Kebiadaban rezim Suharto di Sumatra Barat (oleh: Y. T. Taher)
Pemerintah Australia minta ma'af kepada rakyatnya, bagaimana dengan Indonesia (oleh :Y. T. Taher)
Seribu nisan dan pengadilan rakyat
tentang Suharto di Tugu Proklamasi
Berikut di bawah ini disajikan tiga berita dari harian Kompas, harian Analisa
dan Liputan 6 SCTV mengenai aksi-aksi berbagai organisasi di kompleks Tugu
Proklamasi (Jakarta) yang berkaitan dengan meninggalnya Suharto, dan tuntutan
untuk mengadili kroni-kroninya. Berita Kompas (11 Februari 2008) itu adalah
sebagai berikut :
“Belum genap 40 hari pascameninggalnya mantan Presiden Soeharto, suara-suara
gerakan anti-Soeharto kembali meraung. Mulai Senin (11/2), kelompok yang menamakan
Kesatuan Rakyat Adili Soeharto (KERAS), "menduduki" Tugu Proklamasi
di Jakarta.
Bersama ratusan mahasiswa dari 13 propinsi, aktivis-aktivis dan korban-korban
almarhum Soeharto, mereka menginap di Tugu Proklamasi dengan mendirikan tenda-tenda
rakyat.
Puluhan tenda tampak berjajar di seberang 1000 makam simbolis yang mereka
bangun pekan lalu sebagai simbol korban-korban Soeharto. Mereka akan berada
di sana sampai Rabu (13/2). "Agenda ini kami namakan panggung kesaksian
rakyat. Para korban-korban kejahatan Soeharto akan bercerita tentang apa yang
mereka alami selama zaman Soeharto," tegas Jimmy Mapitaputty, koordinator
KERAS di Jakarta.
Pesan kesaksian itu kata Jimmy, penting untuk disampaikan ke khalayak umum
sebagai bentuk penolakan mereka terhadap wacana pemberian gelar pahlawan bagi
almarhum Soeharto. Menurutnya, wacana tersebut sangat mengada-ada jika merujuk
pada kejahatan yang telah dilakukan Soeharto selama 32 tahun memerintah.
"Karena itu, kesaksian para korban ini akan mengungkap bagaimana perlakuan
Soeharto. Mulai kasus 65, atau pasca 65 seperti Malari, Petrus, Priok, Trisakti,"
lanjut Jimmy.
Selain panggung kesaksian, Jimmy menegaskan, pertemuan tersebut juga dimaksudkan
untuk kembali menyuarakan tuntutan menangkap dan mengadili kroni-kroni Soeharto.
Ia mengatakan, jika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak bersikap tegas
untuk menguak kroni-kroni Soeharto, Keras akan turun sendiri. "Kami akan
tandai rumah-rumah kroni Soeharto. Bagaimanapun, uang yang telah mereka makan
itu uang negara. Dan itu harus dikembalikan, " lanjut dia dengan suara
lantang.
Bahkan, Jimmy mengatakan, pertemuan 300-an orang (125 berasal dari daerah
dan 175 dari Jakarta) di Tugu Proklamasi itu tidak menutup kemungkinan akan
membicarakan rencana datang langsung ke kediaman keluarga almarhum Soeharto
di Cendana.
Jimmy menyebut, Keras ingin menyuarakan langsung tuntutan mereka ke Cendana.
"Itu kalau kekuatan sudah memungkinkan. Bukan tidak mungkin besok (hari
ini) kami akan ke Cendana sebagai pemanasan sebelum rencana sebenarnya kemungkinan
besar bulan depan," katanya. (kutipan dari Kompas selesai)
Pengadilan Rakyat digelar di Tugu Proklamasi
Sedangkan berita dari Liputan 6 SCTV (12 Februari) yang berjudul “Korban
pelanggaran HAM gelar Pengadilan Rakyat “ berbunyi sebagai berikut :
“Korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Orde Baru menggelar pengadilan
rakyat di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (12/2) siang. Dalam aksinya,
mereka menuntut pelanggaran HAM yang dilakukan oleh almarhum mantan Presiden
Soerharto diusut tuntas.
