa tujuannya?
PERBENTURAN DENGAN SISA-SISA ORDE BARU
Adalah menggembirakan bahwa, sedikit demi sedikit, kian banyak orang yang
menyadari bahwa keruwetan berbagai persoalan parah dewasa ini telah dilahirkan
dari rahim sistem politik Orde Baru. Makin gamblang jugalah bagi banyak orang,
baik di Indonesia maupun di luarnegeri, bahwa menggilanya KKN, penginjakan
hak-hak demokrasi, kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, kerusakan budi
pekerti di berbagai kalangan atasan, pembusukan moral secara besar-besaran
dalam kehidupan bangsa, bersumber pada sistem politik otoriter rezim militer
Suharto dkk.
Sekarang makin bertumpuk bukti-bukti, yang bisa disaksikan dengan jelas sehari-hari
-- dan juga dimana-mana --, bahwa akibat sistem politik yang telah berlangsung
32 tahun itu telah merusak mental dan moral banyak orang. Dalam jangka puluhan
tahun, DPR dan MPR (dan terutama Cilangkap) telah menjadi pabrik segala peraturan
atau undang-undang yang merugikan kepentingan rakyat, yang melanggar HAM dan
juga merusak tatanan negara. Istana Negara atau Binagraha (juga rumah di jalan
Cendana) telah merupakan tempat pembantaian demokrasi, tempat melacurkan Pancasila,
tempat kumuh-moral bagi persekongkolan maling-maling besar dan konglomerat.
Tidaklah berlebih-lebihan kiranya kalau dikatakan bahwa segala keburukan atau
kebusukan yang kita saksikan dimana-mana dewasa in adalah anak kandung rezim
militer otoriter yang dikelelola oleh Suharto dkk selama 32 tahun. Ini cukup
lama. Dan, karena militerisme ini dijalankan dengan efisiensi tinggi di bidang
indoktrinasi, di bidang intimidasi, di bidang manipulasi sejarah, maka pengaruhnya
juga masih cukup luas dan mendalam di kalangan masyarakat. Di samping itu,
pendukung-pendukung setia Orde Baru juga masih terus, sampai sekarang, berusaha
menguasai lapangan dengan berbagai cara dan berbagai bentuk kegiatan.
Jadi, kalau dikaji dalam-dalam, dan kalau dicemati dengan teliti, maka akan
nampak jelaslah bahwa pada dasarnya, pertentangan pokok yang termanifestasi
dalam berbagai persoalan dewasa ini adalah perbenturan antara pola berfikir
secara Orde Baru yang berhadapan dengan pola berfikir pro HAM, pro-reformasi,
pro-kepentingan rakyat. Ini sedang terjadi di kalangan elite pemerintahan,
di kalangan DPR atau DPD, di kalangan elite perekonomian nasional, di kalangan
militer, di kalangan intelektual dan di masyarakat luas.
REKONSILIASI NASIONAL KITA BUTUHKAN
Kita semua sedang menyaksikan, dengan kegembiraan yang kadang-kadang bercampur
dengan perasaan was-was, bahwa setelah negara dan bangsa dipimpin oleh Gus
Dur, maka berbagai langkah mulai bisa diayunkan untuk mengadakan perbaikan
dan perombakan, untuk menyetop proses pembusukan dan kehancuran yang diwariskan
oleh Orde Baru. Demokratisasi di berbagai bidang sedang diletakkan dasar-dasarnya.
Penegakan hukum juga sudah mulai diusahakan, walaupun dengan susah-payah.
Langkah-langkah untuk memeriksa kembali peristiwa 27 Juli sudah dimulai, rencana
berbagai kalangan untuk mengangkat kembali peristiwa Tanjung Priuk juga sudah
dilontarkan, pemeriksaan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh juga terus dilakukan.
Menteri Menkumdang Yusril telah ditugaskan untuk menangani orang-orang yang
terpaksa klayaban puluhan tahun di luarnegeri. Persoalan KKN di bidang kehutanan
mulai dibongkar. Perampokan besar-besaran oleh pimpinan berbagai bank pemerintah
dan swasta juga terus diusut, walaupun mendapat hambatan atau halangan yang
bermacam-macam.
Di antara langkah-langkah yang amat penting yang sudah dilakukan oleh Gus
Dur adalah di bidang militer. Dari apa yang sudah kita saksikan, maka kelihatanlah
bahwa Gus Dur -- sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar rakyat berusaha
untuk men-demilitarisasikan kehidupan negara dan bangsa kita. Kalau usaha
Gus Dur ini berhasil, maka langkah ini akan tercatat dalam sejarah bangsa
kita sebagai sumbangan yang amat besar. Sebab, kita semua menyaksikan, atau
mengalami secara pribadi, bahwa sejarah hitam Orde Baru tidak bisa dipisahkan
dari peran militer. Atau, dengan kalimat lain, bisalah dirumuskan bahwa Orde
Baru, pada hakekatnya adalah Orde militer, atau rezim militer, atau diktatur
militer. (Apakah istilah ini terdengar terlalu keras bagi telinga orang-orang
tertentu? Pen.)
Selama 32 tahun, kekuasaan militer inilah yang telah menciptakan -- dengan
dukungan berbagai kalangan -- struktur kekuasaan dan tatanan politik yang
mematikan demokrasi. Rezim militer inilah, yang melalui berbagai kemasan dan
menggunakan banyak cara, telah menciptakan serentetan pemerintahan secara
berturut-turut selama 32 tahun, yang tidak mengindahkan HAM, telah mengkentuti
demokrasi, telah memalsu sejarah. Diktatur militer ini jugalah yang telah
memungkinkan seorang yang bernama Suharto telah mengangkangi kekuasaan begitu
besar dan juga begitu lama, sehingga bapak pembangunan ini bisa menimbulkan
kerusakan-kerusakan besar-besaran sampai begini parah, terutama di bidang
moral.
DARI MANA REKONSILIASI NASIONAL DIMULAI ?
Bahwa rekonsiliasi nasional kita butuhkan, ini sudah jelas. Terutama setelah
jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Sebab, untuk pembangunan ekonomi, bangsa kita
(di bawah pemerintahan Gus Dur) memerlukan persatuan nasional. Dan persatuan
nasional yang kokoh hanya bisa dibangun kalau ada rekonsiliasi nasional antara
berbagai komponen bangsa. Sedangkan, kita menyaksikan sendiri bahwa dewasa
ini terdapat berbagai macam friksi, gesekan, atau pertentangan antara berbagai
komponen bangsa, yang diwariskan oleh sistem politik Orde Baru.
Maka, dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa melihat segi-segi yang amat
positif langkah-langkah Gus Dur untuk men-demiliterisasi-kan kehidupan bernegara
dan bermasyarakat kita. Rekonsiliasi nasional hanya bisa betul-betul kita
ciptakan dengan membersihkan diri kita masing-masing dari pola berfikir Orde
Baru, dan dengan melakukan perlawanan terus terhadap mereka yang masih mau
mempertahankan konsep-konsep salah, yang membikin perpecahan bangsa. Untuk
itu, kita harus terus-menerus membongkar keburukan-keburukan sistem politiknya
dan praktek-prakteknya. Dengan begitu, maka akan makin jelaslah arah yang
mau kita tuju, dan lebih gamblang pulalah jalan salah yang manakah yang harus
kita tinggalkan, untuk selama-lamanya.
Rekonsiliasi nasional adalah tujuan yang mulia, yaitu menciptakan kedamaian
nasional yang sejuk di hati banyak orang. Kedamaian yang memanusiakan antara
sesama manusia. Ini merupakan tugas nasional besar yang harus kita pikul bersama-sama.
Tetapi, rekonsiliasi nasional, kalau mau yang sungguh-sungguh, memerlukan
syarat-syarat. Rekonsiliasi nasional tidak akan kokoh, kalau tidak didasarkan
atas perasaan keadilan, dan perasaan keadilan sulit dicapai tanpa ditegakkannya
hukum. Penegakan hukum adalah penting untuk mencari kebenaran, dan kebenaran
harus berdasarkan kenyataan.
Perlulah kiranya sama-sama kita ingat bahwa rekonsiliasi nasional melibatkan
unsur-unsur penting atau faktor-faktor utama dalam kehidupan bangsa kita.
Di antara unsur-unsur utama yang perlu dirujukkan adalah antara pelanggar
HAM (dalam hal ini sisa-sisa kekuatan Orde Baru, dalam segala bentuknya, termasuk
pola berfikir) dan para korban sistem politik Orde Baru, yang jumlahnya begitu
banyak (sekedar catatan untuk ingatan kita bersama, antara lain : peristiwa
65/66, Aceh, Tg Priok, kasus 27 Juli, kasus penculikan aktivis PRD, perlakuan
terhadap eks-tapol dll).
Begitu besarnya pekerjaan rekonsiliasi nasional ini, sehingga ada orang-orang
yang pesimis bahwa akan bisa dilaksanakan, setidak-tidaknya dalam masa dekat.