Salah satu korban pelanggaran HAM adalah Tjasman Setyo Prawiro. Pria 86 tahun
ini terpaksa mendekam selama 14 tahun di Pulau Nusakambangan tanpa proses
peradilan. Tjasman ditahan atas tuduhan menyebarkan ajaran komunis. Saat Tjasman
di dalam penjara, sang istri harus berjuang menghidupi 10 anak.
Lain lagi kisah Lita. Cewek bertubuh gempal ini terpaksa lahir ke dunia tanpa
ditemani sang ayah yang harus bersembunyi dari para penembak misterius (petrus)
pada 1983. Kisah ini kemudian dituangkan Lita dalam lagu Tirai Kelahiran.
Cerita Tjasman dan Lita hanyalah sepenggal rentetan kisah para korban pelanggaran
HAM Orde Baru.
Namun setidaknya kegetiran hati para korban pelanggaran HAM Orde Baru untuk
sementara bisa sedikit terhibur. Sebab siang tadi, majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan memutuskan keenam putra putri almarhum Pak Harto sebagai
ahli waris akan yang meneruskan kasus gugatan perdata. Dalam kasus perdata
ini, pemerintah menggugat secara materiil kepada almarhum mantan Presiden
Soeharto sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar serta gugatan immateriil sebesar
Rp 10 triliun atas kasus penyalahgunaan keuangan negara melalui Yayasan Supersemar
(kutipan dari Liputan 6 selesai).__,_._,___
Lima dosa Suharto, menurut Sri Bintang
Harian Analisa ( 12 Februari 2008) menurunkan berita tentang pernyataan Sri
Bintang Pamungkas ya mengenai kejahatan atau kesalahan Suharto dalam rangka
aksi-aksi di Tugu Proklamasi. Berita tersebut adalah seperti berikut ini :
“Meski sudah wafat, bukan berarti dosa-dosa Soeharto terlupakan begitu
saja. Setidaknya ada lima poin dosa penguasa Orde Baru itu yang harus diadili.
Demikian disampaikan mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrat Indonesia (PUDI)
Sri Bintang Pamungkas. Dia tetap menuntut pemerintah menggelar pengadilan
mendiang Soeharto.
“Setidaknya ada lima dosa yang ditinggalkan Soeharto, mulai kasus pelanggaran
HAM sampai korupsinya,” kata Sri Bintang di sela-sela aksi Kesatuan
Rakyat Adili Soeharto (Keras) di Tugu Proklamasi, Jalan Proklamasi, Jakarta
Pusat, Rabu (13/2).
“Kelima dosa Soeharto itu, tutur dosen UI yang sempat ditahan era Soeharto
ini, pertama, banyaknya korban nyawa yang melayang di zaman Orde Baru. Antara
lain korban kasus Talang Sari, Tanjung Priok, DOM di Aceh dan Irian, serta
Timtim.
Kedua, banyak utang Indonesia kepada luar negeri sekitar 80 miliar dolar AS,
dan setiap tahun pemerintah hanya mampu bayar bunga saja.
Ketiga, banyaknya sumber daya alam yang rusak, mulai dari hutan yang telah
dikavling-kavling untuk keluarga dan kroni-kroni Cendana. Bahkan saat itu,
Soeharto begitu mudahnya mengeluarkan hak pengusahaan hutan (HPH).
Keempat, merajalelanya tindak pidana korupsi, mulai dari keluarga Cendana,
pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif hingga menjalar ke masyarakat. “Bahkan
sejumlah tokoh militer pun ikut-ikutan korupsi juga,” tandas Bintang.
Dan terakhir, sistem pemerintahan sentralistik, militerisme, dan otoriter.
Akibatnya, banyak kekayaan daerah dikuras habis oleh pusat.
“Untuk itu, Bintang setuju dengan aksi di Tugu Proklamasi tersebut.
Setidaknya, bisa mengingatkan pemerintahan sekarang untuk mengusut dan menyelesaikan
kasus Soeharto. Sebab sejak era Habibie hingga sekarang belum ada yang mampu
mengusut tuntas kasus pelanggaran yang dilakukan Soeharto. “Bahkan SBY
hanya meminta Rp10 triliun kepada Soeharto yang sebenarnya mencapai Rp400
triliun. Kalau SBY-JK tidak mampu mengusut tuntas kasus Soeharto, lebih baik
mundur!” tantang Bintang.(kutipan dari Harian Analisa selesai)
Serentetan aksi-aksi yang penting
Meskipun tidak diberitakan secara luas oleh pers Jakarta, serentetan aksi-aksi
yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan kalangan masyarakat di Tugu Proklamasi
ini mempunyai arti penting sekali. Sebab, serentetan aksi-aksi tersebut merupakan
kelanjutan dari aksi-aksi yang telah dilakukan di Jakarta dan tempat-tempat
lainnya di Indonesia, dalam rangka menolak usul (dari Golkar dan para Suhartois
lainnya) untuk mmberi gelar pahlawan nasional kepada Suharto dan menuntut
diadilinya para kroni Suharto.
Selain itu, bahwa aksi-aksi tersebut dilakukan di Tugu Proklamasi mempunyai
arti simbolik yang berbobot politik dan sejarah yang penting. Yang menonjol
dalam aksi-aksi itu adalah telah ikut sertanya para mahasiswa dari 13 provinsi
di Indonesia dan kaum muda lainnya, di samping berpartisipasinya kalangan
korban peristiwa 65 yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban
Rejim Orde Baru (LPR-KROB) dan YPKP (Yayasan Penelitian Korban Peristiwa 65)
dll dll. Artinya, aksi-aksi politik ini mendapat dukungan yang cukup luas
dari kalangan kekuatan anti-Suharto (anti-Orde Baru).
Sebab, kegiatan yang dipelopori oleh KERAS (Kesatuan Rakyat Adili Suharto)
merupakan gabungan berbagai organisasi dalam masyarakat, yang membikin front
luas, dan bukan hanya terdiri dari golongan “kiri” atau simpatisan
PKI saja. Memang, mungkin saja ada sejumlah kecil di antara mereka yang berhaluan
kiri, tetapi sebagian terbesar adalah dari segala golongan (terutama kaum
muda) yang tidak menyetujui politik Orde Barunya Suharto. Oleh karena itu,
bisa diharapkan bahwa front luas dari organisasi-organisasi yang anti-Suharto
semacam itu dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut di berbagai daerah
di Indonesia.
Yang menarik sebagai kegiatan yang kreatif adalah dibuatnya 1000 makam simbolis
berupa “nisan” yang melambangkan besarnya pembunuhan orang-orang
tidak bersalah oleh Orde Baru dan diselenggarakannya “pengadilan rakyat”
dimana para korban dapat menggugat banyak kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan
oleh rejim militer Suharto;
Didirikannya kemah-kemah rakyat di kompleks Tugu Proklamasi yang berdekatan
dengan 1000 “nisan” simbolik dan “panggung pengadilan rakyat”
juga mencerminkan kekreatifan para penyelenggara, yang bertekad untuk mengadakan
serentetan aksi-aksi politik selama beberapa hari untuk menentang wacana pemberian
gelar pahlawan kepada Suharto dan menyuarakan kemarahan rakyat atas dosa-dosa
Suharto di bidang HAM dan KKN
Bangkitnya kaum muda untuk melawan sisa-sisa Orde Baru, untuk menentang wacana
pemberian gelar pahlawan kepada Suharto, dan menuntut diadilinya kroni-kroni
Suharto, adalah penting bagi kelanjutan perjuangan bersama melawan sisa-sisa
rejim militer Suharto, terutama Golkar dan sebagian kekuatan militer yang
Suhartois.
Ikut sertanya Sri Bintang Pamungkas dalam aksi-aksi di Tugu Proklamasi ini
menunjukkan bahwa berbagai kalangan intelektual di negeri kita juga telah
mengambil sikap yang tegas terhadap masalah Suharto dan Orde Baru. Ini memberikan
indikasi bahwa perlawanan terhadap berbagai kejahatan Suharto (dan keluarganya
atau anak-anaknya) akan tetap berlangsung terus di kemudian hari, selama Golkar
dan kaum Suhartois lainnya masih mau mengangkangi kekuasaan politik Orde Baru
jilid II di negeri kita.
Paris, 15 Februari 2008
A. Umar Said
=============