Ini bisa dimengerti. Sebab di samping besarnya pekerjaan, persoalannyapun
cukup rumit juga. Perlu kita sadari bersama, bahwa rekonsiliasi nasional juga
mencakup masalah peristiwa 65/66, yang akibatnya telah melahirkan monster
Orde Baru. Peristiwa 65/66 adalah cikal bakal matinya demokrasi di Indonesia
selama 32 tahun. Oleh karenanya, mengingat pentingnya masalah ini bagi kelangsungan
kehidupan bangsa, maka cepat atau lambat, masalah ini pada akhirnya toh juga
harus diselesaikan bersama-sama secara baik dan adil. (Tulisan habis di sini
dulu!).
- - - -
Tambahan : Karena dalam tulisan ini sering sekali disebut-sebut soal HAM,
maka sekedar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, maka berikut di bawah
ini disajikan saripati cuplikan ayat-ayat Deklarasi Universal HAM, yang, disana-sini,
bisa ada kaitannya dengan isi tulisan ini.
Yaitu :
Semua mahluk manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki martabat dan hak
yang sama. Mereka mempunyai kenalaran dan kesedaran dan kewajiban untuk bertindak
secara bersahabat terhadap sesamanya (artikel pertama). Martabat setiap orang
berdiri di atas (mengungguli) semua perbedaan ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan
agama, pandangan politik, asal keturunan (artikel ke-2). Semua individu berhak
untuk hidup, untuk menikmati kebebasan dan keamanan bagi pribadinya (artikel
ke-3). Tidak seorangpun dibolehkan mengalami perbudakan dalam segala bentuknya
(artikel ke-4). Tidak seorang boleh disiksa (torture) atau mendapat hukuman
dan perlakuan yang kejam, yang tidak berperikemanusiaan dan yang merendahkan
martabat manusia (artikel ke-5). Semua orang mempunyai kedudukan yang sama,
dan tanpa kecuali, di depan hukum. Dan setiap orang berhak untuk mendapat
perlidungan hukum (artikel ke-7). Setiap orang berhak untuk mengadukan semua
pelanggaran HAM yang dialaminya di depan pengadilan yang kompeten (artikel
ke-8). Seorangpun tidak boleh secara sewenang-wenang ditangkap, ditahan atau
di-exilkan dalam pengasingan (artikel ke-9). Semua orang berhak menuntut agar
urusannya bisa diperiksa secara adil dan juga secara terbuka oleh pengadilan
yang bebas dan imparsial (tidak memihak). Seorang yang dituduh melakukan tindakan
delik haruslah dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu bisa dibuktikan
secara sah oleh pengadilan terbuka. Dalam pemeriksaan di depan pengadilan
itu, haruslah ada jaminan yang cukup bahwa si tertuduh bisa didampingi oleh
pembela (artikel ke-11). Di suatu negeri, semua orang berhak untuk bersikulasi
secara bebas atau menentukan tempat tinggal menurut pilihannya. Semua orang
berhak untuk meninggalkan semua negeri, termasuk negerinya sendiri dan untuk
kembali kenegerinya sendiri (artikel ke-13). Menghadapi suatu persekusi, semua
orang berhak untuk mencari asile (tempat perlindungan) dan mendapatkan perlindungan
dari negeri lain (artikel 14). Semua orang berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.
Tidak seorangpun boleh dicabut kewarganegaraannya, kecuali orang yang melakukan
tindak pidana atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan atau
prinsip PBB (artikel ke-14). Semua orang mempunyai hak kewarganegaraan. Tidak
seorangpun bisa dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang, dan juga
untuk dirobah kewarnegaraannya secara sewenang-wenang (artikel ke-15) Semua
orang berhak untuk mempunyai kebebasan berfikir, keyakinan dan agama. Hak
ini meliputi hak untuk mengganti agama atau kepercayaannya, memanifestasikannya
secara sendirian atau secara bersama-sama, lewat pendidikan, lewat praktek
atau upacara (artikel ke 18). Semua orang berhak atas kebebasan berfikir dan
menyatakan pendapat. Kebebasan ini berarti bahwa seseorang tidak perlu takut
untuk mempunyai fikiran/pendapat, atau takut untuk mencari dan memperoleh
informasi atau ide (gagasan), tanpa memandang perbatasan, dan lewat cara yang
bagaimanapun juga (artikel ke-19) Seseorang mempunyai hak untuk mengadakan
rapat atau menjadi anggota sesuatu perkumpulan yang bertujuan damai. Tidak
seorang pun boleh dipaksa untuk menjadi anggota sesuatu perkumpulan (artikel
ke-20) -- Cuplikan habis.
* * *
Harap baca juga :
Rehabilitasi bagi korban Orba adalah adil
Rehabilitasi hak sipil dan politik bagi ex-Tapol
Rekonstruksi nasional amatlah perlu
Peraturan gila semacam ini harus dicabut
Pemakaman kembali korban 65 digagalkan oleh terror